SUARA BAPTIS PAPUA

Dukung Aksi Perdamaian Atas Kekerasan di Papua Barat.
Jika Anda Peduli atas kemanusiaan Kaum tertindas di Papua barat Mohon Suport di sini:

Please donate to the Free West Papua Campaign U.K.
Kontribusi anda akan kami melihat ada perubahan terhadap cita-cita rakyat papua barat demi kebebasan dan kemerdekaannya.
Peace ( by Voice of Baptist Papua)

Home » , , , » Majelis Rakyat Papua: Pilar Ketiga Penyelengaraan Pemerintahan di Papua

Majelis Rakyat Papua: Pilar Ketiga Penyelengaraan Pemerintahan di Papua

Written By Voice Of Baptist Papua on February 27, 2011 | 9:57 AM


Opini:
By, Amiruddin al Rahab

“MRP bukanlah lembaga yang berada di domain politik, kita akan terus mendukung lembaga itu mengembangkan budaya dan kehidupan sosial yang bercirikan kebudayaan Papua,”
(Presiden, 5 Maret 2008)

1. Pengantar:

Hubungan antara Papua dengan pemerintah pusat merupakan pergulatan politik yang serius dalam sepuluh tahun ini. Pergulatan itu telah menguras energi sosial, ekonomi, politik, dan kultural yang tidak sedikit pula. Sesungguhnya pergulatan itu telah berlangsung sedari awal sejak Indonesia menyatakan berdaulat atas Papua.

Otonomi Khusus yang diberikan kepada Papua melalui UU N0.21/2001 sejatinya adalah untuk mengakhiri pergulatan tersebut. Salah satu instrumen yang dipakai untuk itu adalah didirikannya Majelis Rakyat Papua (MRP). Sayangnya setelah berdiri dan bekerja selama 3 tahun MRP belum berhasil menjadi sarana untuk menghentikan pergulatan politik tersebut.

Tulisan ini bertujuan untuk melihat peran MRP sebagai lembaga politik formal (supra struktur politik) di tingkat provinsi dalam memperkuat otnomi khusus di Papua. Selain itu juga mencoba mendeskripsikan peran MRP dalam mendinamiskan politik lokal di Papua.

Dalam ilmu politik banyak pengertian tentang otonomi. Secara umum, pengertian otonomi adalah ukuran besar atau kecil kecilnya otoritas yang diberikan, baik secara administratif, legislatif, dan pengelolaan personal kepada pihak yang diberikan status otonomi itu. Intinya adalah penataan hubungan daerah dengan pemerintah pusat. Sejak otonomi tidak lagi bermakna merdeka, otonomi dilihat sebagai implikasi dari hubungan dalam rangka membagi otoritas, baik dalam negara atau dengan serikat negara.

Pengertian daerah otonom yang diacu dalam tulisan ini berasal dari Ruth Lapidoth, yaitu daerah yang otonom adalah suatu daerah yang dijaminan kesatuan komunitasnya di dalam sebuah negara, dalam satu wilayah yang spesifik. Dengan otoritas yang diberikan itu komunitas itu bisa mengekspresikan identitas yang berbeda dari mayoritas besar lainnya.

Maka dari itu perpedaan otonomi dengan desentralisasi perlu dilihat. Menurut Lapidoth, desentralisasi selalu merupakan pengendalian kekuasaan, sementra otonomi adalah transfer kekuasaan. Dalam desentralisasi terkandung pembatasan partisipasi hanya dalam pemilu lokal atas otoritas rigional. Sementara otonomi merupakan pengalihan fungsi kepada kekuatan yang terpilih dalam pemilihan ditingkat lokal. Dengan kata lain dalam desentralisasi, pemerintah pusat bisa melakukan intervensi kapan saja, tetapi dalam otonomi intervensi hanya bisa dilakukan dalam situasi tertentu.

Jika mengacu pada pikiran Lapidoth, maka Otonomi Khusus Papua merupakan pemberian kewenangan secara luas kepada mereka yang terpilih di daerah. MRP adalah bentuk dari institusi representatif yang menjelmakan kewenangan terpilih itu. Maka dari itu pemerintah pusat tidak bisa melakukan intervensi begitu saja, tanpa melibatkan MRP. Hal ini sesuai dengan UU Otsus yang menyatakan kewenangan pemerintah pusat di Papua hanya ada lima yang pokok saja. Di luar itu merupakan kewenagan daerah Papua yang dikelola oleh DPRP, MRP dan Kepala Daerah. Artinya secara konseptual, Otsus Papua merupakan transfer of power.

