Oleh: Socratez Sofyan Yoman
“…Setiap dusta harus dilawan.
Menang atau kalah. Lebih-lebih dusta yang mengandung penindasan.” (Mayon Soetrisno)
Ketua Umum PGBP, Socratez Sofyan Yoman (foto Litbag pgbp) |
Saya menghargai pandangan
tentang sejarah PEPERA 1969 yang disampaikan oleh saudara Mayor Inf Tri Ubaya,
S.H., Kasi Lisainfo Pangdam XVII/Cenderawasih (Bintang Papua, Kamis, 02
Februari 2012, hal.5) dengan topik: “Sejarah…….Mengapa?
Mari Kita Jawab Dengan Karya Nyata Bukan Wacana.” Tulisan ini menanggapi opini saya dalam media Bintang Papua, Selasa,
02 Februari 2012 dengan topik: “ PEPERA 1969 di Papua Adalah Sejarah Palsu dan
Cacat Hukum.” Jadi, metode cerdas,
intelektual, dan bermatabat serta
manusiawi seperti ini yang perlu kita tumbuh kembangkan dalam memperdebatkan atau berargumen dalam
mensiasati setiap masalah di Papua.
Saya yakin, setiap pembaca dapat
menilai dan mengerti tulisan saya dan juga tulisan saudara Tri. Tentu saja, masalah sejarah PEPERA 1969 sudah menjadi jelas bagi
kita semua dari kedua opini tadi. Tapi saran saya, bagi para pembaca yang belum jelas,
membaca buku saya berjudul: West Papua :Persoalan Internasional (2011);
Integrasi Belum Selesai (2010); Gereja dan
Politik di Papua Barat ( 2010), dan juga membaca buku P.J. Drooglver dan Dr. John Saltford tentang PEPERA 1969 di
Tanah Papua.
Perdebatan tentang sejarah
PEPERA 1969 akan kita dilanjutkan karena peristiwa rekayasa PEPERA ini
merupakan akar masalah Papua yang
sebenarnya dan dipermasalahkan oleh seluruh rakyat Papua sampai hari ini . Tapi,
Saudara Tri dalam opininya memunculkan banyak persoalan yang perlu kita
perjelas dalam posisi kami sebagai anak-anak adat, pemilik negeri dan ahli
waris tanah Melanesia ini dan juga sebagai salah satu pemimpin atau gembala
umat. Saya mau soroti salah satunya adalah tentang sejarah lahirnya UU No. 21 Tahun 2001
tentang Otonomi Khusus.
Dalam menjawab pertanyaan saya: “Kalau status Papua dalam Indonesia sudah final, mengapa
harus ada UU No. 21 Tahun 2001 sebagai solusi politik yang final? Saudara Mayor
Inf Tri Ubaya mewakili Pangdam dan tentu
saja sebagai kepanjangan tangan pemerintah Indonesia di Tanah Papua dapat memuliakan Otsus dengan menjawab
sebagai berikut: “ Tentang mengapa harus ada UU No. 21 Tahun 2001, memang harus
kita akui, wilayah Papua yang mencakup Provinsi Papua dan Papua Barat, adalah
kawasan yang termasuk paling tertinggal di Indonesia. Tentu saja,
saudara-saudara kita di wilayah ini harus mendapat perlakuan khusus agar mampu
mengejar ketertinggalannya dari wilayah-wilayah lainnya di Indonesia.
Pemerintah Pusat tentu sangat menyadari pentingnya upaya mengejar
ketertinggalan itu. Inilah latar belakang terbitnya UU No. 21 Tahun 2001
tentang Otsus.” Menurut Saudara Tri
latar belakang terbitnya UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otsus adalah:
Pertama, Wilayah Papua yang
mencakup Provinsi Papua dan Papua Barat, adalah kawasan yang termasuk paling
tertinggal di Indonesia. Kedua, Saudara-saudara kita di wilayah ini harus
mendapat perlakukan yang khusus agar mampu mengejar ketertinggalan dari
wilayah-wilayah lain di Indonesia. Ketiga, Pemerintah Pusat tentu sangat
menyadari pentingnya upaya mengejar ketertinggalan itu.
Ketiga alasan yang dikemukakan
Saudara Tri ini adalah potret atau cermin dari paradigma dan kerangka berpikir
penguasa Indonesia selama ini tentang tanah dan
Papua. Papua adalah daerah tertinggal, orang-orangnya juga tertinggal,
belum maju dan miskin dan berbagai bentuk stigma dan label sesuai selera
penguasa. Saudara-saudara kita harus mendapat perlakukan khusus agar mampu
bersaing dengan saudara-saudara lain di Indonesia.
Yang dimaksud saudara-saudara lain di Indonesia yang mana? Apakah sama seperti SMS saya ini: “Saya malu
setiap saya ke Jakarta. Banyak orang Melayu, Indonesia yang sangat miskin dan
pengemis di jalan-jalan dan di mana-mana. Saya berpikir dan bertanya bagaimana bangsa miskin dan
pengemis ini bermimpi untuk bangun bangsa Papua, ras Melanesia ini? Saran saya
supaya dana Otsus dan UP4B perlu digunakan bangun bangsa miskin dan pengemis di
Indonesia. Ini pernyataan nurani kemanusiaan” (Socratez S. Yoman, Gembala umat
tertindas).
Sebagaimana telah ditukip
sebagai latar belakang lahirnya UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otsus yang ditulis
Saudara Tri adalah sangat bertolak belakang atau berlawanan dengan akar masalah lahirnya UU
No. 21 Tahun 2001 yang sesungguhnya.
Pandangan Saudara Tri ini tentu saja bagian yang tak terpisahkan dan
pencerminan wajah dan karakter dari
rantai kontra-intelijen yang dipraktekkan aparat keamanan dan Pemerintah
Indonesia dalam usaha-usaha menggaburkan atau membelokkan akar masalah Papua
yang sebenarnya selama ini sejak 1961 sampai
sekarang ini.
Latar belakang lahirnya Otsus
dimulai dari era reformasi tahun 1998, pasca tumbangnya
Presiden otoriter dan berwatak militeristik, (alm.) Soeharto dari kekuasaannya
melalui demonstrasi besar-besaran yang digalang oleh seluruh komponen mahasiswa
Indonesia merupakan terbukanya saluran demokrasi dan kebebasan bagi rakyat
Indonesia. Ruang demokrasi dan kebebasan
ini menjadi peluang dan kesempatan berharga bagi seluruh rakyat Indonesia untuk
menyatakan pendapat dan pikirannya dengan bebas dan teratur. Khususnya, rakyat Papua yang sudah lama
berada dibawah kontrol Daerah Operasi Militer (DOM) yang kejam dan jahat itu
mendapat angin segar dan tidak disia-siakan kesempatan dan kebebasan ini. Rakyat Papua dari Sorong-Merauke bangkit dan
berdiri untuk menyatakan perlawanan (resistensi) dengan cara-cara elegan dan bermartabat
seperti: demonstrasi besar-besaran di seluruh Tanah Papua yang diiringi dengan pengibaran bendera kebangsaan
rakyat dan bangsa Papua Barat, Bintang Pagi (Morning Star). Tujuannya ialah untuk berdiri sendiri
sebagai sebuah bangsa yang merdeka dan berdaulat di atas Tanah dan Negeri
leluhur orang Papua.
Selain demonstrasi dan
pengibaran bendera Bintang Pagi, ada pula peristiwa penting dan bersejarah
adalah pertemuan Tim 100 duta-duta rakyat Papua dengan Presiden RI, Prof. Dr. B.J. Habibie pada 26
Februari 1999. Apa yang disampaikan oleh Tim 100 dari Papua adalah: “ Bahwa
permasalahan mendasar yang menimbulkan ketidak-stabilan politik dan keamanan di
Papua Barat (Irian Jaya) sejak 1963 sampai sekarang ini, bukanlah semata-mata
karena kegagalan pembangunan, melainkan status politik Papua Barat yang pada 1
Desember 1961 dinyatakan sebagai sebuah Negara merdeka di antara bangsa-bangsa
lain di muka bumi. Pernyataan tersebut menjadi alternatif terbaik bagi sebuah
harapan dan cita-cita masa depan bangsa Papua Barat,namun telah dianeksasi oleh
Negara Republik Indonesia.”
“Oleh sebab itu, dengan jujur
kami menyatakan kepada Presiden Repblik Indonesia, bahwa tidak ada alternatif
lain untuk merundingkan atau mempertimbangkan keinginan Pemerintah Indonesia
guna membangun Papua dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia.”
“Maka pada hari ini, Jumat, 26
Februari 1999, kepada Presiden Republik Indonesia, kami bangsa Papua Barat
menyatakan bahwa: Pertama, kami bangsa Papua Barat berkehendak keluar dari
Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk merdeka dan berdaulat penuh di antara
bangsa-bangsa lain di bumi. Kedua, segera membentuk pemerintahan peralihan di
Papua Barat di bawah pengawasan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) secara
demokratis, damai, dan bertanggungjawab, selambat-lambatnya bulan Marat tahun
1999. Ketiga, Jika tidak tercapai penyelesaian terhadap pernyataan politik ini
pada butir kesatu dan kedua, maka:
(1) segera diadakan perundingan
Internasional antara Pemerintah Republik Indonesia, Bangsa Papua Barat, dan
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB);
(2) Kami bangsa Papua Barat menyatakan, tidak
ikut serta dalam pemilihan Umum Republik Indonesia tahun 1999. Demikian
pernyataan politik ini dibuat dan disampaikan kepada Pemerintah Repbulik
Indonesia di Jakarta. Dibuat di Jakarta,
pada tanggal 26 Februari 1999, atas bangsa Papua Barat: Tom Beanal dan 100
orang delegasi rakyat dan bangsa Papua Barat.” (Baca: Agus A.Alua, Dialog
Nasional Papua dan Indonesia, 26 Februari 1999, hal.38-39).
Tidak saja berhenti pada
pertemuan tanggal 26 Februari 1999, tetapi dilanjutkan dengan pelaksanaan
Musyawarah Besar (MUBES) Papua pada 23-26 Februari 2000; Kongres Nasional II
Rakyat dan bnagsa Papua Barat di Gedung Olah Raga (GOR) Jayapura, 26 Mei-4 Juni
2000 dan dibiayai oleh Presiden Republik Indonesia, (alm). Abdul Rahman
Wahid.
Yang benar dan pasti: UU No.
21 Tahun 2001 adalah hasil negosiasi,
kompromi dan keputusan politik antara Pemerintah Indonesia dan rakyat Papua,
ketika rakyat Papua mempersoalkan status politik dan sejarah diintegrasikan
atau sejarah aneksasi Papua ke dalam wilayah Indonesia melalui rekayasa PEPERA
1969 yang saya sebut: “sejarah palsu
dan cacat hukum” itu. Dan juga lihat seperti yang telah dikutip
pernyataan tanggal 26 Februari 1999.
Otsus juga bukan sebagai
sebuah hadiah Pemerintah Indonesia kepada rakyat Papua. Otsus juga bukan lahir
karena niat baik Pemerintah Indonesia untuk memajukan rakyat Papua,
melainkan kompromi politik sebagai ”win win solution” atau jalan tengah
penyelesaian status politik Papua dalam wilayah Indonesia yang dipersoalkan
oleh rakyat Papua selama ini. Keputusan
politik yang disebut Otsus ada amanat:
keberpihakan (affirmative action) , perlindungan (protection) dan pemberdayaan (empowering) . Tapi, yang
terjadi adalah dalam realitas hidup penduduk asli Papua selama sepuluh tahun
Otsus sangat bertolak belakang. Kelangsungan dan masa depan rakyat dan bangsa
Papua Barat sangat memprihatinkan. Seperti Pdt. Dr. Benny Giay, sampaikan kepada Presiden RI, Hj. Dr. Bambang
Susilo Yudoyono pada 16 Desember 2011 di Cikeas bahwa: “ Bapak Presiden, kalau
kami rakyat Papua masih tetap dalam Indonesia, 50 tahun ke depan kami akan
habis di atas tanah leluhur kami.”
“Dalam realitasnya, Otonomi
Khusus memang benar-benar gagal. Otonomi Khusus benar-benar menjadi mesin
pembunuh masa depan rakyat dan bangsa Papua. Otonomi Khusus benar-benar menjadi
alat ampuh proses pemusnahan etnis Papua lebih aman, cepat, sistematis dan
tidak menimbulkan kecurigaan-kecurigaan dari masyarakat internasional yang peduli
tentang kemanusiaan. Otonomi Khusus adalah lembaga yang memperpanjang
penderitaan, tetesan dan cucuran air mata penduduk asli Papua. Otonomi Khusus
adalah solusi dan keputusan politik tentang status politik Papua ke dalam
Indonesia yang telah gagal. Otonomi Khusus adalah mesin penghancur yang
benar-benar meminggirkan (memarjinalkan) penduduk asli Papua dari segala aspek.
Otonomi Khusus adalah PEPERA 1969 jilid kedua yang telah gagal dan telah
menjadi persoalan baru.”( Inilah rekaman
isi hati penduduk asli Papua).
Unit Percepatan Pembangunan
Papua dan Papua Barat (UP4B) dibuat tergesa-gesa dan akal-akalan oleh
Pemerintah Indonesia karena Otonomi
Khusus telah gagal dilaksanakan di Papua.UP4B adalah selimut pembungkus
kekerasan dan kejahatan kemanusiaan dan kegagalan Otonomi Khusus di Tanah Papua.UP4B adalah usaha-usaha
Pemerintah untuk mengalihkan kegagalan Otsus. UP4B memang tidak didukung oleh
Pemerintah Amerika dan tapi pemerintah Amerika Serikat dukung penuh dialog
legal antara Pemerintah Indonesia dan rakyat Papua untuk menyelesaikan
kompleksitas masalah Papua.
Karena Otonomi Khusus
merupakan jalan tengah untuk penyelesaian masalah status politik Papua dalam
Indonesia telah gagal, maka solusi selanjutnya bukan Unit Percepatan
Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B) tanpa roh yang dipaksakan belakangan
ini, tapi jalan penyelesaian yang lebih
tepat dan bermartabat ialah dialog damai yang setara tanpa syarat antara
Pemerintah Indonesia dan rakyat Papua yang dimediasi pihak ketiga yang netral.
“Di atas batu ini saya
meletakkan peradaban orang Papua, sekalipun orang memiliki kepandaian tinggi,
akal budi,dan marifat, tetapi tidak dapat memimpin bangsa ini. Bangsa ini akan
bangkit dan memimpin dirinya sendiri” (Pdt. Izaac Samuel Kiine, Wasior, Manokwari,
25 Oktober 1925). Shalom. Tuhan
memberkati kita. Selamat membaca.
* Penulis: Ketua Umum Badan
Pelayan Pusat Persekutuan Gereja-gereja Baptis Papua.
0 Komentar Anda:
Post a Comment
Your Comment Here