Jayapura-Ketua Umum Badan Pelayan Pusat Persekutuan Gereja-Gereja Baptis Papua, Socratez Sofyan Yoman prihatin dengan situasi yang sedang terjadi beberapa hari terakhir ini di Tanah Papua khususnya Jayapura. Pihaknya mendengar dari Pemerintah Indonesia melalui duta besar Indonesia di London, Inggris dan pihak kepolisian di Papua bahwa peluncuran Internasional Parlement for West Papua (IPWP) tanggal 15 Oktober 2008 di House of Cummons merupakan suatu acara yang tidak signifikan.
Pasalnya acara tersebut bukan merupakan acara resmi dan terjadwal dari parlemen Inggris, tapi acara itu hanya dihadiri oleh 2 orang anggota parlemen saja dan pertemuannya berlangsun diruang tertutup. Sebab itu, pemerintah telah menghimbau masyarakat Indonesia termasuk di Papua untuk tidak terpancing.
“Kami para pimpinan gereja di Jayapura merasa prihatin karena sekalipun acara peluncurannya diakui tidak signifikan tetapi pihak keamanan bertindak represif terhadap orang Papua,” kata socratez. Diungkapkan, pada 16 Oktober gabungan dari polisi, TNI dan Angkatan Laut memblokir jalan raya Waena untuk menghalangi ribuan orang Papua yang hendak menyampaikan pendapatnya kepada DPRP di Jayapura. Menghadapi rencana demontrasi damai ini, pihak keamanan melakukan siaga di seluruh sudut Kota Jayapura.
Pemblokiran jalan oleh pihak keamanan tersebut, menurutnya merupakan suatu tanda yang mengindikasikan adanya pemblokiran saluran demokrasi, karena ribuan orang Papua tidak diberikan kesempatan untuk menyampaikan pendapatnya tentang acara peluncuran IPWP yang diakui tidak signifikan itu. Aparat keamanan tidak hanya memalang jalan raya tapi juga saluran demokrasi.
“Kami melihat bahwa ruang demokrasi sengaja ditutup bagi orang Papua, kami merasa prihatin karena orang Papua yang mau demontrasi tidak diberikan kesempatan untuk melaksanakan haknya yakni kebebasan berekspresi. Tentu hal ini mencoreng wajah Indonesia yang sedang berkembang menjadi Negara demokrasi,” ujarnya.
Menurutnya, pemerintah masih menlanjutkan tindakan represifnya. Ketika orang Papua ingin melaksanakan demonstrasi di Kota Jayapura. Pada 20 Oktober 2008 suasana di Kota Jayapura mencekam. Aparat keamanan disebar di Kota Jayapura. Tindakan yang berlebihan dari pihak keamanan ini memperlihatkan bahwa pemerintah Indonesia masih salah dalam melihat orang Papua.
“Orang Papua yang mempunyai aspirasi dan pendapat yang berbeda dipandang sebagai orang-orang jahat yang melakukan tindakan criminal. Demokrasi damai dipandang sebagai suatu kegiatan yang melakukan criminal. Menurut dia, orang Papua berada di tengah dua pendapat yang berbeda, disatu pihak orang Papua mendengar IPWP membahas tentang PEPERA belum final. Hal ini tentunya membiarkan orang Papua bingung diantara dua pendapat yang berbeda dan terus menjadi korban.
Dia menambahkan, masalah pro dan kontra terhadap pelaksanaan PEPERA tidak akan diselesaikan dengan cara pemblokiran jalan, penagkapan, penahanan, pemukulan yang dilakukan aparat keamanan. Menagkap, mengandili dan memenjarakan semua orang Papua pun tidak akan menyelesaikan persoalan PEPERA. Pihaknya percaya bahwa kekerasan sebesar apapun tidak akan pernah menyelesaikan persoalan PEPERA ini, Cepos, Sabtu, 25 Oktober 2008, (Lia).
0 Komentar Anda:
Post a Comment
Your Comment Here