MRP juga merupakan penegasan indentitas politik Papua. Karena yang bisa memilih dan dipilih untuk MRP hanyalah orang asli Papua. Maka dari itu MRP menjadi wadah bagi ekspresi identitas Papua secara keseluruhan.

Dengan cara pandang seperti itu, dengan adanya Otsus Papua, maka kekuasan di Papua tidak lagi tersentralisasi, melainkan terpencar (multi-center). Yaitu di tangan Gubernur (dicalonkan partai dan dipilih langung), di tangan DPRD (calon dari Partai, tetapi dipilih dalam Pemilu) dan di tangan MRP (dipilih langsung oleh konsituennya orang asli Papua, yaitu masyarakat adat, komunitas Agama dan Kelompok Perempuan).

Terpencarnya kekuasaan di Papua, akan membuat politik lokal lebih dinamis dari pada daerah lainnya. Karena politik tidak lagi dimonopoli oleh partai politik, tetapi juga dikembangkan oleh komunitas Adat dan Agama serta perempuan dalam MRP. Sejalan dengan itu, juga terjadi demokratisasi politik lokal di Papua, karena Gubernur, DPRD mendapat imbangan dari MRP. Dalam kerangka ini pemerintah pusat tidak lagi menjadi menentukan secara otoriter, tetapi berkonsultasi dengan kekuasaan di daerah Papua, yaitu MRP. Kehadiran MRP, membuat Papua betul-betul otonom, karena pemerintah pusat dalam membuat kebijakan harus melakukan konslutasi dengan MRP.

Untuk melihat MRP sebagai penerima trasfer of power, sekaligus share of power ditingkat Papua, terlibih dahulu akan dibahas fungsi dan kewenangan MRP, mozaik dari populasi orang asli Papua sebagai sumber dari mandat yang diemban MRP. Selain itu juga menganalisa kehadiran MRP dan kemungkinan terjadinya pembagian ruang politik (share of power) di Papua antara MRP dengan Kepala Daerah dan DPR dalam rangka saling mengimbangi.

2. Apa itu MRP

Landasan filosofis dibentuknya MRP adalah merupakan affirmatif action, yang bertujuan untuk meningkatkan partisipasi orang asli Papua dalam setiap pengambilan keputusan politik dan ekonomi di Papua demi melindungi hak-hak asli orang Papua dan meningkatkan kesejahteraan orang asli Papua. Tujuan itu dirumuskan berdasarkan pengalaman sejarah, politik dan posisi orang Papua dalam berhubungan dengan birokrasi Indonesia selama hampir 40 tahun.

MRP adalah lembaga representasi dari kalangan adat, agama dan perempuan. Sebagai lembaga perwakilan adat, agama dan perempuan, filosofi yang melatarinya adalah untuk melindungi dan penghargaan moral dan etika dalam melindungi hak-hak dasar orang asli Papua, hak asasi manusia, supremasi hukum, demokrasi, pluralisme serta persamaan kedudukan sebagai warga negara. Penegasan ini dinyatakan dalam UU Otsus, sebagai refleksi dari pengalaman yang panjang orang-orang asli Papua yang telah menjadi korban atau hanya diperlakukan sebagai penonton selama integrasi dengan Indonesia.

Ada pun latar belakang yang mendasari terbentuknya MRP adalah, pertama belum signifikannya kehadiran orang-orang asli Papua di lembaga-lembaga politik resmi selama orde baru dan tidak terakomodasinya secara signifikan aspirasi orang asli Papua dalam pengambilan kebijakan di Papua. Kedua terabaikannya partisipasi dan hak-hak politik orang Papua selama ini. Ketiga terabaikannya hak-hak dan partisipasi kaum perempuan Papua dalam proses pembuatan kebijakan publik. Maka dari itu pembentukan MRP, bisa dikatakan bentuk komitmen pemerintah pusat dan daerah untuk melindungi hak-hak asli orang Papua dan penghargaan terhadap aspirasi politik orang Papua. Sekaligus adalah pemberdayaan terhadap kaum perempua Papua.

Dalam konteks implementasi Otonomi Khusus peranan MRP dalam proses politik di Papua dimasa datang akan sangat sentral, karena lembaga ini dalam Bab V, UU No.21/2001 tentang Otsus Papua dinyatakan sebagai bagian dari pemerintahan daerah di Papua. Dengan demikian kepemerintahan di Papua, setelah hadirnya MRP berjalan dengan tiga kaki, yaitu legislatif (Dewan Perwakilan Rakyat Papua), eksekutif (Gubernur/Pemda) dan MRP. Sesuai dengan UU posisi ketiga lembaga itu setara dan sederajat.

MRP adalah lembaga perwakilan masyarakat asli Papua yang memiliki tugas dan wewenang melindungi hak-hak asli orang Papua di Papua. Maka dari itu, yang memiliki hak memilih dan dipilih menjadi anggota MRP hanyalah orang-orang asli Papua. Mereka yang menjadi anggota MRP, merupakan perwakilan dari komunitas adat, agama dan perempuan. Jumlah anggota MRP adalah 42 orang, yang terdiri dari 14 orang wakil adat, 14 orang wakil komunitas agama dan 14 orang wakil kemunitas perempuan. Karena ada tiga agama yang domominan dianut oleh orang asli Papua, maka anggota dari kelompok agama terdiri dari, dua Islam, empat katolik dan delapan Protestan.

Sementara itu, proses pemilihan anggota MRP ditentukan oleh karakteristik masing-masing unsurnya. Unsur adat dan perempuan dipilih berdasarkan proses pemilihan bertingkat mulai dari distrik sampai ke Kabupaten/kota yang ditentukan dalam 14 daerah pemilihan. Sementara wakil dari unsur agama, ditentukan oleh masing-masing kepengurusan lembaga agama yang ada.

Dengan proses seperti itu, MRP memiliki keunikan karena ia bukan merupakan representasi dari partai politik atau kekuatan politik, melain representasi kultural, yaitu kelompok adat, agama dan perempuan. Artinya MRP sebagai lembaga yang dibentuk berdasarkan pemilihan umum (dipilih secara langsung) mandat MRP langsung datang dari komunitas adat, lembaga keagamaan dan kelompok-kelompok perempuan. Dengan keunikannya itulah MRP menjadi lembaga politik yang penting karena konsitituenya kongrit dan nyata dalam kehidupan sosial-politik se-hari-hari di Papua. Sebagai merepresentasi kultural orang asli Papua dengan kewenangan melindungi hak-hak asli orang Papua, keberadaan dan legitimasi MRP mungkin jauh lebih kuat dari DPRP.

Sedangkan kewenangan MRP yang lain, jika dilihat dari rumusan UU Otsus Papua dan PP MRP No. 54/2004, seperti, “memberikan pertimbangan dalam pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, pembuatan Perdasus mengenai hak-hak asli orang Papua, saran dan persetujuan dalam perjanjian dengan pihak ketiga, merupakan kewenangan turunan untuk memastikan agar hak-hak asli orang Papua di atas tanah Papua terjamin dan terlindungi. Disamping itu MRP juga bertugas dan berwenang untuk memberikan pertimbangan kepada DPRP, Gubernur, DPRD Kota/Kabupten serta Bupati/Walikota mengenai hal-hal yang terkait dengan hak-hak asli orang Papua.

Adanya kewenagan MRP dalam memberikan pertimbangan mengenai pembuatan Perdasus, membuat MRP menjadi institusi penyelenggaraan kepemerintahan, yaitu dalam menentukan bentuk dan jenis hak-hak asli orang Papua. Setelah MRP merumuskan apa saja bentuk dan jenis hak-hak asli itu, barulah ia bisa memberikan pertimbangan terhadap setiap Perdasus yang diusulkan oleh DPRP dan Gubernur, serta memberikan masukan kepada DPRD dan Bupati/Walikota Kabupeten dan Kota Madya.

Dengan cara melihat seperti itulah, proses politik di Papua memasuki era baru, dimana MRP menjadi pilar ketiga dari penyelengaraan pemerintahan di Papua. MRP sekaligus menjadi institusi politik yang akan membuat politik lokal di Papua dalam era otonomi ini lebih dinamis. Yang dimaksud lembaga politik di sini adalah suatu institusi yang rekrutmen anggotanya dipilih secara langsung oleh rakyat (orang asli Papua) serta memiliki kewenangan untuk membuat kebijakan publik dan bertangungjawab kepada publik. Artinya MRP adalah lembaga publik dengan kewenangan yang ada padanya jika membuat keputusan akan mengikat seluruh orang di Papua.

3. Posisi MRP dan Masa Depan Otonomi Khusus Papua

Kehadiran MRP diharapkan akan membuka peluang baru bagi rakyat Papua untuk pertama berpartisipasi secara lebih luas dan signifikan dalam proses politik di Papua. Kedua meningkatkan dan menambah artikulasi representasi orang asli Papua dalam lembaga-lembaga resmi yang memiliki kewenangan publik di Papua. Ketiga, memastikan aspirasi orang asli Papua terakomodasi dalam kebijakan publik dalam rangka meningkatkan kesejahteraan orang Papua dan membangunan infrastruktur di Papua. Kempat memberi ruang yang setara bagi perempuan Papua untuk berpartisipasi dalam semua fora politik dan perumusan kebijakan publik di Papua.

Harapan yang terkandung dalam MRP itu, tentu hanya memiliki makna jika kita melihatnya dalam rumusan UU Otsus Papua. Pasal 4 UU Otsus menegaskan “Kewenagan Provinsi Papua mencakup kewenangan dalam seluruh bidang, kecuali bidang politik luar negari, pertahahan keamanan, moneter dan fiskal, agama dan peradilan serta kewenangan lain yang ditetapkan oleh UU.” Dengan melihat pasal ini berbagai urusan di Papua di luar ke lima bidang yang disebutkan itu menjadi kewenangan pemerintahan Papua yaitu DPRP, Gubernur sekaligus menjadi kewenangan MRP.

Untuk menjalankan kewenagnan itu MRP memiliki hak, a). Meminta keterangan kepada pemerintah Provinsi, Kabupten/kota terkait dengan hal-hal perlindungan hak-hak asli orang asli Papua; b.) meminta peninjauan kembali Perdasi atau Keputusan Gubernur yang dinilai bertentangan dengan perlindungan hak-hak asli orang Papua. C.) mengajukan anggaran MRP dalam APBD.

Dengan kewenangan dan hak seperti itu, MRP bersama dengan DPRP dan Gubernur merupakan 3 pilar penyelengaraan kepemerintahan di Papua. Namun, fungsi MRP dalam menjalankan keperintahan itu adalah memastikan agar hak-hak asli orang Papua terlindungi dan tidak terabaikan dalam setiap keputusan yang diambil oleh DPRP sebagai kekuatan legislatif dan Gubernur sebagai kekuasaan eksekutif.

Sesuai dengan UU Otsus, posisi MRP setara dan sejajar dengan DPRP dan Eksekutif (Gubernur dan perangkatnya). Oleh karena itu keberadaan MRP tidak bisa dikesampingkan. Jika MRP dikesampingkan maka keputusan legislatif dan eksekutif di Papua menjadi pincang atau Otsus di Papua tidak akan berjalan sesuai degnan UU Otsus. Pengalaman 4 tahun implementasi Otsus Papua tanpa MRP telah memperlihatkan kepincangan penyelengaraan kepemerintahan di Papua yang mengakibatkan terlunta-luntanya hak-hak asli orang Papua.

Kehadiran MRP di sisi lain juga memastikan berjalannya proses demokrasi di Papua. Hal itu dimungkinkan karena besarnya peluang saling mengimbangi antara tiga pilar kekuasaan di Papua. Posisi yang saling mengimbangi itu akan membuka peluang lebih besar bagi rakyat Papua untuk berpartisipasi dan mengontrol jalanya pemerintahan dan berbagai kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hak-hak asli orang Papua. Terbukanya ruang partisipasi dan kontrol yang luas dengan sendirnya akan memperkuat proses demokrasi lokal di Papua.

