JAYAPURA–Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Papua menilai SK MRP No. 14 Tahun 2009 tentang bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota harus orang asli Papua hanya mereduksi semangat berdemokrasi dan menanam bibit konflik baru di Tanah Papua.
“SK MRP itu bisa dicap sebagai pemicu atau pengganggu keamanan di Papua karena sangat mengejutkan publik, bahkan waktunya tidak tepat sekali,” ungkap Ketua BEM Papua, Yan Matuan kepada Cenderawasih Pos di Jayapura, baru-baru ini.
Menurut Yan Matuan, hampir 5 tahun belakangan ini, performa Majelis Rakyat Papua (MRP) sangat buruk, bahkan tidak pernah menujukkan kinerja yang sangat signifikan bagi masyarakat asli Papua sendiri, sebab MRP sebagai lembaga representatif kultur yang diberikan wewenang khusus UU Otonomi Khusus No 21 tahun 2001 tidak mampu menjabarkan tugas dan wewenang untuk memproteksi, empowering serta bertindak affirmative action terhadap hak-hak orang asli Papua. Merke sudah gagal, bahkan kehilangan roh karena tidak mempunyai agenda yang jelas (sence of crisis).
”Semestinya MRP sudah dari dulu menyempurnakan aturan dalam Perdasi/Perdasus supaya UU Otsus bisa disosialisasikan dan dioperasikan serta bisa berjalan lancar bahkan itu perlu waktu panjang,” ungkapnya.
Ironisnya, lanjut Yan Matuan, MRP baru mengeluarkan SK No. 14 itu, sementara proses tahapan Pemilukada sudah mulai berjalan sehingga selama 5 tahun belakangan ini apa yang dikerjakan oleh MRP. ”Maka ini menjadi timbul pertanyaan bagi masyarakat,”ujarnya
Diungkapkan, MRP mau beraksi menunjukkan taringnya saat mau masa keanggotan MRP berakhir, sehingga hal ini bisa jadi malapetaka di Papua karena rakyat Papua bersimbah dalam karnaval kekacauan dan kemunafikan oleh pelawak elite politik Papua serta penguasa pemerintah pusat di Jakarta.
Oleh karena itu, keberadaan SK MRP itu ditafsirkan sebagai manifestasi krisis kepercayaan publik atas track record atau semacam sikap paranoid mengingat jabatan itu akan berakhir sehingga perlu penambahan kekuatan politik demi mendulang simpati rakyat untuk memuluskan jabatan dan kekuasaan akan datang.
”Apapun aksi MRP itu selalu mengundang kontroversi dan kecurigaan politik Jakarta karena lebih sibuk bermanufer politik, mengupas ideology bahkan sering tidak memberi manfaat bagi orang Papua. MRP lebih sering terjebak dalam kungkungan interest elite dan penguasa Jakarta dalam permainan hitungan angka dan aturan,”imbuhnya.
Dengan demikian, pihaknya berpendapat bahwa keberadaan SK MRP itu tidak ada implikasi dan efek pemanfaatan atau membawa keberuntungan bagi rakyat Papua, justru malah mengundang kericuhan atau gangguan keamanan, sehingga Pemilukada bisa ditunda sesuai jadwal.
“Perbuatan itu bisa dikategorikan masuk dalam gangguan keamanan sesuai ketentuan pasal 149 ayat 1 dan 2 PP No 6 tahun 2005 tentang pemilihan, pengesahan, pelantikan dan pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah di Papua,” ujarnya.
”Sebenarnya banyak agenda yang belum dituntaskan, namun sudah menciptakan persoalan baru di Papua, sehingga MRP bisa dikatakan sebagai pemuci konflik bagi masyarakat sendiri di Papua karena melakukan resistensi terhadap prinsip demokrasi serta sudah menghambat tujuan dan cita-cita bangsa Indonesia untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur,” pungkasnya. (nal/fud)
(scorpions)
UN expert in Israel genocide accusation says she has been threatened
-
Middle East Monitor, March 27, 2024
[image: Francesca Albanese on January 03, 2024 in Ariano Irpino, Italy.
[Ivan Romano/Getty Images]]
Francesca ...
7 hours ago
0 Komentar Anda:
Post a Comment
Your Comment Here