Oleh : Dumma Socratez Sofyan Yoman
PESAN PERUBAHAN (REFORMASI ) DAN HARAPAN GEREJA DAN UMAT TUHAN DI TANAH PAPUA
Pada kesempatan dan momentum bersejarah, bernilai dan berharga ini, kita sebagai warga Baptis dan umat beriman kepada Tuhan patut mengucapkan syukur dan berterima kasih kepada Tuhan kita Yesus Kristus. Karena kita telah memasuki Yubileum 50 Tahun Emas yang baru saja kita lewati bersama, tepatnya tanggal 28 Oktober 2006 di Tiom. Kita memuji Tuhan Yesus Kristus, Kepala Gereja, atas pemeliharaan-Nya selama 50 tahun yang telah berlangsung dan kita lewati, sekaligus kita menatap 50 tahun yang berikut sampai tahun 2056 yang di depan kita sebagai anugerah Tuhan untuk bersaksi, bersekutu dan melayani dengan Moto : One Lord, One Faith, One Baptism (Satu Tuhan, Satu Iman, Satu Baptisan) dan Visi : Mandiri, Bebas, Tertip Dalam Teologi, Pendidikan, Kesehatan, Ekonomi dan Keuangan. Dan Misi : Mewujudkan Amanat Agung Yesus Kristus (Matius 28:18-20) dalam dunia nyata untuk menjangkau umat Manusia, menegakkan nilai kebenaran, keadilan, perdamaian, Hak Asasi Manusia, hak ekonomi, sosial budaya, politik, pendidikan, kesehatan dan keuangan”.
Umat Baptis patut berterima kasih juga kepada Tuhan dan pelaku sejarah, pahlawan iman, tokoh rohani, yang telah pergi meninggalkan kita maupun yang sedang bersama-sama dengan kita. Tepatnya, di Yane’me, Magi, Kabupaten Jayawijaya, tanggal 14 Desember 1966 telah lahir Persekutuan Gereja-gereja Baptis Papua secara resmi yang dipimpin oleh putra asli Papua. Dihitung dari tanggal tersebut, sampai sekarang tanggal 14 Desember 2008 telah memasuki usia 42 tahun. Usia ini adalah tergolong usia yang amat dewasa.
Kami dari Badan Pelayan Pusat sebagai generasi penerus juga dengan rendah hati menyampaikan terima kasih kepada pendiri Gereja dan pahlawan-pahlawan iman, dan semua Pimpinan PGBP di Tanah Papua, sejak 14 Desember 1966 hingga 14 Desember 2008 ini, telah memainkan peran penting dalam membangun, memelihara, dan meletakkan dasar dan pijakan iman. Kami percaya bahwa dasar dan landasan iman yang diletakkan telah kokoh dan terus kokoh, dan kami akan membangun dan meneruskan Kerajaan Allah di Tanah Papua. Kita dan Anak-anak, cucu-cucu secara bersama-sama akan merayakan 50 tahun, Yubileum ke-I tahun 2016, tepatnya delapan tahun ke depan.
Melewati sejarah yang penuh ketegangan dan tantangan, namun juga penuh dengan harapan yang di dasarkan kepada Visi Kerajaan Allah yang harus dibangun di Tanah Papua, yang hingga sekarang ini Gereja Baptis terus memainkan peran penting untuk membangun, menjaga, melindungi dan menggembalakan umat Tuhan di Tanah Papua.
Saudara-saudara umat Baptis yang Tuhan Yesus kasihi dan saya hormati, diikutinya irama waktu dan sejarah, satu demi satu para pahlawan iman, para nabi dan perintis Pekabaran Injil di Tanah Papua ini, telah gugur di “kebun” atau ladang Tuhan dengan tenang. Patutlah kita memberikan apresiasi dan penghormatan khusus kepada Bapak Gartuan Permenas Kogoya sebagai Ketua Sinode dan Matius Wenda sebagai Sekretaris yang menjadi juru mudi pertama PGBP di Tanah Papua. Kita akui mereka sebagai pemimpin Gereja yang berjiwa pastoral, penuh kearifan dan berwibawa telah mengantar warga Baptis melintasi suatu masa transisi kepemimpinan dari para Missionaris dari Masyarakat Baptis Australia yang dikenal dengan nama badan misi “Australian Baptist Missionary Society” (ABMS) yang sekarang “Global InterAction” (GIA) kepada orang-orang pribumi Papua. Walaupun ada keterbatasan dan kekurangan dalam beberapa aspek pelayanan. Namun, itulah saat dan waktunya untuk pekabaran Injil harus berada di pundak anak-anak Tuhan yang telah disiapkan sesuai rencana dan Kehendak Tuhan. Perlu disadari dan dimengerti oleh kita semua bahwa setiap peristiwa tidak pernah terjadi diluar kendali,kehendak, rencana dan pengawasan Tuhan.
Sekarang ini kami dapat memperkirakan bahwa tantangan yang akan umat Baptis hadapi dalam lima dekade yang berikut sampai PGBP berusia 100 tahun atau satu abad sebagai tahun-tahun yang lebih dinamis dan lebih berat, tantangan dan harapan. Sebagai akibatnya, mau dan tidak mau, suka dan tidak suka, semua perubahan itu akan menerobos masuk dalam sendi-sendi kehidupan dan pelayanan umat Baptis dan rakyat Papua.
