Konflik Papua (foto iltrs) |
Jakarta Praktik kekerasan dengan latar belakang pemilukada beberapa kali terjadi di Tanah Air. KontraS khawatir ada parpol di balik kekerasan di pemilukada. LSM ini pun meminta Badan Pengawasan Pemilu (Bawaslu) bertindak.
"Kami khawatir dengan praktik kekerasan dengan latar belakang pemilukada di Papua menjadi komoditas politik partai-partai politik dan upaya memperburuk kondisi Papua. Kami mencatat 2 kasus besar yang berujung kekerasan dalam pilkada," ujar Koordinator KontraS, Haris Azhar.Hal itu disampaikan dia saat beraudiensi dengan Bawaslu di Gedung Bawaslu, Jl MH Thamrin, Jakarta, Jumat (2/3/2012).
Kontras mencatat 2 kasus besar yang berujung kekerasan dalam pemilukada. Pertama, terjadi di Kabupaten Puncak, Papua, di mana terjadi bentrok antar pendukung Simon Alom dan Elvis Tabuni dalam memperebutkan rekomendasi dari DPD Gerindra untuk maju dalam pemilihan Bupati Puncak Papua.
"Dalam konflik ini menewaskan 95 orang. Belum ditambah ratusan orang mengalami luka-luka dari dua kubu," jelasnya.
Kedua, bentrok antar pendukung Jhon Tabo - H Edi Suyanto dengan Usman Wanimbo - Amos Jikwa dalam pencalonan Bupati Tolikara. Dalam bentrokan ini setidaknya 11 orang tewas, 201 luka-luka dan 76 rumah hangus terbakar.
"Dalam dua kasus tersebut kami tidak melihat keseriusan dari parpol pengusung calon yang ikut bersaing dalam pilkada untuk memberikan langkah solutif. Kami juga khawatir dengan respons-respons dari kepolisian yang gagal mencegah konflik berkepanjangan," sambung Haris.
Dia berpendapat berkepanjangannya konflik kepentingan pemilukada di Papua menunjukkkan bahwa partai yang beroperasi di Papua telah gagal menjadi instrumen pendidik demokrasi. "Kami meminta agar Bawaslu menindak tegas partai-partai yang secara jelas melatarbelakangi kekerasan di Papua, terutama dalam proses pemilukada," lanjut Haris.
"Kami meminta agar Bawaslu menindak tegas partai-partai yang secara jelas melatarbelakangi kekerasan di Papua, terutama dalam proses pemilukada," pintanya.
Sementara itu Ketua Bawaslu, Bambang Eka Cahyo Widodo, menyebut tidak mudah menghubungkan peristiwa kekerasan itu dengan parpol. Karena benturan antar kelompok itu belum tentu karena keterlibatan parpol.
"Seperti di Tolikara, akar masalahnya setelah kita cek di lapangan bukan pada pendukung parpol tapi pada panitia pemilihan daerah (PPD) yang berbeda. Ada dua PPD yang terlibat konflik karena sama-sama pegang SK, sama-sama punya kewenangan pemilu. Ini kan bukan urusannya dengan parpol," tutur Bambang.
Menurut dia, Komisi Pemilihan Umum seharusnya melakukan verifikasi ke DPC, DPD dan DPP. Sayangnya hal ini masih belum dilakukan. Selain itu, dalam kasus pencalonan seringkali terjadi jual beli dukungan.
"Yang seperti ini potensi konfliknya sangat tinggi. Di satu sisi regulasi harus kita perbaiki terus dalam pemilukada ini dengan menunggu Undang-undang 32 tahun 2004 yang sudah diubah berapa kali, dan saya rasa akan diganti lagi. Itu yang kita tunggu, perbaikan kepada undang-undang," paparnya.
Bambang mengakui perbaikan kapasitas penyelenggara pemilukada harus dilakukan karena menjadi salah satu masalah. Nah, di Papua, menurutnya netralitas penyelenggara pemilukada sering terganggu karena tekanan, intimidasi, maupun suap.
"Saya setuju tadi dengan teman-teman Kontras, parpol seharusnya mempunyai tanggung jawab kepada pendukungnya dan struktur organisasinya, dan kepada mekanisme pengambilan keputusan di organisasinya parpol. Jangan DPC beda dengan DPD dan berbeda dengan DPP. Itu kan menyulitkan penyelenggara, pengawas maupun masyarakat," papar Bambang.
Sumber; detik.news
0 Komentar Anda:
Post a Comment
Your Comment Here