Oleh: Socratez Sofyan Yoman
Dalam media harian Bintang Papua, pada Selasa, 03 Mei 2011, Saudara Pangdam XVII/Cenderawasih, Mayjen TNI Erfi Triassunu, menyatakan: Integrasi Papua ke NKRI Sudah Final. Pernyataan Saudara Pangdam ini dari perspektif militer dan pemerintah Indonesia dapat dibenarkan. Tetapi dari perspektif Gereja dan orang asli Papua, pemilik tanah dan negeri ini dan sejarah tidak dapat dibenarkan. Karena itu, dalam opini ini akan diulas secara singkat sejarah dimasukkannya (dianeksasikannya) Papua ke dalam wilayah Indonesia sejak 1 Mei 1963.
Mengapa saya mengatakan dari perspektif Gereja dan orang asli Papua dan sejarah bahwa pengintegrasian Papua ke dalam wilayah Indonesia belum selesai (belum final)? Bertalian erat dengan pertanyaan ini, saya mengajukan pertanyaan yang sama dalam buku saya yang berjudul: “INTEGRASI BELUM SELESAI”, diterbitkan oleh Cendrawasih Press, (2010:hal.8). “Mengapa rakyat dan bangsa Papua Barat tidak pernah mengakui dan menerima PEPERA 1969, tetapi secara konsisten dan terus-menerus melakukan perlawanan terhadap sejarah diintegrasikannya Papua Barat ke dalam wilayah Indonesia? Apakah rakyat dan bangsa Papua Barat yang beretnis Melanesia ini keliru dalam memahami sejarah tersebut?” Jawaban pertanyaan-pertanyaan ini diuraikan secara singkat sebagai berikut:
1 Mei 1963 adalah awal dimulai malapetaka dan penjajahan penduduk asli Papua
Tanggal 1 Mei 1963 adalah sejarah kemenangan bagi Indonesia. Sementara bagi orang Papua tanggal 1 Mei 1963 adalah awal malapetaka dan pemusnahan etnis Papua dan ras Melanesia. Mengapa dikatakan awal malapetaka dan pemusnahan etnis Papua? Sebelum orang-orang Papua menyatakan pilihannya dalam PEPERA 1969, Indonesia sudah mengirimkan pasukan militer Indonesia dan menerapkan peraturan-peraturan Indonesia di Papua dan militer melaksanakan tugasnya dengan lebih kejam dalam menghadapi orang-orang Papua.
Pasal 13 dari Perjanjian New York 15 Agustus 1962 menyatakan, “pasukan-pasukan keamanan PBB akan digantikan oleh pasukan keamanan Indonesia setelah tahap pertama pemerintahan UNTEA. Seluruh pasukan keamaan PBB akan ditarik pada saat pasukan keamanan PBB akan digantikan oleh penyerahan pemerintah kepada Indonesia”. Lebih lanjut, Pasal 14 dari Perjanjian New York adalah, “pelaksanaan undang-undang dan peraturan-peraturan nasional Indonesia di Papua Barat” sebelum Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) 1969.
Pemerintah Indonesia selalu mengatakan bahwa rakyat Papua kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi pada 1 Mei 1963. Pernyataan ini sangat keliru karena penduduk asli Papua tidak pernah terlibat dalam perjuangan rakyat Indonesia melawan penjajah Belanda. Kalau dikaitkan dengan pembuangan para pejuang Kemerdekaan Indonesia oleh Belanda ke Boven Digul dan Pulau Serui bukan merupakan alasan substansial. Yang pasti adalah dalam proses pelaksanaan PEPERA 1969 setelah 7 (tujuh) tahun sejak 1963 penduduk asli Papua 95% mendukung Papua Merdeka. Bagaimana Pemerintah Indonesia mengkleim bahwa 1 Mei 1963 adalah Papua kembali ke Pangkuan Ibu Pertiwi? Seharusnya terjadi pada pelaksanaan PEPERA 1969 adalah 95% penduduk asli Papua mendukung integrasi Papua ke dalam wilayah Indonesia karena 1 Mei 1963 telah kembali ke pangkuan ibu pertiwi, bukan sebaliknya.
