SUARA BAPTIS PAPUA

Dukung Aksi Perdamaian Atas Kekerasan di Papua Barat.
Jika Anda Peduli atas kemanusiaan Kaum tertindas di Papua barat Mohon Suport di sini:

Please donate to the Free West Papua Campaign U.K.
Kontribusi anda akan kami melihat ada perubahan terhadap cita-cita rakyat papua barat demi kebebasan dan kemerdekaannya.
Peace ( by Voice of Baptist Papua)

Apa Solusi Atas Konflik Papua?

Scoop Voice Baptist

About Me

My Photo
Papua, Papua barat/Indonesia, Indonesia
Persekutuan Gereja-Gereja Baptis Papua tidak akan pernah memilih diam ketika umat ditintas dan akan terus bersuara sampai keadilan benar-benar terjadi di tanah papua

Voice of Baptist Papua

Asian Human Rights Commission

Welcome to Suara Baptis Papua Online

SB - PAPUA-News

© Copyright 2011 suara baptis papua. Powered by Blogger.

Latest Post

Showing posts with label Human Rigths. Show all posts
Showing posts with label Human Rigths. Show all posts

Konflik Papua Akan dan Terus Jadi Perhatian Negara Asing

Written By Voice Of Baptist Papua on August 21, 2013 | 6:48 PM

Ilustrasi Pembahasan Papua di MSG
JAKARTA - Persoalan dugaan adanya pelanggaran HAM di Papua masih menjadi perhatian pihak asing baik dari kalangan aktivis Civil society maupun dari kalangan pemerintahan itu sendiri.

Bahkan, masalah Papua sudah dibahas dalam pertemuan Melanesian Spearhead Group (MSG), dimana delegasi MSG akan melakukan kunjungannya ke Papua dan Papua Barat dalam waktu dekat ini.

"Persoalan di Papua dan Papua Barat akan terus menjadi perhatian asing, sehingga penanganan masalah Papua tidak boleh gradual, namun harus komprehensif," jelas pengamat masalah politik, Joris Kabo dalam keterangan tertulisnya yang dikutip kepada Okezone, Senin (19/8/2013).

Dia mencontohkan pada 12 Agustus 2013 yang lalu Perdana Menteri Kepulauan Solomon, Gordon Darcy Lilo melakukan kunjungan ke Indonesia, yang diberitakan media asing seperti ABC Radio Australia bahwa kunjungan tersebut mengindikasikan akan mengemukakan isu Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua Barat dalam pembicaraan dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Menurut Joris Kabo, kunjungan PM Gordon Darci Lilo yang pertama tentu merupakan landasan dasar bagi kerjasama bilateral yang penting selanjutnya. Indonesia mengakui sejarah negara Solomon sebagai Negara di Pasifik yang besar peranannya dalam Perang Pasifik bagi pasukan sekutu pimpinan Jenderal McArthur.

“Sebagai sesama Negara Pasifik, maka hubungan Indonesia-Salomon tentu mempunyai arti yang penting seperti hubungan yang sudah ada antara Indonesia dengan Negara-negara Pasifik yang lain seperti RI-PNG, RI- Haiti, RI-Vanuatu, dll,” tambahnya.

Mengenai masalah Papua, menurut Joris, telah banyak dicapai kemajuan-kemajuan di berbagai bidang pembangunan prasarana dan sarana diberbagai bidang antara lain transportasi dan komunikasi, yang sangat vital bagi pengembangan pembangunan sosial dan ekonomi selanjutnya di Papua serbagai Propinsi yang memiliki kondisi geografi yang tidak mudah dijalani.

“Secara garis besar, pelaksanaan otonomi khusus bagi pembangunan Papua yang terdiri dari tiga buah Propinsi, yaitu Propinsi Papua Barat, Propinsi Papua Tengah dan Propisi Papua juga cukup berhasil,” katanya.

Menurutnya, berita-berita tentang adanya berbagai isu yang kadangkala terdengar dramatis tentang Papua dalam media massa seperti di Australia adalah wajar karena secara geografis berdekatan dengan Papua, masyarakatnya mempunyai perhatian yang khusus terhadap setiap perkembangan di Papua seperti banyak diberitakan oleh media massa Australia yang bebas dan terbuka.

Untuk diketahui berdasarkan pemberitaan ABC Radio Australia, Kepulauan Solomon adalah salah satu negara anggota kelompok Melanesian Spearhead Group (MSG), yang menerima proposal West Papua National Coalition for Liberation (WPNCL).

KTT Menteri Luar Negeri MSG di Noumea, 21 Juli 2013, menyepakati aplikasi WPNCL mengenai penentuan nasib sendiri rakyat Papua Barat dan kekhawatiran adanya pelanggaran (HAM) di wilayah itu. Sebelum berangkat, PM Lilo mengatakan ia menyadari adanya pelanggaran HAM di Papua, dan ingin memastikan ada 'perkembangan' di sana.

“Terkait adanya rumors tentang delegasi MSG yang akan berkunjung ke Papua pada tahun ini, saya rasa Pemerintah Indonesia tidak akan keberatan dengan rencana tersebut, apalagi dalam pernyataan persnya PM Kepulauan Solomon, Gordon Darcy Lilo yang pernah berkunjung ke Indonesia menyatakan puas dan mendukung langkah pemerintah dalam menangani dan membangun Papua. 
Tidak ada yang perlu mendramatisir atau mempolitisasi rencana kunjungan MSG ke Papua sebagai langkah fact finding pelanggaran HAM, seperti yang diharapkan kelompok tertentu di Papua,” jelasnya

Pakar PBB: Pembangunan di Indonesia tidak boleh mengancam perumahan yang layak bagi kaum miskin

Written By Voice Of Baptist Papua on June 11, 2013 | 8:00 PM

UN Special Rapporteur on the right to adequate housing Raquel Rolnik. UN Photo/Ryan Brown
Geneva,-- 11 Juni 2013 - Indonesia harus memastikan bahwa pembangunan perkotaan dan ekonomi tidak menempatkan perumahan yang layak risiko untuk warga miskin, seorang ahli independen Bangsa Amerika menekankan hari ini, menambahkan bahwa pemerintah harus berjuang untuk kemajuan inklusif.
 
"Saya khawatir bahwa dalam beberapa kasus pembangunan memiliki dampak mundur tentang hak atas perumahan yang layak," kata Pelapor Khusus tentang perumahan yang layak , Raquel Rolnik, mengacu pada laporan penggusuran di daerah pedesaan dan perkotaan untuk membuat jalan bagi publik dan perkembangan pribadi.
 
Ms Rolnik menggarisbawahi bahwa penggusuran adalah pelanggaran berat hukum hak asasi manusia internasional. "Saya meminta pemerintah untuk memastikan bahwa undang-undang yang mengatur penggusuran ini sejalan dengan kewajiban HAM internasional Indonesia dan sepatutnya diterapkan pada lembaga negara dan pihak ketiga," katanya pada akhir kunjungan pertamanya ke negara itu.
 
"Lebih bisa dan harus dilakukan untuk memprioritaskan paling miskin segmen masyarakat dalam kebijakan dan program perumahan pemerintah."
 
Selama kunjungannya, Ms Rolnik memeriksa beberapa kebijakan perumahan dan program, beberapa menargetkan rumah tangga berpendapatan rendah. Sementara dia memuji keragaman program, yang meliputi peningkatan permukiman informal dan apartemen sewa berpenghasilan rendah, ia menyatakan keprihatinan bahwa Pemerintah saat ini berkonsentrasi pada upaya dan sumber daya pada kebijakan pembiayaan perumahan, yang dapat merusak akses ke perumahan yang terjangkau bagi miskin.
 
"Kebijakan pembiayaan perumahan secara inheren diskriminatif terhadap orang miskin - mereka yang tinggal di permukiman informal, bekerja di pasar informal dan petani skala kecil, yang mewakili sebagian besar masyarakat Indonesia, tetapi tidak dapat mengakses kredit formal dan karena itu tidak bisa mendapatkan keuntungan dari kebijakan tersebut, "dia memperingatkan , menambahkan bahwa kebijakan ini juga mempercepat lonjakan harga perumahan dan lahan.
 
Ms Rolnik mendesak pemerintah untuk merancang dan mengimplementasikan reformasi kebijakan pertanahan yang komprehensif untuk meningkatkan keamanan kepemilikan orang Indonesia dan mengatur dampak dari kekuatan pasar pada ketersediaan lahan dan keterjangkauan.
 
Dia juga menunjuk pada budaya organisasi kemasyarakatan yang kuat sebagai aset negara dapat digunakan untuk memanfaatkan kekuatan individu dan menerapkan strategi perumahan pro-kaum miskin nasional berdasarkan standar hak asasi manusia.
 
Selama kunjungannya 12 hari, Ms Rolnik bertemu pejabat senior pemerintah, lembaga donor, organisasi internasional, lembaga HAM nasional, lembaga keuangan, masyarakat sipil dan masyarakat di Jakarta, Makassar, Surabaya dan Yogyakarta.
 
Ahli independen, atau pelapor khusus, ditunjuk oleh Dewan HAM untuk memeriksa dan melaporkan kembali pada situasi negara atau tema hak asasi manusia tertentu. Mereka bekerja dalam kapasitas yang belum dibayar. Ms Rolnik dijadwalkan untuk menyajikan laporan terakhirnya di Indonesia pada Maret 2014.


Berita Tracker: cerita masa lalu tentang masalah ini 

Kantor KontraS di Demo Puluhan Massa “Bayaran”

Photo Protes KontraS / SP
Jakarta — Puluhan massa aksi “bayaran” pemerintah yang menamakan diri dari Front Pembela Merah Putih (FPMP), siang tadi, Selasa (11/6/2013) melakukan aksi demonstrasi di depan Kantor KontraS, Menteng, Jakarta Pusat, menolak keberpihakan KontraS terhadap gerakan separatisme di tanah Papua.
 
Pantauan suarapapua.com, massa aksi yang dipimpin langsung oleh Kordinator Aksi FPMP, Dahlan Wattiheleuw, awalnya melakukan long march dari Tugu Proklmasi melintasi jalan Borobudur yang tak jauh dari Kantor KontraS, sambil terus berorasi mengeluarkan kata-kata kecaman dan hinaan terhadap KontraS.

“Kami menolak cara-cara itu, kami datang untuk menyampaikan sikap penolakan terhadap langkah-langkah KontraS yang dukung aksi separatisme di Papua,” ujar Kordinator aksi, yang juga pria berdarah Maluku tersebut.

Usai puas berorasi di depan Kantor KontraS, massa juga memaksa aparat kepolisian agar membuka pintu gerbang kantor KontraS agar dapat menyampaikan sikap mereka di dalam Kantor KontraS yang terdapat beberapa staf dan pekerja KontraS, termasuk beberapa mahasiswa Papua.

“Kantor ini juga digunakan KontraS untuk melindungi anak-anak Papua dan orang-orang asing, kami mengecam cara-cara itu,” ujar salah satu orator yang kebetulan melihat sejumlah mahasiswa Papua, termasuk beberapa warga negara asing yang sedang magang kerja di Kantor KontraS.

Untuk menghindari aksi brutal dan anarkis massa yang didominasi oleh waga berdarah Maluku, Kordinator KontraS, Haris Azhar langsung menginjinkan beberapa perwakilan massa aksi untuk masuk dan berbicara di dalam Kantor KontraS secara santun dan bermartabat.

Dalam pernyataan sikapnya yang dibacakan oleh salah satu warga asli Papua, yang mengaku bernama Martin, FPMP dengan tegas menolak advokasi KontraS yang dinilai sering mengecam pemerintah, dan terkesan mendukung gerakan separatism di tanah Papua dengan berbagai statemen di media massa.

Haris Azhar, Kordinator KontraS yang menerima empat orang perwakilan pendemo menjelaskan, keliru dan salah jika FPMP menilai KontraS mendukung gerakan separatism di Papua, sebab saat TPN/OPM menembak tentara di Kabupaten Puncak Jaya dan Puncak Papua, KontraS juga mengecam tindakan tersebut.

“Kami mengutuk kekerasan dan pelanggaran HAM, baik yang dilakukan oleh TPN/OPM dan aparat TNI/Polri, jadi keliru kalau KontraS dianggap membela dan mendukung gerakan separatism. Kami ajak teman-teman yang berdemo untuk datang ke KontraS, ikut diskusi, dan belajar disini jika ingin memahami langsung apa yang dikerjakan KontraS,” ujar Hariz dengan santun.

Haris juga mengatakan, selama ini KontraS hanya mendukung penegakan hukum dan hak asasi manusia di Papua dengan mengecam tindakan-tindakan kekerasan yang dilakukan aparat militer terhadap warga sipil.

Mantan Kordinator KontraS, Usman Hamid menambahkan keliru jika KontraS dinilai membela dan mendukung gerakan separatisme di tanah Papua, sebab KontraS bukan hanya membicarakan permasalahan di tanah Papua, namun bicara juga untuk penegakan hukum dan HAM di seluruh Indonesia.

Terkait kehadiran satu orang mahasiswa Papua dalam aksi demonstrasi yang menamakan diri perwakilan mahasiswa Papua, langsung mendapat penolakan dari Ketua Mahasiswa Papua asal Kabupaten Tolikara di Jakarta, Sony Wanimbo.

Menurut Wanimbo, mahasiswa tidak pernah memberikan rekomendasi, menunjuk, atau meminta seorang mahasiswa yang  mengaku bernama Martin untuk mengecam kinerja KontraS yang dinilai selama ini sangat membantu penegakan hukum dan HAM di tanah Papua.

“Kami tidak kenal anak mahasiswa tadi. Sangat keliru dan salah jika menamakan mahasiswa Papua dan mengecam KontraS, kami sangat mendukung kerja-kerja KontraS selama ini. Jadi, jangan sebut mahasiswa Papua mendukung aksi demo tersebut,” ujar Wanimbo.

Wanimbo justru menilai, beberapa mahasiswa asal Papua, termasuk Martin yang diundang dalam aksi tersebut merupakan massa aksi bayaran dari pemerintah untuk menghancurkan reputasi KontraS yang selama ini dikenal sangat baik, dan membantu seluruh rakyat Indonesia, termasuk Papua.

West Papuans Reject Australian Foreign Minister's Claim that their Independence Movement is ‘a cruel deceit' by 'self-indulgent people’

Written By Voice Of Baptist Papua on June 10, 2013 | 9:46 PM

Joe Collin AWPA
West Papuan Independence advocate, Ronny Kareni, who is based in Melbourne, rejects the Australian Foreign Minister’s comments in Senate Estimates last week, that the people who 'fly the Papuan flags' and who 'talk the language of independence' are part of a 'cruel deceit' by 'self- indulgent people' who are safe in their 'own democracy'.


“For the last 50 years, the struggle has been driven by the Papuans themselves putting their life on the frontline in West Papua and abroad, campaigning against the entrenched brutality by Indonesian security forces” says Ronny Kareni.


“We build solidarity with groups in Australia and abroad but this movement was initiated and is primarily driven by West Papuans in West Papua - who seek an end to the human rights abuses and recognition of their political rights to self-determination.”


West Papua was illegally occupied in December1961 as part of the Indonesian military operation 'Trikora”, which aimed to seize the former Dutch colony 'Netherlands New Guinea'. West Papua's independence was denied by the UN. 
The UN subsequently granted Indonesia administration of the the region and Indonesia ultimately gained full control in 1969, after the referendum named 'Act of free choice'. Despite this being widely criticised as a shame vote that contravenes international law.

“I was born into this conflict, I'm the 3rd generation to face this ongoing struggle for our rights for freedom.” says Kareni


“My parents were forced to flee and live in exile in Papua New Guinea in the early 80s as part of the large exodus of West Papuans. It was and remains very dangerous for West Papuans to peacefully campaign for their human rights and political rights- even raising our Morning Star flag can mean between 3-15 years in prison.”

It is estimated that 500,000 Papuans have been killed since Indonesia took control. Yale University and Sydney University researches have questioned whether this constitutes genocide.


“The West Papuan's struggle for freedom is not as Bob Carr suggests 'a fun little game for the greens party'. It is the West Papuans living in Papua and in exile who are carrying the aspirations for our own people. We ask the international community, Indigenous people in Australia and the Australian politicians to hear the voice of the West Papuans and support us in our struggle.”

“I find the Foreign Minister's comments are discriminatory to the West Papuans, as he implies that it is simply 'self-indulgent' people in 'safe democracies' that are leading this struggle for independence. This is disrespectful of our fight for freedom for the last 50 years. Everyday West Papuans risk their lives in Papua and abroad. Even those of us involved in the independence movement abroad are monitored by the Indonesian intelligence.”


“We call on the people of Australia to put pressure on the Australian government to review it's funding and training of Detachment 88 who are alleged to have committed widespread violence and arbitrary detention of Papuans who peacefully express their political views for independence.”

“Providing access to independent foreign media and a UN fact finding mission is vital so that the international community really knows what's happening in West Papua.”

For Media Interviews please contact: Ronny Kareni West Papuan Independence advocate at Rize of the Morning Star campaign 0401222177 

Translate by : Joe Collins, 06/10/2013

Concerned WPAT, RI Limiting UN Special Rapporteur Visit Papua and Ambon Prisoner

Written By Voice Of Baptist Papua on January 14, 2013 | 6:58 PM

TAPOL PAPUA (MSelankang)
West Papua Advocacy Team
c/o PO Box 21873
Brooklyn, NY 11202-1873
wpat@igc.org
+1- 575-648-2078

 
The Honorable Hillary Rodham Clinton
Department of State
Washington, DC 20520
via fax

Dear Secretary Clinton:

The West Papua Advocacy Team respectfully requests that you raise the following concerns in your upcoming meetings with Indonesian officials during your visit to Jakarta:

The Killing of Mako Tabuni
On June 14 in West Papua, Government of Indonesia security elements shot and killed Mako Tabuni, a prominent Papuan human rights advocate. According to eyewitnesses, Mr. Tabuni was shot by plainclothes officers after he eluded their attempts to force him into an unmarked vehicle. Although he was badly wounded, the plainclothes officers failed to take him to a nearby hospital and instead brought him to a distant police facility where he died. The appearance and modus operandi of the security officials strongly suggest that they were members of the U.S.-funded "Detachment 88." This unit has been accused of human rights violations in West Papua and elsewhere by reputable human rights organizations.
 
The issue of impunity continues to prevail in Indonesia and Timor-Leste because the authorities of the two governments only want to improve diplomatic relationships and have neglected the human rights violations that occurred during the Indonesian occupation.

We strongly urge you to insist that the Government of Indonesia conduct a thorough and transparent investigation of the killing of Mako Tabuni.

Military Operations Impacting Civilians
For decades the Government of Indonesia has conducted military operations in remote areas of West Papua purportedly aimed at countering the activity of the small, lightly-armed Papua Freedom Movement (OPM). These operations have severely affected local civilians resulting in the destruction of homes, places of worship and public buildings, and causing the flight of civilians to nearby forests where they face life threatening conditions. Invariably, security forces impede efforts by humanitarian relief organizations to assist these displaced civilians. Many civilians have died as a result of these military operations. Currently such an operation is underway in the Paniai region.

We strongly urge you to call on the Government of Indonesia to cease resort to armed measures to address largely peaceful Papuan protests and to permit humanitarian relief organizations to respond to the urgent human need generated by these military operations.

Provision of Vital Human Services to Papuans
Since assuming control of West Papua through the widely discredited "Act of Free Choice" over 40 decades ago, the Government of Indonesia has consistently failed to provide minimally adequate health, education and other vital services to the Papuan people. That failure has resulted in health and education indices for the Papuan population that are consistently among the lowest in Indonesia and the region and have prompted charges that Jakarta's malign neglect of the Papuan people's basic human needs amounts to genocide.

We strongly urge that you press the Government of Indonesia to address the dearth of human services in West Papua and that the U.S. Government increase its own assistance, particularly in the areas of health, education and creation of employment opportunities for the systematically-marginalized Papuans.

Papuan Political Prisoners
Human rights organizations such as Amnesty International and Human Rights Watch have repeatedly accused the Government of Indonesia of incarcerating Papuans for peaceful activities protected under international covenants assuring the right to peaceful political activity and the right to assembly. Moreover, these organizations and a 2007 report by a UN Special Rapporteur determined that conditions of incarceration for these (and other) prisoners and detainees do not meet minimal international standards. Recently, Papuan political prisoner (and Amnesty International Prisoner of Conscience) Filep Karma has suffered delays in the provision of crucial medical services guaranteed him under international covenants to which Indonesia is a signatory party.

We strongly urge you to raise with Indonesian officials concern over the continued persecution of peaceful dissent by Papuans and their mistreatment when in custody, including the Indonesian government's failure to provide minimally adequate medical care as required under international law.

U.S. Sale of Attack Helicopters to Indonesia
In March of this year, 90 international NGO's urged the U.S. not to sell AH-64 Apache attack helicopters to Indonesia. These organizations argued that provision of these helicopters would pose a direct threat to Papuan civilians, who have suffered deadly TNI (Indonesian military) assaults for many years. Specifically, the NGO's noted that the heavily-armed AH-64 was a highly lethal weapon which could be used to escalate conflict within Indonesia and in West Papua as these aircraft would substantially augment the TNI's capacity to prosecute its "sweep operations" in West Papua. The consequence of this augmentation of the TNI arsenal would lead to increased suffering among the civilian populations long victimized by such operations.

We again urge that the U.S. government not approve the sale of this weapon system to the Indonesian military and that you use the occasion of your visit to inform the Indonesians that the sale will not go forward.

Calls for Government of Indonesia-Papuan Dialogue
Respected Papuan leaders have long called on the Government of Indonesia to engage in an internationally mediated dialogue with the Papuan people regarding the future of West Papua. At the July 2011 "Papua Peace Conference" which convened in Jayapura with more than 1,000 in attendance, Papuan representatives were selected for such a dialogue. The Indonesian Government observed this conference at the ministerial level.

Welcoming past U.S. Government support for a dialogue, we urge you to reiterate U.S. Government encouragement for such a dialogue.

Thank you for your consideration of our concerns.

Respectfully,


  The West Papua Advocacy Team

The West Papua Advocacy Team is a U.S.-based NGO composed of academics, human rights defenders and a retired U.S. diplomat.

Jubir KNPB: Kami Tidak Pernah Mengajarkan Cara Merakit Bom

Jayapura,-- Komite Nasional Papua Barat (KNPB) melalui juru bicaranya Wim R. Medlama dengan tegas mengatakan, penemuan bom di sekeretariat KNPB Wamena dilakukan oleh oknum tertentu.

Hal itu disampaikan jubir KNPB kepada majalahselangkah.com di kediamannya Perumnas 3 Waena, Jayapura, Papua Senin (14/1).

“Penemuan bom di sekretariat KNPB wilayah Baliem di Wamena pada hari Sabtu, 29 September 2012 lalu adalah sebuah skenario yang dimainkan oleh oknum tertentu. Bom rakitan sengaja diletakkan di sekretariat KNPB untuk mengkambinghitamkan organisasi ini. Karena kami tidak pernah belajar tentang cara menakit bom,”katanya.

“Kami menerima laporan dari ketua KNPB wilayah Baliem bahwa penemuan bom tersebut telah di klarivikasi saat diintrogasi di Polres Jayawijaya. Kami telah mendapat laporan langsung melalui surat pengakuan dari Simion Dabi bahwa dirinya telah menyampaikan secara jujur tentang kepemilikan bom tersebut,” ujar Wim.

Lanjut Medlama, laporan yang diterimanya dari Simion mengatakan ada skenario oknum tertentu yang dimainkan di sana dengan motif dan kepentingan apa hingga kini pihaknya belum tau.

Dikatakan Wim, secara terbuka Simion Dabi mengatakan kalau ia baru mengetahui pemilik bom tersebut. Pemilik dan pemboman di Wamena beberapa waktu lalu diduga dilakukan oleh Heri Kosay atas peritah oknum tertentu yang ingin mencemarkan nama baik KNPB di mata rakyat Papua.

Oleh sebab itu,  sesuai dengan program nasional yaitu memediasi rakyat secara damai dan menuntut hak penentuan nasib sendiri untuk Papua Barat maka kami mennyatakan sikap bahwa:

Pertama kami KNPB tidak bertanggung jawab aksi pemboman di Wamena Kedua Polda Papua segera menyelidiki motif dan kepentingan di balik oknum yang menaruh dan mengatasnamakan KNPB untuk melakukan pemboman. Ketiga kami mendesak agar hentikan upaya mengkambinghitamkan KNPB dalam aksi teror tersebut karena KNPB berjuang secara damai dan tidak pernah punya program rakit bom atau pun melakukan pemboman. Keempat Segera mebebaskan Simion Dabii ketua KNPB Wamena dkk yang ditangkap tanpa bukti yang jelas.



Dikatakan Wim pula bahwa, “Komite Nasional Papua Barat (KNPB) merupakan media penyambung lidah rakyat yang berjuang secara damai, bermartabat dan rasionalisasi sesuai mekanisme internasional, sehingga tuduhan kapolda beberapa bulan yang lalu kepada organisasi KNPB adalah pelaku bom di Wamena adalah sangat tidak benar karena selama ini KNPB tidak pernah mengajarkan cara merakit bom kepada anggota kami,” Tungkasnya. 

Hengky Yeimo - Majalah Selangkah.com


Siasat Polisi Dalam Membunuh dan Menangkap Aktivis KNPB

Written By Voice Of Baptist Papua on December 23, 2012 | 8:29 PM

Activist KNPB
Jayapura, KNPBNews – Teror, intimidasi, penangkapan, pemenjaraan hingga pembunuhan sepertinya tiada henti dialami oleh aktivis Komite Nasional Papua Barat [KNPB]. Sikap militan dan radikal dalam memperjuangkan hak kemerdekaan bangsa Papua Barat itulah alasan mengapa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sangat mewanti-wanti, bertindak brutal dan semakin ganas dalam menghadapi gerakan perlawanan KNPB selama ini.

Sejak KNPB dibentuk tahun 2008, aksi-aksi damai yang dimotori KNPB dengan konsolidasi massa rayat ke hampir seluruh wilayah Papua Barat membuat NKRI menggunakan berbagai macam siasat dalam membungkam dan menghancurkan gerakan KNPB yang memiliki jaringan internasional yang luas serta konsolidasi tingkat akar rumput dan kelompok perlawanan bersenjata yang dan tersebar di seluruh wilayah Papua Barat.

Indonesia sangat merasa terancam bahwa KNPB dengan damai dan bermartabat berkali-kali menuntut hak penentuan nasib sendiri yang diatur secara hukum internasional itu bisa dilakukan dilakukan di Papua Barat melalui jalur referendum yang fair. KNPB melalui pembentukan Internasional parliamentarians for West Papua (IPWP) dan International Lawyers for West Papua (ILWP) terus menggugat kejahatan Indonesia dalam praktek one man one vote (pepera 1969) yang dicederai oleh nafsu ekonomi politik Indonesia.

Perlawanan damai dan bermartabat melalui seminar, demo, jumpa pers serta ibadah yang dilakukan KNPB bersama rakyat Papua Barat dianggap Indonesia sebagai senjata ampuh yang dapat merongrong kekuasaan kolonialismenya diatas tanah Papua Barat.  Sehingga, Indonesia menempuh berbagai macam siasat yang dapat memandamkan giroh perlawanan yang dilakukan KNPB.

Pimpinan KNPB, mulai dari Buchtar Tabuni, Mako Tabuni, Victor Yeimo dan anggota-anggotanya sudah masuk keluar penjara namun tidak membuat perjuangan mundur dan kendor. Cara satu-satunya adalah Indonesia mengambil sikap untuk membunuh pimpinan-pimpinan KNPB. Untuk membunuh pimpinannya, Indonesia dengan bantuan media lokal seperti Bintang Papua dan Cepos menyampaikan berita-berita bohong yang menyudutkan KNPB sebagai pengacau, pembunuh, teroris dan berbagai macam label buruk.

Label-label buruk yang dialamatkan tanpa bukti itu dimulai dari peristiwa tertembaknya Mako Tabuni. Mako Tabuni yang adalah ketua I KNPB pada pertengahan tahun 2012, tepatnya tanggal 14 Juni ditembak mati oleh Densus 88 Polda Papua. Mako seperti yang diberitakan oleh Polisi dan Media lokal bahwa dirinya terlibat dalam pembunuhan warga Jerman Dietmer Pieter dan rangkaian peritiwa penembakan lainnya di kota Jayapura. 
Namun hingga Mako ditembak mati Polisi tidak menunjukan bukti-bukti keterlibatan Mako Tabuni. Polisi justru merekayasa kronologis penembakan Mako Tabuni, bahwa Mako ditembak karena hendak melawan, merampas senjata, dan melarikan diri. Padahal, kenyataanya Mako Tabuni tidak melakukan perlawanan, merampas senjata atau melarikan diri.

Setelah tewasnya Mako Tabuni, pembunuhan kilat terus terjadi kepada anggota KNPB. Di Fak-fak, 2 anggota KNPB dibunuh oleh Polisi Indonesia. Penembakan juga terjadi pada massa pendemo dimana polisi menembak massa pendemo di Kampung Harapan Sentani 4 Juni 2012. Akibatnya, 4 orang korban ditembak polisi Indonesia. Polisi sengaja memblokade pendemo agar terjadi chaos dan mereka dengan mudah dapat menembak aktivis KNPB.

Setelah Tito Karnavian diganti, Polda Papua menggunakan metode skenario yang sama. Tito Karnavian menggunakan metode bunuh dan basmi namun di media ia mencari simpati rakyat melalui kegiatan bagi-bagi sembako dan uang ke basis-basis yang mendukung KNPB.

Rekayasa Bom dilakukan oleh Densus 88 di Wamena agar aktivis-aktivis KNPB di Wamena dapat dilabeli sebagai teroris. Pada 29 September 2012, Polisi sengaja menaruh Bom di Sekretariat KNPB dan menuduh pengurus KNPB dan anggotanya sebagai pelaku peledakan di kantor DPRD Jayawijaya dan Pos Polisi di Jalan Irian. Padahal menurut pengakuan warga, di Pos Polisi Jalan Irian Polisi sengaja menaruh bom dan meladakannya, dan para pendatang yang berada di dekat pos polisi dikondisikan untuk ditutup sebelum meledak.
Rekayasa itu sudah terbaca jelas, dimana polisi melalui orang-orang piaraannya  menaruh bom pada hari penggrebekan di Sekretariat KNPB Baliem. 13 anggota KNPB ditangkap dan sampai saat ini status mereka tidak jelas, proses hukumnya juga tidak jelas karena polisi belum mengungkapkan bukti-bukti untuk memberatkan mereka. Sedangkan, Simion Dabi (ketua KNPB Baliem) dan beberapa anggota lainnya didaftar sebagai Daftar Pencarian Orang (DPO) tanpa alasan kasus yang jelas.

Penangkapan dan pembunuhan kembali terjadi lagi terhadap Simion Dabi pada tanggal 15 Desember 2012 kemarin bersama kawan-kawannya. Hubertus Mabel ditembak mati bersama Natalis Alua yang masih Koma. Adalah upaya polisi dan Densus 88 membungkam gerakan perlawanan KNPB dan bagian dari operasi lanjutan sejak Mako Tabuni dibunuh. Penembakan terhadap Hubertus Mabel erat kaitannya dengan upaya balas dendam atau upaya memenuhi rasa keadialan korban 3 aparat kepolisian di Pirime yang ditembak mati oleh TPN.OPM pimpinan Okiman Wenda.

Hubertus dibunuh dan dikaitkan sebagai pelaku penyerangan polsek Pirime adalah tidak benar. Sebab, Hubertus berada jauh dari tempat kejadian, yaitu di Kurulu kampung halamannya. Dari KNPB Pusat, Hubertus dimandati untuk melakukan konsolidasi anggota militan KNPB untuk pengamanan internal dan dalam perjalanannya Hubertus tidak ada hubungan dengan penyerangan yang dipimpin Okiman Wenda. Huber juga dalam posisi merayakan natal bersama keluarga di Kurima, kampung halamannya.

Rentetan penembakan terhadap aktivis dan pengurus KNPB menunjukan bahwa polisi melakukan operasi tumpas terhadap aktivis KNPB dan organisasinya. Beberapa waktu yang lalu, telah diungkapkan oleh salah satu anggota Polisi bahwa penembakan terhadap aktivis Papua adalah operasi rahasia yang disebut “operasi gerilya” yang dibuat dan diperintah langsung dari Jakarta melalui Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan sandi “hilang jangan tanya”.

Papua Dalam Jebakan Paradigma Separatisme


Papuan (Photo List)
Konflik Jakarta-Papua yang sudah berlangsung selama 47 tahun (terhitung sejak 1963) menumbuhkan dan memapankan paradigma separatisme. Paradigma ini telah menjadi kerangka dan landasan berpikir bagi kedua belah pihak. Pada posisi yang ekstrim, segala kejadian yang terjadi di Papua dipahami dan ditanggapi dalam kerangka berpikir konflik separatisme.

Pihak Pemerintah Pusat (baca: Kemenko Polhukkam, Depdagri, dan BIN) Jakarta menempatkan tujuan pemberantasan separatisme demi mempertahankan integritas NKRI di atas semua kebijakan politik dan ekonomi lainnya. Kekerasan negara pada masa Orde Baru dianggap benar secara politik karena dianggap sebagai upaya memberantas separatisme. Ekses dari kekerasan negara yang dianggap melanggar HAM dianggap tidak lebih penting dari pemberantasan separatisme.

Pada masa Reformasi dan Otsus di Papua, praktik represi dan kekerasan negara juga masih mengatasnamakan pemberantasan separatisme. Pembunuhan Theys Eluay pada November 2001 jelas-jelas diakui di pengadilan bahwa pembunuhan itu dilakukan demi mencegah menguatnya gerakan pro-kemerdekaan Papua. Hal itu berlanjut terus pada kasus Abepura (2000), Wasior (2001), Wamena (2003), dan yang terakhir pembunuhan Kelly Kwalik.

Atas nama pemberantasan separatisme pula, pelanggaran UU “ditoleransi”. Misalnya, Inpres 1/2003 yang membagi Papua menjadi tiga provinsi nyata-nyata melanggar Pasal 76 UU 21/2001. Sebesar apa pun protes masyarakat dan kritik publik terhadap kebijakan tersebut, kebijakan tersebut dipertahankan habis-habisan oleh Depdagri dengan backup dari BIN dan Kemenko Polhukkam. Di kalangan internal mereka, alasannya jelas dan tidak pernah dibantah. Inpres Pemekaran 1/2003 adalah untuk mencegah kesatuan dan persatuan orang Papua pro-merdeka di Jayapura.

Dengan alasan membendung pengaruh asing dalam gerakan separatisme pula Papua diperlakukan sebagai daerah tertutup bagi peneliti dan wartawan asing. Fakta yang baik dan buruk menjadi kabur di Papua. Batas antara berita faktual dan rumor hasil imajinasi pelaku politik menjadi kabur. Berita resmi di surat kabar seringkali dikalahkan oleh rumor yang berkembang di kalangan masyarakat melalui sms atau bisik-bisik. Alhasil, dengan kecanggihan teknologi komunikasi telpon dan internet, representasi dan citra Papua keluar menjadi sulit diverifikasi. Kecurigaan tumbuh dengan sangat subur. Kasus-kasus kekerasan dari pihak negara atau dari pihak kelompok gerakan Papua tidak pernah terungkap tuntas.

Perangkat dan institusi penegakan hukum pun mengalami distorsi. Dalam banyak kasus politik Papua asumsi polisi, jaksa dan hakim didominasi oleh paradigma separatisme. Aksi politik mahasiswa dengan mudah dimasukkan dalam kotak separatisme. Sebelum peradilan dimulai, sikap penegak hukum sudah jelas menunjukkan apriori mereka terhadap tersangka atau terdakwa kasus politik. Contoh praktik peradilan aktivis mahasiswa Buchtar Tabuni dan kawan-kawan (2009) yang diadili dengan menggunakan pasal subversi menunjukkan hal itu. Kalau di luar Papua pasal-pasal yang dikenakan mungkin lebih ringan. Karena paradigma itu instrumen penegakan hukum juga cenderung disubordinasi dan dimanipulasi menjadi alat untuk membatasi dan membungkam ekspresi politik warga negara.

Kewaspadaan yang eksesif dan stigma separatis yang dihasilkannya digunakan lebih jauh sebagai alat kontrol dan marjinalisasi kalangan oposisi Papua. Yang paling memprihatinkan dari semuanya, paradigma separatisme digunakan sebagai topeng bagi berbagai kegagalan negara dalam menjalankan kewajibannya, yakni pelayanan publik dan penciptaan rasa aman, terhadap warga negara Indonesia di Papua. Produk yang dominan dari paradigma separatisme adalah pelanggengan impunitas dan ketidakadilan.
“Penyakit” paradigma separatisme juga menjangkiti pemimpin dan masyarakat Papua, kebanyakan pemimpin dan elit masyarakat Papua yang pro-kemerdekaan Papua. Mereka hampir selalu menggiring pemahaman semua proses politik ke arah wacana tuntutan kemerdekaan Papua. Pemerintah dianggap secara sengaja dan terencana menyingkirkan atau memusnahkan orang asli Papua karena mereka separatis.

Pihak Papua, terutama kalangan TPN/OPM dan kalangan masyarakat dan elit Papua, baik yang pernah menjadi korban langsung kekerasan negara maupun yang terkait secara kekerabatan maupun historis dengan korban, merasa telah menjadi korban kekerasan negara baik secara simbolis maupun struktural. Akibatnya tumbuh budaya teror, yakni segala hal yang buruk, bencana penyakit, dan peristiwa kekerasan hampir selalu diyakini sebagai desain pihak lain (kebanyakan Jakarta) untuk membunuh, menyingkirkan, dan memusnahkan orang asli Papua. Produk dari budaya teror ini adalah ketidakpercayaan yang mendalam terhadap pemerintah pada umumnya.

Ketika jumlah penderita HIV/AIDS di kalangan orang asli Papua meningkat pesat, banyak wacana mengatakan bahwa penyakit itu sengaja dibawa oleh aparat Polri atau TNI melalui pekerja seks yang didatangkan dari luar Papua. Virus HIV/AIDS dilihat sebagai alat untuk membunuh orang asli Papua secara perlahan agar pada akhirnya musnah dari muka bumi ini. Tidak ada pertanyaan kritis yang mencoba memahami kompleksitas pola hubungan seks di kalangan orang asli Papua, transaksi seks bebas antara Papua dengan pendatang, kebiasaan seks tanpa kondom, hingga kebijakan pemerintah dalam penanggulangan penyebaran virus HIV/AIDS.

Kebanyakan orang menjadi tidak berminat untuk melihat fakta secara jeli dan kritis tapi hanya ingin membenarkan prasangkanya. Budaya teror ini mewujud dalam ketakutan dan kebencian terhadap aparat keamanan negara secara berlebihan. Segala hal yang dianggap datang dari Jakarta cenderung dicurigai secara berlebihan. Dari sini tumbuh pula mentalitas korban. Banyak warga Papua kehilangan kemampuan memahami persoalannya sendiri secara kritis, kehilangan kepercayaan diri, dan cenderung berharap bantuan pihak lain (dari luar Indonesia) dalam menyelesaikan masalahnya sendiri.

Segala hal yang berbau internasional dilihat sebagai pengharapan baru tertinggi. Dalam proses pelaksanaan konsultasi publik akhir-akhir ini serta berbagai lokakarya, kita banyak mendengar tuntutan warga Papua untuk diadakan dialog internasional, mediator internasional, masuknya pasukan perdamaian PBB ke Papua, dan sebagainya. Tanpa berpikir lebih jauh, apa yang internasional dianggap lebih baik dan dapat menyelesaikan masalah. Seringkali pemimpin Papua sendiri juga memanipulasi mitos tentang kekuatan internasional untuk tetap mendapatkan dukungan politik dan dana dari masyarakat.

Paradigma separatisme juga membuat orang Papua mengembangkan dan memperkuat mitos bahwa orang asli Papua pasti di dalam hatinya menyimpan aspirasi M dan orang non-Papua (baca: warga Indonesia dari luar Papua) pasti pro-NKRI dan dianggap “musuh”. Perhatikan pernyataan aktivis Papua dalam berbagai diskusi atau seminar. “Saya tidak percaya kamu karena kamu orang Indonesia yang bunuh-bunuh kami.” “Hanya orang Papua yang tahu Papua dan punya hati untuk membangun Papua.” Wacana itu terus hidup meskipun sudah banyak pemimpin Papua yang menindas warga Papua atau sebaliknya orang non-Papua yang berjasa banyak bagi orang Papua.

Paradigma itu pula yang menyuburkan ketakutan dan melihat seluruh sudut bumi ini diawasi dan dikontrol oleh intel atau aparat keamanan Indonesia. Perasaan ini kuat tertanam di kalangan warga atau pemimpin Papua yang merasa dirinya diawasi karena ikut dalam gerakan politik anti-Indonesia. Misalnya seseorang sakit dan tidak mau berobat ke Jakarta karena takut nanti rumah sakitnya disusupi intel dan disuntik racun ke dalam botol infusnya. Atau juga seorang aktivis yang mengalami kecelakaan motor dan mengembangkan rumor bahwa seorang intel mendorongnya masuk ke dalam selokan. Tidak ada pertanyaan kritis muncul di situ dan orang cenderung percaya begitu saja.

Wacana separatis atau kata “merdeka” juga menjadi alat yang dianggap efektif untuk menakut-nakuti pejabat di Jakarta dengan tujuan memenuhi ambisi politik para pejabat Papua. Misalnya, ketika tuntutan pencairan dana tertentu tidak atau belum dicairkan oleh lembaga di Jakarta, intimidasi dengan menggunakan kata “merdeka” mulai bermunculan. Contoh lain yang nyata adalah salah satu alasan dimenangkannya judicial review di Mahkamah Konstitusi menyangkut 11 anggota DPRP tambahan, yakni bahwa di dalam komposisi keanggotaan DPRP yang sekarang kelompok pro-NKRI tidak terwakili. Di balik itu, sederhana saja, para pengusul dari Barisan Merah Putih, mau mengambil jatah dari 11 kursi kalau berhasil.

Paradigma separatisme juga digunakan sebagai alat untuk berlindung dari jeratan hukum oleh pejabat Papua yang korup. Beberapa pejabat korup yang mulai disidik atau bahkan sudah disidangkan, mulai membuat pernyataan-pernyataan gaya “nasionalis-Indonesia” dengan banyak menyebut kata NKRI, mengecam kelompok pro-merdeka, atau mengungkit kembali jasa-jasanya “membela” NKRI.

Keseluruhan situasi terpapar di atas menjadi salah satu sebab penting kelumpuhan dan kebuntuan politik. Pihak Jakarta cenderung mencurigai dan menolak sebagian besar inisiatif penyelesaian masalah yang datang dari Papua dengan rumusan “NKRI harga mati”. Sebaliknya pihak Papua merasa terus menerus diperlakukan tidak adil dan diakhianati oleh Jakarta sehingga juga berkeras dengan rumusan reaksioner bahwa “Merdeka adalah juga harga mati”.

Kecurigaan di antara keduanya disuburkan oleh berbagai kebijakan dari Jakarta yang represif dan tidak ramah Papua. Sebagai reaksi, berbagai aksi dan pernyataan politik dari Papua semakin memperkuat paradigma separatisme tersebut di atas.

Pada akhirnya pada satu sisi paradigma separatisme menghasilkan kebijakan dan perilaku aparat pemerintah yang justru bertentangan dengan tujuan pemberantasan separatisme itu sendiri. Pada sisi lain, hal ini memperkuat keinginan, minimal menguatkan wacana separatisme, orang asli Papua untuk memisahkan diri. (MSW)

Fadel: Pelaku Pelanggaran HAM Tak Tersentuh Hukum

Written By Voice Of Baptist Papua on December 8, 2012 | 12:35 AM

Photo Ilustrasi
JAYAPURA - Masih banyak kasus kasus pelanggaran HAM di Papua yang dilakukan aparat negara hingga kini tidak tersentuh hukum, mengakibatkan tak terputusnya impunitas , bahkan impunitas terus terjadi, karena para pelanggar HAM sama sekali tak tersentuh hukum. 

Hal itu diungkapkan Fadel Al Hamid, Sekertaris Dewan Adat Papua, Kamis( 6/12).
Menurut Fadel, tak terselesaikannya kasus kasus pelanggaran HAM di Papua seperti Kasus Biak Berdarah, Kasus Wasior, Abepura 2000, Wamena berdarah, penembakan di Paniai menujukkan impunitas terus terjadi. “ Saya pikir meningkatnya kasus pelanggaran HAM di Papua membuat kita semakin disadarkan bahwa, memang Pemerintah Indonesia belum sepenuhnya atau kurang ataupun tidak semasekali menujukkan itikat baik menyelsaikan masalah HAM di Papua,” ujarnya. 

Jika berbicara kasus HAM dalam konteks Papua seiring bergantinya tahun demi tahun dilihat bukan semakin membaik atau ada penurunan kasus, justru semakin meningkat. Menurut Fadel, Impunitas tak akan terjadi di negeri ini bila hukum ditegakkan.

Ia melihat, setiap pihak yang melakukan pelanggaran, diperiksa, dilakukan penyelidikan, penyidikan kemudian dibawah ke pengadilan untuk mempertanggung jawabkan perbuatan mereka, tetapi juga dilihat dalam seluruh proses pengadilan sebenarnya harus benar benar menjunjung rasa keadilan masyarakat. Belajar dari kasus Abepura Tahun 2000 yang kemudian disidangkan di Makassar justru bukan memberikan rasa keadilan bagi korban namun semakin melukai hati orang Papua karena dari sidang yang dilakukan itu tak ada satupun pelaku dikenakan sanksi, melainkan pelaku bebas sementara realitas menunjukkan ada korban, ada orang yang dipukul dan kemudian tewas.

Ia melihat persidangan kasus Abepura berdarah di Makassar sangat jelas menunjukkan negara sedang memperlihatkan kesombongannya kepada rakyat di Papua, termasuk juga menujukkan kebebalannya terhadap rakyat sipil.

Ia justru melihat keadaan berbalik, rakyat yang tak bersalah yang justru diadili secara sewenang wenang, mereka orang orang yang kemudian menyampaikan aspirasinya secara damai dan bermartabat. Kita lihat kasus Filep Karma yang dipenjarakan sampai hari ini, kemudian mereka yang terlibat dalam kongres III. Mereka itu menyampaikan aspirasi mereka tapi kemudian merekah yang diadili, padahal mereka tak membunuh siapa siapa ataupun melukai siapa siapa, atau sedang mempersiapkan sesuatu yang kemudian mengancam keselamatan negara ini, sambungnya.

“ Mereka itu hanya menyamapikan aspirasi dan pandangannya secara damai dan pandangan itu memenuhi hakikat Hak Asasi Manusia. Namun mereka yang kemudian disolimi”. Menurut Fadel kasusnya sama seperti kasus penembakan dan kasus kasus pelanggaran HAM lainnya, sampai saat inipun kita tak melihat adanya suatu kemajuan atau upaya Pemerintah pusat membangun HAM di Papua dengan membawa pelakunya. Contoh lain yang menujukkan tak terselesaikannya kasus HAM diranah Politik adalah kasus Mako Tabuni. Penembakan Mako Tabuni itu sekan akan dengan pernyataan yang diklaim sebagai suatu pembuktian hingga Mako ditembak. “Ini sesuatu yang aneh,”katanya.

Padahal nyawa seorang manusia itu harusnya dipertanggung jawabkan, sekalipun ia seorang pejabat negara atau teroris sekalipun, akan diproses hukum sesuai hukum yang berlaku apakah dia dihukum mati atau ada konsekuensi hukum lainnya. Ia melihat kondisi berbeda dengan Mako Tabuni yang langsung dihilangkan. “ Realitas lain yang saya lihat ada semacam kejenuhan dari para pekerja HAM di Papua yang kehilangan cara bagaimana menuntut Keadilan di Negeri ini,”katanya. 

Berbagai kasus yang ditangani para pekerja HAM yang diadvokasi, diajukan dengan segala macam cara namun pada akhirnya menemui sebuah fakta bahwa, mereka tak mendapatkan Keadilan di negeri ini. Tapi para pekerja HAM ini dengan sisa tenaga yang dimiliki masih tetap tegar, konsisten dalam meriakan ketidakadilan di Tanah Papua.

Dalam seluruh kasus HAM Papua itu, ia melihat dari sisi posisi Presiden SBY termasuk peran UP4B yang dinilainya masih banyak ditemui problematika dan pro kontra di kalangan masyarakat yang menilai kebijakan UP4B tak akan menolong dan memperbaiki situasi HAM di Papua selama kasus kasus HAM masa lalu tak terselesaikan, justru membuka lapangan baru yang kemudian membuka jendela peluang terhamburnya uang.
“ Saya mau soroti suatu aspek atau langkah yang seharusnya sudah bisa dilakukan UP4B terhadap pelanggaran HAM. 
Termasuk kasus sama dipertanyakan kembali kepada Presiden SBY soal komitmennya menyelesaikan kasus pelanggaran HAM melalui UP4B selanjutnya diproses lewat Kejaksaan hingga KOMNAS HAM terkait dengan Wasior yang sementara ini masih dalam proses dan mengantung. Ia bertanya mengapa dari kasus kasus lampau ini belum ada suatu langkah yang diambil segera dari Negara ini, kemudian Oke Pemerintah mulai menujukan keseriusannya untuk selesaikan khususnya menyelesaikan kasus Wasior yang sudah mendapatkan rekomendasi untuk ditindaklanjuti”

Seharusnya Pemerintah SBY sudah berpikir untuk mulai melakukan pembangunan penegakan HAM di Papua dalam sebuah kebijakan pembangunan HAM di Papua yang jelas apalgi diakhir masa jabatannya. Presiden diminta mengambil suatu kebijakan yang berani, kalau kemudian presiden masih berpikir soal popularitas, sengsi dan harga dirinya untuk tak diserang lawan lawan politiknya, saya pikir dalam konteks ini, Presiden tak perlu kuatir karena bagaimana mungkin ia berusaha untuk menegakan HAM, mengobati luka hati orang Papua, bukan menjadi bumerang politk atau hal ynag mengada ada. 

Fadel berpilir tak ada alasan mendasar bagi Presdien SBY untuk tak melakukan sesuatu, sebab ia harus bisa melakukan sesuatu apalgi diakhir masa jabtannya yang kedua karena untuk periode berikut ia tak akan maju lagi, pikir Fadel.

Sebagai Kepala negara, Presiden bertanggung jawab penuh terhadap penegakan hukum di Indonesia. Kita tak bisa andalkan keberadaan Perwakilan KOMNAS HAM Papua dengan keterbatasannya saat ini. Komnas HAM Papua juga dilihat menampakan kelelahan dengan kondisi yang memprihatinkan ini, karena KOMNAS HAM Papua sendiri tak dapat bebuat banyak hidup enggan matipun tak mau, ia tak mendapatkan perhatian dari Pemerintah, meski dengan dana trilyunan dalam APBD, ia hanya mendapatkan nol koma sekian persen saja.

Menurut Fadel kondisi demikian mengakibatkan kemudian kita tak punya harapan dan berharap sesuatu pada KOMNAS HAM, Namun toh kemudian ada amanat dalam Undang undang Otsus sebuah harapan s kalau kita masih mau berharap agar Presiden masu dikenang oleh orang orang Papua diakhir masa jabatannya ini, setidaknya memberikan harapan pada rakyat Papua bahwa didalam negara ini masih ada keadilan untuk orang Papua, bahwa di negara ini Hak Asasi Manusia masih mendapat tempat untuk dihargai. 

“Saya pikir itu menjadi harapan kita tetapi sebenarnya mengandung desakan dan tantangan kita kepada presiden untuk bertindak bagi penegakan Hak Asasi Manusia karena orang Papua ini adalah rakyat dia maka dia mestinya melakukan sesuatu untuk sedikit mengobati hati orang Papua , apa yang dibuatnya mengandung harapan dan makna mendalam bagi momentum Hari HAM 10 Desember 2012 ini”, sambunya.
Warga Papua Diajak Peringati HAM

Sementara itu, Ketua Forum Anti Pelanggaran Ham di Papua, Septi Megdoga, mengajak seluruh komponen masyarakat Papua untuk turut terlibat dalam kegiatan peringatan Hari Pelanggara Hak Asasi Manusia (HAM) se-dunia yang jatuh pada 10 Desember 2012.

Dijelaskannya, salah satu bentuk peringatannya adalah melaksanakan kegiatan demonstrasi damai, yang berisikan seruan-seruan kepada pemerintah pusat untuk segera menyelesaikan berbagai persoalan pelanggaran HAM yang terjadi di Tanah Papua.

Sebut saja sejumlah pelanggaran HAM seperti permasalahan politik Papua yang disunat oleh pemerintah Indonesia hingga kini, dan kasus pelanggaran HAM lainnya seperti pembunuhan dan lain sebagainya, sampai pada masuk dibungkamnya ruang demokrasi di Tanah Papua.

Menurutnya, hingga kini masalah Papua silih berganti, dan nasib rakyat Papua terus terkatung-katung tanpa penyelesaian yang jelas, meskipun berbagai kebijakan pembangunan maupun regulasi aturan terus diperbaharui (Salah satunya lahirnya UU No 21 Tahun 2001 tentang otsus), tapi kenyataannya belum mampu menyentuh apa yang menjadi kebutuhan dasar masyarakat, sehingga sampai saat ini masyarakat masih hidup miskin, terbelakang di atas kekayaannya sendiri.

“Mari kita semua bergabung untuk peringati dan suarakan HAM yang selama ini belum dituntaskan pada hari peringtatan HAM se-dunia pada 10 Desember 2012 mendatang,” tegasnya dalam press releasenya kepada Harian Bintang Papua, Kamis, (6/12),

Pelanggaran HAM yang tanpa pertanggungjawabkan aparat keamanan dan pemerintah khususnya Jakarta. Pertanyaan besar rakyat Papua tentang status politik Papua yang terus menerus dijawab dengan tindak kekerasan oleh aparat keamanan.

Lanjutnya, belum tuntasnya penyelesaian pelanggaran HAM dan timbulnya kasus pelanggara HAM yang baru, tidak lain juga diakibatkan oleh melemahnya otoritas-otoritas sipil. Lihat saja lembaga eksekutif dan legislatif di Papua yang selama ini diam membisu ketika dihadapkan dengan realitas masyarakat Papua yang semakin memburuk dan memprihatikan derajat dan martabatnya di segala aspek kehidupan.

“Sampai saat ini banyak cerita instrument politik bagi semua masyarakat Papua yang mengingat beberapa para sang pejuang penegakan HAM ditembak mati hingga menjadi cerita pahiy bagi masing-masing kelyarga korban pelanggaran HAM,” tandasnya.(ven/nls/don)



Your letters: Putting diplomacy first on Papua

Written By Voice Of Baptist Papua on December 7, 2012 | 9:39 PM

Photo Ilustrasi
The increase in incidents in Papua between the police and unidentified armed groups indicates that the issue of Papua is on the rise again.

The deployment of security forces in Papua indicates that Papua is Jakarta’s top priority. For the Indonesian government, in order to restore order and maintain stability in Papua, the presence of security forces is vital to deter criminal armed groups in the region.

At the same time, the rise of armed incidents and the deployment of security forces to Papua have also attracted international attention. US Secretary of State Hillary Clinton and Australian Foreign Minister Bob Carr have stated their governments’ concern over the Papua issue.

This should alert the Indonesian government that they must adopt clear measures to deal with armed groups in Papua. In its efforts to restore order in Papua, any misuse and wrongdoing in the use of force from the Indonesian security forces would be easily manipulated by the West Papua independence movements.

The idea of independence or secession from Indonesia is still appealing to some Papuans. This can be seen from the ability of the Papua independence movements to maintain operations abroad. The independence movements use the violations of human rights and economic oppression in Papua as their main magnet to attract international support.

For many years the Indonesian government has put much diplomatic effort into mitigating separatism. If not carefully measured, making Papua a security issue could jeopardize previous diplomatic efforts to wash away the seeds of separatism from West Papua.

In dealing with armed criminal groups in Papua, the government should also be aware of the implication on Indonesia’s position abroad. International support is vital to maintaining Indonesia’s territorial integrity. As the former Indonesian foreign minister, Hassan Wirajuda, said, every domestic issue has a foreign policy aspect. The issue of Papua also has domestic and international dimensions.

In this light, any Indonesian government policy on Papua should calculate its implications for international support for Indonesia. In doing so, the Indonesian government would have a more balanced approach to Papua both domestically and internationally. More importantly, this would give Indonesian diplomacy a better chance to generate support for a credible solution on the Papua issue.

It has been argued that Papua could be the next tragedy for Indonesia after Timor Leste. Papua has the same ingredients that Timor Leste had and this could lead to disintegration. The increase of human rights violations, insecurity in the provinces and international financial crisis could lead to the same tragedy.

To prevent the same tragedy from happening again, the people and the government of Indonesia should embrace the people of Papua with the idea of freedom under Indonesian unity. This could be put forward as an alternative to the idea of independence from Indonesia.

The people of Papua are craving for freedom to express themselves. They want freedom, opportunities and to benefit from the development in Indonesia and the Asia Pacific. They are seeking a fruitful outcome from full autonomy.

Until the Papuans taste freedom, the government should be aware of the dimensions of the Papuan issue. In the international realm, dealing with the issue of Papua through security approach alone would have a little benefit towards Indonesian territorial integrity. Thus, diplomacy should always in the mind of Indonesian policy makers when it comes to the issue of Papua. By putting diplomacy first, the government could better balance and strategize its policy on Papua.

Raksa Ibrahim
Melbourne, Australia
Published in : The Jakarta Post.com/news/

Bubarkan massa demo 1 Desember, Polisi tangkap 3 aktivis KNPB

Written By Voice Of Baptist Papua on December 1, 2012 | 9:31 PM

Jayapura, (1/1)—Tiga orang ditangkap saat demo memperingati 1 Desember berlangsung. Salah satunya, Victor Yeimo, Ketua Umum Komite Nasional Papua Barat (KNPB).

Polisi terpaksa membubarkan aksi demo sekitar puluhan massa KNPB yang hendak menuju lokasi Ekspo Waena untuk melanjutkan perjalanan mereka ke makam Theys Eluay di Sentani. Selain pembubaran, polisi juga menangkap tiga orang pemimpin massa, yakni Victor Yeimo, Alius Asso dan Usman Yogobi.

Kapolresta Jayapura Kota, AKBP Alfred kepada tabloidjubi.com (1/1) mengatakan pihak kepolisian tidak mengijinkan kegiatan tersebut. Karena massa memaksakan diri untuk tetap berjalan menuju Waena, maka pihaknya terpaksa memblokir perjalanan massa di sekitar PLTD Waena, karena negosiasi antara massa dan pihaknya gagal. Polisi juga menembakkan gas air mata untuk menghentikan massa yang memaksa terus melanjutkan perjalanan mereka.

Alfred membenarkan adanya tiga orang yang ditahan dalam aksi demo tersebut, namun tak merinci siapa saja yang ditangkap oleh Polisi. Informasi yang dikumpulkan tabloidjubi.com, ketiga aktivis KNPB yang ditangkap itu adalah Victor Yeimo, Ketua Komite Nasional Papua Barat, Usman Yogobi dan Alius Asso. Victor Yeimo ditangkap di sekitar PLTD Waena, sedangkan Alius Asso dan Usman Yogobi ditangkap di sekitar Lingkaran Abepura, saat memimpin massa lainnya yang hendak menuju Ekspo. Selain ketiganya, dikabarkan dua orang lagi, yakni Humum Kiman (20) dan Ebel Sala (19), keduanya mahasiswa  Sekolah Tinggi Ilmu Hukim Umel Mandiri, juga ikut ditangkap.

Wim R. Medlama, jubir KNPB mengatakan, unjuk rasa tersebut yang mereka lakukan sebenarnya dalam rangka Hari AIDS sedunia, peringatan jelang Natal bagi umat Kristen, dan perayaan 1 Desember sebagai hari pembebasan dan kemerdekaan bangsa Papua. Namun polisi malah membubarkan massa dan menangkap tiga rekan mereka. Ia menolak jika aksi demo mereka itu dikatakan sebagai aksi anarkis.

Kabid Humas Polda Papua, AKBP I Gede Sumerta Jaya juga membenarkan penangkapan aktivis KNPB tersebut. Namun menurut I Gede, polisi cuma memangmankan, bukan menangkap.
“Kita melihat bahwa ada gerakan massa yang membuat masyarakat resah. Itulah mengapa kita amankan, bukan kita tangkap, kita hanya amankan,” kata I Gede.

Pantauan tabloidjubi.com di makam Theys Eluay, yang selama ini menjadi lokasi peringatan 1 Desember, tampak aparat kepolisian telah siaga sejak pukul 06.00 WP. Sekitar 100 aparat kepolisian tampak melakukan apel siaga dilapangan tersebut pukul 07.00 WP. Dilapangan tersebut juga tampak satu tenda didirikan dan sebuah spanduk bertulisakan “Acara bakar batu”.

1 Desember, diperingati oleh masyarakat Papua sebagai hari kemerdekaan Bangsa Papua Barat. Namun ada juga yang memperingati kemerdekaan Bangsa Papua Barat pada tanggal 1 Juli. Selain di Jayapura, aksi 1 Desember ini juga diperingati di Manokwari, Sorong, Nabire, Fak Fak,Wamena, Timika, Serui hingga Australia dan Selandia Baru. (Jubi/Benny Mawel)

Celebrating West Papua ‘Independence,’ OPM Calls for Non-Violence

Perayaan HUT Kemerdekaan Papua
Jayapura. The separatist Free Papua Movement (OPM) called for non-violent actions to free the easternmost provinces from Indonesia as the group on Saturday marked what it considers the 51st anniversary of the independent nation of West Papua.

Lambert Pekikir, the chief of the OPM wing in the Papua district of Keerom, said during a commemoration there that violence would not solve Papuans’ problems.

“We have to admit that we can do nothing now. As Papua is still within Indonesian territory, we’ll have to make more directed approaches,” Lambert said.

Those approaches, Lambert suggested, should rely heavily on international negotiations aimed at amending 1969’s United Nations Resolution 2504, which concerned the handover of then-West New Guinea — now Papua and West Papua — from the Netherlands to Indonesia.

He added that the Indonesian government, in the interim, needed to be more open to the notion of an independent Papua.

“A democratic space must be opened. The Indonesian government has no other choice but to stop seeing Papua as a part of Indonesia,” Lambert said, as reported by Indonesian news portal tempo.co.

The Dec. 1 celebrations by pro-independence groups in Papua appeared largely peaceful despite prior warnings by Indonesia’s State Intelligence Agency (BIN) of heightened security concerns ahead of the commemorations.

On Tuesday, three police officers were killed in an attack on the Pirime Police precinct office in the district of Lanny Jaya, with OPM’s Pirime chief Purom Okiman Wenda claiming responsibility for the attack. OPM has often been blamed for attacks on Indonesian security forces in Papua.

On Saturday, the OPM office in Keerom only raised a Morning Star flag, a symbol of Papuan independence that is banned by law, and conducted a joint prayer to celebrate the day.

“No other activities... no shootings,” Lambert said.

There were no reports of separatist attacks nor violent crackdowns by Indonesian security forces across Papua and West Papua as of the time of writing.

Police did arrest several pro-independence activists, including the chairman of the West Papua National Committee (KNPB), Viktor Yeimo, as they staged a rally in Jayapura on Saturday, but the incident was largely peaceful and the activists were reportedly released later in the day.

The supposed 51st anniversary of West Papua was also celebrated by hundreds of Papuan students on Java and Bali, who gathered in Yogyakarta on Saturday for a rally demanding Indonesian and international recognition of an independent West Papua, according to detik.com.

More>>> JG & Suara Pembaruan



Indonesia detains tourist in Papua

INDONESIAN police in restive Papua have detained a Ukrainian tourist attending a prayer session to commemorate the 51st anniversary of the region's movement for independence. 
 
Ukrainian touristArtem Shapirenko, 36 photo list
Artem Shapirenko, 36, was detained by police on Saturday in the town of Manokwari in western Papua where around 50 people took part in a prayer at the traditional leaders council building. It was unclear why he had been held.

Shapirenko, wearing a Bob Marley T-shirt, held his fist in the air and yelled "Free Papua" in Indonesian as police officers ushered him into their vehicle, said an AFP reporter in Manokwari.

A photocopy of the man's tourist visa, obtained by the police, showed it had expired in July this year.
"A Ukraine citizen, Artem Shapirenko, is undergoing questioning at police headquarters and is co-operating," Manokwari police chief Ricko Taruna Mauruh said.

Papua declared independence from the Dutch on December 1, 1961, but neighbouring Indonesia took control of the region with force in 1963. It officially annexed Papua in 1969 with a UN-backed vote, widely seen as a sham.

The separatist Free Papua Movement (OPM), which formed in 1965, also marks the birth of its organisation on the December anniversary, when rallies and commemorations are held across Papua.
Police had beefed up security ahead of the anniversary and arrested three youth activists in the city of Jayapura, capital of Papua, according to a provincial police spokesman.

Jakarta keeps a tight grip on Papua and foreign journalists are de facto banned from reporting in the region.

More than 170 people are imprisoned in Indonesia for promoting separatism, most of them from Papua or the Maluku islands in eastern Indonesia, according to Human Rights Watch.



Australia's evolving position on West Papua

Written By Voice Of Baptist Papua on November 29, 2012 | 5:38 AM

VARIOUS solidarity gatherings will be held around the world this weekend to mark the 51st anniversary of the first raising of West Papuan "morning star" flag - an act that continues to attract a 15 year prison sentence in Indonesia. 
 
Papuan Activist
While Australian protests and awareness raising concerts are likely to attract only modest numbers, there are signs that both the Australian public and politicians are becoming increasingly concerned with the human rights situation in the province.

Indeed, while growing public sympathy for Papuan cries for "merdeka", the Bahasa word meaning freedom or independence depending on the translation, is unlikely to translate into any official support for Papuan sovereignty any time soon, there are signs that Australian political leaders are prepared to take a more principled stance on human rights in the province than previously.
To Bob Carr's credit, he is possibly Australia's first foreign minister to directly acknowledge the escalating problems in Papua and call on Indonesia to respect human rights.

Disappointingly though, Carr continues to frame his answers to questions about Papua in terms of the budgetary impacts of "upsetting" Indonesia. Taking a principled stance in defence of basic human rights should not be influenced by budget and trade concerns. He has also unhelpfully attempted to characterise anyone with concerns about the deteriorating human rights situation in Papua as being "pro-independence". (For the record the Human Rights Law Centre does not have a position on the topic of independence; our focus is purely on the promotion and protection of human rights.)

Carr's circumspect approach is contrasted by the forthright, and most welcome, comments made by Attorney General, Nicola Roxon, while in Indonesia recently for a series of meetings on issues of law and justice. Roxon told the ABC that Australia's recognition of Indonesia's sovereignty over Papua would not stop the Government from registering concern about the situation there. She went on to say Australia is firmly committed to making sure that any abuses or alleged abuses by security forces in Papua are properly investigated and punished.

At the other end of the spectrum within Government ranks is Defence Minister Stephen Smith who, when announcing a new defence co-operation agreement with Indonesia, said he has "no concerns" about the human rights situation in Papua.

Smith's "head in the sand" approach is particularly alarming given it came only weeks after the ABC's 7.30 program aired evidence that an Indonesian counter-terrorism unit, which receives extensive training and support from the Australian Federal Police, has been involved in torture and extra-judicial killings in West Papua.

Meanwhile, a 'parliamentary friends of West Papua' group recently established by the Greens, has attracted cross party support. The group's most recent meeting was attended by Labor, Liberal, DLP and independent MPs. This is a positive sign that at least some members of each party recognise that Australia can maintain good diplomatic relations with Indonesia while taking a principled stand and defending human rights at the same time.

During a recent visit to Australia, Indonesia's Vice Minister of Law and Human Rights, Denny Indrayana, told students at Melbourne Law School that freedom of political participation, together with a free and independent media, were two fundamental pillars of democracy.

He is right of course. However, the reality is that Jakarta's commendable democratic reforms of the last decade have not made it to West Papua. Despite the fact that Indonesia ratified the International Covenant on Civil and Political Rights in 2006, human rights are severely curtailed in Papua. Protests are routinely and forcibly shut down. Political activists and bashed, jailed or killed. Papuans do not enjoy many of the basic freedoms that other Indonesians have gained.

Australian politicians can and should be more proactive in encouraging their Indonesian counterparts to ensure human rights are enjoyed throughout the entire Republic.

There is no reason why Carr could not challenge Indonesia's effective media ban and insist that Australian journalists be allowed to travel to and report from West Papua.

Further, a complete review of Australia's relationship with Indonesia's military and security forces is urgently required to ensure we are in no way aiding or abetting human rights abuses, directly or indirectly, through our support of Indonesia's elite counter-terrorism unit, Detachment 88.

And finally, Carr should utilise Australia's unique position in the region, along with our new position on the UN Security Council, to play a leadership role in bringing the world's attention to the problems in West Papua.

For too long Australia supported the pro-military and anti-reform remnants of the Suharto regime. Now we have an opportunity to better align ourselves with the mainstream Indonesian human rights movement that recognises that the problems in West Papua do not have a military solution.



Australia's evolving position on West Papua

VARIOUS solidarity gatherings will be held around the world this weekend to mark the 51st anniversary of the first raising of West Papuan "morning star" flag - an act that continues to attract a 15 year prison sentence in Indonesia. 
 
Papuan Activist
While Australian protests and awareness raising concerts are likely to attract only modest numbers, there are signs that both the Australian public and politicians are becoming increasingly concerned with the human rights situation in the province.

Indeed, while growing public sympathy for Papuan cries for "merdeka", the Bahasa word meaning freedom or independence depending on the translation, is unlikely to translate into any official support for Papuan sovereignty any time soon, there are signs that Australian political leaders are prepared to take a more principled stance on human rights in the province than previously.
To Bob Carr's credit, he is possibly Australia's first foreign minister to directly acknowledge the escalating problems in Papua and call on Indonesia to respect human rights.

Disappointingly though, Carr continues to frame his answers to questions about Papua in terms of the budgetary impacts of "upsetting" Indonesia. Taking a principled stance in defence of basic human rights should not be influenced by budget and trade concerns. He has also unhelpfully attempted to characterise anyone with concerns about the deteriorating human rights situation in Papua as being "pro-independence". (For the record the Human Rights Law Centre does not have a position on the topic of independence; our focus is purely on the promotion and protection of human rights.)

Carr's circumspect approach is contrasted by the forthright, and most welcome, comments made by Attorney General, Nicola Roxon, while in Indonesia recently for a series of meetings on issues of law and justice. Roxon told the ABC that Australia's recognition of Indonesia's sovereignty over Papua would not stop the Government from registering concern about the situation there. She went on to say Australia is firmly committed to making sure that any abuses or alleged abuses by security forces in Papua are properly investigated and punished.

At the other end of the spectrum within Government ranks is Defence Minister Stephen Smith who, when announcing a new defence co-operation agreement with Indonesia, said he has "no concerns" about the human rights situation in Papua.

Smith's "head in the sand" approach is particularly alarming given it came only weeks after the ABC's 7.30 program aired evidence that an Indonesian counter-terrorism unit, which receives extensive training and support from the Australian Federal Police, has been involved in torture and extra-judicial killings in West Papua.

Meanwhile, a 'parliamentary friends of West Papua' group recently established by the Greens, has attracted cross party support. The group's most recent meeting was attended by Labor, Liberal, DLP and independent MPs. This is a positive sign that at least some members of each party recognise that Australia can maintain good diplomatic relations with Indonesia while taking a principled stand and defending human rights at the same time.

During a recent visit to Australia, Indonesia's Vice Minister of Law and Human Rights, Denny Indrayana, told students at Melbourne Law School that freedom of political participation, together with a free and independent media, were two fundamental pillars of democracy.

He is right of course. However, the reality is that Jakarta's commendable democratic reforms of the last decade have not made it to West Papua. Despite the fact that Indonesia ratified the International Covenant on Civil and Political Rights in 2006, human rights are severely curtailed in Papua. Protests are routinely and forcibly shut down. Political activists and bashed, jailed or killed. Papuans do not enjoy many of the basic freedoms that other Indonesians have gained.

Australian politicians can and should be more proactive in encouraging their Indonesian counterparts to ensure human rights are enjoyed throughout the entire Republic.

There is no reason why Carr could not challenge Indonesia's effective media ban and insist that Australian journalists be allowed to travel to and report from West Papua.

Further, a complete review of Australia's relationship with Indonesia's military and security forces is urgently required to ensure we are in no way aiding or abetting human rights abuses, directly or indirectly, through our support of Indonesia's elite counter-terrorism unit, Detachment 88.

And finally, Carr should utilise Australia's unique position in the region, along with our new position on the UN Security Council, to play a leadership role in bringing the world's attention to the problems in West Papua.

For too long Australia supported the pro-military and anti-reform remnants of the Suharto regime. Now we have an opportunity to better align ourselves with the mainstream Indonesian human rights movement that recognises that the problems in West Papua do not have a military solution.



Twitt VBPapua

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. SBP-News @VBaptistPapua - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger