JAYAPURA— Anggota Komisi A DPRP dr. Johanes Sumarto menegaskan, pernyataan seorang tokoh agama, Pdt. Socrates Sofyan Yoman yang menyebut terjadinya serangkaian aksi kekerasan dan kekejian terhadap warga sipil di Papua, bukan didalangi OPM murni, tapi justru didalangi ‘OPM piaraan’ dinilai sangat tendensius. Padahal sebagai tokoh agama ia seharusnya memberikan ketenangan, kesejukan di dalam masyarakat bukan malah memberikan suatu penerangan yang menyesatkan atau membuat orang makin saling curiga. Demikian disampaikan Johanes Sumarto ketika dikonfirmasi di ruang kerjanya, Jumat (26/8). Salah seorang pendiri Partai Golongan Karya di Provinsi Papua ini menyatakan, apabila Pdt. Socrates Sofyan Yoman menyatakan pelaku dari serangkaian aksi pembunuhan dan penembakan dilakukan OPM piaraan bukan menimbulkan ketenangan dan kesejukan, malah memanas-manasi situasi secara tak langsung.
Selain itu, lanjutnya, pernyataaan Pdt. Socrates Sofyan Yoman bahwa para pelakunya pasti orang yang terlatih justru bisa menimbulkan tafsiran bahwa yang pelaku pembunuhan dan penembakan adalah aparat aparat tertentu.
Yoman mengatakan OPM piaraan, katanya, ia tahu maksudnya itu piaraaan siapa. Tapi kalau kita lihat di TV yang ngomong itu jelas jelas TPN-OPM sendiri.
“Bila beliau tahu tolong pelakunya tunjukkan pelakunya. Jangan membuat masyarakat menjadi bingung. Bila Pak Yoman tahu bantulah Pak Kapolda datang kesana kira kira orangnya ini. Itu akan dirahasiakan,” ungkapnya.
Adanya ungkapan yang menyatakan apabila aparat keamanan tak bisa mengungkap semua kasus kasus yang terjadi di Tanah Papua, maka Kapolda Papua Irjen Pol Drs BL Tobing diminta mengundurkan diri, dia mengatakan, pernyataan yang disampaikannya terlalu ekstrim.
Pasalnya, Kapolda sudah berusaha sepenuh hati untuk menjaga keamanan dan ketertiban di wilayah Papua. Hanya saja, tukasnya, paradigma yang dipakai kini berbeda dengan paradigma yang lalu bahwa aparat kepolisian kini dibekali Protap yang harus ditaatinya.
“Saya dukung Kapolda yang telah bekerja dengan sungguh sungguh artinya setiap ada kejadian langsung dilaksanakan operasi yang melibatkan masyarakat,” tukasnya.
Karena itu, ujarnya, sekarang harus disepakati bahwa situasi keamanan dan ketertiban di Papua adalah tanggungjawab semua pihak.
“Marilah kita saling membantu, saling menjaga situasi ini agar kembali kondusif seperti semula,” ungkapnya, seraya mengatakan untuk menjaga ketertiban dan keamanan disarankan agar masyarakat mengaktifkan Siskamling di masing masing kampung atau desa.”
Dia mengatakan, pihaknya juga mengharapkan agar aparat keamanan menggelar operasi senjata tajam (Sajam) secara rutin dan terus menerus serta razia KTP.
“Pertama tama saya nyatakan bahwa keamaman dan ketertiban di Papua ini adalah tanggungjawab seluruh masyarakat bukan hanya tanggungjawab Kapolda ataupun Gubernur dan aparat aparat lainnya,”katanya.
Ditambahkan, semua orang harus sama sama menjaga dan memelihara keamaman dan ketertiban di Papua.
“ Marilah kita sesuai dengan tugas dan profesi masing masing memberikan penjelasan kepada masyarakat dan jangan saling menuding atau menyalahkan antara satu dengan yang lain,”tambahnya.
Dia mengatakan, suatu hal yang perlu juga diperhatikan bahwa gangguan keamanan yang seringkai terjadi di Papua disebabkan masalah kesejahteraan orang asli Papua yang masih jauh tertinggal.
Karena itu, tandasnya, pihaknya mengharapkan DPRP, Gubernur, DPRD, Bupati, Walikota untuk menyusun program pembangunan yang bisa mensejahterakan orang orang kecil yang kini belum terjamah.
Terpisah, Direktur La-Keda Institute, Papua Lamadi de Lamato menegaskan saya lihat ada dua motif politik kekerasan dan pembunuhan belakangan ini. Pertama, motif politik negara. Kedua, motif politik lokal. Ini ada kaitannya dengan membendung gerakan pro referendum dan merdeka sebelum dan sesudah KTT ILWP.
Negara begitu was-was dengan demo besar-besaran yang terjadi pada tanggal 2 Agustus lalu. Apalagi posisi negara dalam keadaan lemah. Anda bayangkan pada saat geger Papua, presiden SBY juga sedang digempur masalah. Gerakan sekecil apapun bisa “berdaya ledak besar” bila negara dalam keadaan lemah. Bila dikaitkan dengan politik lokal (menjelang Pilgub 2011) tentu ini ajang pembuktian. Mereka ingin katakan “pilih pemimpin yang bisa memberi rasa aman”. Jadi kekerasan dan pembunuhan dengan dalil OTK sesungguhnya politik opini. Pesan opininya kira-kira seperti ini; “pilih yang sudah terbukti dan jangan pilih yang belum terbukti”. Kalau modelnya seperti ini, sampai kapanpun, Papua akan menjadi wilayah politisasi para petualang politik. Baik yang dilakukan negara maupun murni bernuansa politik lokal.
Politik terkadang menghalalkan segala cara. Desas-desus, isu maupun rumor yang bersifat SARA yang terjadi harus kita katakan itu bukan karakter masyarakat berbudaya tinggi seperti Papua. Saya pikir semakin banyak tokoh-tokoh adat dan agama yang menyerukan damai ditengah berbagai peristiwa kekerasan semakin baik. Ketika negara dan pemerintah tidak hadir dalam problem masyarakat, maka agama dan adat harus bersatu padu membangun perdamaian yang ingin di obok-obok. Papua itu adalah negeri yang paling damai dan kita patut menjaganya dengan tidak terpancing dengan sms, rumor dan isu-isu tendensius yang beredar luas di masyarakat. Tokoh agama, adat, dan pemuda dari lintas agama harus hadir dalam setiap masalah di Papua. Mereka adalah ujung tombak peletak perdamaian. (mdc/don/l03)
0 Komentar Anda:
Post a Comment
Your Comment Here