Konflik Papua
Pendekatan militer gagal mengatasi konflik di Papua. Di Papua saat ini terdapat sekitar 30 ribu personel keamanan yang justru meningkatkan mobilisasi gerakan sipil bersenjata.
VHRmedia, Jakarta - Pendekatan militer dalam menangani konflik di Papua justru meningkatkan mobilisasi gerakan sipil bersenjata. Cara dialog dinilai paling efektif mengatasi permasalahan di Papua.
Menurut peneliti Imparsial, Ardi Manto, saat ada sekitar 30 ribu personel keamanan di Papua. Sebanyak 14 ribu diantaranya adalah pasukan organik dibawah kendali Kodam Cendrawasih.
Sedangkan sisanya adalah pasukan non organik yang operasinya dikendalikan masing-masing satuan, termasuk dari Jakarta. “Total ada sekitar 30-an ribu aparat keamanan,” kata Ardi Manto di kantor Kontras (23/8).
Ardi mengatakan, pemerintah tidak pernah memberikan penjelasan resmi soal penumpukan pasukan di Papua. Berdasarkan penelitian Imparsial, pasukan keamanan berada di Papua untuk menjaga aset bisnis dan perbatasan.
“Perlu evaluasi mengenai pendekatan keamanan ini. Kalau memang untuk perbatasan, seharusnya berimbang antara Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Udara,” ujar Ardi Manto.
Menurut Koordinator Komunitas Masyarakat Adat Papua Anti Korupsi (KAMPAK), Dorus Wakum, penyelesaian konflik Papua tidak dapat dilakukan dengan menempatkan militer dalam jumlah besar. “Kenapa ada latihan militer di Papua? Kenapa ada pengibaran Bendera Bintang Kejora? Banyak milisi ‘binaan’ TNI di Papua untuk menciptakan konflik,” katanya.
Kontras mencatat, kondisi keamanan di Papua memanas selama Agustus ini. Sejak 15 Agustus 2011 setidaknya terjadi 9 kali kasus kekerasan.
Kasus paling baru, pembunuhan terhadap Dasnum Komba warga Distrik Skamto, Keerom, 21 Agustus 2011. Dua orang perempuan yang biasa berkebun bersama korban, sempat bertemu beberapa orang yang diduga anggota TNI di sekitar kebun tempat Dasnum dibunuh. (E1)
0 Komentar Anda:
Post a Comment
Your Comment Here