SUARA BAPTIS PAPUA

Dukung Aksi Perdamaian Atas Kekerasan di Papua Barat.
Jika Anda Peduli atas kemanusiaan Kaum tertindas di Papua barat Mohon Suport di sini:

Please donate to the Free West Papua Campaign U.K.
Kontribusi anda akan kami melihat ada perubahan terhadap cita-cita rakyat papua barat demi kebebasan dan kemerdekaannya.
Peace ( by Voice of Baptist Papua)

Home » , , » SEGALA BENTUK DISKRIMINASI RASIAL DI PAPUA

SEGALA BENTUK DISKRIMINASI RASIAL DI PAPUA

Written By Voice Of Baptist Papua on February 27, 2011 | 10:29 AM

Opini:
by: HAMAH SAGRIM

  “Menguak Tabir Diskriminasi Rasial dan Impunity di Papua”

REALITAS POLITIK DISKRIMINASI RASIAL TERHADAP ORANG PAPUA

MATERI KONFERENSI ASIA DAN AFRIKA DI SAMPAIKAN OLEH:
SAGRIM FRANK HAMAH SAGRIM (PENELITI LEPAS)

DI SAMPAIKAN DI MINDANAO PHILIPINA 19 APRIL 2009 DAN  UNIVERSITAS THAKSIN THAILAND 23 APRIL 2009 YANG DI HADIRI OLEH 21 NEGARA DAN UTUSAN NEGARA-NEGARA DARI EROPA DAN AMERIKA. 
 
Tematik issu :

1) Kerangka Hukum

2) Impunity, yaitu kasus Peristiwa konflik antar suku dan etnis

3) Diskriminasi terhadap etnis papua, dalam hal ini tentang KTP, terutama mengurus KTP di Jogjakarta, tidak diberikan.

4) Diskriminasi terhadap etnis Papua, dalam hal ini tentang SDM, dianggap ketinggalan.

5)  Diskriminasi terhadap Masyarakat Adat dan pemanfaatan keadaan social budaya orang papua yang rantan sebagai peluang diskriminasi.

6) Tindakan Pembatasan terhadap etnis; Religius Etnik.

7) Pengabaian hak-hak Idps korban konflik etnis 

8) Diskriminasi rasial di Papua bercorak pelanggaran HAM


A.  Diskriminasi secara kultural merupakan fenomena sosial yang terjadi di belahan bumi manapun di dunia, namun kemudian suatu negara melakukan diskriminasi terhadap warga negaranya/individu di wilayahanya berdasarkan kebijakan-kebijakan merupakan pengingkaran atas harkat-harkat kemanusiaan yang sulit untuk ditolerir. Apalagi dalam konteks Indonesia yang konstitusinya mendasarkan diri kepada negara hukum (rechtstaat).

B. Diskriminasi rasial merupakan politik diskriminasi yang sudah berlangsung sejak lama di Papua, bahkan jauh lebih tua dari umur masuknya Papua kedalam NKRI. Politik diskriminasi rasial berakar dan mulai diterapkan sejak jaman penjajahan Belanda dengan kebijakan segregasi rasialnya sebagai salah satu contohnya adalah pembatasan terhadap kelompok untuk mendapat pendidikan.

C. Diskriminasi rasial di Indonesia juga dilegitimasi oleh adanya konflik hukum (conflict of laws), yaitu berbagai pertentangan di dalam konstitusi (pertentangan antar pasal), pertentangan antar Undang-undang, dan pertentangan di dalam hirarki pertauran hukum dan perundang-undangan yang lain. Konflik hukum justru menjadi celah bagi terobosan berbagai kepentingan untuk melakukan tindakan diskriminatif secara lebih luas.

