SUARA BAPTIS PAPUA

Dukung Aksi Perdamaian Atas Kekerasan di Papua Barat.
Jika Anda Peduli atas kemanusiaan Kaum tertindas di Papua barat Mohon Suport di sini:

Please donate to the Free West Papua Campaign U.K.
Kontribusi anda akan kami melihat ada perubahan terhadap cita-cita rakyat papua barat demi kebebasan dan kemerdekaannya.
Peace ( by Voice of Baptist Papua)

Apa Solusi Atas Konflik Papua?

Scoop Voice Baptist

About Me

My Photo
Papua, Papua barat/Indonesia, Indonesia
Persekutuan Gereja-Gereja Baptis Papua tidak akan pernah memilih diam ketika umat ditintas dan akan terus bersuara sampai keadilan benar-benar terjadi di tanah papua

Voice of Baptist Papua

Asian Human Rights Commission

Welcome to Suara Baptis Papua Online

SB - PAPUA-News

© Copyright 2011 suara baptis papua. Powered by Blogger.

Latest Post

Showing posts with label Internasional. Show all posts
Showing posts with label Internasional. Show all posts

Mixed reaction to MSG's response to West Papua group

Written By Voice Of Baptist Papua on July 10, 2014 | 1:06 AM

There's been mixed reaction to the Melanesian Spearhead Group's decision on a bid by a West Papuan group to become a member.

There's a mixed reaction to the Melanesian Spearhead Group's response to a membership application by West Papuans. At their recent summit in Port Moresby MSG leaders agreed to work more proactively with Jakarta on addressing development needs of the indigenous Melanesians of Indonesia's Papua region. However the MSG has rejected a formal membership bid by the West Papua National Coalition for Liberation.

The coalition lodged its application over a year ago. However the MSG postponed its decision on the application pending a report from an MSG Foreign Ministers fact-finding mission to Indonesia's Papua region in January. Vanuatu boycotted that trip because it felt the mission's programme would not allow the MSG to obtain

Organisasi Free West Papua Membuka Kantor di Belanda

Written By Voice Of Baptist Papua on July 30, 2013 | 6:27 PM

Photo Ilustrasi
London (VoiceBaptist),-- Free  West Papua Campaign adalah Organisasi Kemerdekaan Papua barat yang berkedudukan di london Inggris raya.

Diawal tahun ini setelah membuka kantor resmi di Inggris London dan selanjutnya dengan rencana membuka kantor baru di Belanda.

Awal tahun ini Kampanye luar biasa dan setelah melakukan tour dunia dalam msi kampanye free west papua  yang digawangi oleh  Benny Wenda Pemimpin diasingkan Papua Barat Kemerdekaan atas tuntutan kemerdekaan yang berkedudukan  kantor di kota Inggris Oxford.

Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa di Indonesia pernah menyuarakan kekecewaan bahwa pemerintah Inggris tidak bersedia untuk mengambil langkah-langkah terhadap kantor.

Menurut sumber, Kampanye belanda ini Oridek Ap mengatakan kantor baru di Den Haag akan dibuka pada tanggal 15 Agustus, ulang tahun ke-51 dari Perjanjian New York antara Belanda dan Indonesia di mana kendali mantan Nugini Belanda itu diserahkan.
 
"Ini adalah tugas kita untuk menginformasikan pemuda di Belanda tentang sejarah mereka sendiri, tentang sejarah kami, kisah Papua Barat, dengan membuka kantor sehingga orang akan tahu bahwa ada sebuah kantor di mana kita bisa mendapatkan informasi lebih lanjut tentang situasi di Papua Barat dan tentang mengapa orang-orang di Papua Barat yang berjuang untuk kebebasan. "

Oditek Ap dari Free West papua Kampanye.

Pakar PBB: Pembangunan di Indonesia tidak boleh mengancam perumahan yang layak bagi kaum miskin

Written By Voice Of Baptist Papua on June 11, 2013 | 8:00 PM

UN Special Rapporteur on the right to adequate housing Raquel Rolnik. UN Photo/Ryan Brown
Geneva,-- 11 Juni 2013 - Indonesia harus memastikan bahwa pembangunan perkotaan dan ekonomi tidak menempatkan perumahan yang layak risiko untuk warga miskin, seorang ahli independen Bangsa Amerika menekankan hari ini, menambahkan bahwa pemerintah harus berjuang untuk kemajuan inklusif.
 
"Saya khawatir bahwa dalam beberapa kasus pembangunan memiliki dampak mundur tentang hak atas perumahan yang layak," kata Pelapor Khusus tentang perumahan yang layak , Raquel Rolnik, mengacu pada laporan penggusuran di daerah pedesaan dan perkotaan untuk membuat jalan bagi publik dan perkembangan pribadi.
 
Ms Rolnik menggarisbawahi bahwa penggusuran adalah pelanggaran berat hukum hak asasi manusia internasional. "Saya meminta pemerintah untuk memastikan bahwa undang-undang yang mengatur penggusuran ini sejalan dengan kewajiban HAM internasional Indonesia dan sepatutnya diterapkan pada lembaga negara dan pihak ketiga," katanya pada akhir kunjungan pertamanya ke negara itu.
 
"Lebih bisa dan harus dilakukan untuk memprioritaskan paling miskin segmen masyarakat dalam kebijakan dan program perumahan pemerintah."
 
Selama kunjungannya, Ms Rolnik memeriksa beberapa kebijakan perumahan dan program, beberapa menargetkan rumah tangga berpendapatan rendah. Sementara dia memuji keragaman program, yang meliputi peningkatan permukiman informal dan apartemen sewa berpenghasilan rendah, ia menyatakan keprihatinan bahwa Pemerintah saat ini berkonsentrasi pada upaya dan sumber daya pada kebijakan pembiayaan perumahan, yang dapat merusak akses ke perumahan yang terjangkau bagi miskin.
 
"Kebijakan pembiayaan perumahan secara inheren diskriminatif terhadap orang miskin - mereka yang tinggal di permukiman informal, bekerja di pasar informal dan petani skala kecil, yang mewakili sebagian besar masyarakat Indonesia, tetapi tidak dapat mengakses kredit formal dan karena itu tidak bisa mendapatkan keuntungan dari kebijakan tersebut, "dia memperingatkan , menambahkan bahwa kebijakan ini juga mempercepat lonjakan harga perumahan dan lahan.
 
Ms Rolnik mendesak pemerintah untuk merancang dan mengimplementasikan reformasi kebijakan pertanahan yang komprehensif untuk meningkatkan keamanan kepemilikan orang Indonesia dan mengatur dampak dari kekuatan pasar pada ketersediaan lahan dan keterjangkauan.
 
Dia juga menunjuk pada budaya organisasi kemasyarakatan yang kuat sebagai aset negara dapat digunakan untuk memanfaatkan kekuatan individu dan menerapkan strategi perumahan pro-kaum miskin nasional berdasarkan standar hak asasi manusia.
 
Selama kunjungannya 12 hari, Ms Rolnik bertemu pejabat senior pemerintah, lembaga donor, organisasi internasional, lembaga HAM nasional, lembaga keuangan, masyarakat sipil dan masyarakat di Jakarta, Makassar, Surabaya dan Yogyakarta.
 
Ahli independen, atau pelapor khusus, ditunjuk oleh Dewan HAM untuk memeriksa dan melaporkan kembali pada situasi negara atau tema hak asasi manusia tertentu. Mereka bekerja dalam kapasitas yang belum dibayar. Ms Rolnik dijadwalkan untuk menyajikan laporan terakhirnya di Indonesia pada Maret 2014.


Berita Tracker: cerita masa lalu tentang masalah ini 

Aktivis kemerdekaan Papua ingin jadi anggota MSG

Pemimpin kemerdekaan Papua mengatakan keanggotaan di Melanesia Spearhead Group akan menjadi terobosan besar.

Photo list abc
Sidney,- Aktivis Papua Merdeka, OPM di Vanuatu mengatakan keanggotaan di Melanesia Spearhead Group akan menjadi terobosan besar dalam perjuangan untuk kemerdekaan dari Indonesia.

Koalisi Nasional Papua Barat, KNPB untuk pembebasan Papua telah diundang ke acara puncak MSG mendatang di Noumea oleh kelompok politik Kanak adat Kaledonia Baru, FLNKS (Kanak Socialist Front for National Liberation).

Ini pertama kalinya aktivis papua merdeka  akan menghadiri perkumpulan negara negara Melanesia sebagai entitas independen.

Sebuah aplikasi telah diajukan untuk memberikan dan mendapat keanggotaan penuh.

Andy Ayamiseba, pelobi dari Papua kepada program Pasific Beat-Radio Australia mengatakan jika pengajuan ini berhasil, maka akan meningkatkan status kampanye kemerdekaan dari Indonesia.

"Dengan memiliki dukungan dari daerah langsung kita ... masyarakat internasional akan melihat bahwa, ya, memang benar daerah  di mana Papua Barat telah memberikan dukungan mereka," katanya.
 
 

5 Statement KNPB In Action Support MSG

Written By Voice Of Baptist Papua on June 10, 2013 | 7:22 PM

Polici baner KNPB
Jayapura SBPNews,-- Support action against MSG meeting and opening of Free West Papua in Port Moresby PNG runs in police and military pressure in Jayapura. Although next police dispersed and arrested three activists, however KNPB mandated National Parliament of Papua Barat (PNWP) continue the action to colonial Indonesian Parliament DPRP taken command and read Warpo Wetipo 5 West Papuan people's attitudes.
 
Here are 5 statement:
First, we need a nation of West Papua full support Melanesian brothers to restore the status of West Papua as an official membership MSG and supports the position of clump Melanesian countries to make West Papua MSG members.  
Second, we urge Heads of State-Melanesian country now revisiting Testament 1947 Canberra or Canberra Verdag clauses according Agreement formation of the South Pacific Canberra on 6 February 1947 was to establish a Commission of the South Pacific (South Pacific Commission).
Third, we menyeruhkan West Papua as a human rights monitoring zone and urged the United Nations to intervene immediately. 
Fourth, the Special Rapporteur urges the UN and the International Journalists right down to West Papua.  
Fifth, urgent and calls on all parties berkempeten immediately opened the democratic space as possible, stop the violence in West Papua and the right to self-determination as a democratic solution to the people of Papua.
 
Actions with similar claims are also made ​​in Sorong, Nabire, Yahokimo, Yalimo, and Timika. While in Yogyakarta, Bandung, Solo and performed by Papuan Students who are members of the Papua Student Alliance (AMP).

International Scrutiny Will Improve Indonesia’s Human Rights Activist

Written By Voice Of Baptist Papua on January 7, 2013 | 8:22 PM

By. Ronna Nirmala (JakartaGlobe)
 
Jakarta,-- Indonesia will pay more attention to human rights violations this year because the United Nations will assess the country’s commitment in protecting civil and political rights, the Human Rights Working Group has predicted.

Indonesia will show its commitment to protect human rights because the UN human rights committee will send three special rapporteurs to asses the freedom of expression, housing and health, the nongovernmental group said on Monday.

HRWG added that Indonesia this year will also play an important role in global politics, especially in the trade and economic sectors.

“Indonesia has the opportunity to become the chair of 2013 Asia Pacific Economic Cooperation during the trade policy review session in April 2013 in Geneva. And Indonesia has also stated its willingness to host the World Trade Organization’s ministerial conference in December 2013,” said Rafendi Djamin, executive director of HRWG.

Rafendi said that Indonesia could use the international forum to declare that it was a country that protects human rights and was a supporter of democracy. But the declaration should be supported by improving human rights at home.

“Indonesia plays a crucial role. Indonesia could lose the role if it fails to do its homework in strengthening democracy and protecting human rights. If it succeeds, it will strengthen Indonesia’s position in the international scene,” Rafendi said.

Rafendi hoped that Indonesia would implement human rights protection for its own sake and not just to create a positive international image.

“Various issues will be [scrutinized] in the human rights committee’s trial, such as political civil rights, religious freedom, judicial independence, the freedom to join an organization and the freedom of expression, and therefore the measures to improve them should be concrete,” he said.

Rafendi said that Indonesia’s APEC chairmanship and it hosting the WTO meeting showed that Indonesia plays an important role in the global economy.

He added that amid international recognition of its achievement in sustaining high economic growth, Indonesia should make efforts to reduce poverty and improve economic management, especially in the plantation and mining sectors, which significantly contributed to economic growth but were also a source of a significant amount of human rights violations.

U.N. Report Chastises U.S. for Status of Native Population

Written By Voice Of Baptist Papua on September 23, 2012 | 11:35 PM

By Carey L. Biron - Inter Press Service
 
UN
WASHINGTON, Sep 20 2012 (IPS) - A top United Nations official has presented the first ever international investigation into the situation of indigenous peoples in the United States, urging the adoption of new policies and mechanisms to “address persistent deep-seeded problems related to historical wrongs, failed policies of the past and continuing systemic barriers”.
Based on research in the United States this past spring, James Anaya, the U.N.’s special rapporteur on the rights of indigenous peoples, presented his final report to the U.N. Human Rights Council (UNHRC) in Geneva on Tuesday. The process marks the first time that the United States has allowed an external body to formally investigate and comment on the situation of its indigenous communities, a notably sensitive issue.
Speaking before the council, Anaya stated that indigenous communities in the United States (also referred to as American Indians) continue to “face significant challenges that are related to widespread historical wrongs, including broken treaties and acts of oppression, and misguided government policies, that today manifest themselves in various indicators of disadvantage and impediments to the exercise of their individual and collective rights.”
The U.S. mission to the UNHRC has offered a formal response to the concerns raised, highlighting several new and recent government initiatives and policy changes.
These include a three-percent increase – to 19.4 billion dollars – in President Barack Obama’s budget request for 2013 in funding earmarked for indigenous communities, as well as changes under the country’s newly expanded health insurance legislation that would include a 29-percent increase to the budget of the Indian Health Service over 2009 figures.
(By deadline, the U.S. Bureau of Indian Affairs did not respond to requests for comment on the report.)
Yet the special rapporteur cautioned that “existing federal programmes need to be improved upon and their execution made more effective.”
Indeed, the 310 tribal-overseen “reservations” in the United States, on which about half of the 4.5 million-strong Native American population lives today, are sites of some of the country’s most grinding poverty. Some reservations see 66-percent unemployment figures, while rates of alcoholism are five times that of the rest of the U.S. population.
According to the most recent U.S. census statistics, a quarter of all Native Americans live in poverty and nearly a third lack health insurance, suffering from several health problems at far higher rates than the rest of the country. According to 2003 data, fewer than half of Native American youths were expected to graduate from high school.
Such marginalisation has led to rights abuses that advocates say have yet to be addressed by either the U.S. government – or, some suggest, by Anaya’s report.
“Although the special rapporteur failed to recognise the growing problem of human and civil rights violations among the indigenous people of the United States, I am not surprised,” John Gomez, with the American Indian Rights and Resource Organization, told IPS. “To acknowledge that the problem exists, and that the United States has taken no action to protect the rights of the individuals being persecuted, would expose the hypocrisy of the U.S. government and the current administration.”
Gomez says that U.S. policies in addressing rights violations abroad versus within its own borders are contradictory. “The indigenous people of the United States,” he says, “deserve the same type of action taken by the United States government to deter or quash cruel and unusual punishment … on foreign soil.”
Centrality of land
Last week marked the fifth anniversary of the U.N.’s adoption of the Declaration on the Rights of Indigenous Peoples, which recognises a spectrum of indigenous peoples’ rights to self-determination and governments’ concurrent responsibilities. When it was passed, in mid-September 2007, the United States was one of only four countries, out of 143, to refuse to vote for its adoption.
In 2010, however, President Obama announced that the U.S. would reverse its position. At the time, the president stated that “few have been more marginalised and ignored by Washington for as long as Native Americans … While we cannot erase the scourges or broken promises of our past, we will move ahead together in writing a new, brighter chapter in our joint history.”
Anaya’s report underscores the continued relevance of the declaration, and calls on the United States to use it as “an important impetus and guide for improving on existing measures”.
Further, the special rapporteur appears to take some issue with President Obama’s suggestion that little can be done to address the past. In particular, he calls on the U.S. government to take a new look at how it deals with the issue of traditional lands.
In May, at the end of his research trip to the United States, Anaya create a brief public furore by calling for the U.S. government to hand back traditional lands that now include Mount Rushmore, an iconic national memorial comprised of the faces of four notable U.S. presidents carved out of a massive cliff face.
Anaya revisits the issue in his official report, calling the Black Hills an “emblematic case”. While the federal government has initiated some projects to restore control by indigenous peoples over their traditional lands, “My central recommendation … will be for there to be more of these kind of initiatives,” Anaya said in a short videoreleased last week.
The land issue has been fingered as one of the main reasons behind the U.S. government’s initial reluctance to back the Declaration on the Rights of Indigenous Peoples, which recognises indigenous peoples’ rights to traditional lands and resources and urges states to give indigenous communities “legal recognition and protection to these lands”.
Public’s responsibility
While much of Anaya’s report focuses on U.S. government actions, there has also been a significant cultural marginalisation of indigenous communities within U.S. society as well, a lesser-discussed factor that nonetheless has broad impact.
“Two of the biggest obstacles to change are the stereotypes and misconceptions that exist about history and why things are the way they are today,” Helen Oliff, with National Relief Charities, a group that focuses on poverty among U.S. indigenous communities, told IPS.
“The people are simply looking for a level playing field – they’re not looking for an easy life but for equitable opportunity. Importantly, the report echoes the voice of the American Indian people, and is representative of what we hear and see through our work in Indian country.”
Anaya, too, highlights the need for a broader understanding in the U.S. of the realities, both positive and negative, of its indigenous communities.
“What really is needed is greater awareness by the broader American public of the vibrancy and continuity of these peoples within the American social political fabric, and the contribution that indigenous peoples make,” he says. “The larger public, from what I’m seeing, is by and large ignorant about the presence of indigenous peoples … (and that) they face severe challenges.”
He continues: “With that awareness, people can take actions that are appropriate to their local circumstances.”

‘Don’t ignore West Papua’ appeal from human rights advocate

Written By Voice Of Baptist Papua on August 26, 2012 | 6:37 PM

Pacific Scoop:
Report – By the Pacific Media Centre news desk

A prominent Australian advocate on West Papuan human rights has appealed to the Pacific Islands Forum not to “ignore the issue as it has done in the past” at the leaders meeting in the Cook Islands this week.

Responding to a briefing to a Pacific Islands News Association (PINA) media briefing on the Forum yesterday by Secretary-General Tuiloma Neroni Slade that one of issues to be discussed would be regional security, Joe Collins of the Australia West Papua Association warned of current security issues in the Indonesian-ruled region.

“Although it is to be expected that RAMSI  (Regional Assistance Mission to Solomon Islands) and the situation in Fiji will be the top security issues of concern, we hope the PIF leaders will not ignore the issue of West Papua as it has in the past,” Collins said in Sydney.

2012 PIF logoCollins said a security operation was ongoing in the Paniai region of West Papua after a police officer was shot and killed.
Authorities had also imposed a curfew in the district.

The district police chief, Adj. Sr. Comr. Anton Diance, had reportedly said the police were tracking down those responsible for the killing, Collins said in a statement.
“Activists in Paniai have reported that during the security operation the police have raided homes and arbitrarily arrested innocent civilians,” he said.

‘Home torches’

“At least five homes were torched by police officers, the activists claimed, and at least 15 civilians were tortured.
“The police deny the claims, saying they are in pursuit [of the suspects] according to procedures,” Collins said.

According to the AWPA statement, the Coordinating Political, Legal, and Security Affairs Minister Djoko Suyanto said last week the government’s heavy-handed response to the recent shootings in Papua should not be misconstrued as a human rights violation, as it was a “risk that had to be taken in locating the perpetrators”.

“We will take all necessary action to track them down, so don’t blame us for any human rights violations, because they are the human rights violators who terrorise members of the security forces and the people of the land,” Djoko said at his ministry.

The comments were made after a coordination meeting with the National Intelligence Agency (BIN) chief Lt. Gen. Marciano Norman, National Police chief Gen. Timur Pradopo, and Indonesian Military (TNI) chief Adm. Agus Suhartono on Thursday.

Sweeping operations

“These statements are of concern as they imply the security forces can act with impunity in their sweeping operations,” said Collins, who was one of the leaders at a pro-West Papuan demonstration during the Forum in Auckland last year and at a regional conference on the issue.

He called on the PIF leaders to raise the human rights situation in West Papua with the Indonesian government and also to urge Indonesian President Susilo Bambang Yudhoyono to “control” his security forces in the territory.

“The West Papuan conflict should be of great concern to the Forum leaders and if it is ignored we will see increasing conflict in West Papua which in turn could affect the region,” he said.

Parlemen Nasional Memilih Benny Wenda Sebagai Koordinator Diplomasi Internasional

KNPBnews – Benny Wenda, Pemimpin Papua Merdeka di Kerajaan Inggris telah dipilih dan diputuskan  sebagai koordinator Diplomat Internasional pada 5 April 2012 lalu di Holandia melalui Konferensi  Parlemen Nasional West Papua yang dihadiri oleh anggota-anggota Parlemen dari 22 Parlemen Daerah di seluruh tanah West Papua.

Ketua PNWP didampingi 7 wakil Ketua dari 7 Fraksi

Keputusan tentang pentingnya penunjukan koordinator internasional menjadi pembahasan yang penting oleh ratusan anggota Parlemen yang bersidang sejak tanggal 3 hingga 5 April lalu. Sidang tersebut berlangsung cukup alot. Pasalnya, setiap perwakilan Parlemen dari masing-masing daerah harus konsen dan hati-hati karena merasa membawa mandat perjuangan dari daerah untuk diputuskan sebagai keputusan nasional dalam perjuangan Papua Merdeka.

Suasana Sidang Parlemen
Suasana Sidang Parlemen(dok/KNPB

Dalam sesi pembahasan dan penunjukan Koordinator Diplomat Internasional, Sidang yang dipimpin oleh Ronsumbre Harry itu secara demokratis membahas, memilih dan memutuskan Benny Wenda sebagai Pemimpin Papua Merdeka diluar negeri yang layak diberikan mandat oleh rakyat sebagai Koordinator Urusan International.

Benny Wenda dianggap memiliki kemampuan dan semangat kerja dalam mendorong kompanye dan jaringan diplomasi di luar negeri, selain diplomat lain yang juga memperjuangkan kemerdekaan Papua.
Benny Wenda juga dianggap sebagai salah satu pemimpin di Internasional yang berhasil menunjukan jalan menuju pembebasan melalui pembentukan International Parliamentarians for West Papua (IPWP) dan International Lawyers for West Papua (ILWP).

Peserta sidang konferensi (dok.KNPB)

Rakyat Papua melalui badan representatif yaitu Parlemen Daerah meyakini bahwa hak penentuan nasib sendiri dapat didorong melalui dukungan politik dari solidaritas Parlemen Internasional, juga secara legal, pengacara-pengacara internasional telah meyakinkan bahwa orang Papua secara hukum internasional memiliki hak untuk penentuan nasib sendiri.

“Saya pikir sporadisme perjuangan di Internasional menjadi faktor penghambat perjuangan di Internasional selama ini, rakyat melalui Parlemen Rakyat Daerah selaku lembaga pengambil keputusan resmi sudah memilih Koordinator Diplomat Internasional, dan saya yakin para diplomat kita di Internasional dapat terkoordinir dan mengatur perjuangan di Internasional dengan baik”, kata Ronsumbre Harry, disela-sela sidang Parlemen.

Hasil konferensi PRD dideklarikan pada tanggal 9 April 2012 secara terbuka, dihadiri oleh ribuan rakyat West Papua di lapangan They Eluay, Sentani. Sementara itu, mandat secara resmi telah dikeluarkan melalui Surat Kuasa kepada Benny Wenda di Oxford, Inggris.  [Sec. KNPB]

Foto-Foto Konferensi dan Peluncuran Parlemen Nasional West Papua

Pimpinan Parlemen saat deklarasi (dok KNPB)

Suasana Deklarasi Parlemen

CSWP Menyeruhkan Internasional Untuk beraksi atas konflik Papua Barat

Written By Voice Of Baptist Papua on June 9, 2012 | 7:36 AM

Siaran Pers: CSWP
Komunike dari Papua Barat Komite Solidaritas (CSWP) - Kanaky menyerukan masyarakat internasional untuk bereaksi untuk menghentikan pembunuhan di Papua Barat
CSWP ini meminta solidaritas di antara masyarakat Pasifik dan bangsa-bangsa Melanesia, melawan genosida terorganisir saat ini sedang berlangsung di Papua Barat.
Komite mencatat bahwa banyak saudara kita yang mengorbankan solidaritas ini penting di altar perjanjian perdagangan dengan negara-negara yang sangat yang bertanggung jawab atas genosida terhadap orang-orang yang adalah saudara kita sendiri.
WP Solidaritas Komite Kanaky mengutuk penangkapan oleh Kepolisian Vanuatu aktivis WP yang sah memprotes kedatangan piagam bahasa Indonesia di Vanuatu.
Pada demonstrasi pada hari Senin 4 Juni, yang diselenggarakan oleh KNPB di Jayapura, Papua Barat, pasukan keamanan menyerang demonstran dan tembakan ke kerumunan: tiga tewas, ratusan orang terluka, 43 * ditangkap.
Komite meminta masyarakat internasional untuk bereaksi untuk menghentikan pembunuhan. Komite meminta caleg [di Kanaky] mengutuk kebijakan Indonesia di Papua Barat.
Untuk Komite Rival Djawa
Sebagai pernyataan ini dikeluarkan, angka masih harus dikonfirmasi. Baru pelanggaran HAM berat yang terjadi sejak itu termasuk kebrutalan kotor dan kekerasan oleh tentara Indonesia dan polisi ketika mereka menyerang penduduk desa di Wamena (Papua) pada tanggal 6 Juni 2012. Tokoh belum dikonfirmasi adalah sebagai berikut: 13 orang ditembak mati, banyak luka-luka, sampai 500 rumah telah dibakar ke tanah oleh para prajurit. Penembakan lainnya di seluruh Papua Barat telah terjadi selama seminggu penuh.
Papua Barat Komite Solidaritas (Comité Papua Barat Solidarité atau CSWP) adalah solidaritas kelompok yang berbasis di Kanaky, didirikan pada Desember 2011, di bawah kepemimpinan Mr Djawa Rival, yang telah menganjurkan hak Barat Papua di wilayahnya selama lebih dari 30 tahun sekarang . Komite ini terdiri dari sejumlah organisasi di Kanaky yang ingin menggabungkan kekuatan untuk mematahkan dinding diam mengenai genosida berlangsung di Papua Barat.

More>>scoop.co.nz/news 

HAM di Papua Belum di Prioritaskan

Written By Voice Of Baptist Papua on April 21, 2012 | 9:02 AM

Kristina Neubaeur NETWORK ON WEST PAPUA (MUSA/JUBI)
JUBI --- Faith Based Network on West Papua (FBN) megaku hingga kini perlindungan hak asasi manusia di tanah Papua belum menjadi prioritas bagi Pemerintah Indonesia. Perlindungan HAM di Papua juga belum di jamin
 
Hal ini disampaikan Kristina Neubaeur dari Faith Based Network on West Papua (FBN) saat membacakan laporan peluncuran international ‘Hak Asasi Manusia’ di Papua tahun 2010-2011 di Aula P3W Padang Bulan di Abepura, Jayapura, Papua, Sabtu (21/4). Kristina mengaku, Faith Based Network on West Papua (FBN), Franciscan International, Papua Land of Peace dan Asian Human Right Commission sudah meluncurkan laporan tersebut dalam bahasa inggris pada 2 November 2011 di Genewa, Swiss Judul asli dalam laporan berbahasa inggris adalah Untuk peluncuran laporan HAM internasional di Genewa, Kedutaan Besar Republik Indonesia di PBB juga di undang hadir.

Laporan HAM Papua 2010 – 2011 Diluncurkan

Suasa Acara peluncuran
JUBI --- Tiga lembaga asing, masing-masing Faith Based Network on West Papua (FBN), Franciscan International, Papua Land of Peace dan Asian Human Right Commission meluncurkan laporan international tentang hak asasi manusia di Papua sepanjang tahun 2010 – 2011. Laporan tersebut berbentuk buku

Buku laporan International tentang HAM di Papua sepanjang 2010 – 2011 setebal 63 halaman itu di luncurkan di Aula P3W Padang Bulan, Abepura, Jayapura, Papua, Sabtu (21/4) . Laporan itu mengulas panjang lebar soal kondisi hak asasi manusia di wilayah paling timur ini. Diantaranya, kewajiban hak asasi manusia Indonesia, hak-hak sipil dan politik, hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya, kelompok-kelompok rawan serta sektor keamanan dan hak asasi manusia di Papua. Laporan ini mengulas panjang lebar soal sejumlah kasus pelanggaran yang terjadi di Papua selama tahun 2010 – 2011.

Papua Sejak Dulu Sudah Persoalan Internasional

Written By Voice Of Baptist Papua on March 28, 2012 | 7:35 PM

Rev. Socratez Sofyan Yoman (foto Dok)
*Oleh: Socratez Sofyan Yoman

Cendikiawan ternama dan juga peneliti LIPI terkemuka, Dr. Ikrar Nusa Bhakti mengakui: “Bahwa sejak dulu hingga kini, persoalan Irian Jaya (sekarang: Papua) bukan hanya persoalan antara Indonesia dan penduduk Papua, melainkan juga persoalan yang menyangkut dunia internasional. Ia bukan hanya mengaitkan hubungan antar masyarakat, antara masyarakat dan pemerintah, antara pemerintah dan pemerintah, tetapi juga antara gereja” (Yoman: Integrasi Belum Selesai, 2010, hal. 85; dan Otonomi, Pemekaran dan Merdeka (OPM), 2010, hal. 98, dan Opini: Pasific Post, Kamis, 9 Juni 2011, dan Bintang Papua, Jumat, 10 Juni 2001, hal.5.)
 
Pada waktu Papua diintegrasikan (dianeksasi)  secara paksa dengan moncong senjata dan proses kepalsuan serta kebohongan publik dalam sejarah PEPERA 1969  ke dalam wilayah Indonesia demi kepentingan ekonomi, politik dan keamanan, dunia internasional terlibat langsung dalam persoalan Papua (West Papua). Amerika Serikat, Belanda, dan PBB telah terlibat dalam persoalan Papua. Itu fakta sejarah yang sulit kita abaikan.

KNPB UmumKan Hasil Peluncuran IPWP Region Australi – Pasifik di Cambera

Written By Voice Of Baptist Papua on March 7, 2012 | 11:24 PM



Numbay SBP, Perjuangan bangsa papua untuk menentukan nasib sendiri bagi bangsa papua terus berjalan, hal ini dibuktikan dengan berbagai dukungan poltik luar negeri yang begutu mengembar di berbagai daerah belahan dunia.
Pantauan SBP, Dalam aksi pangung terbuka ini di hadiri oleh belasan ribu rakya papua sebagai bukti dukungan atas hasil eluncuran parlemen di cambera australi.
Aksi yang sama berlangsung di berbagai kabupupaten laninnya, Dalam orasi politik sebagai penangunggung jawab dalam negeri Ketua  Komiten Nasional papua Barat (KNPB) oleh Bucthar J. Tabuni menyampaikan bahwa Perjuangan bangsa papua sudah memenuhi jalur legal internasioanla. IPWP sebagai lembaga politik legal sudah terbentuk di pelahan dunia.
Pertama kali tahun 2008 terbentuk di eropa London yang di motori oleh Andrew Smit bersama perlemen di inggris raya. Lembaga politik ini bekerja dengan konsekuen danfokus serta  terbentuk di beberapa benua seperti di eropa, Afrika - senegal, Amerika lain, Australi –pasifik dan kita tunggu dua negara besar yaitu Belanda dan Amerika dan akan di lucurka dalam waktu sesingkat-singkatnya.
Dalam orasinya poltikny berjanji bahwa saya dan KBPB berada posisi paling terdepan untuk memediasi rakyat papua untuk mewujudkan misi penentuan basib sendiri (Referendum), sayalah jenderal barisan paling terdepan untuk membawa rakyat papua dari penjajahan imperialis NKRI, apapun resikonya kami brsama KNPB selalu ada dan berdiri barisan terdepan untuk menghakiri perjuangan ini.
Di tempat yang sama Sebby sambon  menyampaikan bebrapa latar belakang perjuangan rakyat papua, dia menambahkan bahwa resolusi PBB tentang penentuan nasib sendiri sebagai suatu bangsa belum cabut, rakyat papua punya kesempatan yang sama untuk menentukan nasib sendiri sebagai bangsa yang berdaulat.
Ada Empat polin Resolusi Peluncuran Parlement Internasional For West Papua (IPWP) region Australia pasifik yang di bacakan oleh ketua KNPB Bucthar Tabuni yaitu.

1.       Parlement Australi akan mendesak Pemerintah Australia untuk menhentikan bantuan militer bagi Indonesia.
2.       Parlement Australia dan pasifik Mendesak pemerintah untuk membebaskan tahanan politik seluruh papua tanpa syarat.
3.       Parlemet australia – pasifik mendesak pemerintah untuk membuka akses pekerja kemanusiaan dan media idenpenden untuk mengawasi dan menyelidiki kasus pelanggaran HAM di papua.
4.       Parlemen australia – pasifik mengajak seluruh arlement dan pemerintah Australi – Pasifik untuk besama – sama mendorong keinginan rakyat papua untuk menentukan nasib sendiri melalui jalur REFERENDUM.

Empat resolusi ini menjadi kerja fokus dan konsekuen bagi parlemen taustrali pasifik  untuk mendorong agar hak politik rakyat papua barat harus di tentukan oleh rakyat papua sendiri melalui jalur referendum.
Dalam aksi pangung terbuka ini di backup oleh aparat gabungan TNI/POLRI untuk menjaga keamanan agar tidak terjadi hal-hal yang merugikan orang lain.
Dalam sela-sela aksi ini Kapolres jayapura menyampaikan bahwa aparat sebagai keamanan harus mempunyai tanggung jawab untuk untuk menjaga hak dan demokrasi rakyat papua untuk menyampaikan hak pendapatnya. Kami hanya menjaga agar tidak terjadi hal-hal yang merugikan orang lain.
Dari akhir kegiatan enyampaian haisl Peluncuran Parlement Internasional Untuk papua barat dengan intruksi KNPB masa pendukung KNPB pulang dengan tertip dan aman. (Voc*).







Herman Awom Minta DGD Buka File GKI Tentang Perjuangan Papua

Written By Voice Of Baptist Papua on March 4, 2012 | 11:05 AM


Moderator Presidium Dewan Papua (PDP),
Pdt. Herman Awom

TabloidJUBI – Moderator Presidium Dewan Papua (PDP), Pdt. Herman Awom berharap Dewan Gereja Sedunia (DGD) untuk membuka kembali file-file tentang perjuangan Papua  yang pernah diangkat untuk dibicarakan dalam agenda internasional. Karena selama ini di Papua terjadi pembiaran sehingga umat di tanah Papua bingung karena gereja sebagai tempat umat percaya menjadi ambivalen untuk politik Jakarta.
Pdt. Herman Awom yang pernah menjabat sebagai Wakil Ketua Sinode GKI Di Tanah Papua menegaskan hal itu dihadapan Ketua Umum Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), Pdt. Dr. Andreas Yawanggoe dan Presiden Dewan Gereja Sedunia (DGD), Pdt. Dr. SAE. Nababan yang sengaja hadir di Papua untuk membangun persepsi bersama, karena ada kecenderungan ada upaya untuk mempolarisasi Gereja-Gereja di Tanah Papua.

Amnesty Internasional menyambut, Komitmen SBY pada akuntabilitas di Papua


Presiden Indonesia
Amnesty International menyambut baik pengakuan oleh Presiden Indonesia SusiloBambang Yudhoyono bahwa pasukan keamanan telah melakukan pelanggaran HAM di wilayah Papua.
Kasus HAM Paua (ils)

Presiden mengatakan lebih lanjut bahwa dia ingin mengakhiri tindakan represif oleh militer dan polisi di Papua.

Di balik kata-katanya ke dalam tindakan, Presiden harus memastikan bahwa semua penyelidikan pelanggaran HAM oleh aparat keamanan dilakukan secara menyeluruh, independen dan imparsial. Ini harus mencakup penyelidikan dan penuntutan pelanggaran HAM masa lalu. Tersangka harus dituntut dalam proses yang memenuhi standar keadilan internasional dan korban harus diberikan reparasi.

JULIAN ASSANGE'S HOMEGROWN HARDNOSED LAWYER JENNIFER ROBINSON

Written By Voice Of Baptist Papua on March 3, 2012 | 8:08 AM


Legal adviser for WikiLeaks founder Julian Assange, Jennifer Robinson is back at Sydney University to lecture in public interest law for a few months. Picture: Renee Nowytarger 
AS we approached the group of Oxford graduates milling outside the ersatz grandeur of St Paul's college dining hall, the chatter subsided a little.
All eyes were on my companion, Jennifer Robinson. She always had a habit of making an impact. But from our days at Balliol College I never expected her to attain international legal stardom, at least not so quickly.

Czech journalist detained, deported from Indonesia

Written By Voice Of Baptist Papua on February 19, 2012 | 5:53 AM

A Czech journalist was arrested last week for photographing an independence rally in Papua like this one in August 2011. (AFP/Banjir Ambarita)
A Czech journalist was arrested last week for photographing an independence rally in Papua like this one in August 2011. (AFP/Banjir Ambarita)

Bangkok, February 14, 2012--Indonesian authorities detained a Czech journalist on Wednesday, then deported him for reporting without official permission from a restricted area of the country, according to news reports.
Petr Zamecnik was arrested in the West Papuan town of Manokwari after photographing an independence rally in Papua, according to news reports. West Papua and Papua provinces are home to an ongoing insurgency against Indonesian rule.

Kekerasan, Protes Underscore Gerakan Kemerdekaan Papua


Para kematian sedikitnya 21 orang dalam insiden kekerasan terpisah di Papua telah kembali perhatian pada konflik yang sedang berlangsung bahwa provinsi paling timur mar Indonesia.

Lebih dari 2.000 pendukung kemerdekaan berunjuk rasa di Indonesia yang terpencil propinsi Papua, Selasa menyusul kekerasan politik yang menewaskan sedikitnya 21 orang.
Di ibukota, Jayapura, demonstran berbaris polisi bersenjata berat masa lalu untuk mendukung referendum mengenai kemerdekaan dan melepaskan sebuah 1969 yang didukung PBB suara yang membawa Papua di bawah kontrol Indonesia. Banyak rakyat Papua menganggap bahwa suara palsu karena hanya sekitar 1.000 orang berpartisipasi, paling bawah intimidasi.

Andreas Harsono, seorang peneliti untuk Human Rights Watch, menjelaskan mengapa penduduk asli Papua merasa referendum itu tidak sah.

Ancaman PM PNG Menyasar Papua ?

Written By Voice Of Baptist Papua on January 11, 2012 | 1:33 AM

Oleh: Jaka Setiawan
Ancaman Perdana Menteri (PM) Papua New Guinea (PNG) John O’Neill yang akan mengusir Dubes RI dari Port Moresby dan akan membekukan semua hubungan diplomatik dengan Indonesia, dinilai banyak pihak sangat berlebihan. Reaksi PM O’Neill yang berlebihan itu muncul terkait dengan insiden di wilayah udara Indonesia pada 29 November 2011, saat TNI AU mengirim pesawat tempur untuk membayang-bayangi pesawat Falcon F900 yang menerbangkan Wakil PM PNG, Belden Namah karena telah memasuki wilayah udara Indonesia.

Ancaman John O’Neill, “bak petir di siang bolong” itu yang kemudian ditanggapi oleh Kementerian Pertahanan (Kemenhan) dengan menyebut Australia terlibat memanas-manasi pengusiran duta besar Indonesia di Papua Nugini. Pernyataan Kemenhan tesebut berangkat dari pemberitaan Radio ABC Australia yang melaporkan pertama kali, bahwa militer Indonesia memang sengaja melacak pesawat tersebut. Apakah angin permusuhan yang dilontarkan PNG ada kaitannya dengan kondisi Papua yang belakangan tidak stabil. Atau Australia sengaja menggunakan PNG sebagai alat diplomasi dan politik untuk memisahkan Papua dari NKRI.

Twitt VBPapua

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. SBP-News @VBaptistPapua - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger