SUARA BAPTIS PAPUA

Dukung Aksi Perdamaian Atas Kekerasan di Papua Barat.
Jika Anda Peduli atas kemanusiaan Kaum tertindas di Papua barat Mohon Suport di sini:

Please donate to the Free West Papua Campaign U.K.
Kontribusi anda akan kami melihat ada perubahan terhadap cita-cita rakyat papua barat demi kebebasan dan kemerdekaannya.
Peace ( by Voice of Baptist Papua)

Apa Solusi Atas Konflik Papua?

Scoop Voice Baptist

About Me

My Photo
Papua, Papua barat/Indonesia, Indonesia
Persekutuan Gereja-Gereja Baptis Papua tidak akan pernah memilih diam ketika umat ditintas dan akan terus bersuara sampai keadilan benar-benar terjadi di tanah papua

Voice of Baptist Papua

Asian Human Rights Commission

Welcome to Suara Baptis Papua Online

SB - PAPUA-News

© Copyright 2011 suara baptis papua. Powered by Blogger.

Latest Post

Showing posts with label Ham. Show all posts
Showing posts with label Ham. Show all posts

19 Wanita Fakfak Ditelanjangi Oleh Dua Polwan

Written By Voice Of Baptist Papua on August 21, 2013 | 9:03 PM

Jumpa Pers LSM Papu/Photo MS
Jayapura VoiceBaptist,--Menanggapi situasi menjelang 15 Agustus 2013 lalu di Kabupaten Fak-Fak atas perlakuan aparat gabungan TNI/POLRI  yang melakukan pemeriksaan dan penahanan secara sewenang-wenang dan tindakan kekerasan terhadap warga sipil tanggal 14 Agustus 2013, direktur Elsham, Fery Marisan, Pengacara Elsham, Manfret Naa, dan kordinator Advokasi, Sem Rumbrar,  menggelar jumpa pers  pada Rabu (21/8/13) di kantor Elsaham Jayapura Papua yang di kutip berita Majalah Selangkah.
 
Sem Rumbrar, kordinator Advokasi, menjelaskan,  para perempuan dipaksa masuk ke sebuah lorong menuju toilet di ruang aula Polres Fakfak.  Di dalam  ruangan kecil itu, 2 orang Polisi wanita (Polwan) melakukan pemeriksaan terhadap sejumlah perempuan yang ditangkap oleh aparat keamanan.

Yang pertama diperiksa adalah  mama Magdalena Bahba dan mama Naomi Hegemur.  Kedua Polwan tersebut langsung menaggalkan paksa pakaian kedua mama itu. Mama magadalena di lepaskan pakaian hingga tinggal  bh dan celana dalam saja. dan mama Hegemur karena pakaiannya basah.  Kemudian ia (Polwan) suruh untuk melepas pakaian semua, kecuali  pakaian dalamnya saja. Setelah di periksa, kedua mama tersebut langsung memeriksa barang bawaan dan kedua Polwan itu menyita barang bawaan kedua mama tersebut, diantaranya korek gas, pisau dapur, yang kebetulan ada dalam tas mereka. 

"Kami sebanyak 19 perempuan.  kami yang di periksa sebanyak 19 orang dan kami di perlakukan sama yatu di telanjangi," kata Elisabeth (Korban)."

"Setelah kedua mama itu diperiksa, berikutnya juga kedua perempaun diperikasa dengan cara yang sama oleh kedua polwan setelah di perikasa kemudian kedua polwan itu memanggil saya, Rosita Elisabeth,"  kata  Rosita Elisabeth Bahaba, wanita  16 tahun asal kampung Nembukteb, distrik  Karamongmongga, yang juga jadi korban 2 polwan ini.

"Saya dipaksa masuk kedalam wc oleh kedua Polwan tersebut, lalu saya diperlakukan hal yang sama seperti mama 2 itu," kata slisabeth, sambil membeberkan nama kedua Polwan yang menelanjangi mereka itu bernama Anti dan Jaqlin.

"Kami sebanyak 19 perempuan.  kami yang di periksa sebanyak 19 orang dan kami di perlakukan sama," kata Elisabeth.

Setelah diperiksa, kemudian pihak Polres Fakfak Kabag. OPS, Tony M. memerintahkan mama-mama untuk tidak jualan hari itu, dan membawa pulang sayuran yang hendak dijual hari itu. "Yang membawa jualan berupa sayauran dan makanan kebun langsung dibawa pulang. Nanti satu dua hari lagi baru mama dorang datang jualan."

Direktur Elsham, Fery Marisan, Pengacara Elsham, Manfret Naa, dan Coordinator Advokasi, Sem Rumbrar,  menilai, tindakan yang dibuat oknum Polwan di Fakfak benar-ber tidak etis, dan merupakan tindakan yang tidak menghargai HAM. Oleh karena itu, mereka sepakat, kejadian ini mesti diproses sesuai dengan hukum yang berlaku di negara ini..
 

Konflik Papua Akan dan Terus Jadi Perhatian Negara Asing

Ilustrasi Pembahasan Papua di MSG
JAKARTA - Persoalan dugaan adanya pelanggaran HAM di Papua masih menjadi perhatian pihak asing baik dari kalangan aktivis Civil society maupun dari kalangan pemerintahan itu sendiri.

Bahkan, masalah Papua sudah dibahas dalam pertemuan Melanesian Spearhead Group (MSG), dimana delegasi MSG akan melakukan kunjungannya ke Papua dan Papua Barat dalam waktu dekat ini.

"Persoalan di Papua dan Papua Barat akan terus menjadi perhatian asing, sehingga penanganan masalah Papua tidak boleh gradual, namun harus komprehensif," jelas pengamat masalah politik, Joris Kabo dalam keterangan tertulisnya yang dikutip kepada Okezone, Senin (19/8/2013).

Dia mencontohkan pada 12 Agustus 2013 yang lalu Perdana Menteri Kepulauan Solomon, Gordon Darcy Lilo melakukan kunjungan ke Indonesia, yang diberitakan media asing seperti ABC Radio Australia bahwa kunjungan tersebut mengindikasikan akan mengemukakan isu Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua Barat dalam pembicaraan dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Menurut Joris Kabo, kunjungan PM Gordon Darci Lilo yang pertama tentu merupakan landasan dasar bagi kerjasama bilateral yang penting selanjutnya. Indonesia mengakui sejarah negara Solomon sebagai Negara di Pasifik yang besar peranannya dalam Perang Pasifik bagi pasukan sekutu pimpinan Jenderal McArthur.

“Sebagai sesama Negara Pasifik, maka hubungan Indonesia-Salomon tentu mempunyai arti yang penting seperti hubungan yang sudah ada antara Indonesia dengan Negara-negara Pasifik yang lain seperti RI-PNG, RI- Haiti, RI-Vanuatu, dll,” tambahnya.

Mengenai masalah Papua, menurut Joris, telah banyak dicapai kemajuan-kemajuan di berbagai bidang pembangunan prasarana dan sarana diberbagai bidang antara lain transportasi dan komunikasi, yang sangat vital bagi pengembangan pembangunan sosial dan ekonomi selanjutnya di Papua serbagai Propinsi yang memiliki kondisi geografi yang tidak mudah dijalani.

“Secara garis besar, pelaksanaan otonomi khusus bagi pembangunan Papua yang terdiri dari tiga buah Propinsi, yaitu Propinsi Papua Barat, Propinsi Papua Tengah dan Propisi Papua juga cukup berhasil,” katanya.

Menurutnya, berita-berita tentang adanya berbagai isu yang kadangkala terdengar dramatis tentang Papua dalam media massa seperti di Australia adalah wajar karena secara geografis berdekatan dengan Papua, masyarakatnya mempunyai perhatian yang khusus terhadap setiap perkembangan di Papua seperti banyak diberitakan oleh media massa Australia yang bebas dan terbuka.

Untuk diketahui berdasarkan pemberitaan ABC Radio Australia, Kepulauan Solomon adalah salah satu negara anggota kelompok Melanesian Spearhead Group (MSG), yang menerima proposal West Papua National Coalition for Liberation (WPNCL).

KTT Menteri Luar Negeri MSG di Noumea, 21 Juli 2013, menyepakati aplikasi WPNCL mengenai penentuan nasib sendiri rakyat Papua Barat dan kekhawatiran adanya pelanggaran (HAM) di wilayah itu. Sebelum berangkat, PM Lilo mengatakan ia menyadari adanya pelanggaran HAM di Papua, dan ingin memastikan ada 'perkembangan' di sana.

“Terkait adanya rumors tentang delegasi MSG yang akan berkunjung ke Papua pada tahun ini, saya rasa Pemerintah Indonesia tidak akan keberatan dengan rencana tersebut, apalagi dalam pernyataan persnya PM Kepulauan Solomon, Gordon Darcy Lilo yang pernah berkunjung ke Indonesia menyatakan puas dan mendukung langkah pemerintah dalam menangani dan membangun Papua. 
Tidak ada yang perlu mendramatisir atau mempolitisasi rencana kunjungan MSG ke Papua sebagai langkah fact finding pelanggaran HAM, seperti yang diharapkan kelompok tertentu di Papua,” jelasnya

Data KontraS Penembakan di Papua Didominasi oleh Polisi

Written By Voice Of Baptist Papua on August 15, 2013 | 7:59 PM

Photo Ilustrasi
Jakarta,-- Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyebutkan ada 361 kasus penembakkan terjadi di Papua selama kurun waktu 2011-2013.

KontraS Telah Mencacat 279 kasus Penembakan Oleh Polisi, 20 Kasus Penembakan oleh TNI dan 63 Kasus Penembakan oleh OTK (Orang Tidak Kenal), "Haris Azhar (Koordinator KontraS)."

Menurut Haris, ada dua motif utama dalam kasus penembakkan yang dilakukan oknum polisi, yaitu upaya penangkapan pelaku tindak kriminal dan upaya penanganan demonstrasi yang berujung bentrok, maupun bentrokan akibat sengketa lahan maupun konflik komunal.

"Motif lainnya yang tidak begitu banyak dijumpai ialah dendam pribadi atau akibat kelalaian yang dilakukan oleh anggota kepolisian," tegasnya.

Haris juga mengatakanan, penembakan yang dilakukan oleh oknum TNI, umumnya disebabkan oleh permasalahan pribadi dan upaya penanganan gangguan separatisme di Papua.

"Motif penembakan oleh OTK (orang tak dikenal) umumnya merupakan bentuk dari gangguan keamanan dalam hal ini yang menurut beberapa kalangan disebut dengan separatisme," lanjutnya.

Sementara itu, diakui Haris, jenis senjata yang digunakan pelaku penembakkan berbeda-beda. Untuk kasus penembakkan yang dilakukan oknum polisi dan TNI, pada umumnya menggunakan senjata jenis pistol FN dan senjata laras panjang jenis AK 45.

"Sedangkan, peristiwa penembakkan oleh OTK umumnya menggunakan senjata jenis laras panjang atau senjata rakitan," tuntasnya

Sekretaris II Kedubes AS Bidang Politik Kunjugi Foker LSM Papua

Written By Voice Of Baptist Papua on July 31, 2013 | 1:57 AM

Sekretaris II Bidang Politik Kedubes James P. Feldmayer
Jayapura VoiceBaptist,- Sekretaris II Bidang Politik dari Kedutaan Besar (Kedubes) Amerika Serikat (AS) James P. Feldmayer mengatakan,  sekecil apapun keluhan dan Persoalan dari masyarakat Papua itu tetap akan disampaikan dan didengarkan.

Lanjutnya, kami  meminta kepada LSM - LSM lokal yang ada di Papua agar tidak berputus asa memberikan informasi yang sedang berkembang di Papua kepada pihak Kedubes AS.

Demikian kata Sekretaris II Bidang politik dari Kedubes AS James P. Feldmayer ketika usia melakukan pertemuan dengan para pengurus Foker LSM Papua, di Kantor Foker LSM Papua, di Jalan Kampung Yoka, Distrik Heram, senin siang Senin (29/7) sekira pukul 14.00 WIT.

Komnas HAM Mengutuk RI Upaya untuk menyelesaikan Pelanggaran HAM masa lalu

Written By Voice Of Baptist Papua on July 10, 2013 | 9:47 PM


Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan perwakilan dari LSM di Indonesia berkumpul di Jenewa minggu ini untuk menilai keseriusan negara dalam menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan pelanggaran hak asasi manusia, khususnya yang diduga dilakukan oleh tokoh.

Perserikatan Bangsa-Bangsa  Komite Hak Asasi Manusia PBB (UNHRC) meluncurkan sesi formal dengan LSM untuk menerima lebih banyak masukan tentang pelaksanaan Konvensi Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) di Indonesia.

Sebelum panitia, Komnas HAM mempertanyakan keseriusan pemerintah dalam melanjutkan penyidikan kasus yang bisa dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat.

"Meskipun temuan awal dari Komnas HAM, Kejaksaan Agung [Kejagung] telah menolak untuk menyelidiki lebih lanjut kasus," kata komisioner Komnas HAM Roichatul Aswidah sebelum anggota UNHRC pada hari Senin.

Dalam menanggapi kritik, pemerintah menyatakan bahwa tim khusus dari Kejaksaan didirikan pada tahun 2006 untuk menindaklanjuti temuan, yang dianggap tidak memadai.

Tim telah meminta Komnas HAM menyerahkan bukti tambahan sesuai dengan KUHP di Indonesia (KUHP) untuk penuntutan lebih lanjut.

Namun, Roichatul mengklaim masalah ini bukan standar bukti, tetapi lebih pada keinginan untuk menindaklanjuti rekomendasi yang dikeluarkan oleh Komnas HAM dan anggota legislatif.

Roichatul mengatakan sudah ada preseden dalam menggunakan standar HAM Komnas bukti, yang telah benar-benar ditindaklanjuti oleh Kejaksaan dalam kasus yang berkaitan dengan pelanggaran hak asasi manusia di Timor Timur, peristiwa Tanjung Priok di Jakarta Utara, dan kasus penyiksaan Abepura di Papua.

"Mengapa tidak bisa standar yang sama bukti digunakan untuk kasus-kasus lain, termasuk penghilangan paksa selama gerakan reformasi [pada tahun 1997 dan 1998]?" Katanya.

Komisi Internasional Ahli Hukum Internasional (ICJ) dalam laporan alternatif kepada UNHRC juga mempertanyakan proses panjang diambil untuk membentuk pengadilan ad-hoc HAM untuk mengadili kasus penghilangan paksa.

ICJ, terdiri dari 60 hakim dan pengacara terkemuka di seluruh dunia, mengisyaratkan bahwa penundaan itu terkait dengan keberadaan tokoh di panggung politik.

"ICJ percaya keterlambatan dalam pembentukan pengadilan ad hoc ini disebabkan oleh fakta bahwa penyelidikan lebih lanjut atas dugaan penghilangan paksa 1997-1998 mungkin melibatkan tuduhan terhadap beberapa anggota terkemuka dari pemerintah Indonesia yang terus menjadi berpengaruh di negara itu untuk Hari ini, termasuk Prabowo Subianto dan mantan Jenderal Wiranto, "kata ICJ.

Prabowo, komandan Pasukan Khusus Angkatan Darat (Kopassus) pada saat itu, saat pelindung kepala Gerakan Indonesia (Gerindra) Partai, sementara Jenderal (Purn.) Wiranto, maka kepala Tentara Nasional Indonesia (TNI), adalah sekarang ketua Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura).

Keduanya adalah kandidat presiden yang kemungkinan akan bertarung dalam Pemilu 2014.

Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) juru bicara Andy Yentriyani menggarisbawahi perlunya pemulihan yang efektif dalam merespon pelanggaran hak asasi manusia masa lalu, khususnya mengenai perempuan.

Kerusuhan Mei 1998 melihat ratusan perempuan Cina brutal dilecehkan, dengan banyak trauma.

Sidang di UNHRC pada kemajuan Indonesia dalam penegakan HAM akan berlangsung hingga Kamis.

Daftar pelanggaran hak asasi yang belum terpecahkan:

1. Trisakti 1998, Semanggi I dan Semanggi II 1998 1999;
2. Kerusuhan Mei 1998
3. Insiden Wasior dan Wamena tahun 2001-2002 insiden pada tahun 2003
4. Penghilangan paksa 1997-1998
5. Talangsari 1989
6. Ringkasan gaya eksekusi pembunuhan (penembakan misterius) 1982-1985
7. Tragedi 1965-1966

Indonesia dituntut untuk transparan pada catatan hak asasi manusia

Written By Voice Of Baptist Papua on July 8, 2013 | 7:18 PM


Genewa Swiss,-- The Jakarta Post Melaporkan Bahwa Sebuah koalisi kelompok hak asasi manusia telah mendesak pemerintah Indonesia untuk lebih terbuka dalam melaporkan situasi hak asasi manusia di negara itu ketika menyajikan sebuah laporan di PBB sesi di Jenewa nanti minggu ini. 
Seperti di kutip The Jakarta Post

Delegasi Pemerintah Indonesia dijadwalkan memberikan laporan tentang pelaksanaan Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR) selama sesi Komite Hak Asasi Manusia di Jenewa, Swiss pada tanggal 10 Juli dan 11.

Ini akan menjadi laporan pertama Indonesia diperiksa oleh panitia setelah delapan tahun ratifikasi Indonesia ICCPR. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia meratifikasi ICCPR dengan memberlakukan UU No 12/2005 (UU no. 12/2005).

"Kami berharap pemerintah akan lebih terbuka tentang situasi hak asasi manusia di negara itu setelah menandatangani perjanjian," kata direktur eksekutif Human Rights Working Group (HRWG) Rafendi Djamin selama akhir pekan.

Dia mencatat bahwa menutupi fakta-fakta nyata dari situasi hak asasi manusia atau menolak untuk mengakui kebenaran akan dijalankan terhadap semangat negara sebagai negara pihak ICCPR.

Rafendi memberi contoh bahwa telah terjadi penyiksaan dan perlakuan buruk terhadap para tahanan, terutama teroris miskin dan dugaan.

Dalam laporannya, pemerintah mengatakan: "Adalah penting untuk menekankan bahwa dalam demokrasi di mana media bebas dan transparansi merupakan salah satu elemen penting, kejadian dari setiap pelanggaran terhadap para tahanan selalu terbuka untuk umum, termasuk cara otoritas terkait mengatasi kejadian tersebut. Namun, mengkategorikan kejadian penyiksaan di fasilitas penahanan luas adalah berlebihan. "

HRWG PBB manajer program Ali Akbar Tanjung menambahkan bahwa keterbukaan dalam menyajikan laporan akan menjadi penting. Karena komite terdiri atas ahli, rekomendasi mereka akan penting bagi upaya pemerintah untuk menjamin perlindungan hak asasi manusia.

"Ini berbeda dengan UPR [Universal Periodic Review] ketika rekomendasinya bisa bernuansa politik, karena laporan pemerintah ditinjau oleh sesama negara anggota," kata Akbar.

 HRWG, mewakili sekitar 50 kelompok masyarakat sipil di seluruh negeri, telah mengindikasikan bahwa delapan tahun setelah ratifikasi, perlindungan hak asasi manusia masih belum membaik.

"Akan sulit untuk tidak mengatakan bahwa perlindungan HAM tidak membaik," tambah Rafendi.

Oleh karena itu, masyarakat sipil berharap sesi komite pertama akan menjadi ujian keterbukaan pemerintah dan konsistensi komitmen terhadap perlindungan hak asasi manusia, termasuk rehabilitasi dan restitusi bagi korban.

HRWG telah menyerahkan laporannya kepada panitia, menggarisbawahi beberapa isu yang akan disorot
dalam rekomendasi mendatang: perlindungan minoritas agama, perempuan dan LGBTI, situasi di Papua, penyiksaan tahanan, hukuman mati dan peraturan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia dan norma-norma.

Komite Hak Asasi Manusia adalah sebuah badan pakar independen yang memantau pelaksanaan ICCPR oleh pihak negaranya. Semua pihak negara wajib menyampaikan laporan berkala kepada panitia tentang bagaimana hak tersebut dilaksanakan. Amerika awalnya harus melaporkan satu tahun setelah mengaksesi perjanjian dan kemudian setiap kali permintaan panitia (biasanya setiap empat tahun).

Komite ini bertemu di Jenewa atau New York dan biasanya memegang tiga sesi per tahun. Mengkaji setiap laporan dan menyampaikan keprihatinan dan rekomendasinya kepada pihak negara yang bersangkutan dalam bentuk "menyimpulkan pengamatan".

Sesi ke-108 panitia akan diselenggarakan dari 08-26 Juli - Selanjutnta The Jakarta Post 

Pakar PBB: Pembangunan di Indonesia tidak boleh mengancam perumahan yang layak bagi kaum miskin

Written By Voice Of Baptist Papua on June 11, 2013 | 8:00 PM

UN Special Rapporteur on the right to adequate housing Raquel Rolnik. UN Photo/Ryan Brown
Geneva,-- 11 Juni 2013 - Indonesia harus memastikan bahwa pembangunan perkotaan dan ekonomi tidak menempatkan perumahan yang layak risiko untuk warga miskin, seorang ahli independen Bangsa Amerika menekankan hari ini, menambahkan bahwa pemerintah harus berjuang untuk kemajuan inklusif.
 
"Saya khawatir bahwa dalam beberapa kasus pembangunan memiliki dampak mundur tentang hak atas perumahan yang layak," kata Pelapor Khusus tentang perumahan yang layak , Raquel Rolnik, mengacu pada laporan penggusuran di daerah pedesaan dan perkotaan untuk membuat jalan bagi publik dan perkembangan pribadi.
 
Ms Rolnik menggarisbawahi bahwa penggusuran adalah pelanggaran berat hukum hak asasi manusia internasional. "Saya meminta pemerintah untuk memastikan bahwa undang-undang yang mengatur penggusuran ini sejalan dengan kewajiban HAM internasional Indonesia dan sepatutnya diterapkan pada lembaga negara dan pihak ketiga," katanya pada akhir kunjungan pertamanya ke negara itu.
 
"Lebih bisa dan harus dilakukan untuk memprioritaskan paling miskin segmen masyarakat dalam kebijakan dan program perumahan pemerintah."
 
Selama kunjungannya, Ms Rolnik memeriksa beberapa kebijakan perumahan dan program, beberapa menargetkan rumah tangga berpendapatan rendah. Sementara dia memuji keragaman program, yang meliputi peningkatan permukiman informal dan apartemen sewa berpenghasilan rendah, ia menyatakan keprihatinan bahwa Pemerintah saat ini berkonsentrasi pada upaya dan sumber daya pada kebijakan pembiayaan perumahan, yang dapat merusak akses ke perumahan yang terjangkau bagi miskin.
 
"Kebijakan pembiayaan perumahan secara inheren diskriminatif terhadap orang miskin - mereka yang tinggal di permukiman informal, bekerja di pasar informal dan petani skala kecil, yang mewakili sebagian besar masyarakat Indonesia, tetapi tidak dapat mengakses kredit formal dan karena itu tidak bisa mendapatkan keuntungan dari kebijakan tersebut, "dia memperingatkan , menambahkan bahwa kebijakan ini juga mempercepat lonjakan harga perumahan dan lahan.
 
Ms Rolnik mendesak pemerintah untuk merancang dan mengimplementasikan reformasi kebijakan pertanahan yang komprehensif untuk meningkatkan keamanan kepemilikan orang Indonesia dan mengatur dampak dari kekuatan pasar pada ketersediaan lahan dan keterjangkauan.
 
Dia juga menunjuk pada budaya organisasi kemasyarakatan yang kuat sebagai aset negara dapat digunakan untuk memanfaatkan kekuatan individu dan menerapkan strategi perumahan pro-kaum miskin nasional berdasarkan standar hak asasi manusia.
 
Selama kunjungannya 12 hari, Ms Rolnik bertemu pejabat senior pemerintah, lembaga donor, organisasi internasional, lembaga HAM nasional, lembaga keuangan, masyarakat sipil dan masyarakat di Jakarta, Makassar, Surabaya dan Yogyakarta.
 
Ahli independen, atau pelapor khusus, ditunjuk oleh Dewan HAM untuk memeriksa dan melaporkan kembali pada situasi negara atau tema hak asasi manusia tertentu. Mereka bekerja dalam kapasitas yang belum dibayar. Ms Rolnik dijadwalkan untuk menyajikan laporan terakhirnya di Indonesia pada Maret 2014.


Berita Tracker: cerita masa lalu tentang masalah ini 

Kantor KontraS di Demo Puluhan Massa “Bayaran”

Photo Protes KontraS / SP
Jakarta — Puluhan massa aksi “bayaran” pemerintah yang menamakan diri dari Front Pembela Merah Putih (FPMP), siang tadi, Selasa (11/6/2013) melakukan aksi demonstrasi di depan Kantor KontraS, Menteng, Jakarta Pusat, menolak keberpihakan KontraS terhadap gerakan separatisme di tanah Papua.
 
Pantauan suarapapua.com, massa aksi yang dipimpin langsung oleh Kordinator Aksi FPMP, Dahlan Wattiheleuw, awalnya melakukan long march dari Tugu Proklmasi melintasi jalan Borobudur yang tak jauh dari Kantor KontraS, sambil terus berorasi mengeluarkan kata-kata kecaman dan hinaan terhadap KontraS.

“Kami menolak cara-cara itu, kami datang untuk menyampaikan sikap penolakan terhadap langkah-langkah KontraS yang dukung aksi separatisme di Papua,” ujar Kordinator aksi, yang juga pria berdarah Maluku tersebut.

Usai puas berorasi di depan Kantor KontraS, massa juga memaksa aparat kepolisian agar membuka pintu gerbang kantor KontraS agar dapat menyampaikan sikap mereka di dalam Kantor KontraS yang terdapat beberapa staf dan pekerja KontraS, termasuk beberapa mahasiswa Papua.

“Kantor ini juga digunakan KontraS untuk melindungi anak-anak Papua dan orang-orang asing, kami mengecam cara-cara itu,” ujar salah satu orator yang kebetulan melihat sejumlah mahasiswa Papua, termasuk beberapa warga negara asing yang sedang magang kerja di Kantor KontraS.

Untuk menghindari aksi brutal dan anarkis massa yang didominasi oleh waga berdarah Maluku, Kordinator KontraS, Haris Azhar langsung menginjinkan beberapa perwakilan massa aksi untuk masuk dan berbicara di dalam Kantor KontraS secara santun dan bermartabat.

Dalam pernyataan sikapnya yang dibacakan oleh salah satu warga asli Papua, yang mengaku bernama Martin, FPMP dengan tegas menolak advokasi KontraS yang dinilai sering mengecam pemerintah, dan terkesan mendukung gerakan separatism di tanah Papua dengan berbagai statemen di media massa.

Haris Azhar, Kordinator KontraS yang menerima empat orang perwakilan pendemo menjelaskan, keliru dan salah jika FPMP menilai KontraS mendukung gerakan separatism di Papua, sebab saat TPN/OPM menembak tentara di Kabupaten Puncak Jaya dan Puncak Papua, KontraS juga mengecam tindakan tersebut.

“Kami mengutuk kekerasan dan pelanggaran HAM, baik yang dilakukan oleh TPN/OPM dan aparat TNI/Polri, jadi keliru kalau KontraS dianggap membela dan mendukung gerakan separatism. Kami ajak teman-teman yang berdemo untuk datang ke KontraS, ikut diskusi, dan belajar disini jika ingin memahami langsung apa yang dikerjakan KontraS,” ujar Hariz dengan santun.

Haris juga mengatakan, selama ini KontraS hanya mendukung penegakan hukum dan hak asasi manusia di Papua dengan mengecam tindakan-tindakan kekerasan yang dilakukan aparat militer terhadap warga sipil.

Mantan Kordinator KontraS, Usman Hamid menambahkan keliru jika KontraS dinilai membela dan mendukung gerakan separatisme di tanah Papua, sebab KontraS bukan hanya membicarakan permasalahan di tanah Papua, namun bicara juga untuk penegakan hukum dan HAM di seluruh Indonesia.

Terkait kehadiran satu orang mahasiswa Papua dalam aksi demonstrasi yang menamakan diri perwakilan mahasiswa Papua, langsung mendapat penolakan dari Ketua Mahasiswa Papua asal Kabupaten Tolikara di Jakarta, Sony Wanimbo.

Menurut Wanimbo, mahasiswa tidak pernah memberikan rekomendasi, menunjuk, atau meminta seorang mahasiswa yang  mengaku bernama Martin untuk mengecam kinerja KontraS yang dinilai selama ini sangat membantu penegakan hukum dan HAM di tanah Papua.

“Kami tidak kenal anak mahasiswa tadi. Sangat keliru dan salah jika menamakan mahasiswa Papua dan mengecam KontraS, kami sangat mendukung kerja-kerja KontraS selama ini. Jadi, jangan sebut mahasiswa Papua mendukung aksi demo tersebut,” ujar Wanimbo.

Wanimbo justru menilai, beberapa mahasiswa asal Papua, termasuk Martin yang diundang dalam aksi tersebut merupakan massa aksi bayaran dari pemerintah untuk menghancurkan reputasi KontraS yang selama ini dikenal sangat baik, dan membantu seluruh rakyat Indonesia, termasuk Papua.

US Embassy Publikasikan Laporan Pelanggaran HAM di Papua 2012

Written By Voice Of Baptist Papua on May 15, 2013 | 8:42 PM

US JAKARAT,-- Sumarry: Indonesia merupakan negara demokrasi dengan multi-partai. Tahun 2009, pemberi suara memilih Susilo Bambang Yudhoyono kembali sebagai Presiden dalam pemilihan umum yang bebas dan jujur. Pengamat dalam dan luar negeri menilai bahwa pemilihan umum legislatif 2009 juga bebas dan jujur. Setelah lebih dari 10 tahun reformasi demokrasi, pasukan keamanan melapor ke pihak berwenang sipil; namun, ada beberapa contoh pengecualian ketika beberapa unsur pasukan keamanan bertindak sepihak dalam mengendalikan warga sipil.

Penekanan atau pelanggaran terhadap hak beribadah dan kaum etnis minoritas merupakan sebuah masalah. Pemerintah memberlakukan UU makar dan penistaan agama untuk membatasi kebebasan berekspresi para pendukung kemerdekaan damai di provinsi Papua, Papua Barat, dan Maluku serta oleh kelompok agama minoritas. Pejabat yang korupsi, termasuk di jajaran pengadilan, merupakan masalah besar.
Permasalahan hak asasi lainnya termasuk pembunuhan oleh pasukan keamanan, pelecehan terhadap para narapidana dan tahanan, kondisi penjara yang buruk, perdagangan manusia, pekerja anak, dan gagal menegakkan standar buruh dan hak pekerja. 

Ada beberapa Topik Yang menjadi Uraian Laporan itu:

  1. Bagian 1. Menghargai Integritas Seseorang, Termasuk Kebebasan dari

  2. Bagian 2. Menghargai Kebebasan Sipil, Termasuk:

  3. Bagian 3. M

  4. enghargai Hak Berpolitik: Hak Warga Negara untuk Mengubah Pemerintah Mereka

  5.  Bagian 4. Korupsi dan Kurangnya Transparansi di Pemerintahan

  6. Bagian 5. Sikap Pemerintah Terhadap Investigasi Internasional dan Non-Pemerintahan atas Dugaan Pelanggaran HAM

  7. Bagian 6. Diskriminasi, Pelecehan Sosial, dan Perdagangan Manusia

  8. Bagian 7. Hak-Hak Pekerja

    Dalam Laporan itu ada pengguraian rilis Papua:

    Perampasan Hak Hidup Sewenang-Wenang atau Melanggar Hukum

    Ada sejumlah laporan bahwa oknum aparat keamanan  baik tentara maupun polisi melakukan pembunuhan sewenang-wenang atau melanggar hukum selama tahun 2012. 

    Pada 14 Juni, anggota pasukan keamanan yang tidak bisa teridentifikasi di Jayapura, Papua menembak mati Mako Tabuni, pemimpin Komite Nasional untuk Papua Barat (KNPB), yang berkampanye untuk mendapatkan kebebasan menentukan nasib sendiri bagi provinsi Papua dan Papua Barat. Perihal penyebab kematian Tabuni tetap belum jelas, pihak kepolisian menegaskan bahwa Tabuni tertembak karena menolak penangkapan, sementara para pembela hak asasi manusia menyatakan bahwa ia ditembak dari belakang saat mencoba melarikan diri. Dicurigai Tabuni menjadi target percobaan pembunuhan oleh pemerintah yang membunuh aktivis mahasiswa Terjoli Weya tanggal 1 Mei. Pelaku misterius menembak Weya saat demonstrasi memperingati perpindahan Papua dan Papua Barat dari Belanda ke Indonesia pada tahun 1963. Saat penembakan, Weya dilaporkan sedang berdiri bersama Tabuni di bagian belakang truk sewaktu melewati markas militer Abepura. Beberapa anggota KNPB dan aktivis mengklaim bahwa Weya ditembak dari markas, dan otopsi mengungkapkan bahwa ia diserang oleh pecahan kaliber .22. Polisi tidak menginvestigasi kasusnya.

    Pada 27 Juli, anggota Brigade Mobil Polisi (Brimob) Polda Sumatera Selatan membubarkan demonstrasi warga Desa Limbang Jaya, Kabupaten Ogan Ilir di Sumatera Selatan. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menemukan bahwa personil Brimob menembak Angga Prima yang berusia 12 tahun saat mereka berusaha mencegah terjadinya demonstrasi. Komnas HAM juga menemukan bukti bahwa Kapolda Sumatera Selatan memerintahkan Brimob untuk melakukan "langkah-langkah represif" dalam menangani warga setempat di Ogan Ilir. Sengketa klaim hak atas tanah yang terjadi antara warga dengan  perusahaan perkebunan milik pemerintah, PT. Perkebunan Nusantara (PTPN) VII Cinta Manis merupakan penyebab timbulnya konflik berdarah . Penyelidik Polri telah meminta keterangan 120 anggota Brimob yang terlibat dalam bentrokan, tapi tidak ada satu pun yang ditangkap atau ditindak. 

    Kekerasan yang terus berlangsung telah menyengsarakan warga masyarakat di provinsi Papua dan Papua Barat selama tahun tersebut. Keterpencilan wilayah membuatnya sulit untuk mengkonfirmasikan laporan mengenai desa-desa yang terbakar dan kematian warga sipil. Pada 6 Juni, menyusul insiden di Wamena yaitu seorang anak terluka dalam kecelakaan lalu lintas yang melibatkan dua tentara dari Batalyon Infanteri 756 bersepeda motor, warga setempat menyerang kedua tentara yang mengakibatkan Pratu Ahmad Sahlan terbunuh sedangkan Sersan Parloi Pardede terluka parah. Sebagai reaksi balas dendam atas kematian dan terlukanya rekan mereka sekitar50-100 anggota batalyon melakukan penyerangan  yang mengakibatkan Elinus Yoman terbunuh, melukai sejumlah warga setempat, 87 rumah terbakar. Hingga akhir tahun, penguasa tidak menahan atau memberikan tindakan indisipliner pada anggota Batalyon Infanteri 756 atas peran mereka di insiden tersebrgaut. Angkatan Darat Indonesia mengklaim bahwa tentara mereka harus membela diri saat berusaha mengambil jasad Sahlan. Beberapa hari berikutnya setelah kejadian, upacara rekonsiliasi khusus dilaksanakan yang melibatkan warga setempat, pejabat sipil dan pasukan keamanan. 

    Banyak kekerasan di Papua dan Papua Barat berkaitan dengan Organisasi Papua Merdeka (OPM) dan operasi pasukan keamanan melawan OPM. Sebagai contoh, pada 23 Agustus, polisi menahan empat orang yang diduga keras anggota OPM sebagai tersangka pembunuhan anggota polisi Yohan Kasimatau di Bandara Enarotali di Paniai pada tanggal 21 Agustus. 

    Selain pembunuhan oleh pasukan keamanan dan OPM, terdapat juga sejumlah insiden kekerasan, termasuk beberapa pembunuhan oleh pihak-pihak yang tidak dikenal di Papua dan Papua Barat. Penyerang misterius yang oleh pejabat pemerintahan dan kontak HAM di duga dilakukan oleh pihak a separatis Papua, membunuh beberapa warga pendatang non-Papua. Pada 22 Mei, pengemudi Syaiful Bahri meninggal di tangan seorang pembunuh misterius. Polisi menemukan serpihan jasadnya yang hangus terbakar di dalam mobil sewaan di pemakaman di Jayapura, Papua. Otopsi mengungkapkan bahwa pendatang dari Jawa tersebut kemungkinan besar meninggal setelah ditusuk berulang kali.

    Kejahatan terus terjadi di sepanjang jalan dekat pertambangan emas dan tembaga Grasberg milik Freeport McMoran di Timika, Papua, termasuk pembunuhan pasukan keamanan dan pekerja. Pada 9 Januari, penembak misterius membunuh dua pekerja PT. Kuala Pelabuhan Indonesia, perusahaan kontraktor Freeport, di sepanjang jalan. Polisi menemukan jasad mereka di kendaraan yang terbakar. Pada 7 Februari, di titik lain di jalanan tersebut personil Brimob Ronald Sopamena diduga ditembak mati oleh pihak OPM. 

    Pada Juni 2011, Mahkamah Agung menolak kasasi Pollycarpus Budihari Priyanto, yang sebelumnya dihukum tahun 2004 karena didakwa meracuni yang mengakibatkan kematian aktivis HAM, Munir Said Thalib. Sedangkan para pembela HAM terus menduga bahwa peracunan yang mengakibatkan kematian Munir melibatkan anggota Badan Intellijen Nasional (BIN). Pengungkapan keterlibatan personel intelijen BIN dalam kematian Munir oleh pihak kejaksaan tampaknya tidak mengalami kemajuan dan cenderung berjalan ditempat.

    b. Penghilangan Orang

    Tidak ada laporan mengenai penghilangan orang bermotif politik selama tahun tersebut. Pemerintah dan organisasi masyarakat sipil melaporkan sedikit perkembangan dalam menghitung orang hilang tahun lalu atau dalam menuntut mereka yang bertanggung jawab terhadap hilangnya orang-orang tersebut. 

    Tahun 2009, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyetujui pembentukan pengadilan ad hoc untuk melanjutkan penyelidikan dan kemungkinan penuntutan terhadap penculikan aktivis pro-demokrasi tahun 1998. Pada akhir tahun, pemerintah belum membentuk pengadilan ad hoc yang dimaksud.

     Seumber: http://indonesian.jakarta.usembassy.gov/news/keyreports_hrr2012.html

 

GRAPHIC IMAGES: West Papuans Shot Dead By Indonesian Police


We would like to write again about the current extra judicial murder of native Papuan and the 4 activists of KNPB were arrested and beaten by Indonesian force currently. Chronologically two incidents were occurred separately; On 9 May at 10 pm. local …International Forum for West Papua (INFO_WP)
14 May 2013

The Hon Julia Gillard MP
Prime Minister
Parliament House
CANBERRA
ACT 2600

Dear Prime Minister,

We would like to write again about the current extra judicial murder of native Papuan and the 4 activists of KNPB were arrested and beaten by Indonesian force currently. Chronologically two incidents were occurred separately; On 9 May at 10 pm. local time a civilian of Arton Kogoya, 28 years old was shoot death by members of TNI (Wim Anessili A 756 unit) at Wamena District in Central Highlands; Severe activists were Victor Yeimo (Chairman of KNPB), Yong Ulimpa (23), Ely Kobak (17) and Marthen Manggaprow were arrested by Indonesia Police during peaceful demonstration on 13 May.
This peaceful protest was just aimed to ask the current incident on 30 and 1 may in where severe activists were died and over 20 were arrested, and express their aspiration for foreign journalists and international human rights activists freely access in the country. We indicated that Indonesia government did not implement the Universal Periodic Review of 180 points especially freedom of expression and excessive force, from the 1 May 1963 found that those violence definitely crimes against humanity, genocide and war crime despite your government encourages Indonesia to maintain Roman Status of International Criminal Court.
We do not believe with whatever Indonesian rule and policy to uphold international human rights law to the Melanesian people of West Papua, a strong indication is the all development plans have been politicizing by the Central Government of Jakarta due to political sentiment interest then our critical argumentation that the foreign aid including your military aid creates big impact upon this potential violence.
Therefore, we are very deeply demands your Government to:
1. Ask Indonesian government to release the KNPB leader of Victor Yeimo, 3 other friend and all the political prisoners,
2. Ask Indonesian government to take responsibility on the murder of Arton Kogoya,
And The Info_WP asks to Australia government
1. Play mediator role in solving the long-term political conflict,
2. Use your non-permanent seat at the Security Council for peacekeeping force in maintains international pacific settlement dispute provision in the armed conflict territory of West Papua.
3. Stop your aid programs such as military training, funding the 88 detachment, funding million dollars for economic, social and education development budget.
We will be happy to hear your prompt response
Yours Faithfully,
President of INFO_WP
Amatus Douw
GRAPHIC PICTURES of the murder of Arton Kogoya by TNI and Police
On Saturday 9/05/2013 at 10 pm West Papua time a civilian name Arton Kogoya, 28 years old was shoot death at Yosudarso Street section Uweme Wamena river Wamena District Central Highlands of West Papua by members of TNI from Wim Anessili A 756 units.

Pembredelan Buku Bukan Hal Baru di Tanah Papua

Written By Voice Of Baptist Papua on March 15, 2013 | 9:42 PM

 By. Naftali Edoway

Naftali Edoway (photo pribadi)
Jayapura Voice Baptist,-- Saya membuka sebuah media online yang berita-beritanya selalu saya santapi. Dialah Tabloidjubi.com, salah satu media online dari Tanah Papua yang berita-beritanya tak dapat disangsikan hingga kini.  Dalam media ini saya menemukan sebuah judul berita “Buku Ke-15 Dari Socratez Dilarang Beredar”[1], membaca judulnya saya jadi tertawa. Tertawa bukan karena ada kesalahan pada judul dan isi atau pada medianya tapi kepada mereka yang melarang buku itu beredar. Lalu sejenak saya berpikir bahwa rupanya sampai saat ini penguasa negara ini belum mau ditelanjangi dosa-dosanya. 
Mereka masih ingin berkubang dalam lumpur dosa. Mereka masih ingin menari-nari diatas penderitaan yang mereka ciptakan bagi orang Papua. Mereka masih ingin tertawa diatas dosa yang mereka lahirkan karena kekerasan dan kejahatan kemanusiaan yang sudah dan terus dilakukannya hampir 50 tahun terakhir.

Sejak diintegrasi paksa 1969 hingga hari ini yang namanya pembredelan buku tentang Papua bukan hal yang baru. Hal seperti ini sudah berlangsung lama. Misalnya saja; Buku karangan Pdt. I.S. Kijne, “Seruling Mas” di larang beredar oleh pejabat Indonesia di Papua tahun 1963; Buku, Jayapura ketika perang Pasifik, oleh A.Mampioper di di larang beredar oleh pejabat Indonesia di Papua tahun 1979; Buku Karya Pdt. Jan Mamoribo, Benteng Jembekaki, dilarang beredar dalam tahun 1979 oleh pemerintah Indonesia; Buku karya Benny Giay, Penculikan dan Pembunuhan Theys Eluay, dilarang beredar dalam tahun 2003 oleh pejabat negara Indonesia di Papua; Sendius Wonda dengan bukunya, Tenggelamnya Rumpun Melanesia, dilarang beredar oleh pemerintah Indonesia tahun 2007; Socrates Yoman dengan buah penahnya yang berjudul Pemusnahan Etnis Melanesia, dilarang beredar oleh pemerintah Indonesia dalam bulan Agustus 2008, dll[2].

Dilarang beredarnya buku diatas, termasuk bukunya Socratez S.Yoman yang terakhir ini, menurut saya merupakan kebijakan untuk mematikan aktualisasi diri orang Papua atau upaya mematikan sikap kritis. Mereka ingin padamkan suara-suara demokrasi dari rakyat Papua. Mereka tak ingin kesalahan dimasa lalu dibongkar. Karena jika demikian mereka akan kehilangan muka dihadapan rakyatnya dan dunia internasional.

Kedua, Negara berusaha mengamankan status quonya atas tanah Papua dengan bahasa, bahwa isi dari buku-buku itu akan meresahkan rakyat, akan menganggu kondisi keamanan bahkan dikatakan berbau makar. Sikap negara seperti ini menunjukkan bahwa tak ada demokrasi di Papua. Yang ada hanya kekerasan, stigma dan teror dari waktu ke waktu untuk mengamankan kepentingan negara di Tanah Papua. Kekerasan yang berlebihan di Papua ini menunjukan adanya darurat kekerasan.  

Ketiga, ini adalah bentuk nyata kebijakan publik negara yang menurut Wibawanto Nugroho adalah degenerative politics[3]. Degenerative politics menurut Pak Nugroho adalah pandangan-pandangan politik dan anggapan-anggapan yang melumpuhkan kondisi masyarakat Papua. Artinya, Jakarta berpikir bahwa kehadiran buku itu akan mengganggu kadaulatan negara, sehingga segera diberedel/dilumpuhkan. Tak boleh ada orang Papua yang pintar dan menulis buku yang mempermasalahkan status quonya,dll.

Keempat, pembredelan buku ini menunjukkan bahwa sebenarnya ada penjajahan atau pun perbudakan di Tanah Papua atau dengan kata lain Jakarta masih ingin memelihara politik penjajahan/perbudakannya di Papua.

Jika demikian, kapan ada kebebasan sebebas-bebasnya bagi rakyat Papua untuk menyatakan perlakukan tidakadil yang terus mereka alami? Kapan impian “Papua Tanah Damai” itu diwujudnyatakan? Kapan slogan “Kasih dan Damai itu Indah” yang dipajang di markas-markas militer itu terwujud? Entalah!  Tapi kekerasan masih terus terjadi. Ketidakadilan dan diskriminasi masih terlihat di depan mata. Teror dan intimidasi terus berjalan.  

Adakah Jakarta punya niat untuk mengakhiri konflik ini dengan jalan dialog atau perundingan? Kita tunggu sambil berjuang. Maju sambil terus mengumandangkan suara-suara kritis dari negeri ini dengan keyakinan kita bahwa kebenaran itu ibarat kekuatan air yang mengalir dari ketinggian ke dataran rendah. Ia tak dapat dibendung atau dipenjarahkan. Ia akan terus mengalir menembus sekat-sekat kebijakan negara yang ingin menahannya
 
Penulis: Naftali Edoway ( Dosen STT Walter Post jayapura)
 

Kontras: Inpres Kamnas Cermin Kegagalan Pemerintah

Written By Voice Of Baptist Papua on January 27, 2013 | 11:37 PM

Haris Azhar. (Antarafoto)
Liputan6.com, Jakarta : Banyak kasus kekerasan yang berujung kerusuhan di sejumlah daerah membuat aparat keamanan kewalahan seperti kerusuhan di Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB), beberapa waktu lalu.

Karena itu, pemerintah berencana mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Keamanan Nasional (Kamnas) untuk mengatasinya. Inpres ini sebagai bentuk penegasan aparat dalam menghadapi tindakan anarki yang dilakukan kelompok tertentu.

Namun, usulan inpres yang digagas Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi ini ditentang sejumlah LSM seperti Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS). Koordinator Kontras Haris Azhar, menyebut inpres tersebut lebih menunjukkan kegagalan polisi dan pemerintah daerah dalam mencegah kasus kekerasan.

"Pembuatan Inpres Kamnas lebih cenderung untuk merespons gagalnya tanggap polisi dan pemerintah daerah dalam mencegah dan menangani rusuh atau konflik kekerasan di berbagai tempat belakangan ini," ujar Haris di Jakarta, Senin (28/1/2013).

Menurutnya berbagai situasi politik dan keamanan di Indonesia pada dua tahun terakhir ini menunjukkan situasi yang meresahkan. Padahal idealnya situasi ini harus mendapat penanganan komprehensif dari negara dengan melihat penyebab sebenarnya.

Haris berpendapat pemerintah harus melakukan penanganan secara komprehensif, memaksimalkan ruang koordinasi dan profesionalisme kerja dari masing-masing unit pemerintah untuk menghadapi gejolak di tengah masyarakat.

Kendati gejolak itu semakin tidak terjaminnya pelayanan publik, perlindungan hukum, keadilan sosial, dan pemenuhan hak-hak sipil, Haris menekankan bahwa situasi itu lebih dari persoalan keamanan belaka.

Dalam berbagai isu ketiadaan hak masyarakat sipil, lanjut Haris, pendekatan negara kerap condong ke model penanganan keamanan belaka. Isu konflik agraria, teror, konflik berbasis kekerasan minoritas, konflik yang dipicu karena ketidakadilan dan sederet konflik lainnya dijawab dengan menurunkan jumlah pasukan bersenjata berskala besar.

"Lihatlah bagaimana Pemerintah menangani konflik di Aceh, Poso, Papua, hingga Timor Timur juga selalu dimulai dengan hal-hal yang sifatnya eksesif," tuturnya.

Inpres Nomor 4 Tahun 2001 tentang Langkah-Langkah Penyelesaian Komprehensif dalam Penyelesaian Masalah Aceh, lanjut Haris, diikuti dengan operasi darurat militer besar-besaran. Begitu pula, di Timor Timur melalui Keppres No. 107/1999 tentang Penetapan Keadaan Darurat Militer di Timor Timur, Poso dan yang tidak pernah diakui hingga kini, Papua.

Menurutnya, peristiwa kerusuhan terbaru di Sumbawa, NTB, Selasa 22 Januari lalu menjadi contoh mutakhir, yakni penangangan berorientasi keamanan, di tingkat pusat akan memunculkan penetapan Inpres Kamnas.

"Hal itu tidak sinkron dengan persoalan aktual yang menjadi 'bom waktu'," kata Haris.

Dalam kasus Sumbawa, minimnya akses informasi, transparansi, dan tidak profesionalnya penangangan kasus kematian Arniyati menjadi pemicu bagi masyarakat untuk menumpahkan rasa ketidakadilan dalam bentuk kekerasan terhadap kelompok atau etnis tertentu. Hal ini didukung oleh minimnya kebijakan pemerintah setempat dalam pencegahan dan penanganan konflik sosial.

Menurut dia, situasi di Sumbawa menegaskan bahwa konflik sosial dipicu oleh rasa ketiadakadilan yang dirasakan masyarakat akibat dari tidak profesionalnya kinerja aparat keamanan, polisi, dan aparat pemerintahan setempat.

Karena itu, Haris mengingatkan, bagi Kontras tidak ada kondisi dan situasi yang mendesak bagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk mencari celah dalam menetapkan Instruksi Presiden tentang Keamanan Nasional pada tanggal 28 Januari 2013.

"Justru pemerintah harus menghentikan idenya menambah tumpang-tindih aturan sektor keamanan seperti Inpres Kamnas," katanya.

Ia memandang perlu Pemerintah segera melakukan evaluasi dan perbaiki kinerja, kebijakan keadilan, keterampilan, dan akuntabiitas aparat keamanan dan aparat daerah di berbagai daerah. Kemendagri, menurutnya, bisa mengambil peran itu bersama dengan Mabes Polri, Komnas HAM, Dewan Perwakilan Daerah (DPD), praktisi dari masyarakat sipil, dan komunitas akademik.

Khusus untuk situasi Sumbawa pada saat ini, tambah Haris, Polda Nusa Tenggara Barat harus memberikan informasi yang jujur dan transparan mengenai kematian korban dan menindaklanjuti kasus kematian korban sesuai dengan prinsip dan aturan hukum yang berlaku.

"Pemerintah harus kembangkan kebijakan perlindungan dan jaminan hak setiap warga negara, bukan memberikan restriksi lewat aturan keamanan (lagi)," kata Haris. (Ant/Adi)

Warga Papua desak selesaikan kasus HAM, Komisi HAM PBB diminta turuntangan

Written By Voice Of Baptist Papua on January 17, 2013 | 4:34 AM

Manokwari-Sindonews.com, - Ratusan warga Manokwari, Papua Barat, kembali berunjuk berunjuk rasa menuntut penyelesaikan kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Papua. Mereka juga mendesak Komisi HAM PBB untuk turun tangan menyelesaikan berbagai persoalan di bumi cendrawasih tersebut.

Ratusan bendera bintang kejora berbagai ukuran, dibawa massa yang tergabung dalam West Papua National Authority. Mereka melakukan aksi longmarch sepanjang jalan utama di Kota Manokwari, menuju Gereja Elim, Kwawi.

Dalam aksinya, massa menuntut penuntasan berbagai persoalan yang selama ini terjadi di Papua, terutama kasus pelanggaran HAM berat.

Selain membawa bendera, warga lainnya juga memperlihatkan tarian adat dan grup suling tambur.

Massa juga mendesak dibebaskannya Presiden dan Perdana Menteri Negara Federasi Republik Papua Barat yang saat ini masih ditahan di Jayapura, Papua.

Massa juga mendesak dewan HAM PBB untuk melakukan investigasi seadil-adilnya guna menyelesaikan masalah Papua.

Aksi ini dikawal ketat ratusan personel Polres Manokwari, dibantu Brimob Polda Papua meski awalnya sempat dilarang turun ke jalan.

Meski berjalan aman dan lancar, demo damai ini sempat memacetkan arus kendaraan di beberapa jalan protokol. Polisi terpaksa mengalihkan arus lalu lintas ke jalan alternatif.

Sementara, sejumlah toko dan kios ditutup pemiliknya untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.

(ysw)

Kekerasan Harus Dihentikan Demi Keamanan Manusia Papua

Written By Voice Of Baptist Papua on January 7, 2013 | 5:16 PM

“Saya tidak setuju kekerasan atas nama apa pun, termasuk atas nama keamanan nasional.” Ketua Umum Persekutuan Gereja-Gereja Baptis Papua (PGBP) - Rev. Socratez Sofyan Yoman".

Ketua Umum PGBP Socratez Sofyan Yoman (pht/pgbp)
Demikian kata Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja Baptis Papua (PGBP), Socratez Sofyan Yoman, kepada wartawan usai Kongres ke-XV-II di Wamena, Jayawijaya, Papua.

Menurut Socratez, sesuai prinsip gereja, yang lebih utama dalam kehidupan adalah kepentingan manusia. Maka, keamanan atas nama Negara harus ditentang.

“Yang lebih utama adalah keamanan manusia Papua, bukan kepentingan Negara,” kata Socratez mencontohkan kekerasan di Papua belakangan.

Selama dia menjadi Ketua Umum PGBP, atas kepercayaan umat, dan kesepakatan kongres, lanjut Sofyan, ia terus memperjuangkan keadilan untuk orang asli Papua di bumi cenderawasih ini.
“Saya kan terus berbicara,” kata Socratez lagi.

Socratez dipercayai sebagai Ketua Umum PGBP dalam kongres ke-XVII di Wamena. Hampir seratus persen suara dalam kongres memilih dia sebagai ketua dalam periode 2012-2015.

Di akhir kongres, 14 Desember 2012, ia diarak ribuan umat baptis dari jalan Yos Sudarso, kompleks Kodim 1702 Wamena hingga kampung Sinagmo, Wamena. Bagi Socratez, arakan dan kepercayaan umat baptis atas dirinya merupakan harapan untuk menyerukan keadilan, dan menghentikan kekerasan di ata Tanah Papua.

“Jaga kami, bicara tentang kekerasan yang menimpa kami, itu pesan yang saya tangkap jemaat,” kata Socratez.  (Jubi/Timo Marten)

KNPB: Kapolda Papua Harus Hapus DPO

Wim Medlama Topi Biru didampinggi Hakim Pahabol Anggota PNWP dan Anggota KNPB saat jumpa pers (Jubi/Mawel)
Jayapura (6/1)—Melalui juru bicaranya,  Komite Nasional Papua Barat mengatakan pembukaman ruang demokrasi, penahanan sejumah aktivis KNPB hingga ke di balik jeruji besi dan lainnya masuk dalam  Daftar Pencaharian Orang (DPO) adalah demi kepentingan elit politik Papua. 

KNPB mengatakan elit politik bersama  Kapolda berusaha bermain di Papua dengan objek mengkambinghitamkan rakyat dan aktivis di Papua.

“Polda Papua membungkan ruang demokrasi demi elit politik Papua. Demi kepentingan elit politik, Rakyat Papua menjadi korban. Banyak masyarakat, aktivis masuk dalam DPO,” kata juru bicara KNPB, Wim Medlama, dalam jumpa persnya, Sabtu,(5/1) di Café Prima Garden, Abepura, Kota Jayapura, Papua.

Karena itu, KNPB mendesak Kapolda Papua membebaskan sejumlah tahanan aktivis KNPB dan menghapus daftar nama aktivis KNPB dari DPO. “Menghapuskan seluruh anggota KNPB dan aktivis dari daftar pencaharian orang (DPO) serta membebaskan anggota KNPB dan masyarakat yang ditahan tanpa bukti yang jelas,” kata Wim.

Bagi KNPB, Rakyat Papua ingin kebebasan menyampaikan aspirasinya, melakukan kehendaknya bersama-sama dengan yang lain tanpa ada yang dirugikan. Ruang bagi rakyat mengeksperesikan dirinya secara bersama-sama mesti disediakan pemerintah. Pemerintah tidak menyediakan ruang demokrasi berarti tidak perlu mendengungkan negeri demokrasi dan masyarakat demokrasi.

“Ruang demokrasi perlu ada bagi rakyat Papua. Kalu tidak, tidak perlu menjadi Negara demokrasi. Apa artinya menjadi Negara demokrasi tanpa ada ruang demokrasi bagi rakyat,” kata Hakim Bahabol, anggota, Parlemen Nasional west Papua, menambahkan komentar Wim Medlama. (Jubi/Benny Mawel)

Fadel: Pelaku Pelanggaran HAM Tak Tersentuh Hukum

Written By Voice Of Baptist Papua on December 8, 2012 | 12:35 AM

Photo Ilustrasi
JAYAPURA - Masih banyak kasus kasus pelanggaran HAM di Papua yang dilakukan aparat negara hingga kini tidak tersentuh hukum, mengakibatkan tak terputusnya impunitas , bahkan impunitas terus terjadi, karena para pelanggar HAM sama sekali tak tersentuh hukum. 

Hal itu diungkapkan Fadel Al Hamid, Sekertaris Dewan Adat Papua, Kamis( 6/12).
Menurut Fadel, tak terselesaikannya kasus kasus pelanggaran HAM di Papua seperti Kasus Biak Berdarah, Kasus Wasior, Abepura 2000, Wamena berdarah, penembakan di Paniai menujukkan impunitas terus terjadi. “ Saya pikir meningkatnya kasus pelanggaran HAM di Papua membuat kita semakin disadarkan bahwa, memang Pemerintah Indonesia belum sepenuhnya atau kurang ataupun tidak semasekali menujukkan itikat baik menyelsaikan masalah HAM di Papua,” ujarnya. 

Jika berbicara kasus HAM dalam konteks Papua seiring bergantinya tahun demi tahun dilihat bukan semakin membaik atau ada penurunan kasus, justru semakin meningkat. Menurut Fadel, Impunitas tak akan terjadi di negeri ini bila hukum ditegakkan.

Ia melihat, setiap pihak yang melakukan pelanggaran, diperiksa, dilakukan penyelidikan, penyidikan kemudian dibawah ke pengadilan untuk mempertanggung jawabkan perbuatan mereka, tetapi juga dilihat dalam seluruh proses pengadilan sebenarnya harus benar benar menjunjung rasa keadilan masyarakat. Belajar dari kasus Abepura Tahun 2000 yang kemudian disidangkan di Makassar justru bukan memberikan rasa keadilan bagi korban namun semakin melukai hati orang Papua karena dari sidang yang dilakukan itu tak ada satupun pelaku dikenakan sanksi, melainkan pelaku bebas sementara realitas menunjukkan ada korban, ada orang yang dipukul dan kemudian tewas.

Ia melihat persidangan kasus Abepura berdarah di Makassar sangat jelas menunjukkan negara sedang memperlihatkan kesombongannya kepada rakyat di Papua, termasuk juga menujukkan kebebalannya terhadap rakyat sipil.

Ia justru melihat keadaan berbalik, rakyat yang tak bersalah yang justru diadili secara sewenang wenang, mereka orang orang yang kemudian menyampaikan aspirasinya secara damai dan bermartabat. Kita lihat kasus Filep Karma yang dipenjarakan sampai hari ini, kemudian mereka yang terlibat dalam kongres III. Mereka itu menyampaikan aspirasi mereka tapi kemudian merekah yang diadili, padahal mereka tak membunuh siapa siapa ataupun melukai siapa siapa, atau sedang mempersiapkan sesuatu yang kemudian mengancam keselamatan negara ini, sambungnya.

“ Mereka itu hanya menyamapikan aspirasi dan pandangannya secara damai dan pandangan itu memenuhi hakikat Hak Asasi Manusia. Namun mereka yang kemudian disolimi”. Menurut Fadel kasusnya sama seperti kasus penembakan dan kasus kasus pelanggaran HAM lainnya, sampai saat inipun kita tak melihat adanya suatu kemajuan atau upaya Pemerintah pusat membangun HAM di Papua dengan membawa pelakunya. Contoh lain yang menujukkan tak terselesaikannya kasus HAM diranah Politik adalah kasus Mako Tabuni. Penembakan Mako Tabuni itu sekan akan dengan pernyataan yang diklaim sebagai suatu pembuktian hingga Mako ditembak. “Ini sesuatu yang aneh,”katanya.

Padahal nyawa seorang manusia itu harusnya dipertanggung jawabkan, sekalipun ia seorang pejabat negara atau teroris sekalipun, akan diproses hukum sesuai hukum yang berlaku apakah dia dihukum mati atau ada konsekuensi hukum lainnya. Ia melihat kondisi berbeda dengan Mako Tabuni yang langsung dihilangkan. “ Realitas lain yang saya lihat ada semacam kejenuhan dari para pekerja HAM di Papua yang kehilangan cara bagaimana menuntut Keadilan di Negeri ini,”katanya. 

Berbagai kasus yang ditangani para pekerja HAM yang diadvokasi, diajukan dengan segala macam cara namun pada akhirnya menemui sebuah fakta bahwa, mereka tak mendapatkan Keadilan di negeri ini. Tapi para pekerja HAM ini dengan sisa tenaga yang dimiliki masih tetap tegar, konsisten dalam meriakan ketidakadilan di Tanah Papua.

Dalam seluruh kasus HAM Papua itu, ia melihat dari sisi posisi Presiden SBY termasuk peran UP4B yang dinilainya masih banyak ditemui problematika dan pro kontra di kalangan masyarakat yang menilai kebijakan UP4B tak akan menolong dan memperbaiki situasi HAM di Papua selama kasus kasus HAM masa lalu tak terselesaikan, justru membuka lapangan baru yang kemudian membuka jendela peluang terhamburnya uang.
“ Saya mau soroti suatu aspek atau langkah yang seharusnya sudah bisa dilakukan UP4B terhadap pelanggaran HAM. 
Termasuk kasus sama dipertanyakan kembali kepada Presiden SBY soal komitmennya menyelesaikan kasus pelanggaran HAM melalui UP4B selanjutnya diproses lewat Kejaksaan hingga KOMNAS HAM terkait dengan Wasior yang sementara ini masih dalam proses dan mengantung. Ia bertanya mengapa dari kasus kasus lampau ini belum ada suatu langkah yang diambil segera dari Negara ini, kemudian Oke Pemerintah mulai menujukan keseriusannya untuk selesaikan khususnya menyelesaikan kasus Wasior yang sudah mendapatkan rekomendasi untuk ditindaklanjuti”

Seharusnya Pemerintah SBY sudah berpikir untuk mulai melakukan pembangunan penegakan HAM di Papua dalam sebuah kebijakan pembangunan HAM di Papua yang jelas apalgi diakhir masa jabatannya. Presiden diminta mengambil suatu kebijakan yang berani, kalau kemudian presiden masih berpikir soal popularitas, sengsi dan harga dirinya untuk tak diserang lawan lawan politiknya, saya pikir dalam konteks ini, Presiden tak perlu kuatir karena bagaimana mungkin ia berusaha untuk menegakan HAM, mengobati luka hati orang Papua, bukan menjadi bumerang politk atau hal ynag mengada ada. 

Fadel berpilir tak ada alasan mendasar bagi Presdien SBY untuk tak melakukan sesuatu, sebab ia harus bisa melakukan sesuatu apalgi diakhir masa jabtannya yang kedua karena untuk periode berikut ia tak akan maju lagi, pikir Fadel.

Sebagai Kepala negara, Presiden bertanggung jawab penuh terhadap penegakan hukum di Indonesia. Kita tak bisa andalkan keberadaan Perwakilan KOMNAS HAM Papua dengan keterbatasannya saat ini. Komnas HAM Papua juga dilihat menampakan kelelahan dengan kondisi yang memprihatinkan ini, karena KOMNAS HAM Papua sendiri tak dapat bebuat banyak hidup enggan matipun tak mau, ia tak mendapatkan perhatian dari Pemerintah, meski dengan dana trilyunan dalam APBD, ia hanya mendapatkan nol koma sekian persen saja.

Menurut Fadel kondisi demikian mengakibatkan kemudian kita tak punya harapan dan berharap sesuatu pada KOMNAS HAM, Namun toh kemudian ada amanat dalam Undang undang Otsus sebuah harapan s kalau kita masih mau berharap agar Presiden masu dikenang oleh orang orang Papua diakhir masa jabatannya ini, setidaknya memberikan harapan pada rakyat Papua bahwa didalam negara ini masih ada keadilan untuk orang Papua, bahwa di negara ini Hak Asasi Manusia masih mendapat tempat untuk dihargai. 

“Saya pikir itu menjadi harapan kita tetapi sebenarnya mengandung desakan dan tantangan kita kepada presiden untuk bertindak bagi penegakan Hak Asasi Manusia karena orang Papua ini adalah rakyat dia maka dia mestinya melakukan sesuatu untuk sedikit mengobati hati orang Papua , apa yang dibuatnya mengandung harapan dan makna mendalam bagi momentum Hari HAM 10 Desember 2012 ini”, sambunya.
Warga Papua Diajak Peringati HAM

Sementara itu, Ketua Forum Anti Pelanggaran Ham di Papua, Septi Megdoga, mengajak seluruh komponen masyarakat Papua untuk turut terlibat dalam kegiatan peringatan Hari Pelanggara Hak Asasi Manusia (HAM) se-dunia yang jatuh pada 10 Desember 2012.

Dijelaskannya, salah satu bentuk peringatannya adalah melaksanakan kegiatan demonstrasi damai, yang berisikan seruan-seruan kepada pemerintah pusat untuk segera menyelesaikan berbagai persoalan pelanggaran HAM yang terjadi di Tanah Papua.

Sebut saja sejumlah pelanggaran HAM seperti permasalahan politik Papua yang disunat oleh pemerintah Indonesia hingga kini, dan kasus pelanggaran HAM lainnya seperti pembunuhan dan lain sebagainya, sampai pada masuk dibungkamnya ruang demokrasi di Tanah Papua.

Menurutnya, hingga kini masalah Papua silih berganti, dan nasib rakyat Papua terus terkatung-katung tanpa penyelesaian yang jelas, meskipun berbagai kebijakan pembangunan maupun regulasi aturan terus diperbaharui (Salah satunya lahirnya UU No 21 Tahun 2001 tentang otsus), tapi kenyataannya belum mampu menyentuh apa yang menjadi kebutuhan dasar masyarakat, sehingga sampai saat ini masyarakat masih hidup miskin, terbelakang di atas kekayaannya sendiri.

“Mari kita semua bergabung untuk peringati dan suarakan HAM yang selama ini belum dituntaskan pada hari peringtatan HAM se-dunia pada 10 Desember 2012 mendatang,” tegasnya dalam press releasenya kepada Harian Bintang Papua, Kamis, (6/12),

Pelanggaran HAM yang tanpa pertanggungjawabkan aparat keamanan dan pemerintah khususnya Jakarta. Pertanyaan besar rakyat Papua tentang status politik Papua yang terus menerus dijawab dengan tindak kekerasan oleh aparat keamanan.

Lanjutnya, belum tuntasnya penyelesaian pelanggaran HAM dan timbulnya kasus pelanggara HAM yang baru, tidak lain juga diakibatkan oleh melemahnya otoritas-otoritas sipil. Lihat saja lembaga eksekutif dan legislatif di Papua yang selama ini diam membisu ketika dihadapkan dengan realitas masyarakat Papua yang semakin memburuk dan memprihatikan derajat dan martabatnya di segala aspek kehidupan.

“Sampai saat ini banyak cerita instrument politik bagi semua masyarakat Papua yang mengingat beberapa para sang pejuang penegakan HAM ditembak mati hingga menjadi cerita pahiy bagi masing-masing kelyarga korban pelanggaran HAM,” tandasnya.(ven/nls/don)



Twitt VBPapua

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. SBP-News @VBaptistPapua - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger