Ketua PGBP Socratez Soryan Yoman (foto pgbp) |
“Papua berintegrasi dengan Indonesia dengan tulang punggungnya
pemerintahan militer” (Amiruddin Al Rahab: Heboh Papua, Perang Rahasia,
Trauma Dan Separatisme: 2010, hal. 42)
Pemerintah dan aparat keamanan Indonesia selalu mengkleim bahwa PEPERA 1969 sudah sah dan status Papua dalam wilayah Indonesia sudah final. Namun, dalam realitasnya, Rakyat Papua, penduduk asli Papua sebagai pemilik negeri dan ahli waris Tanah Papua ini sampai saat ini masih mempertanyakan status politik mereka dalam
Pemerintah dan aparat keamanan Indonesia selalu mengkleim bahwa PEPERA 1969 sudah sah dan status Papua dalam wilayah Indonesia sudah final. Namun, dalam realitasnya, Rakyat Papua, penduduk asli Papua sebagai pemilik negeri dan ahli waris Tanah Papua ini sampai saat ini masih mempertanyakan status politik mereka dalam
wilayah Indonesia dengan mempersoalkan PEPERA 1969. Penduduk asli
Papua sebagai saksi dan korban sejarah terus menyatakan bahwa PEPERA
1969 dilaksanakan dibawah tekanan militer Indonesia. Rakyat Papua selalu
dan terus-menerus menyatakan bahwa masa depan dan hak politik rakyat
Papua benar-benar dihancurkan oleh militer Indonesia. Simson Barias
(alm.), pernah berkata kepada saya, “PEPERA pada tahun 1969 itu
dimenangkan oleh Tentara Indonesia. Mereka adalah orang-orang yang kejam
dan jahat.” Pelaku sejarah PEPERA 1969, Gemenagi Wenda (alm.) pernah
berkata kepada saya, “ PEPERA 1969 itu suatu penipuan orang-orang
Indonesia dan tentara Indonesia jaga kami seperti orang-orang jahat.
Kami disuruh bicara merdeka-merdeka.”
Sementara sahabat karib ayah
kandung saya, Tawarakonuwa Wanimbo (alm.) pernah bertutur kepada saya, “
waktu PEPERA 1969 itu banyak tentara Indonesia yang menjaga kami. Kami
takut dibunuh karena mereka pegang senjata. Mereka bilang kepada kami,
sekarang kamu tinggal dengan Indonesia dan nanti setelah anak-anak kamu
sekolah dan mengerti, mereka akan berjuang untuk Papua merdeka.” Setelah saya mendengar kesaksian ini dan melihat kenyataan hidup penduduk asli Papua yang tidak normal selama ini, saya berusaha mencari tahu apa sesungguhnya PEPERA 1969. Saya sendiri mencari dokumen-dokumen PEPERA 1969 di PBB dan membangun komunikasi dengan teman saya, akademisi Inggris, Dr. John Saltford, saya bertemu dia di London, dan juga Sejarawan Belanda, Dr. Hans Meijer. Mereka berdua mengirim hasil penelitian mereka kepada saya. Dari hasil yang saya selidiki dan pelajari bahwa semua yang dikatakan pelaku sejarah kepada saya memang benar. Bahwa PEPERA 1969 itu dimenangkan oleh Tentara Indonesia. Saya sendiri belajar dokumen-dokumen PEPERA 1969 yang ada di PBB, Annex I yang dilaporkan perwakilan PBB, Dr. Fernando Ortiz Sanz, diplomat dari Bolivia, dan Annex II yang dilaporkan Pemerintah Indonesia tentang PEPERA 1969 yang penuh kebohongan Pemerintah Indonesia. Karena itu saya katakan PEPERA 1969 palsu, cacat hukum, dan penuh dengan rekayasa militer Indonesia. Bukti-bukti keterlibatan militer sulit dibantah dengan alasan apapun.
“Surat Telegram Resmi Kol. Inf. Soepomo, Komando Daerah Militer XVII Tjenderawasih Nomor: TR-20/PS/PSAD/196, tertanggal 20-2-1967, berdasarkan Radio Gram MEN/PANGAD No.: TR-228/1967 TBT tertanggal 7-2-1967, perihal: menghadapi referendum di IRBA tahun 1969: “ Mempergiatkan segala aktivitas di masing-masing bidang dengan mempergunakan semua kekuatan material dan personil yang organik maupun yang B/P-kan baik dari Angkatan darat maupun dari lain angkatan. Berpegang teguh pada pedoman. Referendum di IRBA tahun 1969 harus dimenangkan, harus dimenangkan. Bahan-bahan strategis vital yang ada harus diamankan. Memperkecil kekalahan pasukan kita dengan mengurangi pos-pos yang statis. Surat ini sebagai perintah OPS untuk dilaksanakan. Masing-masing koordinasi sebaik-baiknya. Pangdam 17/PANG OPSADAR”. “Pada 14 Juli 1969, PEPERA dimulai dengan 175 anggota dewan musyawarah untuk Merauke. Dalam kesempatan itu kelompok besar tentara Indonesia hadir…” (Sumber: Laporan resmi PBB: Annex 1, paragraph 189-200).
Adapun Surat Rahasia dari Komando Militer Wilayah XVII Tjenderawasih, Kolonel Infantri Soemarto-NRP.16716, kepada Kamando Militer Resort-172 Merauke tanggal 8 Mei 1969, Nomor: R-24/1969, Status Surat Rahasia, Perihal: Pengamanan PEPERA di Merauke. Intin isi surat rahasia adalah sebagai berikut: “Kami harus yakin untuk kemenangan mutlak referendum ini, melaksanakan dengan dua metode biasa dan tidak biasa. Oleh karena itu, saya percaya sebagai ketua Dewan Musyawarah Daerah dan MUSPIDA akan menyatukan pemahaman dengan tujuan kita untuk mengabungkan Papua dengan Republik Indonesia” (Sumber: Dutch National Newspaper: NRC Handelsbald, March 4, 2000).
Kita semua, penduduk asli Papua sebagai pemilik dan ahli waris Tanah ini, pemerintah Indonesia sebagai tamu yang menduduki dan menjajah Papua sebagai neo-kolonial, perlu memahami pertanyaan saya, “Kalau status Papua dalam Indonesia sudah final, mengapa harus ada UU No. 21 Tahun 2001 sebagai solusi politik yang final? Dan sekarang mencul lagi pertanyaan baru, yaitu: Kalau PEPERA 1969 adalah final dan Otonomi Khusus sudah dinyatakan berhasil mengapa harus ada Program Senter Klas, Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B)? Yang lebih menarik perhatian saya adalah mengapa pelaksana Program UP4B semuanya dilibatkan para Jenderal Purnawirawan? Apakah ini PEPERA 1969 jilid ke-III?
Saya adalah salah satu pemimpin Gereja yang pernah membantu menterjemahkan Otonomi Khusus kepada warga Gereja dan juga penduduk asli Papua. Pada saat sosialisasi Otonomi Khusus di Wamena, saya dicaci-maki oleh warga Gereja. Saya dituduh menerima uang dari Pemerintah dan juga saya hampir dilempari batu oleh anggota Jemaat yang menolak Otsus dan pendukung Papua Merdeka. Saya juga yang mendampingi rombongan utusan Negara-Negara Uni Eropa yang datang berkunjung ke Wamena dan selanjutnya kami ke Piramid. Saya dituduh oleh intelejen Indonesia bahwa saya menghalang-halangi pekerjaan intelejen dan disiarkan melalui RRI dari Jakarta dan nama saya disebut-sebut.
Dalam perjalanan dari Piramid ke Wamena kota, saya berbicara kepada mereka bahwa “rakyat Papua hampir 100% mau merdeka. Dan mereka menjawab: “ dalam Otsus itu ada perhatian dan perbaikan dalam bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, keberpihakan, perlindungan bagi penduduk asli Papua. Kami harap pak Socratez sampaikan kepada rakyat Papua supaya menerima Otonomi Khusus.” Saya berangkat ke Mulia, Puncak Jaya, saya sosialisasi Otonomi Khusus dengan bahasa Tanah, bahasa adat, bahasa mereka. Rakyat mendengar, mengerti dan menerima saya, walaupun hati mereka sangat menolak Otonomi Khusus. Mengapa rakyat mendengar dan menerima saya? Karena mereka “trust” apa yang saya sampaikan. Tapi, sayang, Otsus gagal dan dalam Otsus, rakyat Papua sangat menderita dan masa depan penduduk asli Papua sangat memprihatinkan.
Sekarang Pemerintah Indonesia datang dengan Program baru, Unit Percepatan Pembanguan Papua dan Papua Barat (UP4B). Program ini juga mendapat penolakan di mana-mana. Jayapura di tolak.Manokwari ditolak. Sorong pada Selasa, 13 Februari 2012 ditolak tegas oleh anggota MRP, DPRP Papua Barat dan rakyat Papua Barat. Anggota MRP dan DPR Papua Barat meminta Pemerintah Indonesia segera menyelesaikan masalah Papua dengan dialog Jakarta-Papua.
PEPERA 1969 dipaksakan dan dimenangkan oleh tentara Indonesia. Otonomi Khusus 2001 dipaksakan walaupun rakyat Papua menolak tegas dengan menuntut Papua Merdeka . Sekarang, UP4B dipaksakan untuk dilaksanakan di Papua, walaupun rakyat Papua menolak dengan tegas dan menuntut dialog tanpa syarat antara Pemerintah Indonesia dan Rakyat Papua yang dimediasi pihak ketiga. Yang aneh adalah PEPERA 1969 dimenangkan oleh Tentara Indonesia. Otonomi Khusus juga dengan tekanan dan pembunuhan terhadap penduduk Papua yang menolak Otonomi Khusus, termasuk Theodorus Hiyo Eluay. UP4B dikepalai oleh seorang purnawirawan berpangkat Jenderal dan para mantan Jenderal di Papua dilibatkan dalam Program UP4B. Rakyat Papua mengatakan: “ PEPERA 1969 adalah palsu dan cacat hukum. Maka muncul Otsus 2001 sebagai PEPERA 1969 jilid II dan UP4B merupakan PEPERA 1969 jilid III.
Apapun tawaran dan program Pemerintah Indonesia di atas Tanah Papua, yakinlah bahwa tidak akan pernah berhasil. Karena, ada dua jurang yang sulit terjembatani, yaitu ideologi Melayu, Indonesia dan ideologi Melanesia, Papua. Ditambah lagi masalah hilangnya “trust” Papua kepada Indonesia dan “kecurigaan” Indonesia yang berlebihan kepada orang-orang asli Papua selama ini. Pemerintah Indonesia telah gagal membangun rakyat Papua. Pemerintah Indonesia telah gagal memenangkan hati rakyat Papua selama ini. Pemerintah Indonesia telah menjauhkan hati rakyat dari Indonesia. Pemerintah Indonesia telah sukses mengintegrasikan ekonomi dengan kekuatan politik dan keamanan tapi manusia Papua disingkirkan dan dibantai seperti hewan. Sekarang, saatnya, penduduk asli Papua bangkit untuk membela martabat dan kehormatannya dan sudah saatnya memimpin dirinya sendiri.
Para pembaca opini ini, Anda percaya atau tidak. Anda akui atau tidak. Anda suka atau tidak suka. Anda senang atau tidak senang. Saya TAHU, saya SADAR, saya MENGERTI, saya PERCAYA dengan IMAN, bahwa CEPAT atau LAMBAT nubuatan ini akan terwujud, hanyalah persoalan waktu. “Di atas batu ini saya meletakkan peradaban orang Papua, sekalipun orang memiliki kepandaian tinggi, akal budi,dan marifat, tetapi tidak dapat memimpin bangsa ini. Bangsa ini akan bangkit dan memimpin dirinya sendiri” (Pdt. Izaac Samuel Kijne, Wasior, Manokwari, 25 Oktober 1925).
Karena itu, solusi terbaik yang berprospek damai dan manusiawi yang saya usulkan sebagai bahan pertimbangan pemerintah Indonesia ialah: Pertama, Pemerintah Indonesia dengan jiwa besar harus mengakui kegagalan dan kesalahan terhadap penduduk asli Papua sejak 1 Mei 1963 sampai hari ini dan harus mengakhiri pendudukan dan penjajahan di atas Tanah Papua. Kedua, Pemerintah Indonesia dan Rakyat Papua harus membuat perjanjian-perjanjian kerja sama dalam bidang : ekonomi, keamanan, politik dan bagaimana nasib orang-orang Melayu, Indonesia yang sudah lama berada di Papua dan termasuk penduduk Transmigrasi. Ketiga, semua dana Otonomi Khusus dan UP4B dipergunakan untuk membangun rakyat Indonesia yang miskin dan terlantar di Jakarta, Jawa, dan daerah lain di Indonesia
Pemerintah Indonesia dan aparat keamanan yang bertugas di Tanahnya orang Melanesia Papua ini diharapkan supaya mempelajari dan merenungkan nubuatan ini. “Di Tanah ini, kita bekerja di antara satu bangsa (Papua) yang kita tidak tahu apa maksud TUHAN buat bangsa ini. Di Tanah ini, kita boleh pegang kemudi tetapi kita tidak menentukan arah angin, arus, dan gelombang di laut serta tujuan yang hendak kita capai di Tanah ini. Siapa yang bekerja dengan jujur, setia, dan dengar-dengaran pada Firman Allah di Tanah ini, maka ia akan berjalan dari satu pendapatan heran yang satu ke pendapatan heran yang lain” ( Pdt. Isaac Samuel Kijne, Holandia Binnen, Numbay/Abepura, 26 Oktober 1956).
Akhirnya, saya mau ingatkan kepada Pemerintah dan aparat keamanan Indonesia, jangan lupa sejarah ini. Gereja dengan Injil adalah kekuatan Allah pernah menjamah dengan penuh kasih damai dan memberkati Tanah dan orang asli Papua sejak 5 Februari 1855-2012, sudah mencapai 157 tahun. Indonesia menganeksasi Tanah Papua dan menjajah penduduk asli Papua sejak 1 Mei 1963, melalui PEPERA 1969 dan Otonomi Khusus 2001 dan UP4B 2011. Indonesia hanya 47 tahun di Tanahnya orang Melanesia. Wajah, watak, karakter yang ditampilkan Gereja selama hampir 157 tahun terhadap penduduk Papua sangat bertolak belakang atau berlawanan dengan wajah, watak, karakter yang ditunjukkan Pemerintah Indonesia hanya dalam kurun waktu 47 tahun. Pemerintah Indonesia harus berhenti membangun Kerajaan Firaun yang jahat di Tanah Papua. Pemerintah Indonesia harus berhenti memaksakan kehendaknya kepada rakyat Papua. Sekarang sudah waktunya, Pemerintah Indonesia harus mendengar suara penduduk asli Papua sebagai pemilik dan ahli waris Negeri ini. Shalom. Selamat membaca. Tuhan memberkati kita.
Penulis: Ketua Umum Badan Pelayan Pusat Persekutuan Gereja-gereja Baptis Papua.
Artikel ini dimuat di Koran Harian Bintang Papua, Selasa, 14 Februari 2011
0 Komentar Anda:
Post a Comment
Your Comment Here