MANOKWARI, KOMPAS.Com - Dewan Adat Papua Wilayah III Manokwari menolak pembentukan Majelis Rakyat Papua (MRP) Provinsi Papua Barat, karena dinilai tak sesuai Undang-undang Otonomi Khusus Papua. MRP Papua Barat pun dianggap ilegal karena dasar hukum belum ada.
Penolakan dilakukan dengan mendatangi lokasi pertemuan MRP Papua Barat di Hotel Mansinam Beach, lalu menemui perwakilan anggota DPR Papua Barat, Senin (6/6/2011).
Sekretaris Umum Dewan Adat Papua (DAP) Wilayah III Manokwari, Zeth Rumbobiar, mengatakan, rakyat tidak menyetujui jika ada dua MRP di tanah Papua. Sebab, MRP adalah lembaga berbasis kultural dan bukan lembaga yang mengurusi pembangunan atau pemerintahan di Papua.
Oleh karena itu, meski di tanah Papua ada dua provinsi, MRP tetap hanya ada satu karena fungsinya adalah menampung semua masalah seluruh masyarakat adat di tanah Papua.
"Jangan ada kepentingan lain di MRP, selain kepentingan rakyat adat Papua. Jadi, sebelum membentuk MRP Papua Barat, sebaiknya tanyakan apakah rakyat setuju atau tidak," kata Zeth.
Ferdinanda Ibo Yatipai, selaku Ketua Solidaritas Perempuan Papua dan juga mantan anggota DPD RI, mengatakan, rakyat memberi mosi tidak percaya kepada 33 anggota MRP yang dipilih dari wilayah Papua Barat. Upaya anggota MRP membentuk MRP Papua Barat adalah tindakan yang tidak tepat dan tidak jelas tujuannya, sebab dasar pembentukan MRP adalah kesatuan kultur, sehingga tak bisa dibagi-bagi atas dasar wilayah.
Dia mengingatkan, MRP seharusnya memberi perlindungan dan keberpihakan kepada orang asli Papua. " Harusnya bentuk sekretariat di tiap daerah, bukan malah membentuk MRP baru. Jika sampai terbentuk, itu berarti MRP ilegal," ujar Ferdinanda.
Anggota DPR Papua Barat, Jimmy D Ijie, juga mengatakan keputusan membentuk MRP Papua Barat tidak tepat. Dia melihat adanya kesan anggota MRP dari wilayah Papua Barat tidak independen, dan mendapat intervensi pihak legislatif. Campur tangan itu terkait dengan upaya memuluskan jalan salah satu kandidat petahana, terkait persyaratan pasangan calon.
Itu terlihat dari pertemuan yang dilakukan 27 dari 33 anggota MRP dengan Gubernur Papua Barat Abraham O Atururi, Jumat (3/6/2011) lalu, sebelum MRP Papua Barat menentukan pimpinan sementara.
Rencananya, pekan ini 33 anggota MRP Papua Barat akan memilih ketua definitifnya. " Dalam surat Menteri Dalam Negeri tanggal 8 Desember 2010 juga tidak disebutkan perlu dibentuk MRP Papua Barat," kata Jimmy.
Sebelumnya, Kepala Badan Kesatuan Bangsa Politik dan Perlindungan Masyarakat Papua Barat, Soleman Sikirit, menjelaskan, MRP Papua Barat memang perlu dibentuk. Sebab, di Pasal 5 UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang otonomi khusus Papua, kedudukan MRP di ibu kota provinsi.
Demikian pula yang tertuang di Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2004 tentang MRP, yang lalu dijelaskan dalam surat Mendagri bahwa MRP harus membentuk MRP Papua Barat di wilayah itu.
Polemik MRP di Papua Barat terus berlanjut. Sebelumnya, soal porsi anggota dan anggota MRP yang terpilih sempat dipermasalahkan. Kini keberadaan MRP, yang lengkap dengan perangkat definitifnya, menjadi penentu pilkada di Papua Barat. Salah satu penyebab jadwal pilkada molor, karena MRP belum memiliki ketua difinitif yang berhak memberika putusan rekomendasi syarat asli orang Papua.
Namun, Ferdinanda menegaskan, aksi penolakan pembentukan MRP Papua Barat tidak terkait pilkada ataupun kandidat mana pun. "Kami hanya ingin MRP satu, seperti kesepakatan yang pernah dibuat oleh Gubernur Papua dan Gubernur Papua Barat tahun 2007 lalu," tambahnya.
Source: Kompas
0 Komentar Anda:
Post a Comment
Your Comment Here