SUARA BAPTIS PAPUA

Dukung Aksi Perdamaian Atas Kekerasan di Papua Barat.
Jika Anda Peduli atas kemanusiaan Kaum tertindas di Papua barat Mohon Suport di sini:

Please donate to the Free West Papua Campaign U.K.
Kontribusi anda akan kami melihat ada perubahan terhadap cita-cita rakyat papua barat demi kebebasan dan kemerdekaannya.
Peace ( by Voice of Baptist Papua)

Home » , , » Indonesia Harus Keras pada PBB

Indonesia Harus Keras pada PBB

Written By Voice Of Baptist Papua on March 25, 2011 | 2:01 AM

Jakarta - Tingkat kepekaan penentu kebijakan luar negeri Indonesia, agaknya cukup rendah. Hal ini terlihat dari tidak adanya reaksi dari Indonesia terhadap resolusi Dewan Keamanan PBB yang membolehkan pasukan koalisi menyerang Libya.
Padahal situasi yang sama, pengalaman Libya, diserang atau lebih tepat disebut ‘dikeroyok’ oleh sejumlah negara berkekuatan militer penuh, dapat terjadi pada Indonesia. Sebab Indonesia memiliki wilayah-wilayah kaya seperti Benghazi di Libya.
Kekayaan ini menjadi daya tarik negara-negara industri untuk melakukan intervensi atau mengobrak-abrik Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Misalkan, (semoga saja ini tidak terjadi), di salah satu wilayah di Papua atau Papua Barat sana, terjadi demonstrasi yang menentang Presiden SBY.

Demonstrasi itu makin lama makin membesar. Isu pun makin sensitif sebab mengangkat topik SARA (Suku, Agama Rasial dan Antar Golongan). Singkat ceritera, aparat yang tidak mampu mengendalikan emosi akhirnya menembaki demonstran. Dari tadinya senjata yang digunakan peluru karet akhirnya berubah menjadi peluru berbentuk timah panas.
Akhirnya jatuh korban, tewas, cidera dan sebagainya. Media asing kemudian melaporkan berita ini dan jadilah peristiwa penembakan aparat keamanan itu sebagai sebuah tindakan yang dianggap melanggar HAM. Ujung-ujungnnya Presiden SBY yang berada di Jakarta, dituding sebagai pihak yang memerintahkan atau merestui tindakan tersebut.
Lalu muncul advokat dari luar negeri yang menyarankan agar rakyat yang dizalimi pemeintah pusat, membentuk perlawanan serius dengan meminta supaya SBY turun dari kursi kepresidenan. Padahal tuntutan itu hanya sebuah entry point.
Entah dari mana asalnya, tiba-tiba para demonstran sudah mempunyai senjata untuk bertempur. Australia (sekali lagi mudah-mudahan tidak terjadi) sebagai negara tetangga terdekat Indonesia, kebetulan lagi sewot. Wilayah Papua yang sangat dekat dengan Australia, diberinya perhatian. Kemudian diam-diam memberi bantuan kepada kelompok perlawanan di Papua tersebut.
Tidak lama setelah itu, kelompok demonstran meningkatkan tuntutan mereka. Mereka mendesak supaya pemerintahan yang sah di Jakarta diganti oleh personalia yang lebih peduli pada Papua Jika tuntutan mereka tidak dipenuhi, mereka akan mendirikan negara merdeka baru di wilayah Papua.
Karena Jakarta berkeras, tidak ingin membiarkan terbentuknya sebuah negara merdeka di tanah Papua atau tidak ingin melepas kekuasaan kepada para demonstran oposisi, hubungan Jakarta-Papua memanas. Makin lama makin tinggi tensinya.
Tiba-tiba Menteri Luar Negeri Australia mengundang Menlu Amerika Serikat dan pihak-pihak yang tidak bersimpati kepada Indonesia untuk mengadakan pertemuan. Membahas situasi Papua dan hubungan dengan Indonesia. Hasilnya, Indonesia harus diberi sanksi.
Setelah pertemuan itu, Dubes AS di PBB meminta DK PBB menggelar sidang untuk memutuskan agar di atas wilayah Papua dan Papua Barat, diberlakukan larangan wilayah terbang. Hasil keputusan DK PBB itu diikuti pembentukan pasukan koalisi.
Pasukan koalisi yang menggunakan bendera PBB kemudian mengirim armada kapal induk ke kawasan Timur Indonesia. Pasukan Koalisi ini menembaki semua wilayah-wilayah yang dikuasai Indonesia.
Sepertinya ceritera atau skenario ini terlalu mengada-ada, mendramatisir situasi. Tapi sesungguhnya apa yang mendahului Konflik Libya berawal dari munculnya demonstran kemudian berubah menjadi kekuatan oposisi diikuti ancaman mendirikan negara merdeka.
Isu ini kemudian ‘ditangkap’ oleh Barat, khususnya negara yang sudah lama tidak bersimpati kepada Moamar Khadafy. Indonesia bukan Libya dan SBY bukan Khadafy. Tetapi segala sesuatu bisa terjadi. Apa yang terjadi di Libya bukan mustahil terjadi di Indonesia.
Konflik Libya, terlepas dari soal Moamar Khadafy seorang diktator yang tidak disenangi Barat, berawal dari gerakan oposisi atau demonstrasi kecil di kota Benghazi. Kota yang terletak di wilayah Timur Libya dan lebih dekat dengan Mesir itu, kini menjadi pangkalan oposisi Libya. Pihak oposisi sekarang dibantu negara-negara seperti AS, Inggris, Prancis, Italia, Qatar dan mungkin tak lama lagi oleh NATO (28 negara anggota).
Di AS sendiri sudah muncul pertanyaan apa gunanya Washington membantu pemberontak Libya yang beroposisi terhadap Tripoli atau Khadafy. Bahkan di Inggris, ada suara-suara yang mempertanyakan akuntabilitas pengeroyokan terhadap Libya. Tapi kritik dan suara ini tidak membuat Libya menjadi lebih aman.
Berkaca dari hal ini, Indonesia seharusnya patut bersikap keras terhadap AS ataupun PBB. Tidak cukup seperti sikap ‘golden is silent’ seperti saat ini. Soal didengar atau tidak, tak menjadi soal. Tetapi adalah jauh lebih baik Indonesia menyatakan sikap ketidak setujuan.
Yang dikuatirkan, tidak bereaksinya pemerintah Indonesia secara sungguh-sungguh atas krisis Libya ini, antara lain karena pemahaman kita terlanjur dipengaruhi opini yang diciptakan ahli-ahli publik relations dari negara-negara Barat. Yaitu Libya atau Khadafy memang pantas diberi sanksi seperti yang sudah diputuskan Dewan Keamanan PBB.
Saat ini memang tidak mudah meminta pasukan koalisi untuk menghentikan serangan militernya ke Libya. Boleh jadi juga Indonesia akan berjalan sendirian. Sebab dua negara pemegang Hak Veto di DK PBB, Rusia dan China, juga tidak bisa mencegah resolusi itu.
Hal ini semata-mata, karena Rusia menghadapi persoalan serupa di Chechnya sementara China menghadapi hal yang mirip di Tibet. Itu sebabnya kedua negara itu tidak memveto resolusi tentang Libya.
Namun kedua negara ini masih tetap bisa diajak bekerja sama. Minimal kita minta pada mereka agar jika di salah satu wilayah Indonesia muncul perlawanan seperti di Benghazi, perlawanan ini, tidak harus menjadi urusan Dewan Keamanan PBB. [mdr]

Share this article :

0 Komentar Anda:

Post a Comment

Your Comment Here

Twitt VBPapua

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. SBP-News @VBaptistPapua - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger