Socraetez/Dok |
Oleh : Socratez Sofyan Yoman
(Uskup Dom Carlos Filipe Ximenes Belo, SDB, pernah berkata: “…dalam realita kalau sudah menyangkut pribadi manusia, walaupun dengan alasan keamanan nasional, Gereja akan memihak pada person karena pribadi manusia harganya lebih tinggi daripada keamanan negara atau kepentingan nasional” (Sumber: Frans Sihol Siagian & Peter Tukan. Voice of the Voiceless (Suara Kaum tak Bersuara). Jakarta: Penerbit Obor, 1997, hal. 127.)
Para pembaca opini yang mulia dan terhormat, kutipan seruan moral dan suara kenabian di atas ini disampaikan dalam konteks terjadinya kejahatan kemanusiaan, ekonomi, politik dan kebudayaan pada waktu Indonesia menduduki dan menjajah tanah dan rakyat Timor Leste. Peristiwa yang sama yang sangat kejam dan memprihatinkan juga terjadi di Tanah Papua Barat ini sejak 19 Desember 1961 melalui Maklumat TRIKORA sejarah aneksasi Papua Barat, 1 Mei 1963 adalah peristiwa dimulainya roh kebohongan dan malapetaka, PEPERA 1969 adalah kejahatan kemanusiaan dan konspirasi yang
menghancurkan hak politik penduduk asli Papua dan UU No 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus adalah selimut pembungkus pembohongan yang menyembunyikan kejahatan kemanusiaan, ekonomi, politik, dan kebudayaan yang telah berlangsung selama satu abad (50 tahun) setelah Tanah Papua dan rakyat Papua dianeksasi,diduduki dan dijajah oleh Indonesia. Tidak menjadi rahasia umum, bahwa penduduk asli Papua, pemilik dan penerus Negeri dan Tanah ini, ditempatkan sebagai musuh Negara oleh Pemerintah Indonesia dengan stigma anggota OPM (Organisasi Papua Merdeka), tetapi istilah OPM itu telah kami tingkatkan status dan pengertiannya ialah Otonomi, Pemekaran dan Merdeka (OPM). Penduduk asli Papua diberikan stigma anggota separatis dan pembuat makar. Stigma OPM, Separatis dan Makar benar-benar menjadi surat ijin resmi bagi aparat keamanan Indonesia untuk menangkap, menculik, menyiksa, membunuh, memenjarakan penduduk asli Papua.
Di atas Tanah Papua, tanah yang Firdaus, Tanah yang diberkati Tuhan yang berbentuk burung Cenderawasih ini telah dipenuhi dengan tulang belulang, tetesan darah dan cucuran air mata umat Tuhan yang tertindas dan teraniaya. Domba-domba Allah dibantai seperti hewan buruan atas nama kepentingan dan keamanan nasional, dan jargon sekarang adalah kepentingan NKRI.
Berhubungan dengan kenyamanan dan keselamatan umat Tuhan, Uskup Belo pernah mengungkapkan: “Saya sungguh paham akan norma-norma Gereja Katolik yang mengharuskan seorang pemimpin agama menjauhi politik praktis yang konkret, hal mana merupakan bidang spesifik dari kaum politisi. Akan tetapi, selaku seorang uskup, saya mempunyai kewajiban moral untuk menyuarakan suara dari kaum miskin dan kaum sederhana, apabila diintimidasi dan diteror, tidak berdaya membela diri mereka sendiri atau menjadikan maklum penderitaannya. Gereja selalu harus berpihak pada manusia, nilai-nilai kebebasan, demokrasi, keadilan sosial, martabat manusia. Itu universal.” (Siagian & Tukan, 1997:239,129).
Uskup Dom Carlos Filipe Ximenes Belo, SDB, sebagai seorang gembala dengan tegas pernah menyatakan keyakinan imannya sebagai berikut: “Posisi Gereja Katolik di Timor Timur, pada pilihan apapun, adalah menerima situasi yang dipilih rakyat Timor Timur. Pada situasi ini, pilihan-pilihan yang dianjurkan oleh Gereja adalah pilihan untuk melakukan Referendum. Gereja memberikan anjuran terhadap pilihan ini karena percaya bahwa pilihan terhadap referendum adalah pilihan demokratis yang mampu mengakomodasikan seluruh aspirasi dan suara hati rakyat Timor Timur” (Sumber: Demi Keadilan dan Perdamaian, Peter Tukan-Domingos de Sousa, 1997:hal. 338). Belo melanjutkan, “Dasar fundamental adalah martabat manusia, martabat rakyat Timor-Timur. Kenapa saya selalu tidak suka siksaan, penangkapan, dan pembunuhan? Justru karena manusia Timor-Timur ini diciptakan Tuhan untuk hidup, jadi martabatnya itu yang harus dijunjung tinggi walaupun berbeda agama dan visi politik.” (Siagian & Tukan, 1997:163).
Dalam buku yang berjudul Demi Keadilan dan Perdamaian, Uskup Belo juga pernah menyatakan: “Gereja merasa diri identik dengan rakyat, Gereja dalam menjalankan misinya tidak pernah serta tidak boleh bersikap acuh tak acuh atau asing terhadap perubahan-perubahan historis dari rakyat yang sama” (sumber: Tukan dan de Sousa: hal.105). Selanjutnya, Uskup Belo mengatakan: “Untuk apa kita harus merendahkan orang lain hanya karena kita tidak suka padanya? …saya hanya melakukan tugas saya sebagai pastor yang memperhatikan martabat teman manusia, yang bekerja menurut Injil untuk perdamaian, keadilan, dan kebenaran” (Siagian dan Tukan, hal. 191-192)
Sedangkan Uskup Dom Helmer Camara seorang Gembala umat di Brazil dalam bukunya Spiral Kekerasan dengan tepat mengatakan: “Gereja menjadi satu-satunya organisasi publik yang tidak dikendalikan lansung oleh kediktatoran. Harapan para tahanan politik didasarkan pada Gereja, satu-satunya institusi di Brazil yang tidak dikendalikan oleh negara militer.” (Dom Helder Camara. Spiral Kekerasan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000,hal.16, 19).
Sementara Uskup Monsinyur Oskar Romero di El Savador pernah menyatakan: “Gereja dianiaya sebab ia mengecam dosa. Gereja berkata kepada orang kaya: Jangan berbuat dosa dengan menyalahgunakan uangmu. Gereja berkata kepada penguasa: Jangan menyalahgunakan pengaruh politikmu. Jangan menyalahgunakan senjatamu. Jangan menyalahgunakan kuasamu. Kalian semua berdoa, kalian berbuat kesalahan. Kalian membangun pemerintahan neraka di bumi.” (Susan Berman, ed. Para Martir, Kisah-Kisah Kontemporer Pergumulan Iman dalam Dunia Modern. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009:85). “Aku mohon, aku minta, aku memerintah kalian dalam nama Allah: Hentikan penindasan!” ( hal. 90).“Aku harus mengatakannya kepadamu bahwa aku tidak percaya akan kematian, tetapi akan kebangkitan. Jika membunuhku, aku akan hidup terus di dalam hati rakyat Salvador”(hal. 76).
Kehadiran gereja di Tanah Papua dalam misi Pekabaran Injil, sejak tanggal 5 Februari 1855, tidak terlepas dari tantangan demi tantangan, gelombang demi gelombang, badai demi badai, dan kemelut politik serta kompleksitas permasalahannya. Misalnya, sejarah diintegrasikannya (digabungkannya) Papua ke dalam Indonesia adalah suatu sejarah berdarah. Pelanggaran HAM yang diwarnai oleh pembunuhan kilat, penculikan, penghilangan, perkosaan, pembantaian, dan kecurigaan dengan stigma-stigma yang melecehkan martabat dan kehormatan umat Tuhan seperti separatis, pembuat makar, atau anggota OPM.
Umat Tuhan (rakyat Papua) telah, sedang, dan terus mengalami suatu ketidakadilan sejarah, ketidakadilan hukum, dan karenanya merupakan ketidakadilan kemanusiaan. Secara hukum, diintegrasikannya Papua ke dalam Indonesia bermasalah. Oleh karena itu, Gereja harus memperbaiki kesalahan sejarah itu dengan terang Firman Tuhan, Injil Yesus Kristus sebagai kekuatan Allah karena Gereja adalah benteng terakhir untuk mempertahankan, melindungi, menggembalakan, menjaga integritas dan kehormatan manusia. (bersambung)
Penulis: Ketua Umum Badan Pelayan Pusat Persekutuan Gereja-gereja Baptis Papua.
0 Komentar Anda:
Post a Comment
Your Comment Here