Pesakitan Politik Papua
Latar Belakang
Provinsi Papua dan Papua Barat (di sini secara bersama disebut “Papua”) menempati setengah bagian barat dari Pulau New Guinea. Tidak seperti bagian lain dari Indonesia yang mendapat kemerdekaan pada 1945, Papua masih di bawah administrasi Kerajaan Belanda hingga 1960-an.Pada 1 Desember 1961, Papua Raad, sebuah lembaga yang disponsori pemerintah kolonial Belanda, menyatakan masyarakat Papua siap mendirikan sebuah negara berdaulat, dan mengibarkan bendera nasional baru yang dinamakan Bintang Kejora.
Presiden Sukarno berpendapat Papua harus menjadi bagian dari Indonesia dan menuduh Kerajaan Belanda berusaha menciptakan “negara boneka” di depan pintu Indonesia. Pada 1962, Sukarno memerintah pasukan Indonesia untuk menyerbu Papua. Pemerintah Amerika Serikat turun tangan dalam proses diplomasi. Setelah negosiasi, Indonesia dan Belanda pun setuju menunjuk PBB mengadakan sebuah referendum bagi Papua. Penentuan Pendapat Rakyat, yang disponsori PBB ini berlangsung pada 1969. Ia hanya diwakili 1,054 warga Papua yang sebelumnya ditentukan pemerintah Indonesia. Mereka bulat-bulat memilih integrasi dengan Indonesia. Banyak penduduk Papua memandang “Penentuan Pendapat Rakyat” ini merupakan manipulasi bagi Indonesia menduduki Papua.[28]
Selama lima dekade terakhir, dukungan untuk merdeka kian menyebar, ketidaksukaan terhadap pemerintah Indonesia makin hari makin menyebar, orang Papua kehilangan tanah-tanah adat bagi proyek-proyek pembangunan, dan gelombang para pendatang dari daerah-daerah di seluruh Indonesia meningkat. Dukungan itu dalam bentuk gerakan gerilya bersenjata, Organisasi Papua Merdeka, maupun serangkaian inisiatif nonkekerasan. Taktik umum yang dipakai para pendukung kemerdekaan secara damai adalah menaikkan bendera Bintang Kejora dalam upacara terbuka, terutama sekali pada peringatan 1 Desember.
Setelah Presiden Suharto mengundurkan diri pada 1998, pemerintah Indonesia untuk beberapa saat mengizinkan bendera Bintang Kejora berkibar. Syaratnya, ditempatkan berdampingan dengan bendera merah-putih dan tinggi bendera Bintang Kejora lebih rendah dari tinggi bendera Indonesia. Presiden Abdurrahman Wahid menganggap bendera Bintang Kejora merupakan simbol kultural rakyat Papua. Upaya Jakarta untuk meredam keluhan Papua termasuk memberikan status daerah Otonomi Khusus pada 2001, meliputi pelimpahan kekuasan lebih besar secara politik dan keuangan bagi provinsi ini. Undang-undang Otonomi Khusus juga secara eksplisit mengizinkan simbol-simbol identitas Papua ditampilkan terbuka, seperti bendera dan lagu kebangsaan rakyat Papua. Namun kemudian menaikkan bendera Bintang Kejora dilarang oleh Peraturan Pemerintah nomor 77/2007. Pengadilan Indonesia juga terus mempidanakan mereka yang menyebarkan sentimen pro-kemerdekaan, terkait pengibaran bendera, dengan dakwaan makar. Melarang bentuk-bentuk pengungkapan ekspresi damai.[29]
Nazarudin Bunas, kepala Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia di Jayapura, menyatakan pada Februari 2010 bahwa terdapat 48 pesakitan Papua yang divonis makar.[30]
Kasus Para Tapol
Filep Karma
Filep Jacob Semuel Karma, umur 51 tahun, telah ditahan di penjara Abepura selama lima tahun. Pada Mei 2005, pengadilan negeri Abepura menyatakan bersalah dengan tuduhan makar setelah mengorganisir aksi pro-kemerdekaan pada 1 Desember 2004, dan dihukum 15 tahun penjara. Dia telah menikah dan memiliki dua anak perempuan remaja.[31]Karma lahir pada 1959 dari keluarga terpandang di Papua. Ayahnya, Andreas Karma, seorang birokrat berpendidikan Belanda. Dia termasuk bupati paling populer di Papua. Selama dua periode, dia ditunjuk sebagai bupati Wamena pada 1970-an serta Serui pada 1980-an, juga dua periode. Total dia jadi bupati selama 20 tahun. Sepupu Filep, Constant Karma, mantan wakil gubernur Papua dan sekarang kepala Komisi Pemberantasan AIDS di Papua.
Pada awal 1970-an, Karma sering mendengar papa dan oom bicara diam-diam tentang perlakuan sewenang-wenang pemerintah Indonesia terhadap penduduk asli Papua. Mereka berkata penganiayaan ini jauh lebih buruk dari penderitaan masyarakat Papua di bawah administrasi Kerajaan Belanda. Ketika usia sekolah menengah pertama, Karma ingin berjuang melalui cara-cara politik ketimbang kekerasan. Pada 1979, dia studi ilmu politik di Universitas Sebelas Maret, Solo, Jawa Tengah. Dia lulus pada 1987 dan mulai bekerja sebagai pegawai negeri sipil di Jayapura.
Pada 1997, dia menerima beasiswa untuk mengikuti kursus 11 bulan di Asian Institute of Management, Manila. Ketika kembali ke Indonesia pada 1998, dia berkeliling Jawa dan mempelajari tentang protes mahasiswa yang meluas terhadap pemerintahan diktator Suharto.
Sekembali ke Papua, Karma mulai mendukung secara terbuka kemerdekaan Papua dari Indonesia. Pada 2 Juli 1998, dia ikut mengorganisasi aksi besar-besaran pro-kemerdekaan dan mengibarkan bendera Bintang Kejora di dekat menara air pelabuhan di kotanya, Biak, Papua. Bentrokan terjadi dan mengakibatkan belasan polisi luka-luka. Pada 6 Juli, militer Indonesia mengambil-alih Pulau Biak dan menembaki para pengunjuk rasa. Jumlah korban tewas belum diketahui. Banyak mayat dilaporkan dimuat ke dalam truk dan diduga dibuang ke laut dari dua kapal TNI Angkatan Laut.[32] Penduduk Biak menyatakan mereka menguburkan sejumlah mayat yang ditemukan di pantai sekitar Biak.
Karma menduga banyak mayat dikubur seadanya di pulau-pulau kecil dekat Biak, dan dia memperkirakan lebih dari 100 pemrotes terbunuh. Sepengetahuan Human Rights Watch, pemerintah Indonesia gagal melakukan penyelidikan serius atas insiden itu maupun menuntut pertanggung-jawaban para pelaku pembunuhan. Tanpa penyelidikan independen dan imparsial guna memastikan pertanggung-jawaban, memori pembunuhan ini akan terus mengobarkan ketegangan serta perkiraan korban tewas yang bervariasi akan tetap beredar.[33]
Karma terluka di kaki oleh peluru karet yang ditembakkan militer pada 6 Juli 1998. Polisi menangkap dan membawa dia ke dalam tahanan dari 6 Juli sampai 3 Oktober 1998. Pada 25 Januari 1999, pengadilan negeri Biak menyatakan dia bersalah dengan tuduhan makar karena memimpin aksi dan berpidato selama insiden protes itu. Lalu menjatuhkan hukuman penjara 6,5 tahun. Karma mengajukan banding. Dia bebas demi hukum pada 20 November 1999.
Setelah bebas, dia bergabung dengan Forum Mantan Tahanan dan Narapidana Politik TPN-OPM. Salah satu kerjanya termasuk membantu para tahanan Papua dan keluarga korban. Ketua mereka, John Mambor, bergabung dalam Presidium Dewan Papua dan memimpin kelompok utama dalam dewan yang mewakili mantan pesakitan politik.
Pada 10 November 2001, anggota-anggota Komando Pasukan Khusus, sebuah elit militer Indonesia, membunuh pemimpin Papua, Theys Eluay, ketua umum Presidium Dewan Papua. Pembunuhan ini secara dramatis meningkatkan ketegangan politik di Papua. Tiga tahun kemudian, Karma mengorganisir sebuah upacara peringatan 1 Desember 2004—menandakan ulang tahun kedaulatan Papua. Peristiwa ini dihadiri ratusan pelajar dan mahasiswa Papua, yang berteriak “merdeka!” serta memasang bendera Bintang Kejora. Mereka juga menyerukan penolakan terhadap Otonomi Khusus yang dinilai gagal.[34]
Ketika para pengunjuk rasa mengibarkan bendera Bintang Kejora, polisi berusaha membubarkan paksa unjuk rasa itu. Bentrokan pecah dan kerumunan orang menyerang polisi dengan balok kayu, batu dan botol. Polisi merespon dengan tembakan ke arah kerumunan. Karma segera ditahan dan dituduh makar—dan dipenjara sejak itu. Pada 27 Oktober 2005, pengadilan negeri Abepura menghukum 15 tahun penjara. Rekannya, Yusak Pakage, divonis 10 tahun penjara.
Kini Filep Karma mungkin satu dari pemimpin Papua yang paling populer. Dia diterima di kalangan orang Pegunungan Tengah dan kaum pesisir. Dia tak pernah menganjurkan kekerasan untuk mencapai tujuan itu. Dia berkata, “Kami ingin membuka suatu dialog yang bermartabat dengan pemerintah Indonesia, suatu dialog antara dua orang bermartabat, dan bermartabat berarti kami tidak pakai cara-cara kekerasan.”[35]
Karma berkata pihak berwenang menolak dia mendapatkan perawatan medis padahal sangat dibutuhkan.[36] Pada Agustus 2009, dia bilang kepada teman-temannya kesulitan kencing. Dia minta bantuan medis dari karyawan penjara Abepura di Jayapura, dan kepala sipir penjara Anthonius Ayorbaba memerintahkan Karma dibawa ke klinik penjara. Staf klinik cuma menganjurkan Karma minum banyak air serta istirahat. Akhirnya, melalui dukungan media dan lembaga-lembaga nonpemerintah, pihak penjara membawa Karma ke rumah sakit Dok Dua pada 18 Agustus 2009.
Dokter di rumah sakit Dok Dua mengobati Karma beberapa waktu antara Agustus dan Oktober 2009. Akhirnya mereka merekomendasikan Karma secepatnya dibawa ke unit pengobatan urologi, yang kata mereka hanya bisa dilakukan di Jakarta.[37] Karma membuat permintaan resmi kepada penjara Abepura agar bisa dibawa ke Jakarta guna menjalani operasi. Namun, kepala penjara Ayorbaba mengatakan kepada anggota keluarga Karma bahwa tak punya wewenang memerintahkan pemindahan semacam ini. Dia juga menambahkan pemerintah Indonesia tak punya uang guna mengobati Karma ke Jakarta. Aryorbaba mengatakan, agar anggota keluarga Karma minta izin pemindahan ini ke Nazarudin Bunas, kepala Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia di Jayapura. Namun ketika mereka mendatangi Bunas, dia bilang keluarga Karma minta Ayorbaba menulis surat dan mengatakan pemerintah Indonesia tak punya anggaran mengirim Karma ke Jakarta.[38]
|
Pada awal Mei 2010, setelah ada banyak keluhan pelanggaran hak asasi manusia di penjara Abepura, pemerintah Indonesia mengirim kepala penjara baru, Liberty Sitinjak, menggantikan Ayorbaba sebagai kepala sipir penjara Abepura.[41] Pada 27 Mei, Departemen Kesehatan mengirimkan dokter dari Jakarta ke Abepura untuk memeriksa kondisi kesehatan Karma dan menyatakan dia bisa menjalani operasi urologi di rumah sakit Makassar. Sampai laporan ini diterbitkan, operasi belum juga dilakukan.[42]
Buchtar Tabuni
Buchtar Tabuni, umur 31 tahun, pemimpin Komite Nasional Papua Barat, organisasi pro-kemerdekaan yang berkembang kian radikal sejak penangkapannya.[43]Ditahan pada 3 Desember 2008, di rumah dia di Sentani, dekat bandara Sentani, Jayapura, karena memimpin aksi protes atas penembakan saudaranya, Opinus Tabuni. Dia menerima hukuman tiga tahun penjara di bawah pasal 160 dalam KUHP tentang menghasut kebencian terhadap pemerintah Indonesia. Kejaksaan juga menuntut Tabuni dengan dakwaan makar (pasal 106 dan 110), tapi hakim melepaskan dua tuntutan itu dan menghukum dengan pasal 160.
Tabuni lahir pada 1979 di Papani, sebuah desa kecil 20 kilometer sebelah barat Wamena, daerah Pegunungan Tengah Papua. Tentara Indonesia membunuh pamannya pada 1979. Pada 1998, Tabuni pergi kuliah ke Makassar, Sulawesi Selatan, untuk studi teknik mesin.
Dia terlibat lebih aktif dalam politik setelah seorang saudara jauhnya, Opinus Tabuni, terbunuh oleh peluru nyasar ketika turut serta dalam demonstrasi damai merayakan Hari Masyarakat Adat PBB, 9 Agustus 2008 di Wamena. Banyak polisi, intelijen, dan serdadu militer Indonesia mengawasi demonstrasi itu saat Opinus tersungkur dan tewas.
Buchtar Tabuni membantu pendirian Komite Nasional Papua Barat di Sentani. Pada 16 Oktober 2008, KNPB melakukan unjuk rasa di Papua dan Jawa untuk menyambut pembentukan International Parliamentarians for West Papua di London. Pada 1 Desember 2008, KNPB mengorganisir perayaan damai hari kemerdekaan Papua di pemakaman Sentani, tempat Theys Eluay dikuburkan. Mengingat pemerintah Indonesia melarang pengibaran bendera Bintang Kejora, Buchtar Tabuni bersama para aktivis membuat bendera Bintang Kejora ukuran kecil-kecil, terlalu kecil untuk diklasifikasikan sebagai sebuah “bendera” tapi sudah cukup terlihat berkibar-kibar. Tetap saja, dua hari kemudian, kepolisian Indonesia menahan dan pengadilan Indonesia menghukum dia tiga tahun penjara.
Pada 26 Februari 2009, petugas penjara Abepura menemukan Tabuni membawa telepon seluler dalam saku. Sipir penjara memukul mata Tabuni, menyebabkan pendarahan. Para sipir penjara memindahkan sementara Tabuni ke pusat tahanan polisi Jayapura, supaya Menteri Hukum dan HAM Andi Mattalatta tak melihat luka saat melakukan inspeksi ke penjara esok harinya. Sesudah Mattalatta meninggalkan Papua, para penjaga mengembalikan Tabuni ke penjara Abepura.
Pada 26 November 2009, tiga tentara, satu polisi, dan satu penjaga penjara memasuki sel Tabuni di penjara Abepura. Mereka adalah tahanan penjara Abepura. Tabuni berkata kepada Human Rights Watch bahwa mereka menyerang tanpa aba-aba, memukul kepala berulangkali, menyebabkan pendarahan hebat sampai tahanan lain turun tangan dan menghentikan pemukulan. Kepala sipir penjara Ayorbaba diduga tak mengizinkan Tabuni dirawat di rumah sakit. Setelah berita pemukulan menyebar, para pendukung Tabuni di Jayapura meyakini serangan itu merupakan bagian dari rencana pembunuhan Tabuni. Malamnya, mereka mengepung penjara Abepura. Mereka memecahkan jendela. Mereka menuntut polisi dan militer diselidiki atas kasus pengeroyokan dan menuntut Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia menghukum kepala penjara Ayorbaba.[44] Tiga prajurit Tentara Nasional Indonesia dan seorang polisi dipindahkan dari Abepura, entah kemana, atas keterlibatan mereka dalam penyerangan itu. Namun pemerintah Indonesia belum memberikan keterangan atas serangan itu dan belum membawa orang-orang ini ke pengadilan.[45]
Pada 6 April 2010, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia di Papua mengadakan kunjungan ke penjara Abepura dan sesudahnya merekomendasikan pemerintah memindahkan Ayorbaba tanpa ditunda lagi. Juolens Ongge dari Komnas HAM berkata kepada media ada lebih dari 20 insiden kekerasan di penjara sejak Ayorbaba memimpin penjara pada Agustus 2008. Ongge mengkonfirmasikan sipir-sipir penjara sering memukul para tahanan dan keamanan dalam penjara sangat buruk dan banyak tahanan melarikan diri.[46] Ayorbaba diganti sebagai kepala penjara pada awal Mei 2010.
Ferdinand Pakage
Ferdinand Pakage, bekerja sebagai petugas parkir di Abepura, dekat kampus Universitas Cenderawasih, sebelum dia ditangkap. Pada 2006, polisi menangkapnya dengan tuduhan melempari batu dan menikam seorang polisi hingga tewas sewaktu terjadi demontrasi menentang Freeport dekat kampus Cenderawasih. Pengadilan tinggi Abepura menghukum 15 tahun penjara melalui pasal 214 dalam KUHP tentang perbuatan kriminal membunuh pejabat pemerintah.Pada 15 Maret 2006, lebih dari 1,000 pelajar dan mahasiswa mengadakan demonstrasi, menuntut operasi pertambangan Freeport McMoran di Papua segera ditutup. Para pelajar, diorganisir sebuah kelompok yang menamakan diri Parlemen Jalanan, memblokade badan jalan depan kampus di Abepura. [47] Sekitar 200 polisi anti hura-hara berusaha membubarkan aksi dengan menembakkan gas air mata, pemukulan terhadap pengunjuk rasa, dan menangkap pemimpin aksi. Para mahasiswa bereaksi dengan melempari batu ke arah polisi. Tiga polisi tewas secara brutal, dipukul hingga mati oleh para demonstran. Mereka yang tewas termasuk Brigadir Pertama Rahman Arizona, yang diduga dibunuh Pakage, dan seorang intelijen Angkatan Udara.
Pakage, orangtua, dan kakaknya mengatakan dia tak terlibat dalam kerusuhan itu, hingga dia tidak bisa dituntut untuk bertanggungjawab atas pembunuhan. Pakage berpendapat kesaksian dari dua orang, yang dihadirkan jaksa penuntut terhadap dirinya—teman Pakage, Luis Gedi, penjaga toko, dan Alia Mustafa Samori, seorang polisi—diduga dipaksakan atau tak dapat dipercaya.
Polisi menahan keduanya, Gedi dan Pakage, setelah kerusuhan, 16 Maret, ketika mereka berjalan di dekat lokasi unjuk rasa.[48] Polisi diduga memukul Gedi dan memaksa mengaku bahwa dia terlibat dalam pembunuhan Brigadir Rahman. Polisi juga diduga mendesaknya untuk memberikan nama tersangka lain, dan Gedi akhirnya menyebut nama Pakage.[49]
Dalam persidangan, jaksa penuntut umum membawa tujuh saksi. Namun hanya Gedi dan petugas polisi Samori yang memberikan keterangan bahwa mereka betul-betul melihat Pakage melemparkan batu kepada korban. Lima saksi lain, semua petugas polisi, memberi kesaksian berupa surat pernyataan, bahwa mereka tidak melihat langsung pelemparan batu terhadap korban. Jaksa juga menyajikan bukti berupa hasil tes darah dari pisau yang diambil dari rumah Pakage sehari kemudian dan menuduh pisau itu dipakai untuk membunuh Rahman. Polisi mengklaim dalam pisau itu terdapat bekas darah korban.[50]
Menurut pembelaan Pakage, dia disiksa oleh lebih dari dua lusin petugas polisi di kantor polisi Jayapura. Polisi menyiram air panas ke tubuh, dan memukul dia hingga berdarah dari kepala, bibir, kaki, tangan dan badan. Pakage menulis bahwa wakil kepala Poltabes Jayapura menembak kaki kanan pada malam dia ditangkap, 16 Maret, sekitar pukul 23:00, setelah polisi tak menemukan pisau di luar selokan kampus. Dia juga menyatakan kepala reserse dan kriminalitas Poltabes Jayapura mengancam akan membunuh dengan pistol.[51]
Pada 21 Maret 2006, polisi pergi ke rumah Pakage dan menyita pisau dapur baja Kiwi, panjang 30 sentimeter, milik mamanya serta mengambil kaos yang tercetak nomor “15” dan menjadikan pisau itu sebagai barang bukti pembunuhan.[52] Polisi juga berkata dia memakai kaos itu selama kerusuhan pada 15 Maret itu. Papa Ferdinand, Petrus Pakage, berkata kepada Human Rights Watch, “Semua itu tipu-tipu. Saya menandatangani dokumen itu dan menyerahkan kaos dan pisau dapur. Tapi pisau itu dipakai buat potong sayur. Dia punya mama selalu simpan di rumah.”
Petrus Pakage menambahkan: “Jika Bapa ditembak di kaki, dan semua polisi melawan Bapa, main pukul macam binatang, itu susah untuk trada bilang apa? Dorang mau bilang?”[53]
Baik Gedi maupun Pakage kini ditahan di penjara Abepura, tempat mereka kembali mengalami penyiksaan, sebagaimana mereka tuturkan kepada Human Rights Watch. Pakage melaporkan, pada 22 September 2008, seorang sipir penjara Abepura membawanya ke kantor keamanan penjara, tempat kepala keamanan penjara diduga memukul dengan sebuah pentungan karet sebanyak enam kali di kepala. Si sipir memukul Pakage dengan tangan kosong, sementara kepala keamanan penjara menendang berkali-kali pakai sepatu boot. Herbert Toam, penjaga lain, masuk ke ruangan dan diduga meninju kepala Pakage dengan gembok, dan kunci gembok menembus mata kanan Pakage.[54]
Para sipir penjara lantas melemparkan Pakage yang tak sadarkan diri ke dalam sel isolasi, sekitar pukul 8:20 pagi. Pesakitan politik lain, Selphius Bobii, mendengar teriakan pemukulan kemudian melihat Pakage dimasukkan ke dalam sel isolasi. Bobii minta penjaga penjara secepatnya membawa Pakage ke rumah sakit. Mereka tidak mengirim Pakage ke rumah sakit Abepura hingga jam 2 siang.[55] Ternyata rumah sakit tutup dan dia tak melihat dokter sampai hari berikutnya, 23 September, di rumah sakit Dok Dua, Jayapura. Pada saat itu, dokter sudah terlambat untuk menyelamatkan mata kanan karena pendarahan itu terlalu parah.
“Saya rugi dua kali. Pertama, saya punya anak dapat hukuman penjara 15 tahun. Kedua, dia hilang mata,” kata Petrus Pakage.
Kepala sipir penjara Abepura, Anthonius Ayorbaba, menulis sebuah laporan tentang insiden itu, menyebutnya sebagai “kecelakaan” bahwa penjaga Herbert Toam memukul Pakage tanpa menyadari anak kunci masih tersangkut dalam gembok. Laporan ini juga mengklaim Pakage sebelumnya mengancam seorang penjaga dengan sebuah pisau. Laporan ini tak menyebut peran dua sipir penjara lain dalam serangan itu.[56]
Pada Desember 2008, Ayorbaba mengatakan kepada Human Rights Watch bahwa laporan tentang insiden itu sudah diserahkan kepada Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia serta Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Dia menambahkan Herbert Toam, satu-satunya sipir yang disebutkan dalam laporan, kemungkinan sekali bisa dipecat. Ayorbaba menyarankan Herbert Toam mengambil cuti kerja dan menyelesaikan kasus ini melalui cara-cara tradisional, yang melibatkan negosiasi dengan keluarga Pakage.[57] Toam tidak bekerja dari Oktober 2008 hingga Maret 2009 tapi tetap menerima gaji bulanan. Keluarga Toam tak mau ikut bertanggungjawab terhadap kejadian dalam penjara karena ini tanggungjawab pemerintah Indonesia. Toam kembali bekerja pada April 2009 dan dilaporkan masih sebagai pegawai negeri.[58]
Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia dan Komnas HAM tampaknya tak melakukan penyelidikan serius dalam peristiwa ini. Pada Oktober 2007, keluarga Pakage mencoba mengajukan laporan kasus Ferdinand ke kepolisian Jayapura. Namun polisi menolak mendaftarkan berkas kasus itu. Keluarga secara lisan mengadu keluhan kepada Departemen tapi tidak mendapat tanggapan. Pada Oktober 2007, Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan, sebuah lembaga milik Gereja Kristen Injili di Papua, menulis kepada Menteri Hukum dan HAM tentang keluhan beragam kasus penyiksaan, termasuk kasus Pakage, tapi surat ini pun tak ditanggapi.[59]
Simon Tuturop and Tadeus Weripang
Tadeus Weripang dan Simon Tuturop adalah sahabat dekat, keduanya kelahiran Fakfak, Papua, pada 1950-an. Pada 3 Juli 1982, mereka bergabung dengan puluhan warga Papua, mengibarkan bendera Bintang Kejora di Jayapura. Keduanya ditahan. Weripang dihukum tujuh tahun penjara sementara Tuturop 10 tahun.Mereka ditahan di penjara Abepura selama dua tahun lalu dikirim ke penjara Kalisosok, Surabaya. Ketika Weripang bebas pada 1987, dia kembali ke Fakfak dan bekerja sebagai petani. Tuturop, dibebaskan pada 1989, pergi ke Jakarta dan bekerja untuk Yayasan Hidup Baru, sebuah organisasi yang khusus membantu tahanan politik. Yayasan Hidup Baru mengirimnya ke Aceh guna membantu keluarga-keluarga korban pelanggaran hak asasi manusia di Aceh.
Setelah Presiden Suharto dipaksa mundur pada Mei 1998, Tuturop dan Weripang kembali bergabung dengan gerakan Papua merdeka. Tuturop membantu 100 pemimpin Papua, mewakili tujuh wilayah tradisional di Papua, untuk berkunjung ke Jakarta dan melakukan audiensi dengan Presiden B.J. Habibie pada Februari 2000. Dalam audisensi ini, mereka minta kedaulatan bagi Papua. Habibie menolaknya.[60]
Kini, keduanya kembali dipenjara, dihukum atas pengibaran bendera Bintang Kejora di Gedung Pepera di Fakfak, provinsi Papua Barat, pada 19 Juli 2008. Pepera singkatan dari “Penentuan Pendapat Rakyat”, suatu referendum yang disponsori PBB pada 1969, yang diyakini kebanyakan penduduk Papua sebagai manipulasi Indonesia.
Polisi menahan 69 orang yang terlibat dalam upacara pengibaran bendera. Enampuluh orang sudah dibebaskan dan menyisakan sembilan orang, termasuk Tuturop dan Weripang, yang diadili. Tuturop berkata dia tidak disiksa, tapi polisi memukul keras delapan tahanan lain. “Mungkin karena saya sudah berumur 60 tahun hingga mereka tidak punya niat menyiksa orang tua,” kata Tuturop.[61]
Pengadilan pidana menyatakan Tuturop dan Weripang bersalah dengan dakwaan makar melalui pasal 106 dan 110 dalam KUHP. Keduanya dihukum dua tahun penjara. Setelah jaksa mengajukan banding atas hukuman yang dinilai terlalu ringan, Pengadilan Tinggi Papua meningkatkan hukuman penjara menjadi empat tahun.
Roni Ruben Iba
Roni Ruben Iba seorang karyawan hotel di Manokwari, provinsi Papua Barat. Polisi menangkap dia beserta 35 orang lain karena mengibarkan bendera pro-kemerdekaan pada 1 Januari 2009, di luar kantor pemerintah Teluk Bintuni. Mereka menaikkan sebuah bendera yang mirip dengan bendera Bintang Kejora, namun tak sama persis.[62]Dalam persidangan, para terdakwa menyatakan dianiaya selama ditahan di kantor polisi Teluk Bintuni. Mereka ditendang. Mereka dipukul. Kepala dan badan mereka dihajar polisi pakai gagang senapan.
Pada 12 November 2009, pengadilan negeri Manokwari memvonis Roni Ruben Iba dan dua anggota kerabatnya, Isak Iba dan Piter Iba, dengan tuduhan makar menurut pasal 106 dan 110 dalam KUHP. Roni Ruben Iba divonis tiga tahun penjara sementara dua saudaranya dihukum dua tahun. Kini mereka ditahan di penjara Manokwari.
[28] Ayah tiri presiden AS Barack Obama, Lolo Soetoro, salah satu di antara prajurit Indonesia yang dikirim untuk menyerbu Papua, sebelum kedatangan wakil PBB pada 1969 guna mengawasi proses Penentuan Pendapat Rakyat. Dalam bukunya, Dreams From My Father, Obama menggambarkan bagaimana Soetoro berubah—dan traumatis—setelah pulang dari apa yang dilihatnya di Papua, termasuk pembunuhan terhadap penduduk Papua. Lihat: Andreas Harsono, “Obama Has the Power to Help Papua, the ‘Weak Man’ Under Indonesian Rule,” The Jakarta Globe, 22 Februari 2010.
[29] “MRP Calling for the Release of Those Classified as Rebels,” http://www.manukoreri.net/west-papua-upheaval-media-briefings-and-background/mrp-calling-for-the-release-of-those-classified-as-rebels/ (diakses 29 Mei 2010).
[30] Cyntia Warwe, “SKPHP Prihatin Filep Karma dan Tahanan Politik Di Papua,” 4 April 2010, (menceritakan dia bertemu dengan Bunas pada 16 Februari 2010), http://www.facebook.com/home.php?ref=home#!/notes/cyntia-warwe/skphp-prihatin-filep-karma-dan-tahanan-politik-di-papua/407736255971 (diakses 9 April 2010); wawancara Human Rights Watch dengan Cyntia Warwe, 27 Mei 2010. Di sisi lain, laporan yang disiarkan media, pejabat di Papua yang namanya dirahasiakan berkata kepada Human Rights Watch bahwa sebenarnya ada 39 pesakitan politik Papua. Human Rights Watch melakukan komunikasi dengan pejabat pemerintah (yang identitasnya kami rahasiakan), 31 Mei 2010.
[31] Wawancara Human Rights Watch dengan Filep Karma, Jayapura.
[32] Lihat International Crisis Group, “Radicalization and Dialogue in Papua,” Asia Report no. 188, Brussels/Jakarta, 11 Maret 2010, http://www.crisisgroup.org/en/regions/asia/south-east-asia/indonesia/188-radicalisation-and-dialogue-in-papua.aspx (diakses 28 Mei 2010).
[33] Untuk laporan panjang tentang insiden di Biak, lihat Lindsay Murdoch, “Morning Star Massacre,” The Age, 14 November 1998, http://www.blythe.org/nytransfer-subs/98pac/West_Papua_Massacre (diakses 31 Mei 2010).
[34] Human Rights Watch, Indonesia - Protest and Punishment: Political Prisoners in Papua, Februari 2007, http://www.hrw.org/en/reports/2007/02/20/protest-and-punishment.
[35] Wawancara Human Rights Watch dengan Filep Karma, Jayapura.
[36] Dalam sejarahnya, pejabat-pejabat Indonesia sering menolak bantuan medis kepada para tahanan politik Papua. Misalnya pada kasus Tom Wanggai, yang divonis 20 tahun penjara atas tuduhan makar, setelah ambil bagian dalam upacara pengibaran bendera pro-kemerdekaan, 14 Desember 1988. Pada 1995, saat ditahan dalam sel penjara Cipinang, Jakarta, dia mulai mengeluh soal kesehatannya. Namun dia tak segera diberi bantuan medis. Wanggai meninggal pada 12 Maret 1996 di rumah sakit polisi Kramat Jati, Jakarta. Lihat: George J. Aditjondro, “Mengenang Perjuangan Tom Wanggai: Dengan Bendera, atau Apa?” Tabloid Jubi, Jayapura, 20 Maret 2000. Kasus yang sama menimpa Hardi Tsugumol, yang didakwa atas perbuatan memasok persediaan logistik bagi para pejuang Papua. Pada Juni 2006, di pusat tahanan markas besar kepolisian Indonesia, dia mengalami masalah jantung serius. Pengobatan medis begitu lambat sampai akhir Agustus 2006 saat dia akhirnya diizinkan operasi jantung. Pengacaranya menyatakan berulangkali di depan pengadilan Jakarta Pusat agar memperhatikan masalah kesehatan Tsugumol tapi hanya sesekali dikunjungi dokter. Tsugumol meninggal pada Desember 2006. Eben Kirksey dan Andreas Harsono, “Criminal Collaborations? Antonius Wamang and the Indonesian Military in Timika,” South East Asia Research, vol. 16, no. 2 (Juli 2008), halaman 165–197.
[37] Dalam sebuah surat bertanggal 5 Oktober 2009, Dr. Mauritz Okosera dan Jhon Sambara, masing-masing kepala unit pemindahan pasien dan kepala administrasi rumah sakit Dok Dua, menulis kepada PT Asuransi Kesehatan Indonesia, sebuah perusahaan asuransi, menyatakan bahwa pasien Filep Karma harus dibawa ke Rumah Sakit PGI Cikini di Jakarta guna operasi urologi. Pada 11 November 2009, Dr. Donald Arronggear dari rumah sakit Dok Dua memerinci hasil tes medis Karma yang dilakukan di rumah sakit dari Agustus hingga Oktober 2009. Salinan kedua surat ini dipegang Human Rights Watch.
[38] Radio 68H, “Siksa Tahanan Politik di Balik Jeruji Besi,” 4 Mei 2010, http://www.facebook.com/note.php?note_id=385953959914 (diakses 17 Mei 2010).
[39] Wawancara Human Rights Watch dengan Peneas Lokbere, Jayapura, 12 Maret 2010. SKPHP minta sumbangan terbuka guna biaya berobat Karma. SKPHP mengumpulkan Rp 25 juta dalam dua hari pertama penggalangan dana. Karma menerima biaya tambahan Rp 75 juta rupiah dari teman-temannya.
[40] Wawancara Human Rights Watch dengan Filep Karma, Jayapura.
[41] Elaine Pearson (Human Rights Watch), “The Thinker: Papua Behind Bars,” commentary, The Jakarta Globe, 18 Mei 2010, http://www.hrw.org/en/news/2010/05/18/thinker-papua-behind-bars.
[42] Komunikasi Human Rights Watch dengan Cyntia Warwe, 26 dan 27 Mei 2010.
[43] Dengan ditahannya Tabuni, ada perubahan kepemimpinan dalam Komite Nasional Papua Barat, dan beberapa pemimpin mulai melakukan cara-cara kekerasan. Lihat International Crisis Group, “Radicalization and Dialogue in Papua,” Asia Report no. 188, 11 Maret 2010, http://www.crisisgroup.org/en/regions/asia/south-east-asia/indonesia/188-radicalisation-and-dialogue-in-papua.aspx (diakses 28 Mei 2010).
[44] “Lapas Abepura Rusuh Aksi Buchtar Tabuni,” Metro TV, 27 November 2009, http://metrotvnews.com/index.php/metromain/news/2009/11/27/6346/Lapas-Abepura-Rusuh-Aksi-Buchtar-Tabuni (diakses 2 Juni 2010); “Lemahnya Pengamanan Lapas Abepura,” Tabloid Jubi, 27 November 2009, http://tabloidjubi.com/index.php/index-berita/87-lembar-olah-raga/4434-lemahnya-pengamanan-penjara-abepura (diakses 2 Juni 2010); “Puluhan Massa Menggeruduk Lapas Abepura,” Vivanews, 27 November 2009, http://nasional.vivanews.com/news/read/109474-puluhan_massa_menggeruduk_lapas_abepura (diakses 2 Juni 2010).
[45] “Indonesia: Stop Prison Brutality in Papua,” Human Rights Watch news release, 4 Juni 2009, http://www.hrw.org/en/news/2009/06/04/indonesia-stop-prison-brutality-papua; and US Department of State, Bureau of Democracy, Human Rights, and Labor, “Country Reports on Human Rights Practices – 2009: Indonesia,” 11 Maret 2010, http://www.state.gov/g/drl/rls/hrrpt/2009/eap/135992.htm (diakses 30 Mei 2010).
[46] Jerry Omona dan Angga Haksoro, “Kekerasan di Penjara Komnas HAM Papua: Copot Kepala LP Abepura,” Voice of Human Rights, 10 April 2010.
[47] Wawancara Human Rights Watch dengan Chosmol Yual, koordinator aksi Parlemen Jalanan, di penjara Doyo Baru, Jayapura.
[48] Wawancara Human Rights Watch dengan Ferdinand Pakage, Jayapura. Surat penahanan ditandatangani Ajudan Komisaris Taufik Pribadi dari kepolisian Jayaoura, 17 Maret 2006. Salinannya dipegang Human Rights Watch.
[49] Wawancara Human Rights Watch dengan Luis Gedi, Jayapura.
[50] “Tuntutan Pidana Terdakwa Ferdinand Pakage alias Feri”, Kejaksaan Negeri Jayapura, 12 Juli 2006. Salinannya dipegang Human Rights Watch.
[51] “Pembalasan [sic] Terdakwa Ferdinand Pakage alias Feri”, Jayapura, 26 Juli 2006. Pengacaranya minta hakim membebaskan Pakage dengan alasan bahwa jaksa penuntut umum hanya menghadirkan seorang saksi, polisi Alia Mustafa Samori, yang memberi kesaksian bahwa dia melihat anak muda Papua dengan kaos bernomor punggung “15” melempari batu kepada Arizona Rahman pada 16 Maret 2006. Kesaksian ini diraguskan. “Nota Pembelaan Penasehat Hukum Terdakwa Ferdinand Pakage,” Jayapura, 26 Juli 2006.
[52] Materi yang dirujuk dalam dokumen penyitaan ditandatangani Ajudan Komisaris Syafri Sinaga dari kepolisian Jayapura, tertanggal 21 Maret 2006.
[53] Wawancara Human Rights Watch dengan Petrus Pakage, Jayapura, 4 Desember 2008.
[54] Wawancara Human Rights Watch dengan Ferdinand Pakage, Jayapura; Human Rights Watch dengan Luis Gedi, Jayapura.
[55] Wawancara Human Rights Watch dengan Selphius Bobii, Jayapura.
[56] Antonius Ayorbaba memberikan salinan kronologis kejadian tanpa tanggal kepada Human Rights Watch di Jayapura pada 6 Desember 2008; salinannya dipegang Human Rights Watch.
[57] Wawancara Human Rights Watch dengan Antonius Ayorbaba, Jayapura, 6 Desember 2008.
[58] Ayorbaba mengatakan Pakage kabur dari penjara dan kemudian berusaha mencuri daging di pasar Abepura. Dia bilang Petrus Pakage, ayah Ferdinand, mengakui Ferdinand punya pisau darinya. Petrus juga mengatakan anaknya tinggal di rumah selama sebulanan – rahasia umum yang terjadi di penjara Abepura jika tahanan menyuap seorang penjaga penjara. Wawancara Human Rights Watch dengan Petrus Pakage di Abepura, 4 Desember 2008. Rujinem Basuki, penjual daging di Jalan Gerilyawan, Abepura, berkata kepada Human Rights Watch bahwa dia ingat seorang anak muda Papua yang terlihat mirip Pakage berusaha menjual sekor kambing kepadanya, tapi ini suatu transaksi normal, dan anak muda itu tidak berusaha mencuri darinya atau mengancamnya pakai pisau, sebagaimana tuduhan Ayorbaba. Dia bertanya mengapa Ayorbaba menggunakan namanya dalam laporan tersebut. Wawancara Human Rights Watch dengan Rujinem Basuki, Jayapura, 7 Desember 2008. Tidak ada laporan yang diajukan terhadap Pakage soal usaha pencurian bersenjata seperti tuduhan Ayorbaba.
[59] Pada 4 juni 2009, Human Rights Watch mempublikasikan siaran pers berisi laporan tentang penyiksaan oleh sipir-sipir penjara di Abepura. Ia mencatat lebih dari dua lusin kasus pemukulan dan kekerasan fisik sejak Ayorbaba, pegawai negeri sipil Papua yang sebelumnya bekerja di kantor Departemen Hukum dan HAM di Jayapura, menjadi kepala sipir penjara pada Agustus 2008. Ayorbaba menolak temuan dalam laporan ini, pemukulan hanya terjadi pada Pakage, dan mengecam Human Rights Watch. Cenderawasih Pos, suratkabar lokal, mendesak Ayorbaba meminta maaf atas temuan laporan Human Rights Watch dan minta dia menarik ucapannya yang mengecam laporan itu. “Indonesia: Stop Prison Brutality in Papua,” siaran pers Human Rights Watch, 4 Juni 2009, http://www.hrw.org/en/news/2009/06/04/indonesia-stop-prison-brutality-papua.
[60] Peter King, West Papua & Indonesia since Suharto: Independence, Autonomy or Chaos? (Sydney: University of New South Wales Press, 2004).
[61] Wawancara Human Rights Watch dengan Simon Tuturop, Fakfak.
[62] Beberapa penduduk Papua tidak menyukai fakta bahwa warna bendera Bintang Kejora sama dengan warna bendera Kerajaan Belanda: merah, putih, biru. Mereka ingin menggunakan warna bendera yang dominan merah dan hitam. Menurut Tom Wanggai, warna merah dan hitam mewakili sebagian besar gambaran masyarakat Papua dengan tanahnya yang merah dan berkulit hitam. Lihat: Aditjondro, “Mengenang Perjuangan Tom Wanggai: Dengan Bendera, atau Apa?” Tabloid Jubi.
Source: http://www.hrw.org/en/
Source: http://www.hrw.org/en/
Kriminalisasi Aspirasi politik west papua adalah bentuk propaganda lama tokoh2 pro-M di papua untuk mencari simpati dan dukungan dr dalam ataupun luar negeri atas perjuangan politik yg telah mereka perjuangkan selama ini.
ReplyDeletePropaganda tersebut merupakan tindakan sia2 saja karena warga papua sudah mulai kritis mensikapi tulisan-tulisan seperti ini...ujung-ujungnya, masyarakat sdh punya satu sikap : setiap perbuatan makar akan berhadapan dengan upaya penegakan hukum NKRI...
Kita sering melihat di jalanan, ada pengumpulan dana yang dikordinir kelompok tertentu utk membantu tapol napol pro-M di lapas-lapas. Kita hargai kepedulian mereka, tetapi juga kita waspadai, uang yg terkumpul itu apa benar disalurkan utk meringankan beban keluarga tapol/napol tsb, atau jangan-jangan digunakan utk mabuk-mabukan...? Karena semua biaya perawatan kesehatan napi sudah ditanggung sepenuhnya oleh pemerintah. siapapun napi itu, dalam hal perawatan kesehatan diperlakukan sama...
ReplyDeletePengumpulan dana memang wujud kepedulian pada orang yang sdg kesusahan...tapi kalau bisa para aktivis pendukung tapol/napol tsb juga mencari dana utk korban bencana dan kegiatan sosial lainnya, seperti utk pembangunan gereja, anak yatim piatu atau anak yg kurang mampu utk sekolah dst... kalau masalah tapol/napol sudah ada institusi yang memikirannya...
ReplyDeleteTulisan yg terdiri dari kumpulan sumber lama yg belum dapat dikatakan valid, karena hampir semuanya berisi opini bukan fakta. Penulis hanya mencoba meng-update kembali tulisan-tulisan sebelumnya yg dinilai tidak laku dengan asumsi semoga saja yg ini laku... Dengan kata lain, penulisnya sedang tidak ada kerjaan lain, lalu coba-coba “jualan” opini hambar....
ReplyDeleteMungkin perlu pemikiran baru, utk mengirimkan para tapol/napol papua itu ke Nusa Kambangan... daripada mereka terus-menerus dipolitisir dan dijadikan obyek utk mencapatkan uang oleh para pendukungnya, lebih baik mereka bergabung dengan rekan-rekan sesama tapol-napol di sana....
ReplyDelete