"Pertama kali dalam sejarah partai politik di era reformasi, seluruh
jabatan dalam struktur partai politik diketuai satu orang."
SBY (photo VHRm) |
VHRmedia, Jakarta - Terpilihnya Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono sebagai ketua umum sekaligus ketua majelis tinggi dan
ketua komisi pengawas Partai Demokrat menegaskan kekalahan negara
terhadap kepentingan golongan dan kelompok.
Padahal, menurut Direktur Eksekutif Lingkar Madani Indonesia Ray
Rangkuti, justru SBY-lah yang selalu mendengungkan jargon kepentingan
negara diatas kepentingan yang lain.
“Semboyan itu hanya hebat diucapkan tapi pahit dalam pelaksanaan,
bukan saja karena negara seringkali kalah dalam menghadapi koruptor,
sikap intoleran bahkan premanisme bahkan negara kalah oleh tindakan dan
pilihan presiden sendiri,”kata Ray.
Menurut Ray, pertama kali dalam sejarah partai politik di era
reformasi, seluruh jabatan dalam struktur partai politik diketuai oleh
seorang individu. SBY adalah Ketua Majlis Tinggi Demokrat, sekaligus
Ket ua Dewan Pembina, Komisi Pengawas Demokrat. "Prinsip agar partai
dikelola secara partisipastif dan bagian dari pendidikan politik
masyarakat hilang dengan praktek ini,"katanya.
Struktur itu, kata Ray, mengaburkan pertanggugjawaban dan
fungsi-fungsi tiap struktur partai secara internal. Siapa
bertanggungjawab atas apa, dan siapa melakukan pengawasan atas apa serta
siapa memerintah atas apa menjadi kabur karena kekuasan terpusat hanya
di tangan satu orang. Semangat itu melecehkan prinsip demokrasi yang
pada hakekatnya menginginkan adanya pembagian kekuasaan yang saling
mengkoreksi dan seimbang.
"Uniknya, model seperti ini malah melanggar AD/ART Demokrat sendiri.
Seperti disebutkan dalam pasal 13 ayat (3) bahwa wakil ketua Majelis
Tinggi dijabat oleh Ketua Partai. Dengan begitu, SBY bukan hanya sebagai
ketua mejelis tinggi, dia juga menjadi wakil ketua majelis tinggi.
Struktur partai model apakah ini? Ketua dan Wakil Ketua adalah dirinya
sendiri," ujarnya.
KLB Partai Demokrat juga menunjukan partisipasi dan kaderisasi
mandek, salah satu prinsip pembentukan partai politik adalah dalam
rangka mengelola partisipasi masyarakat dalam rangka menuju cita-cita
bersama dan sekaligus menjadi alat bagi rekrutmen kepemimpinan. Dua
prinsip ini dikalahkan secara tragis di dalam KLB Demokrat. Kekuasaan
yang menumpuk di tangan SBY dan membunuh lahirnya partisipasi sekalligus
kaderisasi yang baik di internal partai. Suasana ini jelas memacetkan
adanya sirkulasi kekuasaan dari satu tangan ke banyak tangan.
"Adanya pergantian yang reguler untuk memastikan bahwa kekuasaan
tidak hanya bertumpu pada satu tangan bahkan tidak boleh bertumpu pada
satu klan, keluarga atau darah. Itulah makna penting pemilihan,
pembatasan dan struktur-struktur dalam partai politik," katanya.
Anak muda diam
Kata Ray, agar partai dikelola secara bersama oleh banyak orang dan
kepala dan dengan begitu partisipasi dan kaderisasi tidak mandeg, tapi
melebar mengait dengan banyak orang dan kepala. Karena partai seharusnya
menjadi milik semua dan menjadi milik bangsa, bukan orang perorang atau
keluarga.
Negara juga jelas-jelas makin kalah karena pada akhirnya presiden dan
banyak anggota kabinet adalah mereka yang mewakili kepentingan
partai-partai. Eksistensi partai seolah menjadi lebih penting dari pada
eksistensi negara. Jargon-jargon yang dipakai untuk melegalisasi SBY
sebagai ketua umum memperlihatkan bahwa penyelamatan partai jauh lebih
utama dari pada penyelamatan negara.
"Bahkan bentrokan antar aparat negara makin merajalela. Dalam hampir
dua bulan perhatian SBY terpecah antara mengurus partai dengan negara,
kenyataannya masalah negara lebih banyak terabaikan dari pada dikelola
secara efektif dan segera," katanya.
Lebih dari itu kata dia, prinsip agar negara dikelola secara
professional dan memulai tradisi agar setiap penyelenggara negara
menganut prinsip loyalitas pada partai berakhir ketika loyalitas pada
negara dimulai hancur berkeping-keping. Pernyataan SBY yang menyebut
membiarkan dirinya dikritik dan diserang daripada Partai Demokrat tambah
susah dan hadapi masalah menjadi pengukuhan bahwa kepentingan mengurus
Demokrat jauh lebih utama dari pada mengurus bangsa dan negara. "Sebab
bukankah kritik masyarakat kepada dirinya terkait dalam kasus ini
berkenan dengan tuntutan agar SBBY lebih fokus mengurus negara dari pada
mengurus partai sesuatu yang ideal," kata dia.
SBY lebih memilih mengabaikan kritik subtantif ini dan memilih
mengurus demokrat sekalipun dengan struktur yang compang camping.
"Negara juga kalah karena anak-anak muda kritis, yang lahir dan tumbuh
dalam budaya demokrasi, yang bahkan ikut berjuang menjatuhkan orde baru
agar salah satunya praktek nepotisme politik dihapuskan, sama sekali
tak bersuara melihat kenyataan pilihan yang tidak demokratis dan
mengarah ke nepotisme politik ini," tuturnya.
Negara kalah karena anak-anak muda kritisnya tiba-tiba tumpul, lumpuh
dan ikut suasana perlakuan yang melecehkan adab dan rasionalitas
demokrasi. Bila anak-anak mudanya tidak berani keluar bersuara dan
menyatakan sikap menolak praktek pelecehan etika, rasionalitas dan
prinsip pengelolaan negara dan partai secara demokratis atau malah
mungkin mendukungnya demi kebaikan partai, saat itu sudah saatnya
dinyatakan negara telah kalah.
"Masa depan negara ada di tangan anak-anak muda ini. Bila mereka
adaptatif pada praktek keculasan atas demokrasi, pada ujung-ujungnya
mereka tengah membiarkan dirinya terbiasa dengan tindakan dan suasana
tidak demokratis berlak,"katanya.
Negara kata Ray, akan terus menerus terkalahkan jika generasi yang
akan mengelola bangsa dan negara ini adalah sekelompok orang yang
terbiasa berdamai dengan tindakan tidak demokratis dalam partainya. Dan
kekalahan kelima, negara kalah karena kata-kata ideal dalam mengeloal
bangsa dan negara justru dibajak untuk melegalisasi praktek keculasan
dalam berpolitik.
"Prinsip-prinsip ideal dalam mengelola bangsa ini kata dia, takluk
dan terkalahkan dalam praktek. Bahkan dipergunakan untuk melegalisasi
tindakan-tindakan yang sebalinya. Ironis," kata Ray.(E2)
0 Komentar Anda:
Post a Comment
Your Comment Here