D. Kebijakan politik rasial tersebut yang kemudian dieskalasi dengan kegagalan negara untuk membangun kesejahteraan sosial, yang pada akhirnya banyak mengakibatkan berbagai tindak-tindak rasialisme yang bermuara kepada kekerasan terhadap kelompok etnis Papua yang dilakukan secara sistematis, seperti Represifitas Militer terhadap rakyat Papua, pembunuhan pembunuhan secara brutal, Negara tidak mampu memberikan perlindungan bahkan keadilan/pemulihan kepada korban-korban di Papua.

E.  Tidak saja dalam konteks etnis Papua, kebijakan diskriminasi juga dialami oleh masyarakat adat yang selama ini terampas hak-hak adatnya, antara lain hak atas tanah ulayatnya, hak atas pengelolaan sumberdaya alam, dan hak mereka untuk mendapatkan hak-hak sipil dan politik.

F. Pembatasan terhadap kebebasan berkeyakinan mengakibatkan pengingkaran atas hak-hak sipil mereka sebagai warga negara, misalnya hak untuk membentuk keluarga dan mempunyai keturunan lebih banyak seperti yang dialami oleh masyarakat atau komunitas etnik yang dibatasi dengan keberhasilan pemerintah dalam menerapkan penggunaan KB.

G.  Selama periode sebelum 1998, tidak ada upaya negara untuk melakukan penghapusan diskriminasi rasial, bahkan tidak jarang fakta-fakta diskriminasi tersebut tidak diakui sebagai diskriminasi. Kemudian baru pada tahun 1999, setelah terjadi reformasi dengan mundurnya Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia, negara Republik Indonesia meratifikasi International Convention on Elimination of All Forms Racial Discrimination pada tahun 1999, karena desakan komunitas Internasional.

E.  Sampai saat ini kebijakan penghapusan rasial belum sepenuhnya dilaksanakan. Misalnya berbagai kasus diskriminasi rasial masih terjadi di Papua, dan negara belum melakukan perlindungan yang efektif atau pemidanaan atas diskriminasi rasial tersebut sekalipun itu dilakukan oleh aparat negara. Bahkan upaya hukum tersebut belum tercermin dengan masih berlakunya berbagai peraturan perundangan lainnya yang diskriminatif.

ISU TEMATIK

A. KERANGKA HUKUM

1.  Di Indonesia, masih terdapat hukum yang diskriminatif dan bertentangan dengan konvensi ICERD. Hal ini disebabkan oleh adanya konflik hukum (conflict of laws), yaitu pertentangan di dalam konstitusi (UUD 1945), pertentangan antar Undang-undang (UU), dan pertentangan di dalam hierarki peraturan hukum dan perundang-undangan, seperti antara Peraturan Daerah (Perda) dengan UU di atasnya atau UU dengan konstitusi. Misalnya seperti UU Pornografi yang bertentangan dengan BHINEKA TUNGGAL IKA, bahkan merupakan undang-undang diskriminasi terhadap budaya, dan adat istiadat daerah lain yang memiliki budaya bebas.

2   Konflik hukum terjadi disebabkan oleh adanya kepentingan para pembuat kebijakan, perspektif yang bias rasial (pengutamaan dan pembatasan), dan kepentingan dari kelompok modal.

3.  Konflik hukum di dalam konstitusi muncul karena terjadi pertentangan antara pasal yang satu dengan pasal yang lain. Misalnya, Pasal 28i Ayat 2 UUD 1945 mengatakan: setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu. Pasal ini bertentangan dengan pasal 18b ayat 2 yang berbunyi negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara kesatuan republik Indonesia , yang diatur dalam undang-undang. Kalimat sepanjang………dan seterusnya dalam pasal 18b Ayat 2 tersebut justru mengancam eksistensi masyarakat adat yang dianggap tidak sesuai dengan perkembangan jaman.

5.  Di tingkat daerah Papua muncul Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) yang disusun oleh Majelis Rakyat Papua, namun harus mendapat persetujuan Jakarta dengan syarat bahwa setiap pasal yang tidak sesuai harus dicoret. Hal ini mengakibatkan kewenangan daerah khusus dibatasi.

