Taha Al Hamid: Penegakan Hukum Penting Harus Dilakukan
Taha Al Hamid |
Jayapura - Terkait tudingan Polda Papua dan Kodam
XVII Cenderawasih, bahwa pelaku penembakan terhadap Kepala Kampung
Sawiyatami Yohanes Yanupron adalah kelompok OPM pimpinan Lambert
Pekikir, Presidium Dewan Papua meminta dibuktikan secara hukum.
Namun, jangan penegakan hukum dijadikan sebagai jubah membungkus desain
operasi militer. “Penegakan hukum penting dan harus dilakukan oleh
Polisi, tak peduli siapa pelakunya. Masyarakat Papua pasti menghargai
itu. Tapi, seyogyanya semua tudingan terhadap Lambert Pekikir dan anak
buahnya, sebagai pelaku keponakannya sendiri yang tak lain Kepala
Kampung.
Sawiyatami, harus dibuktikan dulu secara hukum,’’tandas Thaha Alhamid Sekretaris Jenderal Presidium Dewan Papua, melalui pesan singkatnya, Kamis 5 Juli. Lanjut dia, dalam proses penegakan hukum Polisi harus profesional, dengan sasaran hanya para pelaku yang memang melakukan penembakan. ‘’Polisi dalam menegakkan hukum harus terukur, sasaran jelas yakni yang terbukti bersalah. Jangan juga penegakan hukum menjadi jubah untuk membungkus skenario operasi militer dengan melakukan penyisiran dan menyikat rakyat yang tahu apa-apa,’’tandasnya.
Ia mengatakan, dalam peristiwa pengibaran bendera yang berbuntut tertembaknya warga sipil, penegakan hukumnya jangan sampai lenyap dan berganti dengan tindakan represif. ‘’Penting kita jaga agar jangan sampai kasus pengibaran bintang kejora dan penembak kan kepala desa, lantas menjadi justifikasi tetapi kemudian tenggelam dalam hiruk pikuk operasi militer. Nanti substansi penegakan hukumnya hilang dan yang muncul adalah bentuk kekerasan baru lagi,’’tegasnya. Thaha juga meminta Pimpinan Polda Papua dalam mengungkap kasus penembakan Kepala Kampung, sebaiknya membukan komunikasi dengan masyarakat maupun tokoh agama yang ada disekitar lokasi kejadian. Agar jelas siapa pelaku sebenarnya. ‘’Saya kira pimpinan Polda Papua harus berusaha membuka simpul komunikasi yang tersumbat supaya masyarakat dan tokoh agama di sekitar TKP buka mulut menjelaskan siapa kemungkinan pelaku penembakan yang sebenarnya,’’tegas Thaha.
Sementara itu, menyikapi perintah Pangdam XVII Cenderawasih Mayjen TNI Moh Erwin Syafitri kepada jajarannya, untuk mengejar kelompok Organisasi Papua Merdeka pimpinan Lambert Pekikir yang bermarkas di daerah perbatasan RI-Papua Nugini mendapat tanggapan dari The Indonesian Human Rights Monitor (Imparsial).
‘’Dalam melakukan pengejaran dan penangkapan terhadap gerakan separatis bersenjata, aparat KODAM XVII Cenderawasih harus berpegang pada UU No. 34 Tahun 2004, khususnya pasal pasal 3 ayat (1), pasal 7 ayat (2) point 1, ayat (3), pasal 17 ayat (1) dan ayat (2). Dimana, dalam upaya penangkapan terhadap Lambert Pekikir cs disebut sebagai Operasi Militer Selain Perang (OMSP), pelaksanaannya haruslah berdasarkan kebijakan dan keputusan politik Negara,’’ujar Poengki Indarti Direktur Eksekutif Imparsial juga melalui pesan elektroniknya, Kamis 5 Juli.
Dengan demikian, harus ada persetujuan DPR RI sebagai pegangan Presiden untuk memberikan perintah pengejaran terhadap OPM pimpinan Lambert Pekikir. “Jadi, TNI tidak boleh dikerahkan melakukan pengejaran, sebelum ada keputusan presiden yang disetujui DPR RI, jika tidak, pengerahan pasukan tersebut illegal,’’ tegasnya. Imparsial menganggap kasus penembakan mobil TNI yang berbuntut tertembaknya warga sipil, adalah kasus criminal, sehingga yang paling berhak melakukan pengejaran adalah Polisi. ‘’Penembakan itu tindakan krimnal, jadi itu wewenang Polisi dalam penegakan hukum,’’singkatnya.
Aksi baku tembak antara OPM pimpinan Lambert Pekikir dengan TNI terjadi 1 Juli lalu di Kampung Sawiyatami Wembi Kabupaten Keerom. Seorang warga sipil kemudian tertembak dalam insiden itu. Lamber Pekikir mengakui melakukan penembakan terhadap mobil TNI, tapi tidak mengakui menembak Yohanes Yanupron.(jir/don/l03)
Sumber: http://www.bintangpapua.com/
0 Komentar Anda:
Post a Comment
Your Comment Here