Resensi Buku ‘Pemusnahan Etnis Melanesia : Memecah Kebisuan Sejarah Kekerasan di Papua Barat’
Buku setebal 306 halaman, merupakan buku ke-12 yang ditulis Pdt
Socratez S Yoman, yang diawali dengan kata pengantar dari dua tokoh
Papua, masing-masing Pdt Dr Benny Giay, DR George J Aditjondro. Laporan : Ahmad Jainuri – Bintang Papua
Pdt. Socratez S. Yoman |
Jayapura,-- Pdt Benny Giyai, menyatakan dalam alinea pertama pada buku tersebut,
bahwa apa yang dituangkan penulis, adalah ungkapan seorang tokoh agama
yang memainkan peran kenabian atau kontrol sosial di masyarakat.
Beberapa pertimbangan yang mendasari sikap kritis seorang tokoh agama, menurut Benny Giay, diantaranya adalah :
Beberapa pertimbangan yang mendasari sikap kritis seorang tokoh agama, menurut Benny Giay, diantaranya adalah :
Pertama, KENYATAKAN SOSIOLOGIS. Yang mana, Gereja hadir di tengah-tengah masyarakat yang terbagi-bagi dalam kelompok-kelompok sosial keagamaan dan etnis serta status sosial yang berbeda satu dengan yang lain.
Antar kelompok terjadi persaingan, yang di era modern ini dapat dikontrol dengan sistem hukum yang disetujui dan diakui bersama.
Kedua, KONDISI POLITIK, yang secara awam adalah persaingan kelompok-kelompok dalam memperebutkan sumber-sumber produksi, SDA, dan pengaruh-pengaruh sumber-sumber kekuasaan atau sarana dan lembaga-lembaga strategis.
Ketiga, adalah DOSA, baik dosa rohani (spiritual), dosa sosial (struktural) dan dosa kultural.
Keempat, adalah MEMBACA TANDA-TANDA ZAMAN.
Kelima, juga terkait SIKAP GEREJA yang memandang apakah pemerintah itu sebagai wakil Allah atau musuh Allah.
Keenam, spiral kekuasaan dan kepentingan kelompok.
Yang mana, kata Benny Giyai, bahwa dalam sejarah Gereja, pemikiran-pemikiran kritis tokoh Gereja atau agama yang didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan tersebut sering disikapi secara negatif oleh pemerintah yang berkuasa dan masyarakat. “Petugas gereja yang kritis sering dicap sebagai pembawa bendera politik tertentu. cap atau stigma demikian memang sengaja dipakai untuk melumpuhkan tekat Gereja atau agama dalam mengemban misinya,” ungkapnya.
George Adi Tjondro dalam pengantarnya menyebutkan, bahwa judul buku karangan Socratez tersebut lebih ditujukan kepada para pembesar Gereja di Jakarta dari berbagai aliran theologia, untuk tidak melupakan fungsi kenabian mereka, sehubungan dengan pelanggaran HAM yang sudah begitu kronis dan sistemik di Tanah Papua.
Ia menyimpulkan, bahwa buku karangan Pdt Socratez S Yoman tersebut baik dan perlu dibaca, bukan hanya bagi para pendeta, tapi juga buat orang awam di Indonesia. sebab buku tersebut kaya dengan informasi tentang pergumulan antara rakyat Papua Barat dengan Pemerintah NKRI sejak sebelum Pepera 1969 sampai dengan keluarnya UU Otonomi Khusus No 21/2001.
Isi buku karya Socratez S Yoman per babnya, adalah :
BAB I menguraikan tentang tanggung jawab, tugas dan peran Gereja, dalam melaksanakan amanat agung Yesus Kristus, menegakkan kebenaran, keadilan, kedamaian, memperjuangkan HAM, martabat (integritas Manusia, kesamaan derajat dan kemerdekaan manusia (freedom/liberation)
BAB II, menguraikan tentang Akar Persoalan Papua : Sejarah Papua Barat, sejak 1 Desember 1961 yang mengungkap sejumlah catatan sejarah, termasuk Pepera 1969, tanah Papua dalam proklamasi 17 Agustus 1945, dalam UUD RI 1945, Operasi militer serta Tanah Papua dalam perjanjian-perjanjian internasional.
BAB III, menyajikan tulisan tentang pembangunan yang berlangsung di Papua selama 43 Tahun atas orang Papua. Yang menyajikan sudut pandang antara Indonesia dengan orang Papua Barat tentang pembangunan yang sedang dilaksanakan di atas Tanah Papua.
Baik itu pembangunan pendidikan, status tanah, pembunuhan umat Tuha di atas Tanah Papua yang diberi gelar pahlawan nasional (172).
BAB IV, membahas tentang Otonomi Khusus Nomor 21 Tahun 2001 yang diibaratkan sebagai perahu yang sedang berlabuh di lepas pantai. substansi peran dari MRP serta pandangan MRP terhadap Otsus.
BAB 5, diuraikan tentang pemekaran provinsi dan kabupaten di Papua Barat, yang dalam sub judul pertamanya disebutkan adalah murni kepentingan politik, kemanan dan ekonomi. yakni dipaksakan oleh orang Indonesia dan bukan kemauan aspirasi orang asli Papua.
BAB 6, tentang Pelanggaran HAM di Papua Barat, baik dalam bentuk administratif, pembunuhan karakter, dalam hak harta benda, dalam bentuk tenaga kerja, dalam bentuk teror publik, maupun secra fisik (pembunuhan langsung). dikisahkan juga tentang teror dan intimidasi yang dialami penulis sendiri.
BAB 7, dengan judul Ruang Pemusnahan Etnis orang asli Papua, dengan operasi militer dan kekerasan militer, minuman keras alkohol, program KB, pemekaran provinsi dan kabupaten, kehadiran perusahaan asing (prusahaan multi nasional).
Di akhir tulisannya, penulis memberikan kesimpulan dari perspektif Gereja, yaitu ‘sesungguhnya umat Tuhan yang ada di Tanah Papua Barat, orang melanesia ini benar-benar menjadi korban kepentingan ekonomi, politik dan keamanan. Tentu saja kepentingan Amerika dan kepentingan Indonesia’.
Juga menuangkan sejumlah solusi, dengan diawali sebuah pertanyaan. Yaitu ‘apakah ada ruang yang meungkinkan Bangsa Indonesia yang dinilai sebagai pelaku pelanggaran HAM berat dan berpenduduk mayoritas Islam ini dapat mengukir sejarah dan Negara-Negara Asia dan Negara berkembang dengan bermartabat, simpatik, terhormat, manusiawidan bermoral memberikan kesempatan kepada Bangsa Papua Barat untuk mengembangkan dirinya diatas negeri dan tanah airnya sendiri?
Karena, orang asi Papua dari ras melanesia ini mempunyai harapan bahwa melalui UU Otonomi Khusus No. 21 Tahun 2001 akan mendapat jaminan proteksi (perlindungan) hak-hak dasar asasi, hak untuk hidup, hak untuk bebas menyatakan pendapat, hak untuk perlindungan terhadap tanah, hutn, pohon, sungai, dan kekayaan alam, hak perlindungan untuk mendapat pendidikan, mendapat akses pengembangan ekonomi dan perlindungan khusus mendapat pelayanan kesehatan.
Otonomi khusus juga diharapkan mampu mengakhiri penderitaan, tetesan darah, dan cucuran air mata orang asli Papua. Namun ternyata kekerasan, eksploitasi, diskriminasi justru bertumbuh subur dari negeri kami sendiri.
Serta mengungkapkan sejumlah jalan atau solusi yang diusulkannya sebagai setitik harapan orang asli Papua, yaitu :
1. Perlu konstruksi konflik berdimensi lokal, nasional dan internasional bagi Papua.
2. Bangsa Indonesia diharapkan tidak menggunakan kekerasan militer di Papua.
3. Indonesia dijadikan negara federal, dengan mengambil contoh Amerika Serikat
4. Indonesia dijadikan lima atau enam negara.**
0 Komentar Anda:
Post a Comment
Your Comment Here