Terkait Video Kekerasan dan Penyiksaan Rakyat Sipil di Puncak Jaya
JAYAPURA—Rakyat Papua Barat yang terdiri dari Komite Nasional Papua Barat (KNPB) beserta seluruh elemen masyarakat lainnya menolak dengan tegas opsi yang disampaikan Wakil Ketua I DPRP Yunus Wonda untuk membentuk tim investigasi guna mengumpulkan fakta atau bukti terkait kekerasan dan penyiksaan yang dialami rakyat sipil di Tingginambut, Kabupaten Puncak Jaya, Papua.
“Kami tegas menolak tim investigasi sepihak yang dibentuk oleh TNI/Polri, DPRP, pemerintah pusat maupun Komnas HAM. Tapi kami minta TNI/Polri maupun pemerintah membuka akses internasional bagi tim investigasi independen dari pihak pihak internasional untuk datang ke Puncak Jaya dan Jakarta jangan menutup akses ke Papua,” ujar Ketua Umum KNPB Buchtar Tabuni yang disampaikan melalui Juru Bicara KNPB Mako Tabuni di hadapan Wakil Ketua I DPRP Yunus Wonda dan Ketua Komisi A DPRP Ruben Magai beserta anggota DPRP antara lain Yulius Miagoni SH, Nasson Uti, Achmad Saleh, Ignasius Mimin, John Banua Rouw, Ny Yani, Kenius Kogoya ketika berlangsung demo, Kamis (28/10) kemarin.
Selanjutnya dia mengatakan, Pertama, Kami segenap rakyat Papua Barat mengutuk keras pelaku penyiksaan rakyat sipil di Puncak Jaya. Kedua, Pangdam dan Panglima TNI bertanggung jawab atas penyiksaan warga sipil di Puncak Jaya. Ketiga, Kami menolak dengan tegas investigasi sepihak oleh TNI/Polri. Keempat, harus buka akses internasional bagi Tim Investigasi Independen. Keenam, tarik militer dan Puncak Jaya. Keenam, Hentikan pendekatan militer dan segera gelar referendum sebagai solusi damai.
Sebagaimana disaksikan Bintang Papua, ribuan massa dari KNPB dan elemen masyarakat lainnya Kamis (28/10) pukul 09.00 WIT berkumpul masing masing di Sentani, Mata Jalan Pos 7, Waena—Expo, Depan Kantor Pos Abe, Yapis, Depan Kampus STIE Yapis menggunakan kendaraan roda dua dan roda empat bergerak dan bergabung bersama massa lainnya yang telah berkumpul di Taman Imbi.
Selanjutnya massa menuju Halaman Gedung DPRP, Jayapura dikawal aparat keamanan dari Polresta Jayapura serta Brimob Polda Papua.
Saat tiba di Halaman Gedung DPRP, Jayapura massa membentangkan sejumlah spanduk, yang antara lain bertuliskan Kasus Puncak Jaya Murni Didalangi TNI/Polri, Stop Kekerasan di Papua Barat Segera Ambil Solusi Lewat Referendum, Rakyat Papua Secara Tegas Mendesak Pemerintah Indonesia Membuka Diri, Akses Tim Investigasi Internasional ke Papua, Tarik Pasukan Militer Non Organik di Puncak Jaya dan Papua Barat Secara Menyeluruh. PBB (UNTEA), Amerika Serikat, Belanda dan Indonesia Bertanggungjawab Atas Genocide d Tanah Papua.
Aksi unjukrasa tersebut sempat ricuh gara- gara seorang pengunjukrasa serta merta memaksa Ketua Komisi A DPRP Ruben Magai yang tengah memegang mike menyampaikan orasi politik. Melihat gelagat yang tak terpuji tersebut aparat keamanan menyerukan masuk ke tengah massa. Akhirnya massa pun berterik agar aparat segera meninggalkan kerumunan tersebut.
Buchtar Tabuni menyampaikan, sejak dulu sampai sekarang, pihak yang terus menyiksa, meneror, mencuri dan membunuh orang Papua adalah TNI/Polri. Bahkan Sejak wilayah Papua Barat dikuasai sepihak atas kepentingan Indonesia dan Amerika Serikat, nilai kemanusiaan orang Papua dianggap dan diperlakukan seperti binatang.
Alhasil,lanjutnya, video penyiksaan di Puncak Jaya adalah contoh nyata prilaku TNI/Polri yang bertugas di Papua Barat. Masih banyak kasus kasus serupa yang menyedihkan di seluruh pelosok Papua Barat yang tak pernah terekam. Dan akhirnya kami orang Papua harus menyadari bahwa Republik Indonesia dan antek kapitalisnya Amerika Serikat sedang memusnakan kami orang Papua demi napsu kekuasaan dan kekayaan alam di Papua. “Kasus penyiksaan di Puncak Jaya baik yang terekam maupun yang belum terekam adalah murni perbuatan militer Indonesia,” kata Buchtar Tabuni yang kini tengah menjalani proses hukum di LP Abepura lantaran dituduh melakukan makar.
Dikatakan, dari dulu rakyat Papua Barat berjuang untuk sebuah kebenaran sejarah bahwa Pepera 1969 penuh dengan manipulasi. Itulah akar masalahnya. Kenapa Republik Indonesia terus menutupi akar masalah ini untuk menyiksa dan membunuh orang Papua Barat dengan stigma separatis dan teroris? Dengan tegas kami katakan bahwa menyiksa, menangkap dan membunuh tak akan pernah menyelesaikan persoalan di Papua, dan justru akan mencederai wajah Indonesia di Internasional. Cara cara yang berdamai dan paling demokrasi adalah referendum bukan menyiksa dan membunuh orang Papua.
Sejak operasi militer di Tingginambut, Kabupaten Puncak Jaya, tambahnya, ratusan orang terus disiksa dan dibunuh oleh TNI/Polri, rumah, kebun dan ternak mereka dibakar. Ribuan yang lain mengungsi di hutan dan mati kelaparan.PihakTNI/Polri terus menyangkal perbuatan mereka, padahal dalam rekaman video penyiksaan terlihat jelas TNI/Polri menyiksa dan memperlakukan rakyat sipil di Puncak Jaya seperti binatang. 15 Septeber 2010, Brimob kembali menembak mati 3 warga di Manokwari, tapi pelakunya nhanya dihukum 14 hari. 4 Oktober 2010, polisi tembak mati ismail Lokobal (Koordinator Petapa). Pelaku TNI/Polri tak pernah dihukum.
“Kami orang Papua terus diberlakukan seperti binatang diatas tanah air kami sendiri , dan cepat atau lambat kami akan punah. Oleh karena itu rakyat Papua harus melawan penindasan dengan menuntut Indonesia hentikan aksi militer dan segera gelar referendum sebagai solusi damai,” tukasnya. (mdc/don)
Komnas HAM: Puncak Jaya Harus Steril
JAYAPURA—Guna kepentingan investigas dalam mengungkap kasus kekerasan dan penyiksaan terhadap rakyat sipil sebagaimana dalam rekaman video yang belakangan ini ramai dipublikasikan di dunia maya, Komnas HAM Pusat mendesak dan memberi batas waktu November mendatang, agar pasukan TNI/Polri ditarik mundur dari wilayah Tingginambut, Puncak Jaya.
“Jadi kita minta Panglima TNI/Polri, Kapolri, Pangdam serta Kapolda untuk menarik mundur seluruh pasukan, termasuk intelejen. Jadi bikin daerah itu steril betul dari penguasaan aparat TNI/Polri. Setelah mereka ditarik keluar baru nanti Tim Investigasi Komnas HAM akan masuk pada November. Tapi syaratnya adalah koordinasi dan semua pihak harus setuju termasuk TNI/Polri untuk memberikan kesempatan bagi Komnas HAM melakukan investigasi,” kata Wakil Ketua Komnas HAM Perwakilan Papua Mathius Murib yang dihubungi disela sela aksi unjukrasa di Halaman Gedung DPRP, Kamis (28/10) kemarin.
Menurut dia, sejak video beredar pihaknya telah meresponsnya baru dalam tahap membentuk tim dan sedang melakukan koordinasi internal di Jakarta maupun di Jayapura.
Dia mengatakan, Wakil Ketua Komnas HAM Pusat dan Tim berjumlah 6 orang baru pulang dari Jayapura dan telah berkoordinasi dan membentuk tim dan langkah langkah berikutnya yakni koordinasi dengan TNI/Polri.
“Kalau mereka sepakat kita minta mereka untuk beberapa waktu menarik pasukan dari wiayah Tingginambut. Kami pasti akan turun, tapi kami tak akan turun sebelum TNI/Polri ditarik keluar dari wilayah Puncak Jaya,” jelasnya. “Kalau memberikan kesempatan bagi Komnas HAM permintaan yang kedua TNI/Polri kosongkan wilayah Tingginambut. Kalau TNI/Polri masih ada baru Komnas lakukan investigasi itu tak mungkin.”
Apabila TNI/Polri masih berada di wilayah Tingginambut apa langkah langkah yang diambil Komnas HAM, menurut dia, sejauh ini pihaknya berharap petinggi TNI/Polri akan mendukung Komnas HAM. Jadi kami percaya TNI/Polri mau memberi ruang bagi Komnas HAM dengan cara menarik mundur pasukan mereka. Tim Komnas HAM akan turun November mendatang.
“Saat ini koordinasi di tingkat Provinsi dan Jakarta telah dilakukan. Intinya berkoordinasi dengan petinggi TNI/Polri. Kalau mereka sepakat untuk memberi ruang kepada Komnas HAM berarti syarat kedua mereka harus menarik pasukan dulu sementara,” tuturnya. (mdc)
0 Komentar Anda:
Post a Comment
Your Comment Here