Oleh karena itu, saya hendak mengajak seluruh warga Baptis, kita sama-sama dalam moto “Satu Tuhan, Satu Iman, Satu Baptisan” artinya umat Baptis harus bersatu sebagai tubuh Kristus dan kita dapat mempersiapkan diri menghadapi tantangan, peluang dan harapan yang akan kita hadapi ke depan. Berdasarkan pengalaman selama 52 tahun sejak Injil masuk dan secara organisasi 42 tahun PGBP masa lalu, dengan pasti kita mereflesikan, merenungkan dan merumuskan dengan pijakan dan pedoman yang jelas dan jitu yaitu dewasa dalam iman (teologi), mandiri dalam daya dan dana. Sesuai dengan tema HUT PGBP ke-42: “PERAN GEREJA DALAM PERUBAHAN, TANTANGAN DAN HARAPAN” dan sub tema: “Bersatu, Mandiri, Bebas, Tertip Dalam Teologi, Pendidikan, Kesehatan, Ekonomi dan Keuangan” (Efesus 4:5)
Kehadiran gereja Baptis di Tanah Papua dalam misi Pekabaran Injil, 52 tahun yang lalu, sejak tanggal 28 Oktober 1956 di Tiom, tidak terlepas dari tantangan demi tantangan, gelombang demi gelombang, badai demi badai, dan kemelut politik serta kompleksitas permasalahannya. Misalnya, Sejarah diintegrasikannya (digabungkannya) Papua ke dalam Indonesia adalah suatu sejarah berdarah. Pelanggaran HAM yang diwarnai oleh pembunuhan kilat, penculikan, penghilangan, perkosaan, pembantaian, dan kecurigaan dengan stigma-stigma atau label-label yang melecehkan martabat dan kehormatan umat Tuhan seperti separatis, pembuat makar dan anggota OPM. Bahwa umat Tuhan (rakyat Papua) yang telah, sedang dan terus mengalami suatu ketidakadilan sejarah, ketidakadilan hukum dan karenanya merupakan ketidakadilan kemanusiaan. Secara hukum, diintegrasikannya Papua ke dalam Indonesia bermasalah. Karena itu, Gereja harus memperbaiki kesalahan sejarah itu dengan terang Firman Tuhan, Injil Yesus Kristus sebagai kekuatan Allah. Karena, Gereja adalah benteng terakhir untuk mempertahankan menjaga, melindungi dan menggembalakan integritas (keutuhan) dan kehormatan hidup umat manusia.
Bagi gereja Baptis dan rakyat Papua, kehadirannya dalam konteks NKRI, diwarnai oleh konflik dan masalah. Papua oleh banyak pengamat bahkan orang Papua disebut sebagai provinsi bermasalah, mungkin karena awal kehadirannya “illegal”, sehingga semua kebijakan selanjutnya penuh dengan masalah dan sebagaimana illegal, atau bertentangan dengan hukum dan keadilan. Fenomena historis itu, memperlihatkan adanya suatu gerakan perlawanan umat Tuhan terhadap ketidakadilan sejarah, ketidakadilan hukum dan pelanggaran HAM yang berat. Umat Tuhan di Papua Barat menggugat Act of Free Choice (PEPERA 1969) menjadi akar dari semua persoalan Papua. Kekerasan demi kekerasan meningkat dan menyebabkan umat Tuhan terpenjara dalam budaya takut, budaya bisu dan budaya diam dan tak berdaya.
Menghadapi kenyataan hidup umat Tuhan ini, Gereja Baptis di Tanah Papua Barat ini sebenarnya berada diposisi siapa? membela siapa? menjaga siapa ? dan menggembalakan siapa? Apakah Gereja dalam posisinya menjaga dan bekerja sama dengan yang menindas atau berpihak yang tertindas? Lebih khusus Gereja Baptis menggembalakan siapa? Gembala ada di posisi siapa? Apakah gembala ada pada orang punya uang atau orang yang miskin, tertindas dan teraniaya? Atau lebih parah lagi kalau pendeta-pendeta dan gembala-gembala Baptis menjadi moncong atau corongnya kaum penguasa dan penindas.
Saudara-saudara umat Baptis yang terhormat, kita semua mau dan tidak mau, suka dan tidak suka, percaya atau tidak percaya, kita sedang berada dalam ancaman serius era globalisasi, modernisasi dan dampak pembangunan yang tidak berpihak pada umat Tuhan. Karena, globalisasi adalah suatu proses perkembangan dan kemajuan dunia yang telah menjadi satu dalam semua persoalan baru yang semakin dekat bahkan menjadi kecil dari sudut jarak dan ruang. Peristiwa yang terjadi di belahan bumi Barat dapat diketahui dalam perhitungan menit, jam dapat diketahui di belahan bumi Timur Jadi, warga Baptis berada, hidup dan berkarya serta bergumul dalam suatu masyarakat dengan berbagai perubahan, perkembangan, kemajuan dan juga tantangan, dan ancaman bahkan peluang strategis yang disebabkan oleh perkembangan sains dan teknologi yang menglobalisasi. Masalahnya ialah apakah umat Baptis mampu untuk membuat keputusan etis, untuk menolak aspek-aspek yang cenderung merusak eksistensi warga gereja dan seluruh umat Tuhan? Apakah warga Baptis mampu menjawab tantangan itu? Apakah warga Baptis meraih dan mengisi peluang dan kesempatan yang tersedia? Ataukah warga Baptis terseret dalam pengarus arus global itu?
Kita semua berada dalam lajunya pembangunan yang benar-benar eksploitatif dan diskriminatif. Atas nama pemerataan pembangunan nasional, tanah rakyat dirampas, gunung rakyat dihancurkan, hutan-hutan rakyat diporak-porandakan, air rakyat dicemarkan, rakyat disingkirkan dari tanah asal mereka. Atas nama pembangunan, umat Tuhan diperlakukan sangat tidak manusiawi. Pembangunan untuk siapa dan kemajuan untuk siapa? Justru terjadi adalah penduduk asli sebagai pemilik negeri dan tanah ini ditekan dengan berbagai aturan dan bahkan berada dalam ancaman serius pemusnahan di atas tanah dan negeri mereka. Secara ekonomi benar-benar tersingkir, pendidikan ambur-adul, kesehatan hancur-hancuran. Sekolah-sekolah Kristen ditutup dan Rumah-rumah sakit milik gereja ditutup. Ini adalah keadaan nyata yang merupakan pembunuhan dan penghancuran struktural dan sistematis di Papua ini.
