JAYAPURA - Aktivis LSM yang biasa mengadvokasi kasus-kasus makar di Papua, Johanis Maturbongs mengajurkan agar pasal-pasal makar perlu dipertimbangkan atau direvisi kembali isinya, sebab jika pasal-pasal makar tersebut dikenakan, maka orang-orang yang melakukan unjuk rasa atau aksi yang mengkritis pemerintah, terutama aksi yang bersifat menuntut kebebasan dalam hal demokrasi dan Hak Asasi Manusia (HAM) juga bisa dianggap makar. SOURCE
Menurut Maturbongs, menyampaikan aspirasi dalam ruang demokrasi sangat penting, karena setiap manusia mempunyai hak untuk menyampaiakan pendapat di muka umum.
"Menyampaikan pendapat atau aspirasi di muka umum merupakan bagian yang tak di terpisahkan dari hak-hak politik yang mendasar," ujarnya ketika menjadi panelis dalam dalam peluncuran dan bedah buku International Parliamentarian For West Papua (IPWP) dan Peradilan Makar, buku yang ditulis oleh Sendius Wonda dan Markus Haluk, di aula Sekolah Tinggi Theologia IZ. Kijne Abepura, Senin (1/11).
Dikatakan, dari berbagai kasus yang pernah ditanganinya, para aktivis yang menutut demokrasi, kesamaan dalam hukum, menuntut keadilan dari negara bahkan masyarakat sipil pun tidak tahu menahu dalam berbagai aksi protes terhadap negara atau pemerintah itu kemudian ditetapkan sebagai tersangka dengan dikenakan pasal makar.
Ia mencontohkan, seperti kasus Buchtar Tabuni, Sebbi Sambom, Philep Karma dan beberapa tersangka lainnya yang hanya menggelar ujuk rasa dengan membawa spanduk yang bertulisakan protes yang sifatnya aspirasi hak politik, langsung dikenakan sebagai tersangka dan dijerat dengan pasal makar, padahal mereka sedang menyampaikan aspirasi politik.
"Penyidik maupun jaksa perlu mencermati lagi apa isi pasal makar yang tercantum dalam KUHP karena pasal makar yang tercantum tersebut merupakan bawaan dari hukum belanda yang dipakai pada saat menjajah di Indonesia. Pasal makar waktu itu hanya dikenakan bagi para pejuang yang melakukan aksi melawan penjajah," katanya.
Setiap putusan hukuman makar ini juga selalu menunggu amar putusan dari Kejaksaan Agung, padahal Kejaksaan Agung tidak tahu menahu apa sebenarnya yang disampaikan oleh para tersangka ini yang terkait dengan apsirasi hak politik mereka.
Dalam diktum (a) Undang-udanng no. 9 tahun 1998 disebutkan bahwa menyampaikan pendapat di muka umum adalah hak asasi manusia yang dijamin dalam undang-undang dasar (UUD) 1945 dan deklarasi universal hak asasi manusia.
"Hal ini sudah tercantum sangat jelas, tetapi apabila ada aspirasi politik, hak yang sifatnya hak asasi manusia ini dikenakan pasal makar lagi. Hal seperti ini sangat dilematis dan sangat membunuh karakter setiap warga negara di negara Indonesia," ujarnya lagi.
Dalam peluncuran buku ini, juga dihadiri oleh para akademisi, LSM, praktisi hukum, anggota legislatitif. Pada kesempatan ini Johanis Maturbongs mengharapkan kepada Kakanwil Hukum dan HAM Papua, Nazarudin Bunas,SH,MH dan juga Ketua Komisi A DPR Papua, Ruben Magai, S.IP yang turut hadir mengikuti kegiatan peluncuran buku tersebut agar bisa memberikan masukan kepada kepala Kejaksaan Tinggi Papua, kepada Mahkamah Agung agar melihat masalah ini lebih cermat lagi.
Sementara itu, penulis buku IPWP dan Peradilan Makar, Markus Haluk mengatakan, buku yang ditulisnya bersama Sendius Wonda merupakan catatan ungkapan langsung dari para tersangka kasus makar, dan juga beberapa pengalaman hidup yang dialami oleh mereka dan beberapa orang masyarakat Papua lainnya yang mengalami stigma pasal makar.
Pada kesempatan ini juga dilakukan siaran pers oleh beberapa aktivis HAM, seperti, Mako Tabuni, Sebby Sambom, menghimbau kepada masyarakat Papua agar berkabung menyambut kedatangan Presiden Amerika Serikat, Barac Obama ke Indonesia yang rencananya dilakukan pada 9-10 November mendatang.(ben/fud)
0 Komentar Anda:
Post a Comment
Your Comment Here