Ditulis Oleh: Frida/Papua Pos | |
Sabtu, 25 Oktober 2008 | |
JAYAPURA (PAPOS) –Sembilan pimpinan Persekutuan Gereja-gereja di Papua, prihatin atas situasi yang bergolak beberapa hari terakhir ini di Kota Jayapura. Di satu sisi pimpinan gereja menilai peluncuran International Parliaments for West Papua (IPWP) tidak signifikan, sementara di sisi lain pimpinan gereja menilai pihak keamanan bertindak represif terhadap orang Papua.
Keprihatinan pimpinan Gereja-gereja itu dituangkan alam suatu pernyataan sikap ditandatangani Ketua Sinode GKI di Tanah Papua, Pdt. JJ Mirino Krey, S.Th, Ketua Sinode Gereja Kemah Injil (Kingmi) di Tanah Papua, Pdt. S. Karubaba, MA, Ketua I Sinode GBGP di Tanah Papua, Pdt. Tomy, Ketua Gereja Pantekosta Tabernakel Papua, Pdt. Isak Doom, S.Th, Ketua Sinode GMK di Tanah Papua, Pdt. Theys Wopari, Ketua Umum Badan Pelayanan Pusat Persekutuan Gereja-Gereja Baptis Papua, Socrates Sofyan Yoman, Ketua Sinode Gereja Pantekosta di Tanah Papua, Pdt. Andreas Ayomi, Pastor Neles Tenay, Pr dan Ketua GIDI, Pdt. Lipiyus Biniluk. Menurut mereka, pro dan kontra masalah Pepera tidak akan diselesaikan dengan cara pemblokiran jalan, penangkapan, penahanan dan lainnya. Oleh sebab itu, masalah Pepera harus diselesaikan dengan suatu dialog damai. Pimpinan Gereja-gereja di Papua mendorong pemerintah Indonesia dan orang Papua untuk membahas masalah Pepera melalui dialog yang difasilitasi pihak ketiga yang netral. Betapapun sensitifnya, menurut mereka, persoalan Papua harus diselesaikan melalui dialog damai untuk mendapatkan solusi damai. Dalam pernyataan sikap tertanggal 22 Oktober tersebut, pimpinan-pimpinan gereja ini menyatakan, IPWP yang diluncurkan 15 Oktober di House of Commons oleh Dubes Indonesia di London menilai acaranya tidak signifikan karena hanya dihadiri 2 orang parlemen Inggris saja. Yang menjadi keprihatinan, meskipun peluncurannya oleh pemerintah Indonesia diakui tidak signifikan tetapi pada tanggal 16 Oktober gabungan dari Polisi, Tentara dan Angkatan Laut memblokir jalan raya di Waena untuk menghalangi ribuan orang Papua yang hendak menyampaikan pendapatnya kepada DPRP. “Menghadapi rencana demonstrasi damai ini, pihak keamanan melakukan siaga di seluruh sudut kota Jayapura, bahkan sampai mengeluarkan tank-tank militer seakan-akan hendak menghadapi serangan militer yang dilancarkan oleh negara lain,” kata Pdt. S. Karubaba, dkk, dalam pernyataan sikapnya yang dibawa ke redaksi Papua Pos, Jumat (24/10). Diterangkan, pemblokiran jalan oleh pihak keamanan, menurut mereka merupakan suatu tanda yang mengindikasikan adanya pemblokiran saluran demokrasi. Ribuan orang Papua tidak diberikan kesempatan untuk menyampaikan pendapatnya tentang acara peluncuran IPWP yang diakui tidak signifikan itu. Mereka melihat bahwa ruang demokrasi sengaja ditutup oleh pihak keamanan dan tertutup bagi orang Papua. “Kami prihatin karena orang Papua yang mau demonstrasi itu tidak diberikan kesempatan untuk menyampaikan haknya yakni kebebasan berekspresi. Tentunya hal ini mencoreng wajah Indonesia yang sedang berkembang menjadi negara demokratis,” kata Pdt. Socrates menambahkan. Yang makin memprihatikan, tindakan represif masih berlanjut. Ketika tanggal 20 Oktober orang Papua ingin melaksanakan demonstrasi, suasana kota Jayapura mencekam. Aparat keamanan yang terdiri dari Polisi, Brimob, Militer dan Marinir diangkut dengan 11 truk dan disebarkan di kota Jayapura, ratusan intelijen disebarkan dalam kota. Sementara situasi di kota mencekam, pihak Kepolisian melakukan penangkapan terhadap belasan orang dan menahan mereka di tahanan Polresta. Menurut para pimpinan gereja-gereja ini, tindakan berlebihan dari pihak aparat memperlihatkan bahwa pemerintah Indonesia masih salah dalam melihat orang Papua. Bila aspirasi dan pendapat berbeda dipandang sebagai orang-orang jahat yang melakukan tindakan kriminal. Mereka melihat orang Papua berada di tengah 2 pendapat. Di satu pihak, orang Papua mendengar bahwa IPWP membahas tentang Pepera 1969 karena dinyatakan cacat hukum. Sementara di satu pihak, orang Papua mendengar dari pemerintah Indonesia bahwa Pepera sudah final. “Kami merasa prihatin karena orang Papua dibiarkan bingung diantara 2 pendapat yang berbeda dan terus menjadi korban,” kata para pimpinan gereja ini. (frida) |
An Australia-China military alliance?!
-
*1.* *Is seeing Trump’s good side like kicking a puppy into orbit?* He’s
decisive, scares the sh-t out of enemies and also friends. He's anti woke.
His l...
2 hours ago
0 Komentar Anda:
Post a Comment
Your Comment Here