Dalam iklim perubahan ini, gereja Baptis harus ingat dan jangan biarkan, bahwa perdamaian akan sulit terwujud dalam iklim dimana tidak terbangun hubungan yang setara antara rakyat dan pihak penguasa. Gereja harus membangun paradigma baru di atas visi dasar Kerajaan Allah, yang di dalamnya terdapat prinsip-prinsip keadilan, kebebasan, kebenaran, persekutuan, dan perdamaian sebagai norma-norma yang abadi dan universal. Untuk perubahan dan transformasi serta perlindungan yang mendasar menyangkut eksistensi manusia, gereja-lah yang lebih memadai dan lebih tepat, karena gereja memiliki kebenaran mutlak dan kebenaran hakiki.
Papua Tanah Damai membutuhkan suatu komitmen bersama untuk menyelamatkan umat Tuhan dan tanah Papua, dari berbagai pelanggaran, eksploitasi Hukum, HAM, dan lingkungannya. Gereja Baptis di Papua dipanggil untuk memelopori suatu model pembangunan dan reformatif dan transformatif berdasarkan prinsip-prinsip Firman Allah dan Injil Yesus Kristus. Papua Baru sebagai Tanah Damai tidak akan terwujud, jika paradigma baru tadi diabaikan dan umat Tuhan serta penguasa tertutup dari perubahan, dan terus-menerus membangun umat Tuhan berdasarkan kepentingan ekonomi, politik dan keamanan, bahkan pribadi, suku dan golongan. Saya percaya bahwa dalam urusan politik, tidak ada satu pun dogma yang abadi. Karena yang abadi adalah kebenaran Firman Tuhan, Injil Yesus Kristus adalah kekuatan Allah.
Maka peran gereja menjadi strategis dalam rangka mengawal panji-panji kemerdekaan, kebebasan, persatuan, keadilan dan perdamaian. Bahwa semua permasalahan itu harus dinilai secara kritis dan diletakkan di bawah kritik Firman Allah dan Injil Kristus. Bahwa gereja Baptis dipanggil untuk memperjuangkan lahirnya Papua Baru yang adil, damai, bebas dari pelanggaran HAM, ditegakkannya keadilan dan terciptanya Papua sebagai Tanah Damai, bebas dari ketidakadilan ekonomi, penghargaan atas kemanusiaan, dan bebas dari sikap dan tindak eksploitatif dan diskriminatif.
Gereja Baptis juga harus tampil memperjuangkan dengan suara kenabiaannya untuk memperjuangkan hak-hak asasi manusia yang bebas dari kecurigaan, bebas dari rasa takut, bebas dari permusuhan, bebas dari kemiskinan dan ketidakadilan, bebas dari pelanggaran HAM, bebas dari pengrusakan alam dan hutan untuk illegal logging, bebas dari korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan dan juga bebas dari penyakit HIV/AIDS.
Gereja sebagai benteng terakhir dan “agen” Kerajaan Allah di dunia ini, tidak bisa menghindar atau lari dari masalah sosial, ekonomi, budaya, bahasa, agama, politik dan pelanggaran HAM. Gereja harus tampil menjadi terang dan garam. “Kamu adalah garam dunia …kamu adalah terang dunia…”( Matius 5:13-14). Tugas advokasi persoalan hukum dan keadilan serta HAM di Papua, dibutuhkan peran profetis agar gereja tetap setia dan konsisten dalam memperjuangkan keadilan, kebenaran, dan hak asasi manusia, dalam rangka pembebasan dan perdamaian bagi umat Tuhan di seluruh Tanah Papua. Dekade Pembebasan, sebagai komitmen dan janji dimana seluruh tugas dan misi Gereja di bidang kesaksian menjadi kesaksian yang membebaskan; bidang pelayanan, menjadi pelayanan yang membebaskan; dan bidang koinonia atau persekutuan, menjadi Koinonia yang membebaskan.
Saudara-saudara umat Baptis yang mulia, umat Baptis harus tampil dengan tegas, jujur, adil dan kritis serta bertanggungjawab bahwa Papua Barat tetap dipromosikan, dikampanyekan, dikomunikasikan dan dipertahankan sebagai “TANAH DAMAI” dalam aras lokal, nasional dan internasional. Ini komitmen semua komponen yang hidup di Papua bahwa Papua Tanah Damai. Siapa pun orangnya, dari mana asalnya, kedudukan apapun harus tunduk pada komitmen bahwa Papua sebagai Tanah Damai. Karena, Papua sebagai Tanah Damai telah dideklarasikan oleh semua agama dan golongan yang hidup dan berada serta berkarya di Tanah Papua. “Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah” (Matius 5:9).
Umat Baptis sepakat bahwa nilai-nilai kebenaran Injil Yesus Kristus sebagai kekuatan Allah mutlak menjadi hakim, keadilan harus menjadi panglima, nilai-nilai adat yang positif harus menjadi pilar dan tongkat. Keadilan harus diperjuangkan demi terciptanya pedamaian abadi, karena perdamaian abadi tidak dapat terwujud tanpa keadilan. Dalam semangat (spirit) ini, umat Baptis harus mengambil kendali kehidupan dan mulai membangun dirinya berdasarkan Terang Injil Yesus Kristus sebagai otoriatas dan Firman Allah, Undang-Undang Allah, untuk menatap masa depan yang lebih adil, damai, bebas, dan bermartabat serta manusiawi dalam semangat dan visi mandiri secara iman (teologi), mandiri dalam daya (SDM) dan dana (finanancial).
Dalam misi memperjuangkan keadilan, perdamaian, kebebasan, hak asasi manusia, martabat dan kehormatan manusia, Gereja Baptis tidak berteori, tidak hanya bermeditasi (berdoa) saja. Tetapi, gereja Baptis Papua telah, sedang dan terus melangkah untuk memberitakan Kabar Baik dan perlindungan umat Tuhan dan tampil sebagai agen reformasi. Sikap dan langkah ini tidaklah heran, karena umat Baptis berpendirian teguh pada prinsip bendera SALIB YESUS KRISTUS dan otoritas ALKITAB, FIRMAN ALLAH, yang menghargai dan mengakui kebebasan dan kedaulatan setiap anggota Jemaat.
Karena itu, warga Baptis Papua harus menjawab pertanyaan ini, terutama hamba-hamba Tuhan atau orang-orang berlatar belakang pendidikan teologia. Apakah pelayanan misi kemanusiaan, demokrasi, keadilan, kebebasan, perdamaian, hak asasi manusia sebagai penerapan nilai-nilai Injil Yesus Kristus ini disebut urusan politik? Apakah Gereja setuju dan mendukung penangkapan, penculikan, pembunuhan, penyiksaan terhadap umat Tuhan seperti Arnold C. Ap, Dr. Thomas Wanggai, Theys Hiyo Eluay, Yustinus Murip, Pendeta Elisa Tabuni dan ribuan umat TUHAN di Tanah Papua dengan alasan anggota OPM, separatis dan pembuat makar atau melawan Pemerintah? Apakah gereja Baptis setuju dan hanya tinggal diam sementara umat Tuhan dipenjarakan oleh penguasa? Apakah Gereja Baptis mau menari-nari dan berdansa-dansa di atas penderitaan, cucuran darah dan tetesan air mata umat Tuhan? Apakah Gereja Baptis harus berdiam diri ketika Buktar Tabuni ditangkap dan dipenjarakan? Kalau Gereja diam, membisu dan takut, sementara umat Tuhan dibantai, itu bukan gereja lagi, tetapi kelompok pendukung penindas. Karena tugas dan kewajiban gereja adalah untuk menjaga, menggembalakan dan melindungi domba-domba Allah.
Kalau gereja Baptis dan Pendeta-pendeta, gembala-gembala Baptis mengatakan bahwa perjuangan misi kemanusiaan, keadilan, kebebasan, demokrasi, perdamaian, hak asasi manusia, dikatakan dan diartikan sebagai perjuangan politik, maka perlu dipertanyakan pemahamanan kita tentang hakekat Injil Yesus Kristus. Apakah kematian Yesus Kristus di kayu salib untuk pembebasan manusia dari belenggu dosa saja? Ataukah nilai kematian dan kebangkitan Yesus Kristus untuk menindas umat Tuhan? Kalau umat Baptis, gembala-gembala Baptis, pendeta-pendeta Baptis setuju dengan penindasan dan pembunuhan, maka patut dipertanyaan Injil apa yang disampaikan disetiap mimbar gereja Baptis?
Amanat Agung Yesus Kristus sangat tegas: “Pergilah, jadikan segala bangsa murid-Ku, baptislah mereka dan ajarlah mereka untuk melakukan apa yang Aku ajarkan kepadamu” (matius 28:18-19). Mandat selanjutnya ialah “Gembalakanlah domba-domba-Ku, gembalakanlah domba-domba-Ku, gembalakanlah domba-domba-Ku” (Yohanes 21:15-19). Umat Baptis, terutama pendeta-pendeta dan gembala-gembala Baptis harus menyelidiki Firman Tuhan dari Perjanjian Lama, Kejadian sampai Maleakhi dan Perjanjian Baru, Matius sampai Wahyu, bahwa apakah ada mandat dan Amanat Tuhan Yesus Kristus untuk menangkap, menculik, membunuh, menyiksa, memenjarakan umat Tuhan dengan stigma anggota OPM, separatis dan Makar bumi ini?
Tuhan Yesus Kristus memberikan mandat bahwa, “pergi, jadikanlah segala bangsa murid-Ku, baptislah mereka, ajarlah mereka, gembalakanlah mereka”. Tuhan Yesus Kristus tidak memberikan mandat: tangkaplah mereka, culiklah mereka, siksalah mereka, penjarakanlah mereka, bunuhlah mereka, perkosalah mereka”. Kalau demikian, mengapa beberapa pendeta dan gembala Baptis sering menilai dan mengatakan bahwa perjuangan hak asasi umat Tuhan, martabat dan kehormatan umat Tuhan, keadilan, kebebasan dan perdamaian, demokrasi serta kesamaan derajat, dikategorikan perjuangan-perjuangan politik?
Karena itu pandangan teologia kita seperti ini ada masalah, maka perlu re-teologia atau revitalitasi teologia supaya kita semua harus mengerti prinsip dasar Firman Tuhan secara utuh dan memberikan pengajaran dan pendidikan tepat, benar, terukur, konsisten dan konsekwen.
Janganlah kita menjadi para pendeta dan gembala-gembala upahan seperti yang diingatkan Yesus Kristus kepada murid-murid-Nya. “Pencuri datang hanya untuk mencuri dan membunuh dan membinasakan….” seorang upahan yang bukan gembala, dan bukan yang pemilik domba-domba itu sendiri, ketika melihat serigala datang, meninggalkan domba-domba itu lalu lari, sehingga serigala itu menerkam dan mencerai-beraikan domba-domba itu. Ia lari karena ia seorang upahan dan tidak memperhatikan domba-domba itu” (Yohanes 10:12-13). Yesus Kristus dengan tegas mengatakan kepada kita semua, “Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan. Akulah gembala yang baik. Gembala yang baik memberikan nyawanya bagi domba-dombanya. Akulah gembala yang baik dan Aku mengenal domba-domba-Ku dan domba-domba-Ku mengenal Aku…” (Yohanes 10:10-11,12).
Saudara-saudara umat Baptis dan para undangan yang mulia dan terhormat, dalam melaksanakan mandat dan kepercayaan umat Tuhan, kami terus mengalami tekanan demi tekanan dan tantangan demi tantangan, penghinaan, caci-maki, ketika kami berbicara tentang hak-hak hidup umat Tuhan, berbicara keadilan dan perdamaian, kebebasan serta demokrasi.
Dalam memperjuangkan keadilan, perdamaian, demokrasi dan hak-hak asasi manusia, terus diancam, diintimidasi dan diteror secara terbuka. Salah satu contoh nyata ialah pada tanggal 16 Mei 2006, Mobil Persekutuan gereja-gereja Baptis Papua dihancurkan oleh BRIMOB di Abepura Jayapura. Mobil ini dihancurkan dengan asalan bahwa dalam mobil itu ditemukan bom Molotov dan air mineral untuk mendukung para masyarakat dan mahasiswa Papua yang mengadakan demonstrasi. Saya diminta dan dipaksa oleh pihak POLDA Papua untuk diberikan kesaksian. Tetapi, saya menolaknya dengan alasan, saya tidak harus menjadi saksi atas mobil saya yang dihancurkan orang-orang yang tidak bertanggungjawab itu.
Saudara-saudara warga Baptis yang terkasih, kepentingan umat Tuhan mutlak menjadi perhatian yang utama, terutama dan terpenting. Karena, manusia adalah umat ciptaan Tuhan, “Berfirman Allah: “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita” (Kejadian 1:26). Yesus Kristus rela mati di kayu salib juga karena kepentingan manusia. Amanat Agung Yesus Kristus untuk Pekabaran Injil di seluruh dunia juga karena kepentingan umat manusia. Mahatma Gandhi di India berbicara untuk kepentingan manusia. Marthen Luther King Jr, di Amerika Serikat berbicara untuk kepentingan manusia. Nelson Mandela di Afrika Selatan berbicara untuk kepentingan manusia. Uskup Desmon Tutu di Afrika Selatan berbicara untuk kepentingan manusia. Uskup Belo di Timor Timur (Timor Leste) berbicara untuk kepentingan manusia. Dumma Socratez Sofyan Yoman bersuara di Tanah Papua juga untuk kepentingan umat manusia.
Gereja Baptis hadir di Tanah Papua dalam kehidupan umat yang diperhadapkan dengan berbagai masalah gereja, sosial, kesehatan, ekonomi, budaya, agama, politik, hukum, HAM dan lingkungan hidup. Dalam situasi dan kondisi yang kompleks dengan masalah hidup ini, suara dan pesan kenabiaan dari Gereja sangat dibutuhkan. Gereja tetap setia dan konsisten dalam menyuarakan dan memperjuangkan keadilan, kebenaran, hak-hak asasi manusia, dalam rangka pembebasan dan perdamaian bagi seluruh umat Tuhan di Tanah Papua dalam semangat (spirit) Papua Tanah Damai. Kebenaran, keadilan, kedamaian yang membebaskan dan memerdekaan itu harus menjadi milik semua umat Tuhan, siapapun orangnya, dari mana asalnya, suku apa saja.
Badan Pelayan Pusat juga menyadari bahwa Gereja Baptis Papua mulai terjadi pengaburan sejarah pelayanan para pahlawan iman, maka Badan Pelayan Pusat (BPP) berinisiatif mengumpulkan para pelaku sejarah sebanyak 665 orang di Magi pada tanggal 20-25 Nopember 2006. Sejarah itu dihimpun dengan baik oleh pelaku-pelaku sejarah sendiri. Ada yang menilai dan mengatakan bahwa “membuat sejarah gereja bukan di sudut-sudut atau pinggir-pinggir kampung”. Tetapi, saya menegaskan dalam kesempatan ini bahwa memang Persekutuan Gereja-gereja Baptis Papua lahir dipinggir-pinggir kampung, yaitu di Tiom pada tanggal 28 Oktober 1956 dan secara organisasi lahir di Magi pada tanggal 14 Desember 1966. Itu fakta sejarah yang sulit kita ingkari dan hilangkan. Yesus Kristus adalah Sang Raja, Sang Penebus, Gembala Agung, Raja Ajaib, Guru Agung, Raja Damai, Allah Perkasa, juga lahir dalam kampung yang kecil bernama Betlehem, di kandang yang hina. Jadi, Gereja Baptis juga lahir di kampung kecil, terpencil di Tiom dan Magi. Tiom, Magi dan Wamena adalah daerah terpencil. Tetapi, mereka adalah jantung dan paru-parunya Tanah Papua, dulu Tanah Surga tetapi sekarang menjadi tanah konflik.
Perlu diketahui bahwa telah memilih tempat penulisan sejarah, tempat terpencil di Magi dengan pertimbangan masalah biaya, karena jumlah peserta adalah 665 pelaku sejarah. Magi adalah tempat bersejarah, tempatnya lebih sentral dengan mudah dijangkaui oleh pelaku sejarah dengan berjalan kaki. Selanjutnya, perlu diingat oleh kita semua sebagai hamba-hamba Tuhan dan umat Baptis bahwa yang terpenting ialah misi dan tujuan penulisan sejarah dapat diwujudkan dengan hati yang tulus, jujur dan komitmen yang terfokus untuk kemuliaan nama Tuhan Yesus Kristus. Kami berterima kasih kepada orang-orang Baptis yang amat peduli dengan penulisan sejarah gereja Baptis ini.
Jadi, Saudara-saudara seiman sebagai warga Baptis, setelah berhasilnya ditulis sejarah pelayanan dan pekerjaan Gereja Baptis di Tanah Papua, bahwa kita mengetahui bagaimana gereja Baptis bertumbuh dan berkembang. Anak-anak dan cucu kita ke depan akan melihat dan menyaksikan sejarah mereka sebagai anak Baptis. Sejarah sebagai pagar sudah dibangun supaya sejarah ini menjadi saksi dan menjaga identitas dan status Gereja Baptis ke depan. Karena sejarah sudah ditulis, dengan demikian, tidak ada orang yang akan memanipulasi sejarah umat Baptis dan karya umat Baptis di Tanah ini.
Saudara-saudara warga Baptis yang saya kasihi, perlu kita sadari bersama, renungkan baik-baik pengalaman kita sejak tahun 1 Mei 1963 sampai tahun 2008 sekarang ini. Umat Tuhan di Tanah Papua ditempatkan sebagai musuh (rival) dari penguasa Negara ini dengan stigma lama seperti anggota OPM, separatis dan pembuat makar. Maka konsekwensi logisnya ialah umat Tuhan yang dituduh itu ditangkap, dipenjarakan, disiksa, diculik, ditembak, diperkosa. Martabat dan kehormatan umat Tuhan terus terusik dan terinjak-injak dengan tindakan arogansi dan kesewenang-wenangan penguasa. Pengalaman pahit, darah dan air mata umat Tuhan terus bercucuran di depan mata pemimpin-pemimpin gereja, pendeta-pendeta sebagai gembala umat Tuhan ini. Ini kondisi nyata yang sulit dibantah. Karena itu, gereja sebagai “agen” Tuhan di muka bumi ini harus melangkah dan bertindak dalam doa dan aksi nyata. Tinggalkan sikap berdansa-dansa di atas penderitaan umat Tuhan di Tanah ini.
Untuk menghentikan kekerasan, penindasan, eksploitasi dan diskriminasi terhadap umat Tuhan, domba-domba Allah, gereja harus bertindak dan melangkah dengan mempromosikan Papua sebagai “Tanah Damai” dan memperjuangkan keadilan, perdamaian dan demokrasi di berbagai tingkatan dan level bahkan dalam berbagai kesempatan dan forum baik dalam lingkup lokal, regional, nasional dan internasional. Terbuka dan jujur saja, untuk memperjuangkan keadilan, perdamaian, kebebasan, demokrasi dan hak asasi manusia membutuhkan tenaga, waktu, pikiran, konsentrasi, fokus, komitmen, ketulusan hati.
Anggota Baptis sebagai orang-orang kudus yang saya hargai, Yesus Kristus merelakan diri dan korban di kayu salib adalah harga yang SANGAT MAHAL yang dibayar Yesus Kristus hanya untuk misi mulia dan suci yaitu tegaknya keadilan, tercipatnya perdamaian abadi, kebebasan, kedaulatan dan kemerdekaan umat manusia dari belenggu dosa, dan mengangkat martabat dan hak asasi manusia. Tidak ada orang yang diberikan hak dan mandat untuk menindas, membelenggu dan mengakhiri hidup sesama manusia dengan alasan apapun. Saudara-saudara, percaya atau tidak, akui atau tidak, dalam kurun waktu, tahun 2002 – 2008, Persekutuan Gereja-Gereja Baptis Papua telah membuktikan jati dirinya sebagai Gereja Tuhan yang benar-benar bepihak kepada umat Tuhan yang terindas di Tanah Papua tanpa memandang denominasi gereja atau tanpa memandang suku. Dalam sambutan-sambutan resmi dan juga pertemuan-pertemuan formal, di berbagai media cetak dan elektronik, saya atas nama warga Baptis selalu menegaskan bahwa. “di Tanah Papua Barat tidak ada anggota OPM, Separatis dan Makar, tetapi yang ada adalah umat Tuhan yang ditempatkan Tuhan di tanah ini”.
Dalam semangat memperjuangkan keadilan, perdamaian, keselamatan, kebebasan, demokrasi, dan hak-hak asasi manusia, gereja Baptis tidak bersifat frontal atau bersifat melawan, tetapi sampaikan suara kenabiaan dengan cara-cara rohani, benar, adil, simpatik, terhormat, kritis dan bertanggungjawab. Kalau salah, gereja Baptis mutlak katakan salah dan kalau benar, gereja Baptis juga harus katakan benar dengan otoritas dan kuat kuasa Tuhan. Gereja tidak bisa dijadikan bagian dari alat penindas dan Gereja Baptis juga tidak boleh dijadikan obyek politik kepentingan sesaat (kesementaraan).
Warga Baptis yang saya hormati, kekurangan dan kelemahan yang kita lihat selama 42 tahun sejak tahu 1966 -2008 ini, kita refleksikan bersama, renungkan bersama dan memperbaiki bersama untuk pelayanan gereja Tuhan ke depan lebih efektif, efisien, terhormat, bermartabat dan gereja yang memuliakan Tuhan dan gereja yang benar-benar melaksananakan Amanat Agung Yesus Kristus. Apabila kita melihat ada nilai-nilai positif selama kurun waktu 42 tahun itu, mari kita tingkatkan lebih baik lagi demi kepentingan pelayanan dan perluasan Kerajaan Allah di bumi ini.
Umat Tuhan yang saya hormati, Persekutuan Gereja-gereja Baptis Papua telah mengakhiri 42 Tahun Gereja Baptis di Tanah Papua. Sejarah telah terukir secara kokoh dan kuat. Keberhasilan dan kegagalan telah menjadi realita sejarah Gereja yang tetap tertulis yang akan dibaca dan dilihat dan menjadi jati diri dan identitas anak dan cucu kita ke depan. Ke depan anak-anak dan cucu-cucu kita tidak akan menjadi penonton di negeri dan Tanah ini, Tanah Papua Barat. Tetapi, mereka akan menjadi orang-orang beriman, bermoral, berwatak, berilmu, profesional dan memiliki integritas dan kemampuan unggul yang turut menentukan masa depan gereja, umat Tuhan dan masyarakat. Karena itu, keberhasilan 42 tahun silam dijadikan barometer yang turut menentukan masa depan gereja Baptis dan umat Tuhan. Sedangkan, kegagalan yang kita alami di masa lalu, kita bersama-sama dapat memperbaiki dengan hati yang tulus dan jujur sebagai anak-anak Tuhan, sebagai hamba-hamba Tuhan, sebagai gembala-gembala dan sebagai pendeta-pendeta. Supaya kesalahan dan kegagalan itu tidak terulang lagi kembali.
Warga Baptis yang Tuhan Yesus kasihi, Persekutuan Gereja-gereja Baptis Papua sudah memasuki dan sedang berada dalam era perkembangan dan perubahan global yang penuh dengan tantangan dan juga peluang-peluang dan harapan. Perubahan dan tantangan itu tentu saja berdampak baik dan buruk yang turut mempengaruhi pelayanan dan pekerjaan Tuhan. Contoh: Hamba Tuhan bisa tinggalkan tugas sebagai gembala dan pergi ke ladang lain. Akibatnya, jemaat sebagai domba-domba Allah menjadi terlantar, tanpa gembala. Karena, tugas gembala dilihat sebagai tempat yang kering dan gersang yang tidak membawa keuntungan-keuntungan secara ekonomis. Karena itu, sebagai umat Baptis dan bagian dari masyarakat yang terus berubah dan berkembang dan sedang menikmati kemajuan dan meraih peluang-peluang itu, kita jangan tertinggal. Mulai dari 42 tahun Persekutuan Gereja-gereja Baptis Papua ini,marilah kita tegakkan Moto Umat Baptis, “Satu Tuhan, Satu Iman, Satu Baptisan” One Lord, One Faith, One Baptist(Efesus 4:5 ) dalam kata, langkah dan tindakan untuk memajukan Gereja Tuhan di Tanah Papua.
Penyatuan dalam kata, langkah dan tindakan itu dengan tujuan, Gereja Baptis harus mandiri dalam teologi (iman), mandiri dalam daya (sumber daya manusia) dan mandiri dalam dana (keuangan/financial). Kita harus perkuat dan pertajam enam kebijakan pokok, PENGINJILAN, PENDIDIKAN, KESEHATAN, EKONOMI, PERJUANGAN KEADILAN DAN PERDAMAIAN, SERTA HAK ASASI MANUSIA. Semua program ini akan terdukung kalau ekonomi umat Baptis baik dan stabil. Maka pada gilirannya hamba-hamba Tuhan dan pendeta-pendeta tidak beralih tugas, fungsi dan panggilan. Karena, jemaat mampu dan sanggup membiayai biaya hidup gembala sidang setempat. Ada filosofi hidup orang ekonom ialah siapa yang menguasai ekonomi dunia dia-lah yang mampu dan sanggup mengendalikan perubahan dunia ini. Siapa yang menguasai ilmu pengetahuan dengan baik, maka dia-lah yang mampu mengendalikan perubahan dan perkembangan dunia ini.
Saudara-saudara warga Baptis yang Tuhan Yesus kasihi dan saya hormati, kebebasan berpikir, bertindak, dan kebebasan menyatakan pendapat setiap pribadi umat Baptis harus kita junjung tinggi, kita kawal dan kita mengelola dengan simpatik dan bermartabat sebagai bagian dari proses pengembangan kebebasan berdemokrasi umat Baptis. Tidak ada paksaan dan tidak ada tekanan dari pemimpin atau orang-orang tertentu. Berikan kesempatan setiap orang menyatakan pendapatnya sesuai dengan bisikan roh Tuhan dan hati nurani yang murni dan suci. Tidak boleh kita melukai dan mencederai hati nurani, pikiran dan pendapat setiap anggota umat Baptis. Karena, setiap anggota umat Baptis mempunyai hak, mempunyai kedaulatan dan kemerdekaan yang tidak boleh diganggu oleh pihak lain.
Saudara-saudara warga Baptis yang mulia, umat Baptis di Tanah Papua, harus tampil sebagai agen perubahan, agen reformasi, agen demokrasi, agen keadilan dan agen perdamaian dan Gereja Misioner. Gereja Baptis Papua harus memainkan peran penting dalam mendukung reformasi birokrasi dalam bidang kehidupan dan mendukung serta mengawal demokrasi di Indonesia. Persekutuan Gereja-gereja Baptis Papua jangan menjadi bagian dari yang melukai dan mencederai perjuangan reformasi dan nilai demokrasi. Dalam semangat dan spirit ini, umat Baptis dalam keterlibatannya menentukan hak hidup, tidak ada yang menghalangi dan tidak ada yang mempengaruhi. Hak kebebasan berpendapat dan berpikir, bertindak sebagai proses demokrasi harus dikawal merupakan kekuatan bagi umat Baptis. Gereja Baptis harus menjadi barometer proses reformasi di Papua.
Umat Baptis bagian dari rakyat yang terus terlibat dalam pesta demokrasi pemilihan anggota DRPD, DPRP, MRP, Gubernur dan Bupati, saya menghimbau seluruh umat Baptis, suara umat Baptis jangan dibeli dengan uang. Jangan digadaikan dengan janji-janji palsu dan omong kosong. Tetapi, kebebasan, demokrasi, keadilan, kejujuran, kebenaran, harus menjadi pilar penting dalam menentukan pilihan sebagai ungkapan hati nurani berdasarkan bisikan roh ilahi yang hidup dalam setiap kehidupan umat manusia untuk memilih pemimpin dan wakil mereka.
Sebelum mengakhiri sambutan ini, perlu disampaikan bahwa Persekutuan Gereja-gereja Baptis Papua adalah anggota resmi Aliasi Baptis Se-Dunia (Baptist World Alliance) yang bermarkas di Virginia, Amerika Serikat, yang berpendirian teguh pada landasan Alkitab sebagai otoritas tertinggi dan perjuangan keadilan, kebebasan dan hak-hak asasi manusia. Maka Gereja Baptis Papua dalam menghadapi tuntutan penyelesaian permasalahan yang dihadapi umat Tuhan di Papua, Gereja Baptis Papua tetap bersama-sama para pimpinan Agama dan pimpinan Gereja dan bersama rakyat Papua bahwa betapapun sulit dan sensitifnya masalah Papua, harus diselesaikan dengan pendekatan dialog yang jujur dan adil tanpa syarat antara Rakyat Papua dan Pemerintah Indonesia yang dimediasi oleh pihak ketiga yang lebih netral. Sebagai wujud dan semangat kebersamaan itu, Persekutuan Gereja-gereja Baptis Papua juga berada pada posisi pernyataan-pernyataan di bawah ini.
- Pada tanggal 3 Mei 2007, Gereja-gereja di Tanah Papua menyatakan Pelaksanaan Otonomi Khusus di Papua menjadi masalah baru dan mengalami kegagalan maka solusinya ialah “Dialog yang jujur dan damai seperti penyelesaian kasus Aceh. Dialog tersebut dimediasi oleh pihak ketiga yang netral dan yang diminta dan disetujui oleh orang asli Papua dan Pemerintah Indonesia”.
- Pada tanggal, 3-7 Desember 2007, seluruh Pimpinan Agama dan Gereja dalam Loka Karya Papua Tanah Damai mendesak Pemerintah Indonesia, “ Segera menyelesaikan perbedaan ideologi di Papua dengan sebuah dialog yang jujur dan terbuka antara Pemerintah Pusat dan Orang Asli Papua dengan melibatkan pihak ketiga yang netral dan disetujui oleh kedua belah pihak”.
- Pada tanggal, 14-17 Oktober 2008, Konferensi Gereja dan Masyarakat menyatakan, “Pemerintah Pusat segera membuka diri bagi suatu dialog antara Pemerintah Indonesia dan Orang Asli Papua dalam kerangka evaluasi pelaksanaan UU No. 21 tahun 2001 tentang OTSUS dan Pelurusan Sejarah Papua. Menghentikan pernyataan-pernyataan stigmatisasi ‘separatis, TPN, OPM, GPK, makar’ dan sejenisnya yang dialamatkan kepada orang asli Papua dan memulihkan hak dan martabatnya sebagai manusia ciptaan Tuhan sehingga azas praduga tak bersalah harus sungguh-sungguh ditegakkan”.
- Pernyataan Keprihatinan Para Pimpinan Gereja Di Tanah Papua pada tanggal 18 Oktober 2008: “untuk mencegah segala bentuk kekerasan dan agar orang Papua tidak menjadi korban terus-menerus, kami mengusulkan agar masalah PEPERA 1969 ini diselesaikan melalui suatu dialog damai. Kami mendorong pemerintah Indonesia dan orang Papua untuk membahas masalah PEPERA ini melalui dialog yang difasilitasi oleh pihak ke tiga yang netral. Betapapun sensitifnya, persoalan Papua perlu diselesaikan melalui dialog damai antara pemerintah dan orang Papua. Kami yakin bahwa melalui dialog, solusi damai akan ditemukan”.
Pesan dan posisi Para Pimpinan Agama dan gereja-gereja di Tanah Papua Barat ini jelas, bahwa masalah status politik Papua harus diselesaikan dengan jalan dialog damai dan jujur tanpa syarat antara Pemerintah Indonesia dan Rakyat Papua yang dimediasi oleh pihak ketiga yang dapat diterima oleh kedua belah pihak. Para pimpinan Agama, terutama para pemimpin Gereja di Papua tidak akan mengubah sikap dan posisi ini, karena Gereja adalah benteng terakhir untuk menjaga dan melindungi integritas umat manusia. Karena manusia adalah ciptaan dan gambar Allah, “Berfirmanlah Allah: “Marilah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita” (Kejadian 1:26).
Adapun catatan kritis dan reformatif bagi Persekutuan Gereja-gereja Baptis Papua secara khusus sebagai berikut:
- Dalam kegiatan-kegiatan Gerejani dan Rohani seperti: Membuka Kongres, Konferensi, harus dibuka dan ditutup oleh Pemimpin Gereja dan Pemerintah hanya diundang sebagai mitra dan diberikan kesempatan untuk menyampaikan sambutan dalam spirit kemitraan itu.
- Dalam acara peletakan batu pertama pembangunan gedung ibadah (gedung gereja) atau membuka/meresmikan gedung-gedung gereja dilakukan oleh pemimpin Gereja, dan Pemerintah hanya diundang untuk hadir dalam semangat kemitraan.
- Dalam melaksanakan kegiatan gereja dan rohani tidak perlu dan tidak penting Ijin dari Pemerintah, dalam hal ini pihak Kepolisian, karena Gereja tidak berada dibawa kekuasaan Pemerintah, karena Pemerintah dan gereja mempunyai otoritas masing-masing dan domain yang berbeda.
- Gereja dan Agama tidak perlu dan tidak penting di-“Departemen”-kan, tetapi eksistensinya cukup didaftarkan kepada Lembaga yang terkait, yaitu Departemen Agama Provinsi dan selanjutnya urusan Departemen Agama kepada Departemen Agama Pusat.
Karena Gereja tidak didirikan oleh Pemerintah dunia, tetapi Tuhan-lah yang mendirikan Gereja-Nya: “ Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan Jemaat-Ku dan alam maut tidak akan menguasainya” (Matius 16:18).
Dalam kesempatan ini juga, saya berpesan bahwa: “Kita sebagai umat Baptis harus menghargai apa yang kita miliki. Kita harus memulai dari apa yang ada pada kita. Kita harus membangun dengan apa yang kita miliki yang telah diberikan oleh Allah kepada leluhur dan nenek moyang kita di Tanah ini. Kita harus memulai dari Tanah Suci ( The Holly Land) Tanah Papua Barat ini. Kita harus meminum air dari sumur kita sendiri. Dengan demikian kita menemukan kembali identitas kita yang mulai hilang. Kita harus menghargai diri kita sendiri. Menerima diri kita sendiri. Kita membangun dengan budaya kita, bahasa kita, makanan kita. Karena, kita punya tanah, punya hutan, punya sungai, punya gunung, punya makanan. Kita memiliki segala-galanya. Kita bukan keturunan orang miskin. Kita adalah anak-anak Raja, anak-anak Allah yang kaya. Jangan jual tanah, jangan jual gunung, jangan jual hutan, jangan jual air, jangan lepaskan tanah dengan harga sepiring sendok nasi atau segelas air teh manis. Jangan melantarkan anak-anak dan cucu kita. Anak-anak dan cucu kita akan menjadi tamu di tanah dan negeri mereka sendiri. Ketika jual tanah kita, pada saat itu juga kita telah menjual tulang-belulang leluhur, nenek-moyang dan menjual hak kesulungan kita. Kita jangan mengulangi kesalahan fatal yang dilakukan Esau”. Sahut Esau: “Sebentar lagi aku akan mati; apakah gunanya bagiku hak kesulungan itu? (Kejadian 25:29-34).
Akhirnya: Atas nama Badan Pelayan Pusat Persekutuan Gereja-gereja Baptis Papua, saya menyampaikan: SELAMAT MELAKSANAKAN HUT PGBP KE-42 PADA TANGGAL 14 DESEMBER 2008, SELAMAT MEMPERINGATI HARI HAM INTERNASIONAL 10 DESEMBER 2008. SELAMAT MERAYAKAN NATAL 25 DESEMBER 2008 DAN MEMASUKI 1 JANUARI 2009.
Badan Pelayan Pusat Persekutuan Gereja-gereja Baptis Papua
Dumma Socratez Sofyan Yoman
Ketua Umum
0 Komentar Anda:
Post a Comment
Your Comment Here