B. IMPUNITY DALAM KASUS DISKRIMINASI RASIAL  DI PAPUA

1. Konflik Etnis di Sorong 2000 Konflik yang terjadi di sorong melibatkan etnis Papua dan Bugis makasar, dan sampai saat ini   tidak tertangani dengan baik.

2. Penembakan secara brutal pada 31 desember 2008 di kabupaten sorong Selatan oleh aparat     keamanan (TNI Polri), menewaskan Isak Lemauk, belum tertangani secara tuntas.

3. konflik etnis di Jayapura 1982, dengan kerugian sangat tinggi dalam sejarah pembangunan kota Jayapura, belum ditangani secara tuntas.

4. Konflik antara warga dan TNI polri di jayapura mengakibatkan Kampus Uncen dibongkar oleh aparat kepolisian pada 2009.

Penutup

  Impunitas terjadi diakibatkan oleh beberapa hal, di antaranya: a) tidakadanya mekanisme yudisial maupun ekstra yudisial yang memadai untuk menghukum pelaku dan menghadirkan keadilan bagi korban; b) tidakadanya mekanisme truth seeking dan pembangunan rekonsiliasi dalam konflik etnis; c) tidakadanya mekanisme reparasi bagi korban; d) bahkan kejahatan yang berbasis rasial hanya dianggap sebagai kejahatan umum/biasa.

C. DISKRIMINASI NEGARA TERHADAP ETNIS PAPUA

 Walaupun keberadaan etnis Papua di Indonesia sudah lama sejak pepera 1969, namun keberadaan mereka sebagai bagian dari bangsa Indonesia masih menyisakan banyak permasalahan diskriminasi rasial antara lain dalam hal perlakuan status derajat di Negara Republik Indonesia . Permasalahan sebagian etnis Papua yang diperlakukan sebagai yang terkebelakang (tanpa memberi kesamaan derajat).

Permasalahan Etnis Papua Yang Diperlakukan Sebagai Warga yang terkebelakang (tak berderajat)

Selain permasalahan ketidak samaan derajat, praktek diskriminasi rasial terhadap kelompok etnis Papua di Indonesia adalah permasalahan masih adanya kelompok etnis Papua yang diperlakukan sebagai orang takberderajat

D.   DISKRIMINASI TERHADAP MASYARAKAT ADAT DAN PEMANFAATAN KEADAAN SOSIAL BUDAYA ORANG PAPUA YANG RENTAN SEBAGAI PELUANG DISKRIMINASI.

 General Recommendation No. 23: Indigenous Peoples : 18/08/97. Point 1 menyatakan bahwa “ In the practice of the Committee on the Elimination of Racial Discrimination, in particular in the examination of reports of States parties under article 9 of the International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination, the situation of indigenous peoples has always been a matter of close attention and concern. In this respect, the Committee has consistently affirmed that discrimination against indigenous peoples falls under the scope of the Convention and that all appropriate means must be taken to combat and eliminate such discrimination”.

 Dalam general recommnendation point 1 tersebut jelas menyatakan bahwa ‘...the situation of indigenous peoples has always been a matter of close attention and concern. In this respect, the Committee has consistently affirmed that discrimination against indigenous peoples falls under the scope of the Convention and that all appropriate means must be taken to combat and eliminate such discrimination”. Point ini mendasari bahwa persolan diskriminasi terhadap Masyarakat Adat juga dapat masuk dalam ruang lingkup ICERD.

Sebuah pertemuan di Tanah Toraja pada tahun 1993, mendefenisikan masyarakat adat sebagai kelompok masyarakat yang memiliki asal-usul (secara turun temurun) di wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai, ideologi, politik, budaya, sosial dan budaya sendiri. Kingsbury (1995:33) memberikan ciri kelompok-kelompok yang disebut sebagai kelompok masyarakat adat.

Salah satu ciri yang disebut adalah adanya keterkaitan yang panjang (lama) dengan wilayahnya. Selain ciri tersebut, kelompok-kelompok masyarakat adat dapat dikenali dari ciri-ciri seperti: adanya pertalian budaya yang dekat dengan suatu areal pertanahan atau teritori tertentu, keberlanjutan sejarah dengan penghuni-penghuni tanah sebelumnya, perbedaan-perbedaan sosio ekonomi dan sosio kultural dengan penduduk di sekitarnya, karakteristik bahasa, ras, kebudayaan materiil dan spiritual dan sebagainya yang berbeda, dan dianggap sebagai “indigenous” oleh penduduk sekitarnya.
Bentuk Diskriminasi Terhadap Masyarakat Adat di Papua

Dalam hal ini, bentuk diskriminasi rasial yang terjadi di Indonesia terjadi dalam 4 (empat) hal yaitu dalam kasus Perampasan Tanah/sumber daya alam, Kebijakan Pembangunan, Politik Pencitraan dan Diskriminasi akibat Regulasi Negara
·  Perampasan Tanah dan Sumber Daya Alam: Awal Bencana bagi Masyarakat Adat di Papua

     Secara umum, hak-hak masyarakat adat yang mendapat perlakuan diskriminastif adalah hak-hak yang berhubungan dengan tanah dan sumber daya alam yang merupakan wilayah adat. Sumbernya adalah penaifan keberadaan mereka yang menimbulkan pembatasan, dan pengecualian sehingga menimbulkan dampak pada rusaknya hak–hak mereka terutama berbasiskan pada identitas.

Dari ciri-ciri masyarakat adat di Papua, hubungan mereka dengan tanah dan wilayah adat merupakan kunci dari keutuhan mereka sebagai masyarakat adat. Hal itu dikarenakan tanah merupakan satu-satunya ruang yang merupakan tempat bagi masyarakat adat untuk mengekspresikan dirinya. Tanah bagi masyarakat adat selain merupakan ruang ekspresi yang menghubungkan mereka dengan keyakinan, sejarah, budaya dan bahasa, tanah juga merupakan satu-satunnya ruang yang dapat mereka pergunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.

   Secara umum juga, praktek yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia tidak sesuai dengan General Recommendation point 5, “ The Committee especially calls upon States parties to recognize and protect the rights of indigenous peoples to own, develop, control and use their communal lands, territories and resources and, where they have been deprived of their lands and territories traditionally owned or otherwise inhabited or used without their free and informed consent, to take steps to return those lands and territories. Only when this is for factual reasons not possible, the right to restitution should be substituted by the right to just, fair and prompt compensation. Such compensation should as far as possible take the form of lands and territories.

Selanjutnya problematika yang dihadapi oleh masyarakat adat di Papua khususnya perampasan tanah dan sumber daya alam yang menimbulkan efek terancamnya identitas mereka. Hal ini juga bagian dari diskriminasi. Dalam konteks ini laporan merupakan alternatif memuat yang bagaimana kondisi masyarakat adat Papua yang mengalami tindakan diskriminasi yang pada akhirnya menimbulkan dampak terancamnya identitas mereka, terutama berbasiskan masalah perampasan tanah baik oleh negara mapun oleh perusahaan.  Contohnya seperti penebangan hutan sagu di merauke yang dialihfungsikan menjadi sawah padi disertai dengan pengiriman transmigrasi dari pulau jawa.

