"Your glasses please," ujar petugas kepada penulis yang kebetulan lupa meletakkan kaca mata. Layaknya masuk ke area bandar udara, begitu pula memasuki ruangan acara rapat yang membahas tinjauan periodik universal sesi 13 - UPR (Universal Periodic Review), Rabu, (23/5) Jenewa.
Hari itu, ruang XX lantai 2, sekira pukul 9:00-12:30 giliran delegasi Indonesia memberikan laporan periodik HAM selama 4 tahun sebelumnya. Dari meja lingkar terdepan, duduk manis Menteri Luar Negeri Indonesia Marty Natalagewa didampingi stafnya.
Diluar kelaziman jika seorang menteri luar negeri sebuah negara langsung yang membaca dan menjawab tanggapan. Indonesia sudah mengantisipasi mendapat tantangan berat dari NGO dan pemerintah karena rekomendasi-rekomendasi dari UPR 2008 tidak seluruhnya dilaksanakan. Oleh sebab itu, Indonesia mempersiapkan delegasi tingkat tinggi yang terdiri dari 13 orang dan dipimpin langsung oleh Menteri Luar Negerinya.
Di belakang delegasi Indonesia terbentang layar jumbo ukuran bioskop dan perwakilan negara-negara duduk di kursi melingkar menghadap mimbar. Sejurus kemudian, pemimpin rapat H.E Mr Andras Dekany memberikan sambutan. Di akhir ucapannya, dia mempersilahkan Indonesia memberikan laporan, yang diikuti oleh tanggapan-tanggapan dari 74 negara atas laporan Indonesia selama 95 detik per negara.
Dalam mekanisme UPR tidak diatur peranan NGO memberi tanggapan. Walaupun demikian, para NGO kaliber international cukup lihai melobi dan menciptakan mekanisme sendiri untuk menggugat Indonesia, baik melalui lisan atau tulisan.
Seperti diduga sebelumnya, Indonesia melaporkan hal-hal yang positif saja. Dari uraian normatif, Marty menjelaskan terdapat kemajuan penegakan hak asasi terutama masalah kebebasan beragama. Sebagai contoh, dia menuturkan ada kesalahpahaman di mana Indonesia bukan hanya mengakui 6 agama resmi selain Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha, Konghucu juga kepercayaan lainnya. Sejumlah negara mempertanyakan kejadian penyerangan terhadap penganut Ahmadiah, Syiah dan kaum minoritas lainnya. Dalam sisi lain, Marty mencari alibi dengan mengatakan bahwa "Indonesia mempunyai keragaman etnis, budaya dan agama serta bentuk geografis yang besar. Namun, dalam memberikan perlindungan dan peningkatan HAM ke depan diusahakan tidak akan berjalan di tempat," ujar Marty dengan mimik serius.
Sementara itu, anggota-angota negara ASEAN memberikan tanggapan yang sangat umum bahkan memuji layaknya negara sahabat. Aktivis HAM Indonesia yang enggan menyebutkan namanya malah sudah mengatakan kepada penulis agar tidak terkejut.
"Saya yakin mereka sudah kontak beberapa hari sebelumnya untuk lobi dan meyakinkan agar memberikan penilaian yang baik kepada Indonesia. Jadi, seperti hubungan timbal balik" ujar aktivis tersebut yang paham betul dengan mekanisme beluk sidang UPR.
Dalam komentar lainnya, negara dari Eropa menekan Indonesia agar meninjau kembali serta menghapuskan undang-undang hukuman mati, mengratifikasi Konvensi ROME tentang Pengadilan Kriminal Iternasional (ICC), tentang impunitas terhadap pelanggaran militer, latihan pendidikan HAM untuk polisi dan militer Indonesia, perbaikan undang-undang untuk perlindungan pekerja migran.
Berkaitan dengan daerah konflik, yang sering disinggung adalah kejadian di provinsi Papua dan Papua Barat. Hal kejutan terdapat saat sejumlah negara Eropa menyinggung kekerasan yang terjadi di kedua provinsi tersebut. Bahkan dari Australia dan Swiss menyarankan agar Indonesia mengedepankan dialog dan bekerja sama dengan pihak NGO.
“Kemitraan dengan pihak lembaga bukan pemerintah diharapkan menjadi prioritas” tekan mereka dalam ucapannya. Spanyol meminta kepada Indonesia agar diberikan akses kepada pembela hak asasi manusia, wartawan dan diplomat ke provinsi Papua dan Papua Barat.
Kejutan lainnya terjadi saat menyinggung Aceh. Negeri matador itu dalam poinnya meminta agar menghilangkan undang-undang kriminal terhadap bagi kaum homoseksual di mana sejak diperkenalkannya Syariah Islam pada tahun 2002.
Sementara itu, delegasi ASNLF yang diwakili oleh Yusuf Daud, sejak awal mengikuti jalannya rapat secara seksama mengambil inisiatif memperkenalkan HAM Aceh yang belum selesai. Salah satu mekanisme yang bisa dipakai ujar warga Swedia keturunan Aceh ini dengan membuat pernyataan sikap dari Acheh Sumatra National Libeartion Front (ASNLF).
“Pernyataan ini sangat penting kita bagi-bagikan sebelum adopsi laporan dan kesimpulan tentang Indonesia Jumat esok” ujarnya. Rencananya, pernyataan berbentuk kesimpulan HAM itu akan dibagi-bagikan ke depan panitia dan meja para hampir setiap delegasi negara, terutama Negara Uni Eropa.
Setelah rehat siang selama 2 jam, dalam ruangan berbeda di XXV Palais des Nations namun di bangunan yang sama, ditampilkan sesi tambahan bertajuk "Voices from the Ground Assesing Indonesia's Human Rights Developments through the UPR". Acara yang disponsori oleh NGO kaliber internasional seperti Forum Asia, Infid, Human Right Watch, Franciscans International dan ILGA ini menampilkan pembicara dari aktivis HAM dari Jakarta Rafendi Djamin (HRWG), Ifdhal Kasim (Komnas HAM) Yuniyanti Chuzaifah (Komnas Perempuan).
Dalam undangan terdapat daftar perwakilan ELSAM Papua namun berhalangan hadir dan diwakili oleh NGO Franciscans International. Mereka mempresentasikan permasalahan HAM Indonesia versi LSM yang berbeda seperti presentasi delegasi Indonesia beberapa jam sebelumnya. Layaknya oposisi, mekanisme demikian ditujukan untuk memberikan kesempatan kepada pihak lain agar menerima informasi kedua belah pihak.
Dari dalam bangunan kantor PBB urusan HAM yang megah Jenewa ini, berbagai bahasa, kaum dan bangsa dari 4 penjuru mata dunia datang dan duduk sejajar membicarakan masalah hak asasi manusia disetiap negaranya. Dari sini pula, akan menjadi pedoman untuk peningkatan HAM setipa negara di empat tahun mendatang.
Source: http://www.theglobejournal.com/Politik/
0 Komentar Anda:
Post a Comment
Your Comment Here