SUARA BAPTIS PAPUA

Dukung Aksi Perdamaian Atas Kekerasan di Papua Barat.
Jika Anda Peduli atas kemanusiaan Kaum tertindas di Papua barat Mohon Suport di sini:

Please donate to the Free West Papua Campaign U.K.
Kontribusi anda akan kami melihat ada perubahan terhadap cita-cita rakyat papua barat demi kebebasan dan kemerdekaannya.
Peace ( by Voice of Baptist Papua)

Home » , , » Pemberontakan PKI di Madiun dan asal-usul masalah Papua

Pemberontakan PKI di Madiun dan asal-usul masalah Papua

Written By Voice Of Baptist Papua on March 7, 2011 | 9:07 PM

Ketika Belanda menyerahkan kedaulatan Indonesia pada tanggal 27 Desember 1949, masalah Papua masih menggantung. Belanda yang sepenuhnya mengakui kedaulatan Indonesia, ternyata tidak mau meninggalkan Irian.
Salah satu sebabnya, karena dalam parlemen Belanda tidak ada mayoritas dua pertiga yang diperlukan untuk mengubah UUD Belanda. Karena itu Papua dijadikan pengikat, supaya mayoritas dua pertiga itu bisa dicapai.
Herman Burgers adalah warga Belanda yang menulis buku tentang sejarah kemerdekaan Indonesia yang baginya merupakan perpisahan dua bangsa. Buku berjudul De Garoeda en De Ooievaar (Garuda dan Burung Bangau) dan antara lain menguraikan asal usul masalah Papua. Pertama-tama Herman Burgers menjelaskan latar belakang minatnya pada Indonesia.

Ogah baca? Dengar/unduh versi audionya dengan mengklik ujung tanda panah berikut:
Unduh

Luka tak sembuh
Herman Burgers yang sudah berusia 87 tahun itu bangga atas bukunya yang disebut terperinci dan menyangkut banyak hal. Buku itu dua kali lebih tebal ketimbang buku profesor Wim van den Doel dengan topik yang sama. Tapi isi bukunya juga lebih banyak. Yang dianggapnya penting ketika menulis buku ini adalah bahwa antara tahun 1950 dan tahun 2000 begitu banyak hal-hal khusus yang dibuka tentang sejarah itu. Banyak penelitian dilakukan oleh para peneliti Amerika, Inggris dan Australia. Kemudian juga banyak memorandum internal yang dibuka. Yang diinginkannya adalah menulis buku terakhir yang memasukkan perkembangan terakhir itu. "Saya rasa saya berhasil, tapi buku saya memang tebal," demikian Herman Burgers.
Pada kata pengantar bukunya, Herman menyatakan ingin menulis buku seperti buku klasik tentang kemerdekaan Indonesia karya George Kahin tapi ditambah dengan sisi Belandanya. Selain itu juga buku karya penulis Belanda C. Smit, tapi ditambah dengan segi Indonesianya. Ujarnya, soal kemerdekaan Indonesia melibatkan dua pihak. "Bagi saya hubungan yang ada antara Belanda dengan Indonesia sangatlah penting. Kenyataan bahwa Belanda sampai berpisah dari Indonesia menurut saya benar-benar menyakitkan."
Herman Burgers dibesarkan dalam generasi yang belajar bahwa Indonesia itu satu dengan Belanda. Minatnya pada Indonesia lebih dari sekedar minat kepada negara lain. Sekarang, bagi orang Belanda Indonesia cuma merupakan tujuan wisata. Mereka hanya sedikit tahu kaitan kedua negara. "Itu tidak enak bagi saya. Rasanya seperti luka yang tidak pernah sembuh. Bagi saya ini adalah pengalaman yang traumatis. Belanda dan Hindia Belanda merupakan persatuan, sekarang benar-benar pisah. Tidak enak."
Di lain pihak, Herman juga sepenuhnya mengerti kenapa Indonesia harus berpisah dari Belanda. Dari awal, emosi memang begitu besar di Belanda, pada tahun-tahun 1946-1947. Dia ingin menulis buku yang isinya semua yang sudah terungkap pada abad 21 ini.
Pada akhir tahun 1940 Herman Burgers dikirim ke Indonesia. Itukah awal minat yang begitu besar pada Indonesia? "Justru itu malah memperbesar minat saya pada Indonesia," demikian tukasnya . Minat itu selalu ada sejak awal mula. Sebagai masih anak-anak dia selalu berharap bisa melawat ke Indonesia. Ketika ikut wajib militer ia senang sekali dikirim ke Hindia Belanda yang kemudian berubah menjadi Indonesia. Saa-saat yang menggembirakan dialaminya ketika tiba di Tanjung Priok.
"Saya tiba di sana pada bulan September 1948." Hampir dua tahun sebelumnya, November 1946 sudah dicapai persetujuan Linggarjati. Sejak itu sudah pasti bahwa Indonesia akan menjadi negara merdeka. Perjanjian Linggarjati masih harus diratifikasi oleh Parlemen Belanda, tetapi kemerdekaan Indonesia sudah pasti, tidak perlu diragukan lagi. Yang ingin diketahui orang masih bagaimana persisnya. Dan tentu saja Belanda masih berupaya menancapkan pengaruhnya. Tetapi sudah pasti kemerdekaan Indonesia akan diakui.
Sebagai seorang prajurit Belanda, Herman Burgers mengaku tugasnya lebih mudah. Dia datang sebagai pegawai kantor. Sebelum ke Indonesia, dia bekerja di kantor krijgsraad , pengadilan militer, di Arnhem, Belanda timur. Dan dia dikirim ke Indonesia untuk bekerja di kantor krijgsraad di Batavia. Itu bukan mengangkat senjata, tetapi di balik meja.
Herman Burgers bertutur bahwa masalah kemerdekaan Indonesia memang sangat memecah belah Belanda. Banyak kalangan tidak ingin melepas Indonesia dan mereka berbuat apa saja supaya Indonesia tetap merupakan bagian Belanda. Tapi juga banyak yang ingin melihat Indonesia merdeka.
Peran dua orang
Tanggal 2 Februari 1946, waktu itu kemerdekaan Indonesia masih beberapa bulan, belum lagi setengah tahun, di Amsterdam berlangsung pertemuan akbar dengan semboyan, "jangan sampai ada perang rakyat lawan rakyat, tetapi perundingan." Pertemuan ini juga bisa dibaca pada buku Herman Burgers yang berjudulDe Garoeda en de ooievaar, Garuda dan burung bangau.
Beberapa orang tampil berbicara, salah satunya adalah Eveline Poetiray, seorang aktivis Indonesia. "Sampai sekarang masih saya dengar suaranya," tutur Herman, apalagi ketika Eveline berseru, 'orang Belanda, bersediakah kalian menyaksikan Indonesia yang merdeka?' Lalu puluhan ribu hadirin, termasuk Herman, berteriak, ya!
"Saya senang bisa hadir pada pertemuan itu," tutur Herman dengan bangganya. Ketika bukunya selesai, ia serahkan dua eksemplar pada dua orang yang ikut berperan pada saat-saat itu dan keduanya masih hidup. Salah satunya adalah Ibu Sianturi yang dulu bernama Eveline Poetiray. Dia sekarang berusia 90 tahun, hidup di Jakarta. Tokoh kedua adalah Piet Sanders, dia pernah menjabat sekretaris salah satu komisi yang mencapai kesepakatan dengan Indonesia. Dia mundur pada bulan Juli 1947 karena memprotes agresi militer pertama Belanda. Dia juga menerima eksemplar pertama buku tulisan Herman Burgers.
Mayoritas dua pertiga
Konflik Belanda Indonesia berakhir dengan penyerahan kedaulatan pada tanggal 27 Desember 1949. Indonesia berdaulat, kecuali di Papua. Irian waktu itu masih dipegang erat oleh Belanda. "Kenapa, kenapa?" Herman bertanya dengan suara keras. "Itu karena pemberontakan Madiun, tapi tidak akan bisa dibaca pada buku lain, kecuali buku saya," katanya lagi. Apa yang terjadi? Menurut UU Belanda, dibutuhkan dua pertiga anggota Majelis Tinggi untuk melakukan perubahan wilayah kerajaan Belanda, dalam arti melepas Indonesia. Partai katolik KVP dan partai sosial demokrat PvdA bersama-sama partai komunis CPN menguasai dua pertiga kursi parlemen. Jadi tidak ada masalah.
Tapi kemudian pecah pemberontakan Madiun pada bulan September 1948. Waktu itu partai komunis CPN dan Moskow mencabut dukungan terhadap Soekarno Hatta. Keduanya dianggap kaki tangan Amerika yang kapitalis. Jadi kalangan komunis tidak bersedia melepas Indonesia. Maka dua partai yang berkoalisi, yaitu partai katolik KVP dan partai sosial demokrat PvdA kehilangan mayoritas dua pertiga anggota majelis tinggi. Lalu dicari cara untuk bisa mewujudkan mayoritas dua pertiga anggota parlemen. Salah satunya adalah hal yang omong kosong, tidak melepas Papua, tapi mengakui kemerdekaan Indonesia.
Pada piagam penyerahan kedaulatan sebenarnya tertera masalah Papua ini, tapi tetera dengan aneh. Pada ayat satu piagam itu tertera bahwa Belanda menyerahkan kedaulatan kepada Indonesia secara keseluruhan dan tanpa syarat. Ayat kedua berbunyi bahwa selama setahun status quo Papua akan dipertahankan. Sambil menunggu penyelesaian masalah wilayah itu.
Oleh pemerintah dan sebagian besar anggota parlemen Belanda hal ini selalu dijelaskan sebagai status quo yang tidak berubah dalam penyerahan kedaulatan. Tetapi ini jelas bisa dilawan. "Penjelasan saya adalah kedaulatan sudah diserahkan. Dan status quo bisa berarti apa saja tapi tidak bisa melanggar kedaulatan," demikian Herman Burgers dengan tegas.
Bersikap licik
Kalau begitu bagaimana status Papua pada saat itu? Dua juru runding utama Indonesia pada Konperensi Meja Bundar yaitu Hatta dan Anak Agung Gede Agung, yang satu adalah wakil presiden dan perdana menteri Indonesia yang lain adalah perdana menteri Indonesia Timur, keduanya juga harus memperoleh persetujuan pada parlemen-parlemen mereka, dalam bentuk mayoritas, bagi penyerahan kedaulatan itu.
Keduanya menyatakan, Hatta di Yogyakarta dan Anak Agung di Makassar, bahwa status quo di Papua itu hanya berarti roda pemerintahan yang masih berada di tangan Belanda, bukan kedaulatannya. Demikian penjelasan mereka menjelang penyerahan kedualatan. "Kalau membandingkan penjelasan Indonesia dengan penjelasan Belanda, maka bisa disimpulkan pemerintah Belanda bersikap licik dengan mengatakan bahwa kedaulatan Papua tetap berada di tangan Belanda. Pendirian semacam itu tidak saya ikuti", demikian tegas Herman lagi.
Menurutnya kedaulatan Indonesia juga berlaku di Papua. Tetapi sudah sejak tahun 1950, salah seorang menteri Belanda, Stikkers, mengusulkan supaya kesepakatan ini diuji oleh hakim. Seharusnya itu dilakukan, sayang Presiden Soekarno tidak setuju. Mengapa? "Dia adalah seorang insinyur, dia tidak bisa mengikuti semuanya, tidak juga tidak yakin bagaimana bisa diputuskan oleh hakim," kata Burgers.
Jadi, Indonesia tidak pernah menyerahkan masalah ini kepada pengadilan. Menurut Herman Burgers, ini karena Soekarno tidak yakin. Dia bukan seorang yuris sehingga tidak yakin bagaimana hasilnya. Apalagi karena orang Belanda terus berkoar-koar bahwa Papua tetap di tangan Belanda. Selain itu, bisa juga karena Soekarno lebih ingin menantang perang Belanda katimbang terus-terusan berunding. Ini bisa juga.
Jadi bagaimana kita menyebut aksi Belanda saat itu? Pendudukan Papua? "Ya, itu bisa disebut pendudukan, terjadi kalau sebuah negara menduduki wilayah negara lain dan negara lain itu tidak setuju," tegas Herman Burgers. Pemerintah Indonesia pada bulan Desember 1950 menyatakan Belanda tidak boleh terus berada di Papua. Sejak 27 Desember 1950, setahun setelah penyerahan kedaulatan, kehadiran Belanda di Papua tidak lagi dengan persetujuan Indonesia. Karena jelas Indonesia sudah merupakan negara berdaulat yang juga diakui Belanda, maka kehadiran Belanda di Papua itu ilegal.
Gangguan jiwa
Belanda berada di Papua sampai 1963, mengapa Belanda begitu kukuh mempertahankan Papua? Herman Burgers mengaku bukan satu-satunya yang berpendapat bahwa semua ini harus dijelaskan dalam istilah-istilah psikologis bahkan istilah-istilah gangguan jiwa. Hilangnya Indonesia bagi banyak orang Belanda merupakan pengalaman yang sangat traumatis. Itu bisa dikatakan sebagai amputasi, dan Herman Burgers juga ikut merasakannya sebagai amputasi. Ada memang orang Belanda yang tidak kesulitan tapi banyak yang menyesalkannya.
Itulah yang menyebabkan reaksi seperti orang sakit jiwa ini. Tentu saja masih ada beberapa faktor lain. Suasana hubungan Indonesia Belanda selama tahun 1950 menjadi sangat buruk, karena hal-hal lain. Kedua pihak saling bermusuhan. Dan itu memburuk, jadi Papua adalah salah satu faktornya. Semakin buruk hubungan itu, semakin Belanda bertahan pada omong kosong ini. Dan korbannya adalah orang Papua.
Nantikan kelanjutan wawancara dengan Herman Burgers, pakar hukum Belanda yang menulis buku tentang kemerdekaan Indonesia. Pada bagian berikut bisa diikuti pelbagai macam tipu muslihat Belanda supaya bisa bertahan terus di Papua.
Share this article :

0 Komentar Anda:

Post a Comment

Your Comment Here

Twitt VBPapua

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. SBP-News @VBaptistPapua - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger