|  | 
| Socratez Sofyan Yoman/dok/pgbp | 
Rakyat Papua  memang manusia  yang terlupakan atau terabaikan dalam  segala aspek.  Karena wilayah Papua dicaplok, diduduki dan  diintegrasikan ke dalam wilayah Indonesia dengan tujuan kepentingan  ekonomi, politik, keamanan dan pemusnahan etnis Melanesia dan digantikan  dengan etnis Melayu dengan Program Transmigrasi yang massif.       Wilayah Papua dikelola dengan pendekatan keamanan, ketidakadilan,  kekerasan dan kejahatan kemanusiaan yang tidak pernah menghormati  martabat dan kehormatan manusia Papua. Stigma separatis, makar dan OPM  adalah alat pembenaran pemerintah dan aparat keamanan Indonesia untuk  menindas penduduk asli Papua. Papua menjadi daerah tertutup bagi media  asing dan juga diplomat asing.
Wilayah ini menjadi perhatian oleh semua orang dan semua media dari  dalam dan luar negeri apabila terjadi kekerasan dan kejahatan  kemanusiaan yang dilakukan oleh aparat keamanan atas nama integritas  NKRI maupun perlawanan karyawan PT Freeport Indonesia yang menuntut  untuk peningkatan kesejahteraan mereka. Bahkan menjadi perhatian juga  ketika rakyat dan bangsa Papua mempertanyakan status politik mereka dan  melakukan perlawanan terhadap pendudukan dan penjajahan Indonesia di  atas Tanah Papua. Dalam bagian ketiga ini, rakyat Papua memandang  Indonesia sebagai kolonial baru di Papua.
Kita mengikuti dan membaca di berbagai media cetak dan elektronik  tentang keprihatinan dan kepedulian terhadap situasi kekerasan dan  kejahatan kemanusiaan yang disampaikan oleh perorangan maupun atas nama  institusi dan lembaga. Isi pesan, komentar dan masalah yang dimengerti  dan disampaikan itu sangat beragam. Dari keberagaman persepsi itu  membuat para pembaca menjadi bingung dan kabur tentang substansi akar  masalah sesungguhnya yang diperjuangkan oleh rakyat dan bangsa Papua  Barat selama ini.
Misalnya Muhammad Yusuf Kalla, mantan wakil Presiden RI, pada acara peluncuran buku karangan dr. Farid Husein yang berjudul:  Keeping The Trust For Peace, Kisah dan Kiat Menumbuhkembangkan Damai di Aceh,  pada 8 November 2011 di Hotel Sahid Jakarta, Kalla menyatakan: “  masalah Papua adalah masalah kesejahteraan. Semuanya sudah dikasih jadi  mereka menuntut dan meminta apa lagi”.  Orang yang sama pada acara di  TVOne, pada 8 November 2011 malam dihadapan ratusan orang dan di  dalamnya tokoh-tokoh Papua yang hadir,Kalla menyatakan: “ masalah Papua  adalah persoalan kesejahteraan”.   Pemahaman yang sama disampaikan oleh  Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiah, M. Din Syamsuddin dan Ketua Umum  Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Said Agil Siroj menyatakan: “ akar  persoalan di Papua adalah ketidakadilan, terurama dalam kesejahteraan  ekonomi. Kekayaan alam di wilayah itu dikeruk dan hasilnya dinikmati  perusahaan asing dan pemerintah pusat. Rakyat setempat justru miskin dan  kurang pendidikan….” (Kompas, Jumat, 11 November 2011).
Pemikiran yang disampaikan oleh Yusuf Kalla, Din Syamsuddin, dan Said  Agil Siroj, adalah representasi tentang apa yang dipahami oleh  Pemerintah Indonesia selama ini sebagai akar masalah Papua. Tetapi,  pemahaman pemerintah Indonesia seperti ini keliru, salah dan melenceng  jauh dari akar masalah yang sesungguhnya di Tanah Papua.
Seorang Dokter dan Pasien 
Sebelum disampaikan akar masalah Papua yang sebenarnya, saya mencoba  membuat satu analogi dari perspektif medis.  Kalau orang sakit datang  kepada dokter, langkah-langkah yang dilakukan seorang dokter adalah  tanya pasien: nama siapa? berapa usia? pekerjaan apa? kapan sakit?  berapa lama sakit? sakitnya bagaimana?  apa sebabnya sakit? rasanya  bagaimana? apakah sudah minum obat? apakah sudah makan? tinggal dimana?   dan sejumlah pertanyaan yang ditanyakan kepada pasien.   Setelah  bertanya,  dokter mengambil langkah berikut yaitu, memeriksa pasien,  mendiagnosa penyakit dan dokter menemukan sebab-sebab timbulnya penyakit  pada pasien dan penyakitnya.  Selenjutnya, dokter mempersiapkan obat  untuk suntik pasien maupun untuk obat yang harus diminum oleh pasien.  Dosis suntikan dan obat yang diberikan dokter kepada pasien juga harus  sesuai dengan tingkat kesakitan pasien. Dokter tidak biasa memberikan  obat dan suntikan yang tidak sesuai dengan tingkat penyakit.
Analogi ini saya tempatkan Jakarta adalah ibarat dokter. Papua adalah  ibarat pasien yang sedang sakit. Jadi, Jakarta adalah dokter yang  salah. Dokter yang keliru. Dokter yang tidak professional. Dokter yang  tidak menanyakan pasien dengan baik. Dokter yang langsung mengambil alat  suntik dan masukan cairan suntik pada pasien tanpa mengetahui penyakit  pasien. Dokter ambil obat sembarang tanpa melakukan diagnosa yang tepat  tentang penyakit dan juga tanpa memperhitungkan dosis dan langsung  memaksa pasien meminum obat.  Indonesia memberikan obat Otonomi Khusus  No. 21 Tahun 2001, obat Inpres, obat Keppres, obat Perataruran  Pemerintah (PP), obat Triliunan rupiah, obat kekerasan dan kejahatan  aparat keamanan, dan  dokter yang sama  membuat kesalahan fatal yang  terbaru adalah obat Keputusan Peraturan Presiden Unit Percepatan  Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B). Obat terakhir yang namanya  obat UP4B ini adalah obat yang sudah tidak relevan lagi. Otonomi Khusus,  walaupun obat yang masih ada relevansi tentang kebutuhan orang asli  Papua tapi sudah gagal mengobati dan menyembuhkan luku-luka penduduk  asli Papua.
Status Politik dan Sejarah Integrasi adalah Akar Masalah Papua
Lembaga Ilmu Pengetahun Indonesia (LIPI) dalam bukunya: Papua Road Map  telah menemukan empat akar masalah Papua, dan yang paling mendasar  adalah  status politik dan Sejarah diintegrasikan Papua ke dalam wilayah  Indonesia adalah substansi akar masalah Papua. Perjanjian New York 15  Agustus 1962 yang ditanda tangani oleh Pemerintah Belanda dan Indonesia  yang dimediasi Pemerintah Amerika tanpa melibatkan orang asli Papua.  Penyerahan Pemerintahan Sementara dari UNTEA (United Nation Temporary  Executive Administration)  pada tanggal 1 Mei 1963 kepada Indonesia sebelum pelaksanaan PEPERA  1969. Pelaksanaan PEPERA 1969 yang tidak sesuai dengan Perjanjian New  York 15 Agustus 1962 tetapi sesuai dengan sistem lokal Indonesia yaitu,  “musyawarah” yang bertentangan dengan standart hukum Internasional yaitu  “one man one vote”.
Prof. J.P. Drooglever, sejarahwan Belanda, telah melakukan penelitian  tentang hasil PEPERA 1969 yang telah dinyatakan bahwa PEPERA 1969  adalah peristiwa lelucon yang sangat memalukan. Dr. John Saltford,  akademisi Inggris, telah melakukan penelitian tentang hasil PEPERA 1969  di Papua Barat dan hasil kesimpulannya menyatakan: “ pengkhianatan dan  penghinaan hak-hak politik rakyat dan bangsa Papua Barat”.  Dr. Hans  Meijer sejarawan Belanda melakukan penelitian tentang hasil PEPERA 1969  dan dinyatakan: “hasil PEPERA 1969 adalah sangat memalukan Indonesia dan  Belanda”.  Kongresman Amerika Serikat dari Samoa, Eni Faleomavaega  menyatakan: hasil PEPERA 1969 di Papua Barat harus ditinjau kembali.  Anggota Parlemen Inggris, Hon. Andrew Smith dan Hon. Lord Harries  mempertanyakan status politik Papua ke dalam wilayah Indonesia melalui  proses PEPERA 1969 yang penuh kebohongan dan manipulatif. Intelekual dan  cendikiawan kawakan yang ternama dimiliki Kristen Katolik, Dr. George  Junus Aditjondro, pada kesempatan peluncuran buku saya yang berjudul:  West Papua: “Persoalan Internasional” di kantor Kontras Jakarta, 3  November 2011, dia menyatakan: “ PEPERA 1969 di Papua Barat tidak benar  dan itu dimenangkan oleh aparat keamanan Indonesia bukan pilihan rakyat  Papua tinggal dalam Indonesia. Jadi, tak ada pilihan lain, Papua harus  referendum. Karena hanya referendum yang dapat menentukan apakah orang  Papua masih ingin menjadi bagian dari Indonesia atau tidak”.
Menurut rakyat dan bangsa Papua Barat, semua perjanjian Internasional  dan pelaksanaan PEPERA 1969 telah menghancurkan kemerdekaan dan  kedaulatan yang telah dimilikinya. Seperti 1 Desember 1961 adalah hari  kemerdekaan rakyat dan bangsa Papua Barat lengkap dengan atribut Negara  dan bangsanya: yaitu: lagu: Hai Tanahku Papua; Bendera Bintang Pajar;  Mata Uang, Lambang Negara, Nama bangsa: Bangsa Papua.  Kemerdekaan ini  dianeksasi oleh pemerinth Indonesia melalui Maklumat Trikora, Ir.  Sukarno, di Yogyakarta, 19 Desember 1961.
Uraian singkat ini  menjadi jelas bagi Pemerintah, TNI, POLRI,  seluruh rakyat Indonesia, bahwa akar masalah Papua bukan persoalan  kesejahteraan.  Tetapi, akar masalah Papua yang sebenarnya adalah   sejarah dan status politik Papua ke dalam Indonesia yang belum jelas  sampai hari ini.Oleh karena itu, demi nama baik dan kehormatan Indonesia  di mata dunia internasional, maka status politik Papua ke dalam  Indonesia ini harus diselesaikan dengan dialog yang jujur dan terbuka  antara Pemerintah Indonesia dan rakyat Papua yang dimediasi pihak ketiga  yang netral.  Dialog damai harus dilaksanakan diluar bingkai NKRI,  OTSUS, UP4B dan Papua Merdeka supaya penyelesaian berprospek damai dan  manusiawi ditemukan.
*)Penulis:  Ketua Umum Badan Pelayan Pusat Persekutuan Gereja-gereja Baptis Papua:
 
 
 
 
 
 
0 Komentar Anda:
Post a Comment
Your Comment Here