PRESS RELEASE
Segera Jawab 11 Rekomendasi MUBES MRP bersama orang asli Papua”
Pemaksaan penerapan UU OTSUS Papua adalah suatu tindakan mengabaikan nilai-nilai demokrasi, keadilan, kebenaran, martabat manusia, hukum dan hak asasi manusia. Mengapa? Pertama, OTSUS Papua bukan niat baik Jakarta, tetapi OTSUS adalah pedang bermata dua Jakarta untuk membasmi orang asli Papua; kedua, OTSUS Papua bukan aspirasi murni rakyat Papua, tetapi niat pemerintah Indonesia untuk meredam aspirasi politik Papua merdeka; ketiga, OTSUS Papua tidak membebaskan orang Papua dari kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan, akan tetapi menciptakan ketidak-adilan dalam pelbagai dimensi kehidupan orang asli Papua; keempat, OTSUS Papua bukan menegakkan hukum dan demokrasi, tetapi justru di era OTSUS Papua makin meningkatnya pelanggaran hukum dan HAM serta demokrasi secara langsung maupun tidak langsung oleh aparat Negara Indonesia, baik sipil tak bersenjata, maupun sipil bersenjata, serta oleh TNI.
UU OTSUS Papua telah berkali-kali ditolak oleh pemegang kedaulatan orang asli Papua serta simpatisan yang ada di tanah Papua serta rantauan, namun pemerintah mengabaikan suara-suara kritis warga. Negara Indonesia melalui kaki tangannya terus melakukan penindasan secara langsung maupun terselubung melalui pelbagai tindakan secara langsung maupun tidak langsung yang dikemas secara rapi dan sistematis; tujuannya adalah melumpuhkan sendi-sendi hidup orang asli Papua, melumpuhkan karakter orang asli Papua, melumpuhkan daya kritis dan kreasi orang asli Papua; yang bermuara pada pembumihangusan manusia dan kekayaan alam Papua.
Menyimak kondisi hidup orang asli Papua yang tidak berperi-kemanusiaan dan tidak berperi-keadilan yang terjadi sebelum dan di era OTSUS Papua, maka pimpinan SINODE Kingmi Papua (Dr. Benny Giay) turun jalan bersama umat tertindas Papua. Perjuangan aksi jalan beliau bersama umat tertindas telah melahirkan musyawarah bersama MRP dan orang asli Papua antara tgl 9 dan 10 Juni 2010, yang telah menghasilkan 11 rekomendasi, yang telah diantar ke DPRP pada tanggal 18 Juni 2010. Aspirasi ini tidak direspon oleh pemerintah Indonesia, baik di pusat Jakarta maupun pemda propinsi di Tanah Papua. Justru pemerintah Indonesia mendorong perekrutan dan penyeleksian MRP jilid II.
Empat Sinode Gereja di tanah Papua pada tanggal 10 Januari 2011 mengeluarkan komunike bersama melalui siaran pers bersama, yang intinya: penghentian pemilihan MRP dan mendesak Pemerintah menjawab 11 rekomendasi MUBES MRP dan orang asli Papua. Salah seorang pimpinan Ketua Sinode menarik diri, akhirnya hanya tiga Gereja terbesar di tanah Papua (Kingmi, Babtis dan GKI) bertahan menyuarakan suara kenabiannya. Tidak hanya berbicara lewat media massa, namun mereka telah turun jalan bersama umat Tuhan pada tanggal 26 Januari 2011.
Sangat disayangkan bahwa ketua sinode GKI (pdt. Yemima Krey) dipengaruhi oleh gubernur Bas Suebu untuk mendukung pemerintah, khususnya perekrutan dan penyeleksian MRP. Ia pun terbuai dengan kelicikan lidahnya dan terbuai dalam permainan kotor Jakarta untuk memperpanjang penindasan terhadap umat Tuhan penduduk pribumi di tanah Papua. Tindakan Pdt. Yemima ini sangat memalukan.
Walaupun tantangan bertubi-tubi yang menimpa dua pimpinan SINODE dan satu wakil SINODE Gereja di tanah Papua, namun sampai detik ini masih terus menyuarakan suara kenabiannya dan tetap konsisten dengan sikap awal bahwa: stop pemilihan MRP dan jawab 11 rekomendasi MUBES MRP. Mereka pun pada tanggal 13 Februari 2011 berangkat ke Jakarta didampingi oleh DPRP menyampaikan aspirasi umat tertindas Papua yang dituangkan dalam “Deklarasi Teologia”.
Perjuangan pimpinan gereja Papua yang peduli dengan umat Tuhan ini hendaknya menjadi perhatian pemerintah karena suara mereka adalah suara kenabian untuk memprotes kekaliman pemerintah Indonesia dan memperjuangkan kebenaran serta keadilan bagi umat Tuhan di Tanah Papua.
Di tengah perjuangan keadilan dan kebenaran oleh ketiga pimpinan gereja bersama umat Tuhan di Tanah Papua, pemerintah Indonesia melalui kesbang pol, yang diback up oleh pimpinan Gereja tertentu, yakni kelima uskup di tanah Papua melalui Uskup Jayapura, ketua Sinode GIDI, Pentekosta, dan sinode-sinode lainnya melacurkan diri dalam mendorong dan mengawal bursa perekrutan dan penyeleksian MRP jilid II dalam rangka penguatan OTSUS Papua.
Pemerintah menutup mata terhadap suara-suara warga Papua yang tertindas oleh resim Negara Indonesia; Jakarta dan pemda propinsi di tanah Papua pun menutup mata terhadap suara-suara kenabian dari tiga pimpinan Gereja di tanah Papua. Upaya pimpinan Gereja pro umat Tuhan yang menolak OTSUS Papua mendapatkan perhatian dari DPD RI. Namun, kami mendapatkan kabar bahwa upaya DPD RI dalam rangka revisi UU OTSUS Papua. Upaya Jakarta untuk merevisi UU OTSUS Papua atau menerapkan kebijakan baru di Tanah Papua tidak akan pernah menyelesaikan pelbagai kompeksitas masalah Papua, tetapi justru akan memperuncing permasalahan di Tanah Papua.
Semua permasalahan di Tanah Papua ini tidak akan tertangani dan terselesaikan dengan baik jika semua permasalahan ini tidak dibawa ke dalam suatu forum resmi yang dimediasi oleh pihak ketiga yang netral. Apapun permasalah jika tidak dibahas dengan baik melalui suatu pertemuan formal antara wakil orang asli Papua dan Jakarta, maka jangan pernah bermimpi bahwa masalah Papua akan terselesaikan dan tak tercipta Papua Tanah Damai. Papua Tanah Damai atau Papua Baru itu akan tercipta apa bila semua pihak, terlebih pemerintah pusat mau membuka diri dan berdialog dengan orang asli Papua melalui wakil yang dipercayakan oleh pemerintah Indonesia dan oleh orang asli Papua.
Menyikapi situasi dan kondisi Papua yang makin memprihatinkan ini, maka pada kesempatan ini, kami menyatakan dengan tegas bahwa:
- Segera bubarkan pemerintahan OTSUS di tanah Papua.
- Pemerintah Indonesia segera menjawab 11 Rekomendasi MUBES MRP dan orang asli Papua.
- Menolak dengan tegas revisi UU OTSUS Papua, dan menolak penerapan kebijakan lain yang dapat mengancam eksistensi orang asli Papua.
- STOP pemilihan dan pelantikan MRP boneka yang penuh manipulatif dan tidak demokratis.
- Pimpinan Gereja yang pro OTSUS Papua yang mendorong perekrutan dan penyeleksian MRP segera berhenti dari percaturan politik kotor yang mencoreng jati diri Gereja di Tanah Papua; dan segera menarik perwakilannya di MRP jilid II serta merapatkan barisan bersama pimpinan Gereja yang pro umat Tuhan yang menolak UU OTSUS Papua.
- Rektor Universitas Cenderawasih beserta jajarannya segera bertanggung jawab kepada rakyat bangsa Papua menyangkut para akademisi yang pernah menyusun draft UU OTSUS Papua yang dalam implementasinya telah menggadaikan hak-hak orang asli Papua, yang kini sudah terbukti gagal total, dan yang menjadi lambang kejahatan kemanusiaan manusia Papua.
- Rakyat bangsa Papua serta simpatisan segera rapatkan barisan untuk melakukan demonstrasi besar-besar pada tanggal 2 Maret 2011 dan tanggal 7 Maret 2011 mendesak stop pemilihan dan pelantikan MRP; serta mendesak pemerintah segera menjawab 11 rekomendasi MUBES MRP dan orang asli Papua.
- Pemerintah segera membuka diri untuk berdialog dengan rakyat bangsa Papua yang difasilitasi oleh pihak ketiga yang netral (Negara/PBB) untuk membahas dan menyelesaikan segala permasalahan di Tanah Papua guna mencari solusi alternatif bagi penyelesaian sengketa-sengketa di tanah Papua dengan demokratis, adil, jujur, bermartabat dan damai.
Demikian siaran pers ini dibuat dengan sesungguh-sungguhnya untuk ditindaklanjuti oleh semua pihak demi menyelamatkan umat Tuhan di tanah Papua yang terbelenggu sistem Negara Indonesia yang tidak bermanusiawi dan tidak beradab.
Port Numbay: Minggu, 27 Februari 2011
Juru Bicara
SELPIUS BOBII
0 Komentar Anda:
Post a Comment
Your Comment Here