Fakta yang dialami oleh masyarakat adat di Papua sangat memprihatinkan. Mereka secara sistematis terus menerus mengalami diskriminasi, terutama hilangnya akses mereka terhadap tanah dan sumber daya alam, yang berarti pembatasan dan pengrusakan terhadap ekspresi identitas masyarakat adat. Ini terjadi karena paradigma pengelolaan tanah dan sumber daya alam yang dikembangkan didasarkan pada konsep developmentalisme. Developmentalisme mensayaratkan adanya ketersediaan sumber daya alam. Untuk keperluan itu, negara mencaplok kepemilikan masyarakat adat atas Tanah Ulayat (pada umumnya, kepemilikan masyarakat adat didasarkan pada klaim historis). Hak Menguasai Negara (HMN) terhadap bumi, air, dan sumber daya alam lainnya, dimana pengelolaannya diserahkan pada sektor privat yang tentu saja mengutamakan keuntungan ekonomi pribadinya daripada kesejahteraan masyarakat. Dengan tafsir yang keliru tersebut, Negara menjadikan tanah-tanah ulayat masyarakat adat sebagai perkebunan skala besar yang kepemilikannya diserahkan pada kolaborasi pengusaha dan penguasa (pemerintah). Bahkan tanah ulayat masyarakat adat, yang beberapa diantaranya merupakan Hutan Lindung kemudian diberikan kepada sektor pertambangan swasta. Pengelolaan tanah dan sumber daya alam yang didasarkan pada paradigma developmentalisme di Indonesia , tak dapat dipungkiri telah mendiskriminasi masyarakat adat Papua dari hak-hak mereka atas tanah dan sumber daya alam.

Stereotype

Yang dimaksud dengan stereotip di sini adalah sudut pandang yang di(re)produksi secara terus menerus untuk melihat dan mengkategori komunitas lain sebagai komunitas yang serba negatif, seperti tidak beradab, terbelakang, bandel, malas, pembangkang, tidak modern, dan sebagainya. Paska 1965, stereotip seperti ini semakin menguat, khususnya melalui berbagai sosialisasi pengetahuan tentang komunitas-komunitas yang dianggap membahayakan eksistensi kelompok mayoritas dan stabilitas nasional.
 
PENUTUP

 Diskriminasi terhadap masyarakat adat di Papua timbul akibat kebijakan Negara maupun oleh perusahaan, terutama terkait pengusaan tanah dan sumber daya alam yang juga berimplikasi terhadap terlanggarnya hak – hak lain.

DISKRIMINASI RASIAL TERHADAP ETNIK Dan PENGABAIAN RELIGI ETNIK DI PAPUA

    Selama ini kepercayaan-kepercayaan lokal yang biasanya dianut oleh kelompok etnis atau sub-etnis tertentu tidak pernah diakui keberadaannya oleh negara. Padahal jumlah mereka sangat besar, tersebar hampir di seluruh pelosok Nusantara, dengan aneka ragam kepercayaan dan praktik-praktik ritual yang mereka anut dan lakukan.

Apa yang disajikan dalam ringkasan laporan ini barulah sketsa beberapa kelompok yang cukup menonjol dalam memperjuangkan hak-hak mereka terhadap tindakan diskriminatif negara. Masih sangat banyak kelompok kepercayaan lokal yang berbasiskan etnis atau sub-etnis lainnya di Papua yang, sayangnya, belum memperoleh perhatian. Diharapkan dengan paparan ringkas dari beberapa kelompok di bawah ini dapat ditengarai pola-pola kebijakan diskriminatif yang telah menafikan hak-hak sipil dan politik mereka.

 1. Pola Kebijakan Diskriminatif

Ada tiga pola kebijakan diskriminatif yang selama ini diderita oleh etnis Papua, khususnya menyangkut penafian kepercayaan lokal mereka oleh negara. Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa kebijakan diskriminatif yang dilakukan negara bersifat sistemik, menyeluruh dan konsisten diterapkan sejak zaman Orde Lama sampai sekarang, yaitu ;

1. Pola pemilahan antara agama yang diakui dengan yang tidak diakui.

2. Pola penafian hak-hak sipil.

3. Pola dimasukannya kepercayaan lokal sebagai bagian dari agama yang diakui negara.

2. Pola Pemilahan Antara Agama yang Diakui Dengan yang tidak Diakui Negara.

Sekalipun selama ini tidak ada perundang-undangan atau peraturan tentang pemilahan antara agama yang "diakui" dengan yang "tidak diakui" negara, akan tetapi pada praktiknya apa yang disebut sebagai “agama” hanyalah enam agama yang disebut Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu
G. Diskriminasi Rasial di Papua bercorak pelanggaran HAM

Gambaran Umum
Tanah Papua luasnya mencapai 422.000 Km hampir mencapai seperempat luas wilayah daratan Indonesia (sekitar 1,9 Km2) dan kaya sumber daya alam, seperti minyak, gas, emas, tembaga, kayu, uranium dan ikan..

Penduduk Papua tergolong ras Negroit Melanesia berkulit hitam dan berambut keriting. Etnik Papua terbagi lagi dalam sub-sub budaya, masing-masing yang bahasanya mencakup 250 bahasa suku menurut catatan etnografi Koenjaraningrat, namun sebenarnya 264 bahasa suku fersi penelitian kami 2007.

Dahulu pulau Papua adalah sebuah daerah koloni dari kerajaan Belanda, yang kemudian diserahkan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui transfer administrasi dari kerajaan Belanda kepada Indonesia pada 1 Mei 1963, dan dipertegas lagi dalam sebuah jajak pendapat yang diprakarsai oleh PBB 1969 yang oleh rakyat Papua dianggap tidak adil dan tidak demokratis.

Catatan sejarah diskriminasi rasial di Papua sudah berlangsung lama bahkan sebelum Papua masuk kedalam Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 1 Mei 1963. Pemerintah Belanda dan Jepang telah mempraktekan diskriminasi kepada masyarakat Papua. Sebagai contohnya adalah Belanda membatasi orang Papua untuk mengenyam pendidikan. Belanda hanya memberikan kesempatan kepada rakyat Papua yang orang tuanya memegang peranan penting atau yang membantu pemerintah kolonial Belanda. Setelah masuknya Papua kedalam NKRI, diskriminasi rasial masih di praktekan hingga saat ini.

 Menanggapi situasi yang terjadi di Papua, Rodolfo Stevenhagen, Pelapor (Rapporteur) Khusus PBB untuk Indigenous People, dalam laporannya di sidang ke-61 tahun 2005 mengatakan, “Masyarakat adat Papua menderita karena diskriminasi yang meluas yang  (Hermien Rumrar dan DR. Theodor Rathgeber., “Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Papua Barat”. Halaman 148) @2007, mencegah mereka, dalam hal tertentu, untuk memperoleh akses ke dalam institusi-intitusi di masyarakat, yang memungkinkan mereka untuk membuat keputusan sendiri, seperti dalam hal pendidikan, perawatan, kesehatan, kesamaan pendapatan/penghasilan, pandangan masyarakat umum tentang perempuan, dan harga diri,10 walaupun sudah ada Dewan Adat Papua dan Majelis Rakyat Papua.

Diskriminasi yang terjadi di Papua bisa dilihat dalam 2 (dua) hal;

1. Kebijakan Pembangunan

Kebijakan pembangunan Pemerintah Pusat yang memprogramkan pembangunan untuk Indonesia di wilayah Timur ternasuk Papua, merupakan kebijakan pembangunan yang bersifat umum tanpa ada program khusus yang berbasis penghargaan terhadap nilai – nilai lokal. Bahkan dalam konteks Papua pembangunan masih diliputi bias rasial dan stereotipe terhadap masyarakat Papua. Dalam konteks inilah kebijakan pembanguann menjadi sumber pelanggaran terhadap ICERD.

Tidak ada afirmatif action dalam kebijakan ekonomi sehingga mayarakat asli Papua sangat sulit bersaing dengan orang dari luar Papua. yang memiliki pengalaman dan naluri bisnis yang kuat. Faktor lain adalah Orang Papua sendiri masih dalam budaya transisi dari budaya meramu harus diperhadapkan pada sistem ekonomi modern. Selain itu pemerintah juga memberi peluang yang sangat kecil bagi orang asli Papua untuk mengembangkan ekonominya. Perbankan juga sangat sedikit memberikan Kredit bagi orang Papua untuk meningkatkan ekonominya. Di pasar-pasar orang asli Papua berjualan di trotoar jalan, mereka tidak menikmati faslitas perumahan pasar yang dikuasai oleh non Papua.

Belum adanya tindakan Affirmatif action ini menjadikan masyarakat Papua termarjinalkan dan kondisi inilah yang membuat masyarakat papua sangat rentan mendapat perlakukan yang diskriminatif.

2. Stereotip dan Diskriminasi Pekerjaan Terhadap Masyarakat Papua.

Masyarakat Papua sering distereotipekan kurang terpelajar, berpenampilan kurang menarik, dan malas. Sehingga sangat menyulitkan mereka untuk mendapatkan perkerjaan di bidang-bidang tertentu. Banyak supermarket di Papua yang tidak mempekerjakan orang Papua. Contoh lain adalah di perusahaan swasta seperti Freeport dan British Petroleum. Di Freeport misalnya karyawan asli Papua tidak pernah dipromosikan untuk menduduki tempat-tempat strategis walaupun mereka juga memiliki kemampuan dan kualifikasi yang tidak jauh berbeda dengan yang lain. Akibat dari tindakan diskriminasi ini, karyawan Papua membentuk wadah penampung aspirasi dengan nama “Tongoi Papua.” Mereka kemudian melakukan demo besar-besaran bulan April lalu menuntut pemberdayaan karyawan Papua dan peningkatan upah kerja. Sedangkan di perusahaan British Petroleum, masyarakat setempat dipekerjakan sebagai tenaga security perusahaan

Bentuk diskriminasi rasial lain adalah sebutan rasialis kepada masyarakat Papua paska penyerangan Markas Polisi Sektor Abepura tahun 2000 oleh kelompok tidak dikenal yang menyebabkan aparat polisi melakukan penyisiran. Dalam laporan KPP Komnas HAM untuk kasus Abepura Berdarah ditemukan ungkapan rasialis terhadap para tahanan pada saat dilakukan interogasi. Seperti, “kamu orang Papua hanya tau makan Babi, makanya otaknya sama seperti babi”. “Kamu harus makan daging biri-biri biar pintar sama dengan orang Makasar, Jawa dan Jakarta , “Kamu orang Papua rambut keriting, hitam dan lau-lau ( tidak tahu apa-apa / goblok).

Masyarakat Adat dan Perampasan Tanah Adat di Papua

Perampasan hak-hak masyarakat adat sering tejadi di Papua. Tanah-tanah adat dirampas untuk pembangunan transmigrasi, basis militer dan untuk kepentingan investor tanpa memberikan ganti rugi yang layak. Perampasan tanah-tanah adat ini tidak saja merusak ekonomi masyarakat yang mana mereka mengantungkan hidup dari tanah tersebut tapi juga merusak nila-nilai tradisi yang lama dipegang. Masyarakat Papua selalu menganggap tanah sebagai “IBU’ yang mana tanah itu memberikan perlindungan / memberikan makan dan menganggap “Sungai” sebagai “air susu” yang mengalirkan air kehidupan. Ketika masyarakat melawan, ingin mempertahankan hak dan nilai tradisi mereka, maka dituduh menghambat pembangunan dan menjadi bagian dari separatis. Alasan tersebut dipakai sebagai pembenaran untuk menindak keras atau menciptkan mata rantai kekerasan baru. Contoh kasus adalah perlawan suku Amungme terhadap kehadiran PT Freeport, yang merusak tanah dan lingkungan serta pencemaran sungai. Banyak orang terbunuh karena mencoba mempertahankan hak-hak SDA mereka seperti kasus di daerah-daerah pertambangan seperti Hoya, Agandi, dll. Kasus ini telah dilaporkan oleh Gereja dan diselidiki oleh Komnas HAM tahun 1995.

Masalah Transmigrasi di Papua

Papua merupakan daerah tujuan utama transmigrasi. Dengan adanya program transmigrasi, lahan-lahan subur dan tanah hak ulayat adat di ambil. Sebagai akibatnya masyarakat adat / penduduk asli terpaksa tergeser. Banyak masyarakat terpaksa memilih tinggal di pegunungan. Implikasi lainnya adalah terjadi pengelembungan dalam perbedaan populasi masyarakt asli dan pendatang. Contoh kasus adalah tahun 1970 di Arso salah satu distrik pusat transmigrasi memiliki jumlah penduduk kurang lebih 1000 orang. Namun setelah tahun 2000 jumlah penduduk di Arso menjadi 20.000 orang menjadikan penduduk asli sebagai minoritas. Selain itu, pelayanan kesehatan, pendidikan dan perumahan di daerah-daerah transmigran lebih lengkap daripada di kampung-kampung orang asli Papua. Misalnya di daerah Arso kita bisa melihat bahwa di desa-desa transmigran ada SMA dan SMP serta Puskesamas dari pemerintah, sedangkan di desa-desa orang asli Papua pemerintah tidak membangun pelayananan tersebut tetapi Gereja yang bertanggungjawab.2

Stigmatisasi Papua Merdeka OPM

Salah satu bentuk diskiriminasi yang dihadapi masyarakat Papua adalah stigmatisasi OPM. Pemerintah dan aparatus Negara membangun stigma bahwa orang Papua, khususnya masyarakat adat yang terdapat di pinggiran kota dan di dalam hutan diidentikkan dengan OPM dan pemberontak. Sehingga ada justifikasi membasmi mereka. Contoh kasus adalah rekayasa pembobolan gudang senjata di Wamena tahun 2003 yang di lakukan kelompok tidak dikenal.

Aparat menuduh bahwa yang melalukan pembobolan itu adalah OPM. Aparat kemudian melakukan penyisiran dan menangkap dan melakukan pembunuhan. Banyak masyarakat yang tidak tahu menahu dan sebagain besar adalah warga sipil / petani menjadi korban dan dituduh kaki tangan OPM. Kasus ini dipakai sebagai justifikasi dibukanya satu batalyon baru di Wamena.

Kasus hangat lain adalah pengungsian sekitar 10.000 masyarakat sipil di distrik Yamo Kabupaten Puncak Jaya pasca pembunuhan dua aparat TNI AD yang di lakukan kelompok milisi. Contoh kasus lain adalah kasus Mariedi kabupaten Bintuni. Masyarakat menuntut ganti rugi yang layak atas kayu-kayu yang di ambil oleh PT. DJayanti Group tetapi kemudian Brimob sebagai penjaga perusahaan menembak mati 5 warga karena dituduh terlibat gerakan OPM. Contoh lain adalah operasi ketupat dimana 11 masyarakat sipil dituduh sebagai anggota TPN/OPM di tangkap tanggal 22 November 2003.

Selain itu Papua dijadikan Daerah Operasi Militer (DOM). Yang menjadi target dari operasi Militer adalah rakyat Papua yang dituduh membangkang terhadap pemerintah Indonesia . Operasi ini hampir mencakup seluruh wilayah tanah Papua. Banyak rakyat Papua yang terbunuh selama diberlakukanya DOM karena dalam operasi militer tidak memakai sistim tebang pilih, yang ada adalah sistem sapu rata. Fakta kasus seperti yang terjadi di Wasior kabupaten Manokwari dimana aparat tidak membedakan orang yang bersalah atau tidak, namun hanya bertindak dengan melihat dari warna kulit dan rambut.
Share this article :

0 Komentar Anda:

Post a Comment

Your Comment Here

Twitt VBPapua

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. SBP-News @VBaptistPapua - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger