Solusi Untuk Membahas Masalah Pepera Difasilitasi Pihak Ketiga
Jayapura-Sembilan pimpinan Persekutuan-gereja di Papua, prihatin atas situasi yang bergolak beberapa hari terakhir ini di Kota Jayapura. Disatu sisi pimpinan gereja menilai peluncuran Internasional Parliament for West Papua (IPWP) tidak signifikan, sementara disisi lain pimpinan gereja menilai pihak keamanan bertindak represif terhadap orang Papua.
Keprihatinan pimpinan Gereja-gereja itu di tuangkan dalam suatu pernyataan sikap ditandatangani Ketua Sinode GKI di Tanah Papua, Pdt. JJ Mirino Krey, S.Th, Ketua Sinode Gereja Kemah Injil (KINGMI) di Tanah Papua, Pdt. S. Karubaba, MA., Ketua I Sinode GBGP di Tanah Papua, Pdt. Tomy, Kerua Gereja Pentakosta Tabernakel Papua, Pdt. Isak Dom, S.Th, Ketua Sinode GMK di Tanah Papua, Pdt. Theys Wopary, Ketua Umum Badan Pelayan Pusat Persekutuan Gereja-Gereja Baptis Papua, Socratez Sofyan Yoman, Ketua Sinode Gereja Pentakosta di Tanah Papua, Pdt. Andreas Ayomi, S.Th, Pastor Neles Tebay, Pr dan Ketua GIDI, Pdt. Lipiyus Biniluk.
Menurut mereka, pro dan kontra masalah PEPERA tidak akan diselesaikan dengn cara pemblokiran jalan, penangkapan, penahanan dan lainnya. Oleh sebab itu, masalah PEPERA harus diselesaikan dengan suatu dialog damai. Pimpinan Gereja-gereja Papua mendorong pemerintah Indonesia dan orang Papua untuk membahas maslah PEPERA melaui dialog yang difasilitasi pihak ketiga yang netral. Betapapun sensintifnya, menurut mereka, persoalan Papua harus diselesaikan melalui dialog damai untuk mendapatkan solusi damai.
Dalam peryataan sikap tertanggal 22 Oktober tersebut, pimpinan-pimpinan gereja ini menyatakan, IPWP yang diluncurkan 15 Oktober di House of Commons oleh Dubes Indonesia di London menilai acaranya tidak signifikan karana hanya dihadiri 2 orang parlemen Inggris saja.
Yang menjadi keprihatinan, meskipun peluncurannya oleh pemerintah Indonesia diakui tidak signifikan tetapi pada tanggal 16 Oktober gabungan dari Polisi, Tentara dan Angkatan Laut memblokir jalan raya di Waena untuk menghalangi ribuan orang Papua yang hendak menyampaikan pendapatnya kepada DPRP.
“Menghadapi rencana demontrasi damai ini, pihak keamanan melakukan siaga di seluruh sudut kota Jayapura, bahkan sampai mengeluarkan tank-tank militer seakan-akan hendak menghadapi serangan militer yang dilancarkan oleh Negara lain,” kata Pdt. S. Karubaba, dkk, dalam pernyataan sikapnya yang dibawa ke redaksi Papua Post, Jumat (24/10).
Diterangkan, pemblokiran jalan oleh pihak keamanan, menurut mereka merupakan suatu tanda yang mengindikasikan adanya pemblokiran saluran demokrasi. Ribuan orang Papua tidak diberikan kesempatan untuk menyampaikan pendapatnya tentang acara peluncuran IPWP yang diakui tidak signifikan itu.
Mereka melihat bahwa ruang demokrasi sengaja ditutup oleh pihak keamanan dan tertutup bagi orang Papua. “kami prihatin karena orang Papua yang mau demonnstrasi itu tidak diberikan kesempatan untuk menyampaikan haknya yakni kebebasan berekspresi. Tentunya hal ini mencoreng wajah Indonesia yang sedang berkembang menjadi Negara demokrasi,” kata Pdt. Socratez menambahkan.
Yang makin memprihatinkan tindakan represif masih berlanjut. Ketika tanggal 20 Oktober orang Papua ingin melaksanakan demontrasi, suasana kota Jayapura mencekam. Aparat keamanan yang terdiri dari Polisi, Brimob, Militer dan Marinir diangkut dengan11 truk dan disebarkan di Kota Jayapura, ratusan Inteljen disebarkan dalam kota.
Sementara situasi kota mencekam, pihak kepolisian melakukan penangkapan terhadap belasan orang dan menahan mereka ditahanan Polresta. Menurut para pimpinan gereja-gereja ini, tindakan berlebihan dari pihak aparat memperlihatkan bahwa pemerintah Indonesia masih salah dalam melihat orang Papua. Bila aspirasi dan pendapat berbeda dipandang sebagai orang-orang jahat yang melakukan tindakan criminal.
Mereka melihat orang Papua berada ditengah-tengah pendapat. Disatu pihak, orang Papua mendengar bahwa IPWP membahas tentang PEPERA 1969 karena dinyatakan catat hukum. Sementara disatu pihak, orang Papua mendengar dari Pemerintah Indonesia bahwa PEPERA sudah final. “Kami meras prihatin karena orang Papua dibiarkan bingung diantara 2 pendapat yang berbeda dan terus menjadi korban,” kata para pimpinan gereja ini, (Papua Pos, Sabtu, 25 Oktober 2008, Frida).
0 Komentar Anda:
Post a Comment
Your Comment Here