SUARA BAPTIS PAPUA

Dukung Aksi Perdamaian Atas Kekerasan di Papua Barat.
Jika Anda Peduli atas kemanusiaan Kaum tertindas di Papua barat Mohon Suport di sini:

Please donate to the Free West Papua Campaign U.K.
Kontribusi anda akan kami melihat ada perubahan terhadap cita-cita rakyat papua barat demi kebebasan dan kemerdekaannya.
Peace ( by Voice of Baptist Papua)

Home » , , » Mengapa Pemerintah INDONESIA Menjadi Telinga Tuli atas Suara Rakyat PAPUA

Mengapa Pemerintah INDONESIA Menjadi Telinga Tuli atas Suara Rakyat PAPUA

Written By Voice Of Baptist Papua on June 3, 2011 | 5:29 PM

Oleh : Socratez Sofyan Yoman

Uskup Dom Carlos Filipe Ximenes Belo, SDB, pernah menyatakan imannya:  “Posisi Gereja Katolik di Timor Timur, pada pilihan apapun, adalah menerima situasi yang dipilih rakyat Timor Timur. Pada situasi ini, pilihan-pilihan yang dianjurkan oleh Gereja adalah pilihan untuk melakukan Referendum. Gereja memberikan anjuran terhadap pilihan ini karena percaya bahwa pilihan terhadap referendum adalah pilihan demokratis yang mampu mengakomodasikan seluruh aspirasi dan suara hati rakyat Timor Timur” (Sumber:  Demi Keadilan dan Perdamaian, Peter Tukan-Domingos de Sousa, 1997:hal. 338).
Pemahaman Pemerintah Indonesia dan aparat keamanan TNI dan POLRI dan rakyat Indonesia pada umumnya  tentang masalah Papua selama ini salah dan tidak secara utuh.  Seperti Pendeta Elly Doirebo,S.Th., MM, wakil Ketua Sinode Am Gereja Injili Di Tanah Papua (GKI) mengatakan: “Pemerintah Indonesia harus membuka kaca mata Jakarta untuk melihat Papua
dan memakai kaca mata Papua untuk melihat Papua dengan tepat. Kalau Indonesia selalu memakai kaca mata Jakarta untuk melihat masalah Papua pasti selalu salah.”  Selama ini terjadi dan berlangsung bahwa Indonesia melihat masalah Papua dengan cara pandang Jakarta. Para pembaca opini yang mulia dan terhormat,  baca dan renungkan, komentar-komentar cara pandang Indonesia tentang Papua  yang dikutip di bawah ini. “Secara hukum, Papua adalah bagian tidak terpisahkan dari NKRI” (Syamsuddin Haris, Kepala P2P LIPI : Sinar Harapan, Selasa, 19 Januari 2010, hal.2).  Sedangkan dalam media harian Bintang Papua, pada Selasa, 03 Mei 2011, Saudara Pangdam XVII/Cenderawasih, Mayjen TNI Erfi Triassunu, menyatakan: “Integrasi Papua ke NKRI Sudah Final”.  Sementara Kol. Kav. Burhanudin Siagian pada waktu menjadi DANREM 172 Jayapura pernah mengancam, “Pengkhianat Negara Harus Ditumpas. Jika saya temukan ada oknum-oknum orang yang sudah menikmati fasilitas Negara, tetapi masih saja mengkhianti bangsa, maka terus terang saya akan tumpas. Tidak usah demonstrasi-demonstrasi atau kegiatan-kegiatan yang tidak berguna. Jangan lagi mengungkit-ungkit sejarah masa lalu.” (Sumber: Cenderawasih Pos, 12 Mei 2007, dan baca: Pemusnahan Etnis Melanesia: Memecah Kebisuan Sejarah Kekerasan Di Papua Barat, 2007:hal.346).
Pemerintah dan rakyat Indonesia selalu menyatakan bahwa secara hukum Papua adalah bagian tidak terpisahkan.   Integrasi Papua ke NKRI sudah final.   Pengkhianat Negara akan ditumpas.  Tetapi, mengapa penduduk asli Papua, pemilik Negeri dan  ahli waris Tanah ini tetap saja menggugat pendudukan dan penjajahan Pemerintah Indonesia atas Tanah Papua  melalaui demonstrasi, diplomasi, lobi dan juga melalui menulis buku, komentar di media? Pemerintah Indonesia dan aparat keamanan Indonesia janganlah menipu dirimu sendiri. Karena, Anda sebenarnya sudah tahu bahwa Anda adalah orang yang salah dengan sejarah yang salah pula di atas Tanahnya rakyat Papua ini.
Dengan tepat  seruan moral dan suara kenabiaan yang disampaikan Uskup Dr. Desmon Tutu, seorang Uskup Gereja Anglikan dari Afrika Selatan dalam menyikapi   keprihatinannya kelangsungan hidup dan masa depan penduduk asli Papua sebagai berikut. “ Orang-orang Papua Barat telah dikhianati hak-hak dasar mereka, termasuk hak dasar untuk penentuan nasib sendiri. Teriakan mereka untuk keadilan dan kebebasan telah jatuh pada telinga-telinga tuli di Jakarta. Saya akan bersama mereka dalam doa saya tentang kebutuhan mereka”.
Sedangkan Uskup Dr. Sephania Cameeta dari Namibia waktu berkunjung ke Papua pernah berkata: “ Selama ini saya berusaha untuk memahami dan mengerti tentang situasi umat Tuhan di Tanah Papua Barat melalui berita-berita surat kabar dan media internet. Sekarang,  saya telah melihat langsung bahkan mengalami sendiri betapa beratnya penderitaan yang dialami oleh umat Tuhan di sini”.
Walaupun ada keprihatinan mendalam tentang situasi  kemanusiaan dan ketidakadilan yang menakutkan  sedang dan terus terjadi di Tanah Papua terhadap penduduk asli, Pemerintah Indonesia dan aparat keamanan Negara tidak mempunyai kepekaan hati nurani dan sepertinya telinga mereka sudah tuli. Telinga mereka ditutup dengan jargon NKRI harga mati, bahkan memaksakan orang untuk mengaku dan setia pada NKRI, Pancasila dan UUD 1945,  dan penduduk asli Papua ditekan dengan stigma anggota OPM, separatis dan makar. Ada kampanye-kampanye  hampa yang menyembunyikan kejahatan dan kekerasan Negara di Tanah Papua dengan tema: “KASIH DAN DAMAI ITU INDAH”. Sebenarnya kampanye  seperti ini sama saja dengan slogan : “NKRI HARGA MATI”.   Hanya istilah yang dipoles dan dikemas dengan kata-kata indah yang bisa diterima. Iblis juga pintar menggunakan ayat-ayat Firman Tuhan untuk mencobai Yesus Kristus di padang gurun.   Yang jelas dan pasti: Slogan kosong seperti ini: (1)   tidak akan  membangun kembali rasa kepercayaan rakyat Papua terhadap Indonesia yang sudah hilang;  dan (2) tidak mampu menghapuskan penderitaan, tetesan darah dan cucuran air mata umat Tuhan di atas Tanah Papua karena kekerasan Negara yang sudah berlangsung selama lima puluh tahun ( 50 tahun) sejak 1 Desember 1961 tahun aneksasi Papua ke Indonesia sampai berlakunya UU Otonomi Khusus No. 21 Tahun 2001. Otsus telah disepakati sebagai solusi final yang berprospek damai tetapi dari berbagai pihak menilai dan mengakui  bahwa   OTSUS telah GAGAL dan tidak berhasil.  Karena itu, Pemerintah Indonesia menyiapkan penggantinya adalah Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B) yang lebih rendah dari UU No. 21 Tahun 2001. Sebenarnya, pemerintah Indonesia harus menyatakan dengan jujur dan terbuka bahwa  Indonesia telah gagal membangun penduduk asli Papua.
Pdt. Andreas Ayomi, M.Th., pada waktu menjadi Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja Papua (PGGP) pernah menyatakan dengan jelas:   “Penduduk Papua dan umat Kristen di tanah Papua merasa tidak aman, bahkan terancam bahaya sejalan dengan pembangunan yang amat cepat itu. Kejahatan yang semakin meningkat itu diantaranya perampasan hak-hak orang asli Papua dan kekerasan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat yang menodai pembangunan yang berjalan saat ini di tanah Papua. Dari sudut ras bangsa Papua bukanlah bangsa Indonesia, dari sudut budaya orang Papua tidak berbudaya orang Indonesia. Akan tetapi dari sudut politik orang Papua telah dicangkokkan menjadi bangsa Indonesia, kendati demikian dapat diakui bahwa pencangkokkan itu tidaklah sepihak karena nama putra-putri Papua ikut memperjuangkan Papua dengan gigih untuk ke NKRI.  Sudah 63 tahun Indonesia merdeka, tetapi kemerdekaan tanah Papua baru beranjak 39 tahun. Banyak hal yang sudah dirasakan bersama dengan Indonesia dalam membangun Papua. Kenyataan lain yang ditemukan adalah kejahatan yang kian terus meningkat”. ( Yoman: Suara Bagi Kaum Tak Bersuara: 2009: hal. 135-136, dikutip dari sumber: Bintang Papua, Jumat, 05 September 2009).
Mengapa Pemerintah Indonesia menjadi telinga tuli  dan melakukan kekerasan,   kejahatan kemanusiaan, kebohongan dan ketidakadilan atas  orang asli Papua? Jawabannya ialah Pemerintah Indonesia tidak membutuhkan manusia Papua, tetapi misi utama Indonesia di ialah  kesuburanTanah Papua,  ekonomi, politik dan keamanan. Sedangkan manusianya harus dimusnahkan dengan berbagai macam pendekatan yang wajar sampai tidak wajar. Kebenaran Sejarah Papua digelapkan dengan pendekatan kekerasan.  
Pelaku sejarah dan dan saksi mata, Hermanus Wayoi (alm.) pernah menyatakan: “Keutuhan wilayah tanah jajahan Hindia-Belanda sebelum perang dunia kedua yang berbatas dari Sabang hingga ke Merauke telah terpecah, karena pada bulan April 1944 Tentara Sekutu membebaskan Tanah Papua dari Tentara Jepang. Pemerintah Belanda yang ikut serta dalam Tentara Sekutu langsung membentuk suatu Pemerintahan dengan status Keresidenan yang bertanggungjawab langsung kepada Mahkota Kerajaan Belanda dan bukan lagi ke Batavia yang pada saat itu Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 diucapkan, wilayah Tanah Papua tidak termasuk di dalamnya. Jadi, kemerdekaan yang memproklamirkan itu hanya berlaku dari Sabang sampai Maluku. Kesimpulannya secara de facto dan de jure Tanah Papua atau Irian Barat tidak termasuk wilayah Indonesia berdasarkan Proklamasi 17 Agustus 1945. Di dalam tiga Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, UU 1945, UUD RIS dan UUD Sementara tidak terdapat satu pasal pun yang menyatakan bahwa batas Negara Republik Indonesia dari Sabang hingga ke Merauke, dan tidak ada satu pasal pun yang menyatakan bahwa Tanah Papua termasuk Wilayah Indonesia. Ternyata ahli-ahli yang merancang Undang-Undang Dasar itu telah mengetahui bahwa Tanah Papua tidak termasuk Indonesia, sebagaimana pidato Presiden Sukarno pada tanggal 15 Agustus 1945 di depan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia mengatakan bahwa: Yang disebut Indonesia adalah Pulau-Pulau Sunda Besar (Jawa, Sumatra, Borneo, Celebes). Pulau-Pulau Sunda Kecil yaitu Bali, Lombok, Pulau-Pulau Nusa Tenggara Barat dan Timur serta Maluku. Tetapi untuk keamanan Indonesia dari arah Pasifik kita perlu menguasai Tanah Papua.  Jadi, Tanah Papua bukan wilayah Indonesia, melainkan dijadikan daerah perisai/tameng atau bumper bagi Republik Indonesia. Maksud Sukarno inilah yang kemudian diwujudkan dalam Komando Trikora di Yogjakarta pada tanggal 19 Desember 1961.” (Baca dalam buku Yoman: Suara Gereja Bagi Umat Tertindas: Penderitaan, Tetesan Darah Dan cucuran Air Mata Umat Tuhan Di Papua Barat Harus Diakhiri” (2008:hal.50-51).
Karena  telinga Pemerintah Indonesia dan aparat keamanan TNI dan POLRI sudah tuli untuk mendengarkan jeritan hati dan suara penduduk asli Papua,  Gereja tetap mendengar suara,tangisan dan tetesan air mata mereka. Karena Gereja ada  sejak 5 Februari 1855 di Tanah Papua untuk penduduk asli Papua ini.  Dalam keadaan baik atau tidak baik,  Gereja tetap bersama penduduk asli Papua yang punya Negri dan Tanah ini. Gereja di Tanah Papua sependapat dengan teman kami, Uskup Belo di Timor Leste  yang telah dikutip di pendahuluan di atas. Gereja mendengar  dan mendukung pendapat rakyat Papua.      
“Di atas batu ini saya meletakkan peradaban orang Papua, sekalipun orang memiliki kepandaian tinggi, akal budi, dan marifat tetapi tidak dapat memimpin bangsa ini. Bangsa ini akan bangkit dan memimpin dirinya sendiri.” (Pdt. Izaac Samuel Kijne, Wasior, Manokwari, 25 Oktober 1925).
”Di Tanah ini, kita bekerja di antara satu bangsa (Papua) yang kita tidak tahu apa maksud TUHAN buat bangsa ini. Di Tanah ini, kita boleh pegang kemudi tetapi kita tidak menentukan arah angin, arus, dan gelombang di laut serta tujuan yang hendak kita capai di Tanah ini. Siapa yang bekerja dengan jujur, setia, dan dengar-dengaran pada Firman Allah di Tanah ini, maka ia akan berjalan dari satu pendapatan heran yang satu ke pendapatan heran yang lain.” (Pdt. Izaac Samuel Kijne, Hollandia Binnen, 26 Oktober 1956).

Penulis: Ketua Umum Badan Pelayan Pusat Persekutuan Gereja-gereja Baptis Papua.
Share this article :

0 Komentar Anda:

Post a Comment

Your Comment Here

Twitt VBPapua

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. SBP-News @VBaptistPapua - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger