Amnesty Internasional |
Amnesty International (AI) mendesak pemerintah Indonesia untuk memasukan agenda hak asasi manusia dalam upaya mereka untuk menyelesaikan masalah Papua. Pernyataan tersebut diajukan dalam sebuah pertemuan yang berlangsung di Jakarta dengan Djoko Suyanto, Menteri Koordinator Hukum, Politik, dan Keamanan, Selasa (6/12) lalu.
Pernyataan publik lain dari AI sebagaimana diteruskan oleh direktur Lembaga Penelitian, Pengkajian, dan Pengembangan, Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari, Papua Barat, Yan Cristian Warinussy melalui surat elektronik (email) yang diterima tabloidjubi.com, Rabu (7/12) malam menyatakan, pemerintah Indonesia memiliki tugas dan hak untuk menjaga ketertiban publik, tetapi mereka harus memastikan bahwa segala pembatasan kebebasan berekspresi dan berkumpul secara damai tidak diizinkan melebihi standar di dalam Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR), yang mana telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia.
Catatan lain dari pernyataan itu menyebutkan, paling sedikit 90 orang saat ini sedang ditahan di penjara di Papua dan Maluku karena aktivitas pro-kemerdekaan secara damai. Filep Karma, seorang tahanan Papua yang menjadi tahanan politik karena opininya (“prisoner of conscience”), saat ini sedang menjalani hukuman 15 tahun di penjara Abepura, provinsi Papua.
Pemerintah Indonesia harus melepaskan semua tahanan di Papua dan Maluku yang mengekspresikan pandangannya secara damai, termasuk yang mengibarkan atau melambaikan bendera terlarang pro-kemerdekaan, dan membedakan antara aktivitas damai dan kekerasan.
Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono saat ini telah menginisiasi diskusi dengan para aktivis Papua dan membentuk tim kerja khusus untuk memperbaiki pembangunan ekonomi di daerah yang kaya sumber daya tetapi masih terbelakang ini.
Amnesty International menyerukan kepada pemerintah untuk mengimplementasikan secara penuh ketentuan-ketentuan Undang-Undang Otonomi Khusus 2011, khususnya dengan membentuk suatu pengadilan hak asasi manusia dan komisi kebenaran dan rekonsiliasi.
Menkopolhukam menunjukan komitmen pemerintah untuk memastikan pertanggungjawaban atas pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh aparat keamanan, tetapi Amnesty International mengkritik penggunaan sanksi administrasi yang ringan atau pengadilan tertutup dalam merespon pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh anggota aparatus keamanan.
Amnesty International juga menunjukan keperihatinannya atas masih berlangsungnya serangan terhadap para pembela hak asasi manusia dan jurnalis, sebagaimana minimnya keberadaan pemantau situasi HAM independen dan imparsial di Papua. Amnesty International menyerukan kepada Menkopolhukam untuk mengizinkan pengamat internasional, organisasi non-pemerintah, dan jurnalis internasional atas akses tanpa larangan ke provinsi Papua dan Papua Barat.
Pertemuan ini diajukan oleh Presiden Yudhoyono pada saat rapat kabinet di akhir Oktober sebagai respon keprihatinan Amnesty International akan pelanggaran hak asasi manusia seputar Kongres Rakyat Papua Ketiga di Abepura, Papua pada 19 Oktober 2011, di mana paling tidak tiga orang terbunuh dan ratusan penangkapan semena-mena dan perlakuan tidak manusiawi oleh aparat keamanan Indonesia.
Amnesty International tidak mengambil posisi apa pun terkait status politik dari suatu provinsi apa pun di Indonesia, termasuk seruan untuk merdeka. Namun demikian, organisasi ini percaya bahwa hak untuk kebebasan berekspresi termasuk hak secara damai untuk mengadvokasi referendum, kemerdekaan, atau solusi politik apa pun yang tidak melibatkan seruan atau hasutan untuk diskriminasi, permusuhan, atau kekerasan.
Direktur Lembaga Penelitian, Pengkajian, dan Pengembangan, Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari, Papua Barat, Yan Cristian Warinussy mengatakan pernyataan itu harus diperhatikan oleh pemerintah dan dilaksanakan. “Pernyataan ini harus dilaksanakan,” ujarnya. (JUBI/Musa)
0 Komentar Anda:
Post a Comment
Your Comment Here