HolandiaNews,-- Empat puluh thaun lalu di Irian Barat dilakukan sebuah perisitwa
penting yaitu Penentuan Pendapat Rakyat(Pepera) atau referendum pernah
terjadi dalam sejarah perjalanan panjang
bagi orang Papua. Pasalnya ketika itu, pemerintah Indonesia dan
pemerintah kerajaan Belanda berkonflik demi merebut tanah orang Papua
hingga berujung pada penentuan nasib sendiri.
Pelaksanaan Pepera ini
harus dilaksanakan karena kedua negara yang bersengketa harus mematuhi
dan memenuhi Perjanjian New York 1962. Perjanjian ini pula yang
menyatakan kalau warga Irian Barat berhak melaksanakan referendum
sebagai hak untuk menentukan nasib sendiri.
Pada 14 Juli sampai dengan 2 Agustus 1969 di seluruh wilayah Irian Barat atau West Irian telah dilaksanakan oleh sebanyak 1026 anggota Dewan Musyawarah Pepera (DMP) mewakili 815.904 penduduk Papua. Mereka yang menjadi anggota DMP menurut perincian terdiri dari, unsur tradisional(Kepala Suku/Adat) sebanyak 400 orang, unsur daerah sebanyak 360 orang dan unsur Orpol/Ormas/golongan sebanyak 266 orang.
Anggota DMP hanya memilih tetap di dalam RI atau Tidak artinya melepaskan hubungan dengan RI. Pelaksanaan Pepera berawal di Kabupaten Merauke pada 14 Juli dan berakhir di Jayapura 2 Agustus 1969.
Menurut buku terbitan Pemerintah Daerah Propinsi Irian Barat, 1972 berjudul Penentuan Pendapat Rakyat(Pepera) 1969 menegaskan secara aklamasi wakil-wakil DMP menjatuhkan pilihannya Irian Barat tetap berada di dalam lingkungan Negara kesatuan Republik Indonesia yang berwilayah dari Sabang sampai Merauke.
Aliansi Mahasiswa Papua(AMP) di Pulau Jawa dalam memperingati 44 tahun Pepera di Tanah Papua belum lama ini menyebutkan kalau pelaksanaan Pepera di Tanah Papua pada 1969 adalah cacat hukum dan di bawah tekanan militer Indonesia. Peristiwa Pepera ini sampai sekarang masih menjadi sebuah perenungan panjang yang tak pernah berhenti.
Dolf Faidiban salah seorang pamongpraja Papua dalam buku berjudul, Bhakti Pamongpraja Papua menyebutkan dalam keadaan politik yang tak menentu muncullah orang Papua yang menamakan diri pejuang Papua gaya pejuang Indonesia Raya. Bahkan mereka bertindak sebagai informan untuk tentara Indonesia. Mereka dicatat dan dianggap sebagai pejuang, kemudian dipilih oleh orang Indonesia untuk duduk dalam Dewan Musyawarah Pepera dan ikut dalam Pepera pada 1969.
Jadi bagi Faidiban yang mewakili orang Papua bukan orang-orang baik.Mungkin ada satu atau dua orang yang baik tetapi sebagian besar dari orang-orang itu tadinya menjadi informan. Dia juga berpendapat kalau peran militer dalam pemerintahan sipil semakin intensif, terutama dalam persiapan pelaksanaan New York Agreement.
Contoh konkrit menurut Faidiban adalah surat rahasia Komandan Resort Militer 17 Merauke, Kolonel Blego Sumarto. Nomor surat R-24/1969 perihal pengamanan Pepera, tanggal 8 Mei 1969, yang ditujukan kepada Bupati Merauke selaku anggota Muspida. Isi surat tersebut antara lain menyebutkan pada massa polling diperlukan adanya penggantian anggota Dewan Musyawarah Pepera(DMP), penggantian harus dilakukan jauh sebelum musyawarah Pepera. Faidiban berpendapat kalau kesimpulan dari isi surat rahasia Kolonel Blego Sumarto adalah Pepera secara mutlak harus dimenangkan baik secara wajar atau tidak wajar.
Dalam buku Prof Dr PJ Drooglever yang sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia berjudul Tindakan Pilihan Bebas, Orang Papua dan Penentuan Nasib Sendiri, menulis Pangdam XVII Cenderawasih, Brig Jend Sarwo Edi Wibowo mengatakan saat menjelang Pepera pihaknya telah memiliki lebih dari enam ribu pasukan. Dalam bulan-bulan pertama pada 1969 kata Mendagri Amir Mahmud akan ditingkatkan menjadi sepuluh ribu orang pasukan. Sedangkan kekuatan pada pelaksanaan Pepera pada Juli-Agustus akan ditambah menjadi enam belas ribu orang pasukan.
Lepas dari pro dan kontra tentang pelaksanaan Pepera di Tanah Papua yang dianggap cacat hukum dan pengaruh tekanan militer. Faktanya pelaksanaan Pepera 1969 sudah diterima oleh dunia Internasional. Walau demikian ada baiknya perenungan pelaksanaan Pepera 1969 ini bisa menjadi semacam pelajaran berharga yang tak boleh dilupakan oleh generasi muda Papua. (Jubi/Dominggus A Mampioper)
Pada 14 Juli sampai dengan 2 Agustus 1969 di seluruh wilayah Irian Barat atau West Irian telah dilaksanakan oleh sebanyak 1026 anggota Dewan Musyawarah Pepera (DMP) mewakili 815.904 penduduk Papua. Mereka yang menjadi anggota DMP menurut perincian terdiri dari, unsur tradisional(Kepala Suku/Adat) sebanyak 400 orang, unsur daerah sebanyak 360 orang dan unsur Orpol/Ormas/golongan sebanyak 266 orang.
Anggota DMP hanya memilih tetap di dalam RI atau Tidak artinya melepaskan hubungan dengan RI. Pelaksanaan Pepera berawal di Kabupaten Merauke pada 14 Juli dan berakhir di Jayapura 2 Agustus 1969.
Menurut buku terbitan Pemerintah Daerah Propinsi Irian Barat, 1972 berjudul Penentuan Pendapat Rakyat(Pepera) 1969 menegaskan secara aklamasi wakil-wakil DMP menjatuhkan pilihannya Irian Barat tetap berada di dalam lingkungan Negara kesatuan Republik Indonesia yang berwilayah dari Sabang sampai Merauke.
Aliansi Mahasiswa Papua(AMP) di Pulau Jawa dalam memperingati 44 tahun Pepera di Tanah Papua belum lama ini menyebutkan kalau pelaksanaan Pepera di Tanah Papua pada 1969 adalah cacat hukum dan di bawah tekanan militer Indonesia. Peristiwa Pepera ini sampai sekarang masih menjadi sebuah perenungan panjang yang tak pernah berhenti.
Dolf Faidiban salah seorang pamongpraja Papua dalam buku berjudul, Bhakti Pamongpraja Papua menyebutkan dalam keadaan politik yang tak menentu muncullah orang Papua yang menamakan diri pejuang Papua gaya pejuang Indonesia Raya. Bahkan mereka bertindak sebagai informan untuk tentara Indonesia. Mereka dicatat dan dianggap sebagai pejuang, kemudian dipilih oleh orang Indonesia untuk duduk dalam Dewan Musyawarah Pepera dan ikut dalam Pepera pada 1969.
Jadi bagi Faidiban yang mewakili orang Papua bukan orang-orang baik.Mungkin ada satu atau dua orang yang baik tetapi sebagian besar dari orang-orang itu tadinya menjadi informan. Dia juga berpendapat kalau peran militer dalam pemerintahan sipil semakin intensif, terutama dalam persiapan pelaksanaan New York Agreement.
Contoh konkrit menurut Faidiban adalah surat rahasia Komandan Resort Militer 17 Merauke, Kolonel Blego Sumarto. Nomor surat R-24/1969 perihal pengamanan Pepera, tanggal 8 Mei 1969, yang ditujukan kepada Bupati Merauke selaku anggota Muspida. Isi surat tersebut antara lain menyebutkan pada massa polling diperlukan adanya penggantian anggota Dewan Musyawarah Pepera(DMP), penggantian harus dilakukan jauh sebelum musyawarah Pepera. Faidiban berpendapat kalau kesimpulan dari isi surat rahasia Kolonel Blego Sumarto adalah Pepera secara mutlak harus dimenangkan baik secara wajar atau tidak wajar.
Dalam buku Prof Dr PJ Drooglever yang sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia berjudul Tindakan Pilihan Bebas, Orang Papua dan Penentuan Nasib Sendiri, menulis Pangdam XVII Cenderawasih, Brig Jend Sarwo Edi Wibowo mengatakan saat menjelang Pepera pihaknya telah memiliki lebih dari enam ribu pasukan. Dalam bulan-bulan pertama pada 1969 kata Mendagri Amir Mahmud akan ditingkatkan menjadi sepuluh ribu orang pasukan. Sedangkan kekuatan pada pelaksanaan Pepera pada Juli-Agustus akan ditambah menjadi enam belas ribu orang pasukan.
Lepas dari pro dan kontra tentang pelaksanaan Pepera di Tanah Papua yang dianggap cacat hukum dan pengaruh tekanan militer. Faktanya pelaksanaan Pepera 1969 sudah diterima oleh dunia Internasional. Walau demikian ada baiknya perenungan pelaksanaan Pepera 1969 ini bisa menjadi semacam pelajaran berharga yang tak boleh dilupakan oleh generasi muda Papua. (Jubi/Dominggus A Mampioper)
0 Komentar Anda:
Post a Comment
Your Comment Here