Oleh Anugerah Perkasa
JAKARTA: Kekerasan dan diskriminasi terhadap kelompok minoritas religius di Indonesia semakin memburuk dalam 4 tahun terakhir.
Dua organisasi pemantau HAM meminta negara-negara Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mempertanyakan masalah tersebut dalam the Universal Periodic Review (UPR).
Hal itu disampaikan dalam pernyataan bersama Human Rights Watch (HRW) dan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) pada 15 Mei 2012.
Deputi Asia HRW Elaine Pearson mengatakan anggota-anggota PBB harus mendesak Indonesia agar mengadopsi pengukuran spesifik terkait dengan jaminan kebebasan beragama, kebebasan berekspresi serta akuntabilitas atas pelanggaran yang terjadi.
Hal itu terkait dengan peninjauan UPR terhadap Indonesia di Dewan HAM PBB pada 23 Mei 2012 mendatang.
UPR merupakan mekanisme unik dari PBB yang dimulai sejak 2008 untuk melihat sejauh mana praktik-praktik HAM di seluruh negara yang dilakukan setiap 4 tahun.
Indonesia adalah salah satu dari 14 negara yang akan dilihat melalui mekanisme tersebut, selain sejumlah negara lainnya macam Brasil, Filipina dan Tunisia.
"Negara-negara itu harus mempertanyakan dengan keras mengapa selama 4 tahun terakhir kekerasan dan diskriminasi terhadap kelompok minoritas religius di Indonesia semakin memburuk," kata Pearson.
"UPR harus menempatkan Indonesia untuk mengadopsi reformasi spesifik daripada menghindarinya."
HRW mengungkapkan selama 4 tahun terakhir kekerasan terhadap kelompok agama minoritas terus terjadi khususnya pada Ahmadiyah.
Berdasarkan data Setara Institute, demikian HRW, jumlah kekerasan terhadap Ahmadiyah terus meningkat yakni 135 kali (2007), 216 (2010) dan 244 (2011).
Menurut Pearson, pemerintah gagal dalam mengatasi insiden terjadinya kekerasan oleh kelompok Islamis militan terhadap kaum minoritas.
Koordinator Kontras Haris Azhar juga menambahkan tindakan kekerasan dan diskriminasi itu juga terjadi pada kelompok minoritas religius lainnya seperti Bahai, Kristen, Syiah dan kelompok-kelompok yang lebih kecil lainnya.
Bahkan hal terburuk, paparnya, adalah terjadinya pembunuhan oleh anggota militan Islamis terhadap tiga jemaat Ahmadiyah di Provinsi Banten, Februari 2011.
"Pemerintah Indonesia mengklaim telah melindungi harmoni keagamaan, tetapi negara-negara PBB tidak dapat dibodohi ketika jemaat Kristen dan Ahmadiyah berada dalam tekanan tiap hari saat ingin beribadah," kata Haris.
"Mencabut peraturan yang diskriminatif dan menjaga hak-hak dasar adalah jalan terbaik untuk harmoni keagamaan."
Tahanan politik
Selain kebebasan beragama, HRW dan Kontras juga mendesak agar negara-negara PBB meminta Indonesia untuk melepaskan para tahanan politik di Tanah Air.
Menurut mereka, sekitar 100 aktivis dari Papua dan Maluku tengah ditahan karena menyuarakan pandangan politik, melakukan demonstrasi dan mengibarkan bendera.
Tahanan politik itu termasuk mantan pegawai negeri sipil Filep Karma, yang dijatuhi hukuman 15 tahun penjara di Abepura, Papua.
Selain itu ada Ruben Saiya, yang mendapatkan 20 tahun hukuman di penjara Nusa Kambangan. Pada November 2011, the UN Working Group on Arbitrary Detention mengeluarkan opini bahwa Indonesia telah melanggar hukum internasional terkait dengan penahanan Karma serta memintanya untuk melepaskannya segera.
Terkait dengan akuntabilitas pada pasukan keamanan, kedua organisasi itu menyoroti soal proses pengadilan terhadap pasukan-pasukan keamanan yang hanya dituntut dengan pelanggaran disiplin walaupun melakukan pelanggaran HAM.
HRW dan Kontras menyebutkan para tentara yang menyiksa dua petani Papua, seperti yang muncul di Youtube, hanya dihukum 8-10 bulan dan kini masih berdinas di sana.
More ...
0 Komentar Anda:
Post a Comment
Your Comment Here