Dalam buku saya berjudul: “OPM (Otonomi, Pemekaran dan Merdeka) yang diterbitkan Cendrawasih Press, 2011: hal. 112, saya mengutip penyatataan Duta Besar Amerika dan Pemerintah Indonesia. “Pada bulan Juni 1969, Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia mengakui kepada anggota Tim PBB, Ortiz Sanz, secara tertutup (rahasia): “bahwa 95% orang-orang Papua mendukung gerakan kemerdekaan Papua”. Sudjarwo mewakili Pemerintah Indonesia mengkaui, “banyak orang Papua kemungkinan tidak setuju tinggal dengan Indonesia”.
PEPERA 1969 dan UU No. 21 Tahun 2001
Logikanya ialah kalau Integrasi Papua ke dalam NKRI sudah Final melalui PEPERA 1969 tidak perlu lagi Pemerintah Indonesia mengeluarkan UU No. 21 Tahun 2001 sebagai solusi final tentang status politik Papua ke dalam wilayah Indonesia. Yang jelas dan pasti ialah UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus ini adalah solusi politik. Tetapi, sangat disayangkan, solusi final yang kedua ini dinyatakan telah GAGAL TOTAL oleh rakyat dan bangsa Papua dan Negara-negara donor.
Dr. Fernando Ortiz Sanz, menyatakan: “…tanpa ragu-ragu penduduk Irian barat dengan pasti memegang teguh berkeinginan merdeka” ( Sumber: Laporan Resmi Hasil PEPERA 1969 Dalam Sidang Umum PBB, Paragraf 164, 260). Ortiz Sanz dalam laporan resminya dalam Sidang Umum PBB tahun 1969 menyatakan: “ Mayoritas orang Papua menunjukkan berkeinginan untuk berpisah dengan Indonesia dan mendukung pikiran mendirikan Negara Papua Merdeka” (Sumber: UN Doc. Annex I, A/7723, paragraph, 243, p.47).
Berhubungan dengan kepalsuan sejarah pelaksanaan PEPERA 1969 dibawah tekanan militer Indonesia, anggota resmi PBB juga melakukan protes keras dalam Sidang Umum PBB pada tahun 1969 oleh anggota resmi PBB. Mereka (anggota PBB) mempersoalkan pelaksanaan PEPERA yang penuh dengan kebohongan dan kejahatan kemanusiaan yang melanggar hukum internasional. Karena, hasil PEPERA 1969 itu dianggap melanggar hukum internasional , maka dalam Sidang Umum PBB hanya mencatat “take note”. Istilah “take note” itu tidak sama dengan disahkan. Hanya dicatat karena masih ada masalah yang serius dalam pelaksanaan PEPERA 1969 di Papua Barat. Hasil PEPERA 1969 tidak disahkan tapi hanya dicatat karena perlawanan sengit dari beberapa Negara anggota PBB yang dimotori oleh pemerintah Ghana. Itu menjadi terbukti dalam arsip resmi di kantor PBB, New York, Amerika Serikat, terbukti: “ …156 dari 179 pernyataan yang masih tersimpan, sesuai dengan semua yang diterima sampai tanggal 30 April 1969, dari pernyataan-pernyataan ini, 95 pernyataan anti Indonesia, 59 pernyataan pro Indonesia, dan 2 pernyataan adalah netral” (Sumber resmi: Dok PBB di New York: Six lists of summaries of political communications from unidentified Papuans to Ortiz Sanz, August 1968 to April 1969: UN Series 100, Box 1, File 5).
Duta Besar pemerintah Ghana, Mr. Akwei, memprotes dalam Sidang Umum PBB, dengan mengutip laporan Dr. Fernando Ortiz Sanz tentang sikap Menteri Dalam Negeri Indonesia yang tidak terpuji yang ditunjukkan kepada peserta PEPERA di Papua Barat. “ yang dilaporkan oleh perwakilan Sekretaris Umum bahwa bukti-bukti peristiwa keputusan pelaksanaan pemilihan bebas adalah fenomena asing dimana Menteri Dalam Negeri naik di mimbar dan benar-benar kampanye. Dia, Menteri Dalam Negeri Indonesia meminta anggota-anggota dewan musyawarah untuk menentukan masa depan mereka dengan mengajak bahwa mereka satu ideology, Pancasila, satu bendera, satu pemerintah, satu Negara dari sabang sampai Merauke…”.
Sedangkan Duta Besar pemerintah Gabon, Mr. Davin, mengkritik sebagai berikut: “ Setelah kami mempelajari laporan ini, utusan pemerintah Gabon menemukan kebingungan yang luar biasa, itu sangat sulit bagi kami menyatakan pendapat tentang metode dan prosedur yang dipakai untuk musyawarah rakyat Irian Barat. Kami dibinggungkan luar biasa dengan keberatan-keberatan yang dirumuskan oleh Mr. Ortiz Sanz dalam kata-kata terakhir pada penutupan laporannya. Berkenaan dengan metode-metode dan prosedur-prosedur ini, jika utusan saya berpikir perlunya untuk menyampaikan pertanyaan mendasar, itu dengan pasti menarik perhatian peserta sidang untuk memastikan aspek-aspek yang ada, untuk menyatakan setidak-tidaknya luar biasa. Kami harus menanyakan kekejutan kami dan permintaan penjelasan tentang sejumlah bukti-bukti yang disampaikan dalam laporan perwakilan Sekreratis Jenderal. Contoh: kami dapat bertanya:
a. Mengapa sangat banyak jumlah mayoritas wakil-wakil diangkat oleh pemerintah dan tidak dipilih oleh rakyat?
b. Mengapa pengamat PBB dapat hadir dalam pemilihan hanya 20 persen wakil, beberapa dari mereka hanya sebentar saja?
c. Mengapa pertemuan konsultasi dikepalai oleh Gubernur; dengan kata lain, oleh perwakilan pemerintah?
d. Mengapa hanya organisasi pemerintah dan bukan gerakan oposisi dapat hadir sebagai calon?
e. Mengapa prinsip “one man, one vote” yang direkomendasikan oleh perwakilan Sekretaris Jenderal tidak dilaksanakan?
f. Mengapa tidak ada perwakilan rahasia, tetapi musyawarah terbuka yang dihadiri pemerintah dan militer?
g. Mengapa para menteri dengan sengaja hadir dan mempengaruhi wakil-wakil di depan umum dengan menyampaikan mereka bahwa, “hanya hak menjawab atas pertanyaan untuk mengumumkan bahwa mereka berkeinginan tinggal dengan Indonesia?
h. Mengapa hak-hak pengakuan dalam Pasal XXII (22) Perjanjian New York, yang berhubungan dengan kebebasan menyatakan pendapat; berserikat dan berkupul tidak dinikmati oleh seluruh penduduk asli Papua? Protes Negara-Negara Afrika ini, J.P. Drooglever menggambarkan sebagai berikut: “….Sekelompok negara-negara Afrika melancarkan kritiknya, yaitu mereka yang sejak tahun 1961 telah bersimpati terhadap persoalan-persoalan Papua” (hal. 784).
Masalah Papua Adalah Persoalan Internasional Bukan Masalah Indonesia
Pdt. Dr. Phil. Karel Erari dengan tepat mengatakan bahwa “Bagi Papua, konstruksi konflik berdimensi lokal, nasional dan internasional. Dengan konstruksi seperti itu, maka upaya melakukan perdamaian atau “peace building” agar tercipta keamanan yang utuh dan konprehensif, hendaknya melibatkan tiga komponen yang terkait dalam sejarah “perang dingin” di Papua. Mengapa, karena upaya membangun perdamaian demi keamanan bagi rakyat Papua, hanya akan sementara dan rapuh jika akar persoalan dan pihak-pihak yang terlibat dalam sejarah “perang dingin” itu berada di luar konstruksi perdamaian yang hendak dibangun. Kelompok internasional itu termasuk Belanda, Amerika Serikat dan PBB. Ketiga pihak ini telah terlibat secara langsung dan terbukti dalam suatu konspirasi internasional yang mendukung suatu praktik Act of Free Choice yang bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum internasional. Praktek pelaksanaan PEPERA dengan sistem perwakilan, memperlihatkan kebohongan publik, karena 1025 “wakil rakyat” dengan tekanan politik dan militer, dipaksa memilih Indonesia” (hal. 182).
Seorang cendikiawan dan kawakan yang dimiliki Indonesia, seperti Dr. Ikrar Nusa Bhakti menyatakan: “Sejak dulu hingga kini, persoalan Irian Jaya bukan hanya persoalan antara Indonesia dan penduduk Papua Barat, melainkan juga persoalan yang menyangkut internasional. Ini bukan hanya mengaitkan hubungan antar masyarakat, antara masyarakat dan Pemerintah, tetapi juga antar Gereja….” ( Yoman: Kita Meminum Air Dari Sumur Kita Sendiri, 2010, hal. 227). LIPI dalam buku Papua Road Map dengan jelas memperlihatkan bahwa masalah tidak dilepaskan dari konteks Internasional. “Konflik Papua telah berlangsung selama 47 tahun dan tidak dapat dilepaskan dari konteks internasional karena sejak awal proses integrasi dengan Indonesia telah melibatkan peranan Belanda dan Amerika Serikat dalam Perjanjian New York 1962” (Papua Road Map: 2009,40).
Persoalan Papua Adalah Persoalan Hukum
Dekade sandiwara politik sudah berakhir di Tanah Papua dengan rekayasa PEPERA 1969 dan produk UU RI No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus. Sekarang adalah eranya kepastian hukum bersuara untuk tegaknya nilai kebenaran dan keadilan bagi penduduk asli Papua. Walaupun Pemerintah Indonesia mengatakan bahwa peluncuran IPWP (International Parliamentarian for West Papua) dan ILWP (Internaional Lowyer for West Papua) di London, Inggris, dinilai hanya pertemuan “kongkow-kongkow” tetapi bayi ILWP dan ILWP itu dengan pelan tapi dengan langkah yang pasti terus bertumbuh dan berkembang. Pada bulan Agustus 2011 akan diadakan seminar tentang PEPERA 1969 oleh para pakar hukum Internasional untuk melihat masalah PEPERA dari aspek hukum.
Kesimpulan: Yang jelas dan pasti adalah Integrasi Papua ke dalam Indonesia Belum Final. Karena, masalah status politik Papua adalah masalah hukum dan pelanggaran HAM yang kejam sejak tahun 1963 sampai saat ini. Maka jalan penyelesaian menyeluruh masalah Papua harus ditemukan. Sikap Gereja-gereja di Papua, Dewan Adat, seluruh Rakyat Papua, dan Dewan Gereja-gereja Reformasi Se-Dunia terus mendukung dialog damai antara Pemerintah Indonesia dan rakyat Papua yang dimediasi pihak ketiga yang netral. Gereja menilai bahwa PEPERA 1969 adalah palsu dan penuh kebohongan. Gereja mengakui bahwa masalah status Papua adalah masalah hukum. Gereja juga mengakui bahwa masalah Papua adalah persoalan Internasional. Gereja tetap menjadi penyambung lidah umat Tuhan di Tanah Papua.
Penulis:
Socratez Sofyan Yoman, Ketua Umum Badan Pelayan Pusat Persekutuan Gereja-gereja Baptis Papua.
Deception and Politics: From Washington to Tel Aviv
-
David Ben-Gurion and Harry S. Truman. (Design: Palestine Chronicle)
[image: facebook sharing button]*By Dr. M. Reza Behnam*, The Palestine
Chronicle, ...
3 hours ago
0 Komentar Anda:
Post a Comment
Your Comment Here