Photo Ilustrasi |
Hal itu diungkapkan Fadel Al Hamid, Sekertaris Dewan Adat Papua, Kamis( 6/12).
Menurut Fadel, tak terselesaikannya kasus kasus pelanggaran HAM di Papua seperti Kasus Biak Berdarah, Kasus Wasior, Abepura 2000, Wamena berdarah, penembakan di Paniai menujukkan impunitas terus terjadi. “ Saya pikir meningkatnya
kasus pelanggaran HAM di Papua membuat kita semakin disadarkan bahwa,
memang Pemerintah Indonesia belum sepenuhnya atau kurang ataupun tidak
semasekali menujukkan itikat baik menyelsaikan masalah HAM di Papua,” ujarnya.
Jika
berbicara kasus HAM dalam konteks Papua seiring bergantinya tahun demi
tahun dilihat bukan semakin membaik atau ada penurunan kasus, justru
semakin meningkat. Menurut Fadel, Impunitas tak akan terjadi di negeri ini bila hukum ditegakkan.
Ia
melihat, setiap pihak yang melakukan pelanggaran, diperiksa, dilakukan
penyelidikan, penyidikan kemudian dibawah ke pengadilan untuk
mempertanggung jawabkan perbuatan mereka, tetapi juga dilihat
dalam seluruh proses pengadilan sebenarnya harus benar benar menjunjung
rasa keadilan masyarakat. Belajar dari kasus Abepura Tahun 2000 yang kemudian
disidangkan di Makassar justru bukan memberikan rasa keadilan bagi
korban namun semakin melukai hati orang Papua karena dari sidang yang
dilakukan itu tak ada satupun pelaku dikenakan sanksi, melainkan pelaku
bebas sementara realitas menunjukkan ada korban, ada orang yang dipukul
dan kemudian tewas.
Ia melihat persidangan kasus Abepura berdarah di Makassar sangat jelas menunjukkan negara sedang memperlihatkan kesombongannya kepada rakyat di Papua, termasuk juga menujukkan kebebalannya terhadap rakyat sipil.
Ia justru melihat keadaan berbalik, rakyat yang tak bersalah yang justru diadili secara sewenang wenang, mereka orang orang yang kemudian menyampaikan aspirasinya secara damai dan bermartabat. Kita
lihat kasus Filep Karma yang dipenjarakan sampai hari ini, kemudian
mereka yang terlibat dalam kongres III. Mereka itu menyampaikan aspirasi
mereka tapi kemudian merekah yang diadili, padahal mereka tak membunuh
siapa siapa ataupun melukai siapa siapa, atau sedang mempersiapkan sesuatu yang kemudian mengancam keselamatan negara ini, sambungnya.
“
Mereka itu hanya menyamapikan aspirasi dan pandangannya secara damai
dan pandangan itu memenuhi hakikat Hak Asasi Manusia. Namun mereka yang
kemudian disolimi”. Menurut Fadel kasusnya sama seperti kasus penembakan
dan kasus kasus pelanggaran HAM lainnya, sampai saat inipun kita tak
melihat adanya suatu kemajuan atau upaya Pemerintah pusat membangun HAM
di Papua dengan membawa pelakunya. Contoh lain yang menujukkan tak
terselesaikannya kasus HAM diranah Politik adalah kasus Mako Tabuni.
Penembakan Mako Tabuni itu sekan akan dengan pernyataan yang diklaim
sebagai suatu pembuktian hingga Mako ditembak. “Ini sesuatu yang
aneh,”katanya.
Padahal nyawa seorang manusia itu harusnya dipertanggung jawabkan, sekalipun ia seorang pejabat negara atau teroris sekalipun, akan
diproses hukum sesuai hukum yang berlaku apakah dia dihukum mati atau
ada konsekuensi hukum lainnya. Ia melihat kondisi berbeda dengan Mako
Tabuni yang langsung dihilangkan. “ Realitas lain yang saya lihat ada semacam kejenuhan dari para pekerja HAM di Papua yang kehilangan cara bagaimana menuntut Keadilan di Negeri ini,”katanya.
Berbagai
kasus yang ditangani para pekerja HAM yang diadvokasi, diajukan dengan
segala macam cara namun pada akhirnya menemui sebuah fakta bahwa, mereka
tak mendapatkan Keadilan di negeri ini. Tapi para pekerja
HAM ini dengan sisa tenaga yang dimiliki masih tetap tegar, konsisten
dalam meriakan ketidakadilan di Tanah Papua.
Dalam seluruh kasus HAM Papua itu, ia melihat dari sisi posisi Presiden SBY termasuk
peran UP4B yang dinilainya masih banyak ditemui problematika dan pro
kontra di kalangan masyarakat yang menilai kebijakan UP4B tak akan
menolong dan memperbaiki situasi HAM di Papua selama kasus kasus HAM masa lalu tak terselesaikan, justru membuka lapangan baru yang kemudian membuka jendela peluang terhamburnya uang.
“ Saya mau soroti suatu
aspek atau langkah yang seharusnya sudah bisa dilakukan UP4B terhadap
pelanggaran HAM.
Termasuk kasus sama dipertanyakan kembali kepada
Presiden SBY soal komitmennya menyelesaikan kasus pelanggaran HAM
melalui UP4B selanjutnya diproses lewat Kejaksaan hingga KOMNAS HAM terkait dengan Wasior yang
sementara ini masih dalam proses dan mengantung. Ia bertanya mengapa
dari kasus kasus lampau ini belum ada suatu langkah yang diambil segera
dari Negara ini, kemudian Oke Pemerintah mulai menujukan keseriusannya untuk selesaikan khususnya menyelesaikan kasus Wasior yang sudah mendapatkan rekomendasi untuk ditindaklanjuti”
Seharusnya Pemerintah SBY sudah berpikir untuk mulai melakukan pembangunan penegakan HAM di Papua dalam sebuah kebijakan pembangunan HAM di
Papua yang jelas apalgi diakhir masa jabatannya. Presiden diminta
mengambil suatu kebijakan yang berani, kalau kemudian presiden masih
berpikir soal popularitas, sengsi dan harga dirinya untuk tak diserang
lawan lawan politiknya, saya pikir dalam konteks ini, Presiden tak perlu
kuatir karena bagaimana mungkin ia berusaha untuk menegakan HAM,
mengobati luka hati orang Papua, bukan menjadi bumerang politk atau hal ynag mengada ada.
Fadel berpilir tak ada alasan mendasar
bagi Presdien SBY untuk tak melakukan sesuatu, sebab ia harus bisa
melakukan sesuatu apalgi diakhir masa jabtannya yang kedua karena untuk
periode berikut ia tak akan maju lagi, pikir Fadel.
Sebagai
Kepala negara, Presiden bertanggung jawab penuh terhadap penegakan
hukum di Indonesia. Kita tak bisa andalkan keberadaan Perwakilan KOMNAS
HAM Papua dengan keterbatasannya saat ini. Komnas HAM Papua juga dilihat
menampakan kelelahan dengan kondisi yang memprihatinkan ini, karena
KOMNAS HAM Papua sendiri tak dapat bebuat banyak hidup enggan matipun
tak mau, ia tak mendapatkan perhatian dari Pemerintah, meski dengan dana
trilyunan dalam APBD, ia hanya mendapatkan nol koma sekian persen saja.
Menurut
Fadel kondisi demikian mengakibatkan kemudian kita tak punya harapan
dan berharap sesuatu pada KOMNAS HAM, Namun toh kemudian ada amanat
dalam Undang undang Otsus sebuah harapan s kalau kita masih
mau berharap agar Presiden masu dikenang oleh orang orang Papua diakhir
masa jabatannya ini, setidaknya memberikan harapan pada rakyat Papua
bahwa didalam negara ini masih ada keadilan untuk orang Papua, bahwa di
negara ini Hak Asasi Manusia masih mendapat tempat untuk dihargai.
“Saya
pikir itu menjadi harapan kita tetapi sebenarnya mengandung desakan dan
tantangan kita kepada presiden untuk bertindak bagi penegakan Hak Asasi
Manusia karena orang Papua ini adalah rakyat dia maka dia mestinya
melakukan sesuatu untuk sedikit mengobati hati orang Papua , apa yang
dibuatnya mengandung harapan dan makna mendalam bagi momentum Hari HAM
10 Desember 2012 ini”, sambunya.
Warga Papua Diajak Peringati HAM
Sementara itu, Ketua Forum Anti Pelanggaran Ham di
Papua, Septi Megdoga, mengajak seluruh komponen masyarakat Papua untuk
turut terlibat dalam kegiatan peringatan Hari Pelanggara Hak Asasi
Manusia (HAM) se-dunia yang jatuh pada 10 Desember 2012.
Dijelaskannya, salah satu bentuk
peringatannya adalah melaksanakan kegiatan demonstrasi damai, yang
berisikan seruan-seruan kepada pemerintah pusat untuk segera
menyelesaikan berbagai persoalan pelanggaran HAM yang terjadi di Tanah
Papua.
Sebut saja sejumlah pelanggaran HAM
seperti permasalahan politik Papua yang disunat oleh pemerintah
Indonesia hingga kini, dan kasus pelanggaran HAM lainnya seperti
pembunuhan dan lain sebagainya, sampai pada masuk dibungkamnya ruang
demokrasi di Tanah Papua.
Menurutnya, hingga kini masalah Papua
silih berganti, dan nasib rakyat Papua terus terkatung-katung tanpa
penyelesaian yang jelas, meskipun berbagai kebijakan pembangunan maupun
regulasi aturan terus diperbaharui (Salah satunya lahirnya UU No 21
Tahun 2001 tentang otsus), tapi kenyataannya belum mampu menyentuh apa
yang menjadi kebutuhan dasar masyarakat, sehingga sampai saat ini
masyarakat masih hidup miskin, terbelakang di atas kekayaannya sendiri.
“Mari kita semua bergabung untuk
peringati dan suarakan HAM yang selama ini belum dituntaskan pada hari
peringtatan HAM se-dunia pada 10 Desember 2012 mendatang,” tegasnya
dalam press releasenya kepada Harian Bintang Papua, Kamis, (6/12),
Pelanggaran HAM yang tanpa
pertanggungjawabkan aparat keamanan dan pemerintah khususnya Jakarta.
Pertanyaan besar rakyat Papua tentang status politik Papua yang terus
menerus dijawab dengan tindak kekerasan oleh aparat keamanan.
Lanjutnya, belum tuntasnya
penyelesaian pelanggaran HAM dan timbulnya kasus pelanggara HAM yang
baru, tidak lain juga diakibatkan oleh melemahnya otoritas-otoritas
sipil. Lihat saja lembaga eksekutif dan legislatif di Papua yang selama
ini diam membisu ketika dihadapkan dengan realitas masyarakat Papua yang
semakin memburuk dan memprihatikan derajat dan martabatnya di segala
aspek kehidupan.
“Sampai saat ini banyak cerita
instrument politik bagi semua masyarakat Papua yang mengingat beberapa
para sang pejuang penegakan HAM ditembak mati hingga menjadi cerita
pahiy bagi masing-masing kelyarga korban pelanggaran HAM,”
tandasnya.(ven/nls/don)
Sebenarnya pelanggaran HAM yang terjadi sesungguhnya dapat kita lihat dalam kehidupan bermasyarakat sehari-hari di tanah papua dimana kebanyakan kaum minoritas(pendatang) banyak menjadi korban kekerasan masyarakat asli papua. Tidak ada angin tidak ada hujan tiba-tiba pukulan sudah mendarat di kepala. Melakukan kesalahan sepele yang tidak disengaja saja bisa membuat masyarakat pendatang babak belur bahkan harus dirawat inap di rumah sakit. Sementara jika terjadi kebalikannya dimana masyarakat asli yang melakukan kesalahan mereka hanya menyeringai seakan-akan itu merupakan lelucon. Itu yang terjadi dengan masyarakat sipil minoritas apalagi dengan aparat yang notabene selalu bersinggungan dengan masayarakat asli dalam rangka pengamanan. Pastilah akan terjadi tindakan-tindakan yang lebih 'dahsyat' lagi. Tindak kekerasan sipil seperti yang telah dijelaskan diatas hanya salah satu contoh kejadian nyata kekerasan yang terjadi. Masih banyak macam tindak kekerasan/teror/ancaman yang seharusnya tidak perlu terjadi di kalangan masyarakat sipil di tanah papua.
ReplyDelete