Laporan Yohanna Ririhena, The Jakarta Post - Jenewa
Jenewa,-- Anggota
Komite Hak Asasi Manusia PBB mempertanyakan komitmen Indonesia untuk
menyelesaikan pelanggaran HAM, melindungi agama minoritas dan penggunaan
kekuatan yang berlebihan di kalangan aparat negara, pada sesi review
PBB pada Rabu.
Panitia,
yang terdiri dari 18 ahli hak asasi manusia dari seluruh dunia,
menyoroti bahwa kegagalan untuk menegakkan hukum dan ketertiban
mengakibatkan pelanggaran hak asasi, selama penilaian pertama
pelaksanaan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR).
Pertanyaan
rinci dan tajam menyentuh berbagai kasus termasuk pembunuhan aktivis
hak asasi Munir pada tahun 2004; pembunuhan ekstra yudisial di Papua, UU
2008 tentang pornografi yang dianggap diskriminatif terhadap perempuan
dan masyarakat LBGTIQ, penerapan hukum Syariah di Aceh, dan serangan
terhadap pengikut Syiah di Madura, Jawa Timur, pada Ahmadiyah di
Cikeusik, Jawa Barat, di gereja maupun di festival film gay.
Komite wakil ketua Yadh Ben Achour mencatat budaya endemik impunitas meski negara meratifikasi ICCPR. Ia
mempertanyakan mengapa Kejaksaan Agung (Kejagung) telah gagal untuk
melanjutkan dengan rekomendasi dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
(Komnas HAM).
"Ada ketegangan dan rekomendasi tidak selalu diterima dengan baik. Ada tuduhan bahwa pemerintah diminta untuk mengabaikan rekomendasi Komnas HAM. "
Achour juga meneliti tentang kesesuaian peraturan daerah (perda) dan hukum nasional dan norma-norma internasional.
"Ada kontradiksi antara otonomi dan pemerintah," tegasnya.
Ia meminta penjelasan mengenai penerapan hukum Syariah di Aceh, khususnya mengenai hukuman fisik. "Apakah itu sesuai dengan ICCPR, terutama pada penggunaan kekuatan yang berlebihan?"
Delegasi
Indonesia yang terdiri 22 pejabat pemerintah, polisi dan militer yang
dipimpin oleh Hukum dan Hak Asasi Manusia Direktur Departemen umum HAM
Harkristuti Harkrisnowo, disajikan sebuah laporan awal tentang keadaan
hak-hak sipil dan politik di markas PBB di Jenewa pada hari Rabu dan Kamis.
Menanggapi
pertanyaan anggota komite ', Harkristuti menekankan bahwa konstitusi
tidak mengatakan apa-apa tentang konvensi internasional. "Status instrumen internasional adalah sama dengan undang-undang nasional, tidak di atas. Dalam kasus konflik, maka akan dibawa ke Mahkamah Agung. "
Pada
isu kebijakan dan program untuk pelaksanaan ICCPR, katanya, itu telah
tercermin dalam rencana aksi HAM nasional dan melalui berbagai peraturan
nasional dan regional.
Perwakilan LSM Indonesia mengkritik pemerintah tentang penjelasan yang kredibel.
Poengky Indarti dari Imparsial berpendapat bahwa pemerintah belum menyentuh pada fakta-fakta yang nyata. "Dengan [besar] delegasi, pemerintah seharusnya sudah menyiapkan data yang lebih mandiri, dan tidak hanya sikap membela."
Choirul
Anam dari Kelompok Kerja Hak Asasi Manusia menyesalkan penjelasan
pemerintah, mengatakan ada kurangnya data konkret dan rinci.
0 Komentar Anda:
Post a Comment
Your Comment Here