JUBI/news---Perdana Menteri Selandia Baru, John Key diminta tak boleh
mengabaikan penderitaan yang sedang berlangsung, pembunuhan dan
pembatasan hak dasar dan kebebasan berekspresi di Papua Barat saat ia
menemui pemimpin Indonesia di Jakarta minggu ini.
PM NZ Jhon Key (foto Simbio) |
Hal ini disampaikan oleh Komite HAM untuk Indonesia di Selandia Baru kepada tabloidjubi.com, Sabtu (14/04).
"Pagi
ini, laporan media memberitakan John Key akan mengunjungi Indonesia
untuk mendorong hubungan bilateral kedua negara agar lebih "hangat"."
kata Maire Leadbeater, salah satu anggota Komite HAM tersebut.
Kunjungan
PM Selandia Baru, John Key ini, hanya berselang beberapa hari setelah
kunjungan PM Inggris David Cameron, yang mengumumkan pembaharuan
penjualan senjata Inggris kepada Indonesia dengan alasan bahwa Indonesia
sudah mengalami 'kemajuan demokrasi'. Langkah Cameron ini telah dikutuk
oleh kelompok hak asasi manusia sebagai ancaman bagi kepentingan rakyat
Papua Barat, yang terus menerima kekerasan militer Indonesia selama
beberapa dekade.
"Selandia Baru memiliki tanggung jawab khusus
untuk tidak melupakan tetangga Melanesia kami di Papua Barat. Kita tidak
boleh mengabaikan masalah HAM yang sedang berlangsung, dalam
terburu-buru untuk mengakui perubahan positif yang terjadi di Indonesia
pasca Soeharto." sebut Maire Leadbeater, juru bicara Komite ini.
Masih
menurut komite yang dikenal dengan sebutan Indonesia Human Rights
Committee (IHRC) ini, Indonesia mempertahankan kehadiran militer dengan
sangat tidak proporsional di Papua Barat - termasuk Pasukan Khusus
(Kopassus) dan membatasi akses luar terhadap informasi dari Papua. Namun
video dan teknologi digital membuat laporan pelanggaran tidak dapat
dengan mudah ditekan.
Selain kepada PM John Key, IFRC juga
menyurat kepada Menteri Luar Negeri Mc Cully untuk mendorong PM John Key
berbicara pada pemerintah Indonesia tentang peristiwa pada bulan
Oktober 2011, ketika Kongres Rakyat Papua III dilangsungkan. Sebab
Kongres yang dihadiri oleh ribuan orang Papua ini dibubarkan dengan
kekerasan oleh pasukan polisi dan tentara yang melepaskan tembakan dan
menewaskan sedikitnya tiga orang. Dan sekitar 17 personil polisi hanya
menerima 'sanksi administratif' tapi tidak ada yang bertanggung jawab
atas kematian atau kekerasan yang dilakukan oleh aparat keamanan saat
itu. Akibat dari kekerasan tersebut, setidaknya 90 orang terluka dan 300
orang ditangkap. Pada bulan Maret, 5 orang pemimpin Papua telah
dijatuhi hukuman 3 tahun penjara karena keterlibatan mereka dalam KRP
III yang sesungguhnya berlangsung dengan penuh kedamaian.
"Indonesia
adalah penandatangan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan
Politik (ICCPR), yang menjamin hak kebebasan berekspresi dan berkumpul
secara damai dan konstitusi Indonesia juga melindungi hak-hak ini.
Karena itu kami minta John Key untuk mengangkat masalah ini dalam
pertemuan dengan perwakilan Pemerintah Indonesia." kata Maire Leadbeater
Lanjutnya,
John Key seharusnya menyadari banyak kritik dari proses persidangan dan
adanya tekanan dari pasukan keamanan selama berlangsungnya sidang.
IHRC
menyebutkan Selandia Baru harus memanfaatkan hubungan yang erat dengan
Pemerintah Indonesia untuk mendesak Indonesia melepaskan semua tahanan
yang dihukum karena kegiatan politik secara damai dan kebebasan
berekspresi. Selandia Baru juga harus mendesak akses terbuka ke Papua
Barat bagi jurnalis dan pekerja kemanusiaan. (Jubi/Victor Mambor)
0 Komentar Anda:
Post a Comment
Your Comment Here