Dengan pemahaman seperti ini, MRP akan menjadi sarana bagi memperkuat demokrasi lokal sebagai daerah otonomi khusus di satu sisi, dan di sisi lain pemerintahan daerah di Papua tidak lagi sekedar menjadi agen pemerintah pusat untuk menjalankan kewenangan yang diberikan. Dengan adanya MRP, maka pemerintahan Papua akan menjadi lebih kuat untuk menciptakan dan membentuk kebijakan secara mandiri. Melalui MRP terbukanya ruang partisipasi bagi masyarakat asli Papua untuk mempengaruhi formulasi kebijakan. Itu dimungkinkan karena MRP memilki tugas untuk “memperhatikan dan menyalurkan aspirasi pengaduan masyarakat Adat, umat beragama, kaum perempuan asli Papua, ...... yang menyangkut hak-hak asli orang Papua serta memfasilitasi tindak lanjut penyelesaiannya. Jadi MRP, DPRP dan Gubernur dalam kontek Otsus Papua akan menjadi communities of governing di Papua.

4. Penutup

MRP dirancang untuk mengartikulasikan seluruh kepentingan orang asli Papua dalam seluruh aspek kehidupan. Maka dari itu MRP menjadi semacam benteng perlindungan bagi setiap orang asli Papua ketika hak-hak dasar dan konsitusionalnya terancam.

Sayangnya setelah tiga tahun berkiprah MRP belum bisa menjadi menjadi benteng yang kokoh dalam melindungi hak-hak dasar orang asli Papua. Belum berhasilnya MRP menjadi benteng tersebut tidak terlepas dari salah persepsi yang kronis dalam diri setiap anggota MRP sendiri tentang fungsi MRP. Artinya MRP sebagai lembaga secara politik gagal memaknai “MRP sebagai representasi kultural orang asli Papua.”

Salah persepsi itu terjadi karena MRP menempatkan dirinya sebagai lembaga yang merespon setiap manuver politik Jakarta, mulai dari masalah pemekaran sampai masalah lambang dan bendera. Dengan kata lain selama tiga tahun ini MRP tidak melakukan manuver politik sendiri yang bersandar pada kekuatannya sendiri yaitu orang asli Papua. Dengan kata lain MRP lebih banyak energinya habis untuk melayani manuver politik agen-agen Jakarta, ketimbang menyeret agen-agen Jakarta ke dalam permainan yang diciptakan di Papua.

Untuk keluar dari jebakan Jakarta tersebut, MRP mestinya kembali pada kekuatan utamanya, yaitu orang asli Papua. Dengan kata lain, MRP harus membangkitkan harapan dan sentimen massa orang asli Papua menjadi kekuatan yang riil di belakang MRP. Untuk mencapai tujuan itu, MRP bisa menghimpun dukungan dari seluruh kelompok adat, agama dan perempuan dengan lebih banyak membuka dialog publik terbuka, mulai dari kampung sampai ke provinsi. MRP sangat mungkin bisa melakukan ini, karena hanya MRP lah satu-satunya institusi yang mendapat dukungan bulat dari seluruh orang asli Papua. Untuk mencapai ini para anggota MRP harus kembali ke wilayah pemilihannya dan berdiam di daerah pemilihannya.

Selian itu MRP harus lebih banyak berdiskusi dengan kekuatan-kekuatan riil dalam masyarakat Papua, yaitu lembaga-lembaga adat serta dewan adat-dewan adat di seluruh wilayah. Kelompok-kelompok gereja dan mesjid di seluruh tanah Papua dan kelompok-kelompok perempuan. Kelompok-kelompok Pemuda dan Mahasiswa di di berbagai Universitas atau perguruan tinggi di seluruh Papua. Peresan ide dan kehendak dari kelompok-kelopok strategis dan khalayak ramai orang asli Papua ini lah yang akan menjadi dasar sikap dan tindakan MRP. Artinya jika pemerintah pusat melakukan manuver politik, pemerintah tidak lagi berhadapan dengan 42 orang anggota MRP, melainkan berhadapan dengan segenap oragn asli Papua yang diwakili oleh MRP.

Singkatnya MRP harus sesegera mungkin melakukan reposisioning agar bisa mendapatkan energi dari kelompok-kelompok strategis sebagai representasi kultural. Posisi MRP yang sekarang ini seperti mengambang harus diakhiri. Dengan demikian posisi MRP akan betul-betul menjadi benteng dan sekaligus penyambung harapan orang asli Papua dalam menghadapi politik pemerintah pusat yang tidak fair. Itu lah arti sesunguhnya MRP sebagai politik kultural untuk menghadapi kekuasaan.

Belum maksimalnya kiprah MRP tentu bukan disebabkan oleh kelemahan MRP sendiri. Lumpuhnya MRP juga ada sumbangan dari tokoh-tokoh masyarakat Papua sendiri yang terus menerus melakukan delegitimasi terhadap MRP. Penolakan beberapa Gereja dan Dewan Adat mengirimkan orang terbaik mereka ke dalam MRP di awal pendiriannya, pada gilirannya telah membuat MRP kehilangan daya gigitnya. Implikasi dari delegitimasi yang terus menerus itu telah membuat MRP dinilai oleh masyarakat Papua sendiri tidak berguna. Yang diuntungkan oleh sikap seperti itu adalah pemerintah pusat, karena MRP telah dilumpuhkan oleh orang Papua sendiri.

Dengan kata lain, tokoh-tokoh Papua dan masyarakat Papua saat ini telah melepaskan senjata yang telah ada dalam gengaman. Semestinya MRP sebagai senjata ditangan digunakan semaksimal mungkin dengan sokongan segenap orang Papua di belakangnya. Hanya dengan posisi pandang dan tindakan seperti itu lah yang bisa menjadikan MRP kuat sebagai benteng perlindungan hak-hak dasar orang Papua. Tanpa memperkuat MRP, perlindungan bagi hak-hak dasar orang asli Papua hanya tinggal mimpi.

Dengan melalukan reposisioning seperti di papar di atas MRP ke depan akan jauh lebih mudah melakukan negosiasi politik baik dengan pemerintah Jakarta mau pun dengan kekuatan-kekuatan politik di Papua sendiri. Dalam rangka reposisiong itu tugas mendesak MRP diantaranya adalah, pertama menyususn satu Perdasus untuk mencari jalan keluar bagi kemiskinan yang kronis di Papua. Hal itu terlihat dari 86 % orang Papua hidup di perdesaan dengan mata pencarian masih terikat pada pertanian meramu, 53% orang-orang Papua hidup di daerah pedalaman dalam keadaan yang miskin, sementara di perkotaan yang secara ekonomi maju di pantai utara (Jayapura, Biak, Manokwari dan Sorong) orang-orang Papua-nya terhitung sedikit. Di kota Sorong misalnya orang Papua hanya 29% dari jumlah penduduk, sedangkan di Timika jumlah penduduk asli hanya 10%. 40% dari jumlah penduduk yang orang asli Papua adalah buta huruf dengan umur harapan hidup 40 tahun. Angka-angka ini menujukan gagalnya upaya pembangunan Papua oleh Indonesia dalam bidang yang paling dasar yaitu pendidikan dan kesehatan.

Dominanya pendatang dibidang ekonomi. Derasnya arus pendatang membuat orang Papua tersingkir, baik di lapangan ekonomi, mau pun penguasaan atas tanah, baik hutan mau pun garapan. Saat ini penduduk provinsi Papua diperkirakan 2.352.518 jiwa. Di tahun 2000 diperkirakan orang asli Papua jumlahnya sekitar 1.5 juta jiwa. Untuk hal ini, MRP harus segera mengagendakan satu Perdasus untuk pemberdayaan orang asli Papua agar mampu bersaing dalam sektor ekonomi produktif. Dengan demikian dominasi pendatang dalam bidang ekonomi tidak menyingkirkan orang asli Papua. Selian itu juga berkaitan dengan pengaturan megnenai penguasaan tanah dan tata cara pelepasan hak atas tanah, terutama tanah ulayat. Hal ini penting karena sangat berkaitan dengan masyarakat Adat.

Kedua, untuk efektifitas jalanya pemerintahan tiga kaki di Papua, perlu kiranya MRP membuat MoU dengan DPRP dan Gubernur mengenai mekanisme hubungan antar lembaga agar tidak terjadi tumpang tindih nantinya. MoU ini penting karena UU No. 21 dan PP MRP terlalu umum dan tidak bisa dijadikan pedoman kerja antar lembaga. Selain itu, sesuai dengan pasal 4 UU Otsus, MRP bersama dengan DPRP dan Gubernur perlu pula membuat MoU dengan Jakarta bagaimana pelibatan instansi daerah Papua, terutama MRP di luar 5 masalah yang menjadi kewenagan pusat.

MoU dengan pemerintah pusat ini penting untuk memastikan bahwa dalam hal-hal seperti pemilihan gubernur dan wakil gubernur, penambahan provinsi, pemilihan bupati dan walikota, kontrak dengan pihak ketiga, pengelolaan SDA, pendidikan dan kesehatan, apakah pemerintah pusat berwenang ataukah itu menjadi kewenagan provinsi khusus Papua, dimana kewenang itu dikelola dalam kerangka ceks and ballance antara DPRP, MRP dan Gubernur.

Sedangkan untuk agenda Hak Asasi Manusia, MRP harus segera mendesak Gubernur dan DPRP untuk membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsilaisi di Papua demi pelurusan sejarah, dan pengadilan HAM untuk memberikan rasa adil kepada korban dan demi kepastian hukum. Sementara itu Komisi HAM daerah Papua yang telah dibentuk harus didorong oleh MRP agar bekerja lebih efektif.

Jika langkah-langkah ini bisa diagendakan oleh MRP, maka dukungan rakyat Papua yang kini pudar mungkin bisa tumbuh menjadi kekuatan dibelakang MRP. Dengan kata lain, dukungan kepada MRP dari rakyat Papua akan tumbuh jika MRP mampu menunjukan secara riel dampak kehadirannya bagi kepastian hukum, harapan akan adanya perbaikan konsisi kesehatan, pendidikan dan ekonomi serta kemandiran MRP dari intervensi pusat dan kaki tangan pusat di daerah. Jika MRP mampu untuk itu, maka MRP betul-betul menjadi era baru bagi politik Papua. Jika tidak, maka MRP hanya akan mengulang kegagalan sebelumnya.*am


Daftar Pustaka


Buku dan Artikel

Abdul Gaffar Karim (ed), Kompleksitas Persoalan Otonomi Daerah di Indonesia, Pustaka Pelajar – FISIP UGM, Yogyakarta, 2003.

Adriana Elisabeth, Pemetaan Peran dan Kepentiangan Para Aktor dalam Konflik di Papua, LIPI, Jakarta, 2004.

Agus Sumule (ed), Mencari Jalan Tengah Otonomi Khusus Papua, Gramedia, Jakarta, 2003.

Amiruddin, “Majelils Rakyat Papua: Jantung Politik Bumi Cendrawasih”, makalah yang disampaikan dalam seminar “ Majelis Rakyat Papua: Akankah Menjadi Jalan Keluar?” oleh Pokja Papua dengan Yapika, 30 September 2005 di Jakarta.

Jacobus Perviddya Solossa, Otonomi Khusus Papua: Mengangkat Martabat Papua dalam NKRI, Sinar Harapan, Jakarta, 2005.

McGibbon, Plural Society in Peril: Migration, Economic Change and the Papua Conflict, East-West Center, Washington, 2004.

Michael Howlett and M. Ramesh, Studying Public Policy: Policy Cycles and Policy Subsystems, Oxford University Press, 1995.

Ruth Lapidoth, Authonomy: Flexible Solution to Ethnic Conflict. Washington DC, US Institute of Peace, 1966.

Yan Pieter Rumbiak, Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua: Menyelesaikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia dan Membangun Nasionalisme di Daerah Krisis Integrasi, Papua Internasional Education, Jakarta, 2005.

UU dan PP
PP No.54 tentang Majelis Rakyat Papua.
UU No.21/2001 tentang Otonomi Khusus Papua
Perdasi, No.4/2005 tentang Tata Cara Pemilihan Anggota MRP


Share this article :

0 Komentar Anda:

Post a Comment

Your Comment Here

Twitt VBPapua

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. SBP-News @VBaptistPapua - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger