By. Pdt. Benny Giay
Ketua Sinode Gereja Kingmi di Tanah Papua
1.Kekerasan di Tanah Papua meningkat
Mayjen Erfi Triassunu, Pangdam Trikora tanggal 22 Agustus 2011 lalu di depan wartawan mengakui bahwa kekerasan di tanah Papua meningkat paska KOnfrensi ILWP 2 Agustus (Pasifik Post 23/8/11). Pernyataan Pangdam tsb berangkat dari perkembangan dan insiden berikut yang terjadi sejak aksi masa pada tanggal tsb. Mulai dari (a) Kepanikan Jakarta menyikapi konfrensi tsb dengan menggelar Rapat Kabinet, sehari setelah itu; (b) yang disusul dengan pernyataan petinggi Lembaga keamanan Negara di Jakarta bahwa pihaknya akan menambah Pasukan, dan (c) Presiden SBY yang berjanji akan menyelesaikan masalah Papua dengan “politik hati nurani” dengan membagi-bagikan oleh-oleh khas Papua setelah perayaan 17 Agustus di Istana Merdeka, dan (d) Penculikan dan pembunuhan terhadap Das Komba warga sipil di Arso oleh TNI tanggal 19 Agustus, dan sampai (e) John Yogi, OPM di Paniai yang mulai aktif (setelah yang bersangkutan membeli senjata dari pihak-pihak tertentu di Jakarta awal Januari) serta (f) Pemekaran Provinsi Papua Tengah di tengah-tengah kondisi Papua yang sedang mendidih dengan kekerasan sampai ke (g) Penembakan terhadap pos TNI dan Brimob di Puncak Jaya dan (h) Kebijakan pemerintah Pusat untuk transmigran ke Papua dengan merujuk kepada Kisah sukses “Kebijakan Transmigrasi di Kab Kerom di Tanah Papua awal tahun 1980an; yang menurut Papua: kisah sukses pemerintah Indonesia menggagahi Papua, atas nama pembangunan dengan dukungan Bank Dunia dan masyarakat internasional serta (i) perkembangan terakhir dengan penempatan pos TNI yang berjaga-jaga dibelakang kota Abepura dan pusat pemukiman lain sejak awal Agustus hingga kini, dan mengadakan penyisiran di sana yang meresahkan warga karena tidak bebas pergi ke kebun.
Dengan mengacu kepada dinamika dan insiden ini, kita simpulkan bahwa memang kekerasan terus meningkat di tanah ini; dan banyak pihak bermain di Papua dengan kepentingan yang sama: menjaga “Tanah Papua sebagai situs kekerasan”.
2.Pemahaman yang Sempit dan Kebijakan yang Berpotensi Menambah Kekerasan
Apabila tidak ada perubahan dari pemerintah, perkembangan dan dinamika berikut amat berpotensi meningkatkan kekerasan di Tanah Papua.
Penunjukkan Augustine Ariela Nere Sebagai Duta Transmigrasi
Salah satu siasat Jakarta saat ini yang berpotensi meradikalisasi kekerasan di tanah ini ialah langkah Jakarta mendatangkan lebih banyak pendatang ke Papua; seperti yang dinyatakan dengan menunjuk sdri: Augutine Ariela Nere, presenter sebuah TV swasta Jakarta sebagai Duta Transmigrasi[1] dengan tujuan untuk membayang-bayangi perziarahan Papua ke depan. Pengangkatan perempuan tadi yang juga pemeran berbagai iklan komersil di Jawa itu dilakukan untuk menindak-lanjuti Nota Kesepakatan yang dibuat awal Juli 2011 antara Menakertrans dan 14 Gubernur (termasuk Papua dan Papua Barat) Augustine Nere mendatangkan lebih banyak transmigran ke Tanah Papua. //Tragisnya, pengangkatan Miss Indonesia beberapa tahun lalu itu sebagai Duta ini didasari “kisah Sukses Kebijakan Transmigrasi di Kabupaten Keerom” yang (dari kaca mata bangsa (orang asli Papua) telah menghasilkan penghancuran dan pembunuhan terencana) terhadap orang asli Papua; sebagaimana terlihat dewasa ini dengan keanggotaan DPRD Kabupaten Keerom. Dari 20 anggota DPRD di Kabupaten itu, hanya 2 anggota yang orang Asli Papua. Sisanya pendatang. Praktis Kabupaten ini, menjadi Kabupaten para pendatang setelah berhasil menyingkirkan orang asli Papua dengan bantuan Bank dunia atas nama pembangunan pada awal tahun 1980an. Lebih menyakitkan lagi, proyek Transmigran di Keerom ini dijadikan sebagai ukuran keberhasilan Transmigrasi di Indonesia d an Augustine Ariela Nere, yang putri kedua dari pak Ruly Nere, pemain Persipura tahun 1990an itu sangat antusias mempromosikan program ini di tanah Papua. //Simak kata-kata perempuan tadi yang dirangkul untuk mensukseskan program Negara ini, saat ditanya wartawan. Mengapa menjadi Duta Transmigrasi? “orang tua saya asli Papua dan masyarakat di Papua banyak yang miskin. Tugas saya sebagai Duta Transmigrasi adalah mengajak masyarakat untuk mendukung program transmigrasi agar semakin sukses.” Tetapi, mba Augustine Nere, keberhasilanmu dan para transmiran di Papua bisa menjadi kutuk bagi warga bangsa (orang asli) Papua; dan ini bisa menjadi pemicu kekerasan selanjutnya.
Peneliti dan Media yang Bermain:Pengalihan Isu dan Esensialiasasi Peran KNPB & Unsur Masyarakat Sipil
Trik lain untuk menyuburkan kekerasan di Papua ialah penggambaran atau pencitraan para peneliti, penguasa dan pengamat Papua bahwa actor di balik perlawanan terhadap kekerasan Negara di Papua; berpusat pada satu komponen garis keras dan satu aspek tertentu. Seperti media Jakarta yang menonjolkan KNPB dalam aksi tanggal 2 Agustus lalu (Lihat Koran Jakarta, edis1 3 Agustus). Atau International Crises Group yang dalam laporannya Juni 2008 lalu menunjuk “unsur hubungan antar agama” sebagai potensi agama pemicu kekerasan di Tanah Papua. Saya kira upaya-upaya menggambarkan Papua dengan cara demikian didukung berbagai kepentingan. Gambaran kondisi Papua seperti itu, mengarah kepada upaya pengalihan isu dan esensialisasi: memandang satu actor sebagai pihak yang kuat atau unsur pemicu keamanan di Papua, sambil menyingkirkan pihak dan aspek lain. //Sasarannya bisa ditebak. Memberi amunisi kepada pihak yang berwewenang untuk segera menyerang pihak tsb yang ditetapkan sebagai actor, dengan anggapan setelah actor itu dioperasi militer, Papua akan segera aman. Tetapi tidak demikian. Kondisi di Papua sangat encer. Hampir semua unsure masyarakat sipil melihat dirinya sebagai korban dari kekerasan (baik fisik maupun cultural) Negara. Lantaran kehadirannya di masyarakat selalu dipahami salah dan secara sepihak oleh Jakarta dan agen-agennya.// Papua selalu dipandang dari kaca mata politik stigma. Kita mengambil contoh: saat Persipura mulai tampil di Asia: pihak keamanan negara di Papua sudah gelisah jangan-jangan tim Mutiara hitam akan membawa bendera bintang kejora, ke Asia. Ketika seorang anggota TNI menikam menikam punngung kanan Gerald Pangkali, pemain gelandang terbaik Persipura di depan Sipur Waena, pada malam hari 18 Mei 2011, seminggu sebelum Persipura bertanding di Thailand. Pelaku tindakan ini tidak dihukum karena melaksanakan tugas Negara. Atau Pdt. Kinderman Gire yang disiksa dan dibunuh diberi hukuman rendah; tanggal karena itu sejalan dengan Dokumen Rahasia Pangdam selama ini (sejak September 1966) dan yang terakhir tanggal 30 April yang memposisikan salah satu Gereja di Tanah Papua sebagai Gereja pendukung separatis Papua. Pihak Keamanan lewat dokumen// rahasianya selama ini melakukan: essenstialiasasi terhadap Gereja: memposisikan Gereja Papua unsur penting dan utama yang penyebar “ gagasaan nasionalime Papua yang harus diwaspadai. Dalam aksi tanggal 2 Agustus, pemerintah dan media dengan kaca mata essensialis tadi: menempatkan KNPB sebagai penggerak utama dibalik aksi itu. Tetapi arah politik KNPB sendiri sulit ditebak. Simak sepak terjang KNPB yang tidak jelas. Bulan Mei 2010, KNPB yang bekerja sama dengan milisi Indonesia menentang FORDEM yang menuntut Pemerintah untuk mengakomodir SK MRP No. 14 tahun 2009, yang diperjuangkan untuk memperlambat penghancuran Papua. Dalam bulan Juni 2010, KNPB yang menggang gu jalannya MUbes yang bermartabat yang difasilitasasi MRP dalam semangat memaksakan kehendaknya, dan dalam awal Juni 2011, KNPB yang menentang Konferensi Perdamaian yang digelar JDP (Jaringan Damai Papua). Menunjuk satu dua elemen sebagai sopir dari gerakan perlawanan di Papua hanya akan tolong lembaga Negara : menyelesaikan masalah secara cepat tetapi hanya akan menyisakan masalah lain. //Apabila diijinkan saya yang ingin menggunakan ruang ini menyatakan “pandangan essensialis” saya tentang kekerasan di Papua: pemerintah Republik Indonesia yang gagal gagal melaksanakan pembangunan di Tanah Papua (Lihat, Deklarasi Teologi Pimpinan Gereja di Papua tanggal 26 Januari 2011. Trik dan politik stigma Jakarta dan esensialisasi dari pemerintah terhadap berbagai unsur masyarakat Papua sebagai actor pemicu konflik hanya upaya mencari kambing hitam; yang dilakukan untuk terus mengkondisikan Papua menjadi “situs kekerasan dan pertumpahan darah anak bangsa”.
//Kelompok-Kelompok Solidaritas Papua di Luar Negeri: Jakarta yang Panik Terhadap Papua
Siasat dan pandangan Pemerintah Jakarta yang berbau essensialis dan “melempar batu sembunyi tangan” menyikapi lahirnya Kelompok Solidaritas juga bisa menyuburkan kekerasan di tanah ini. Internasional Lawyers for West Papua (ILWP) dan Free West Papua Campaign yang menyelenggarakan KOnperesni tanggal 2 Agustus lalu adalah dua dari sekian banyak Kelompok Solidaritas itu, yang mulai dibentuk sejak tahun 1980an. Kementerian Dalam Negri telah punya buku: tentang Kelompok Solidaritas itu yang disusun oleh Tim LIPI yang di bawah pimpinan pak Muridan Widjojo beberapa tahun lalu. Perbedaan pemahaman “keberhasilan pembangunan di Papua” dan kebiasaan pemerintah yang memakai kaca mata “politis” menyoroti kelompok Solidaritas ini akan memperparah keadaan. Melihat sejarah 50 tahun terakhir, orang Papua dan banyak Kelompok Solidaritas menduga “Indonesia sedang mengikuti jejak Firaun” //(Keluaran 2 dst) yang gagal membangun Papua; panic dan menutup mata mengadopsi kebijakan perbudakan dan genosida pembunuhan etnis; lantaran “takut bangsa Israel bekerja sama dengan bangsa lain menguasai Mesir. Atau pemerintah minoritas Afrika Selatan yang secara sepihak membuat politik apartheid lantaran takut dikuasai mayoritas warga Kulit hitam. Indonesia yang takut “jangan Papua dan masyarakat internasional membongkar” atau menggugat aibnya yang membelokkan sejarah Papua lewatnya Act of Free Choice tahun 1969; menutup diri dan memandang dinamika masyarakat Papua semata-mata dari kaca mata politik stigma. Karena dalam kerangka politik seperti itu, ia tidak butuh logika: kecuali logika kekerasan dan senjata. Barangkali nadanya akan lain apabila kelompok Solidaritas Papua ini dilihat dalam perspektif Sejarah Indonesia sendiri. //Kelompok Solidaritas Papua yang lahir di mana-mana dewasa ini tidak beda dengan warga Gereja Australia paska Perang Dunia kedua, yang mendukung perjuangan rakyat Indonesia dengan menolak kapal-kapal Belanda paska Perang Dunia kedua untuk singgah dan mengisi bahan bakar; pada saat Belanda berniat kembali menduduki Indonesia. Atau Prof. Verkuijl dan Gereja Belanda yang menantang pemerintah Belanda dan rakyat menghentikan dukungan terhadap proyek penjajahan kembali Hindia Belanda, dengan menggunakan berbagai media dari: kegiatan ibadah di Gereja-Gereja Belanda, lobi, talk show dan media, sebagaimana yang digambarkan dalam: Memoires Gedenken en Verwachten (J.H. Kok,1983) dan diangkat lewat buku In Memoriam Prof. Dr. J. Verkuijl yang disusun STT Jakarta dan Yayasan BPK GUnung Mulia (2001).
Siasat Terhadap Para Bintang: David Bridie yang MUsisi Simpatisan Papua yang Mencari Teman
Perkembangan lain yang bisa membuat Jakarta panic dan mengirim lebih banyak pasukan ke Papua ialah sepak terjang David Bridie, seorang musisi terkenal di Australia beberapa tahun terakhir, yang pada hari Minggu siang jam 1, tanggal 14 Agutus 2011 (dua belas hari setelah aksi tanggal 2 Agustus), merelease sound track sebuah film berjudul Strange Birds in Paradise di Northcote Social Club, High St, Northcote, Australia. Bridie, yang punya sejarah panjang memproduksi music bersama para seniman di Pasifik, ”mempersembahkan soundtrack dan film tsb kepada Arnold Ap (tokoh budaya Papua yang dibunuh ABRI di Base G, Jayapura, April 1984) dan Kelly Kwalik (yang ditembak TNI POLRI di Timika, pertengahan Desember 2009); karena kata David Bridie, “mereka melakukan pekerjaan yang sangat besar, mereka tahu mereka sedang mengambil jalan penuh resiko”.// Film documenter ini sendiri telah diputar di beberapa Negara dan memenangkan penghargaan The Best Documentary di Colorado Film Festival. Simpati Bridie terhadap perjuangan Papua mulai terbangun sejak 1990, saat ia mengunjungi bangsa Papua di kam-kam pengungsian di PNG. Ia kemudian mendengar kisah hidup warga Papua sebagai bangsa perantau. Tergugah oleh penderitaan bangsa Papua di perantauan, ia mengeluarkan 3 album. Salah satunya yang berjudul: “Acts of Free Choice”, Penentuan Nasib Sendiri, yang direlease (dikeluarkan) di Australia tahun 2000 dan di Amerika tahun 2002. Acts of Free Choice menjadi peristiwa sejarah yang direkayasa Indonesia; yang menyebabkan Papua menjadi bangsa perantau.
//Dalam bulan Oktober 2011, David Bridie bersama Ronny Kareni dan Jacob Rumbiak dalam bulan Oktober 2011, nanti akan merelease (mengeluarkan) lagu soundtrack documenter tadi. Sekali lagi, kerja Bridie bisa mempertebal komitmen lembaga Negara untuk selesaikan masalah Papua secara militer; bukan dialog sebagaimana yang dituntut rakyat Papua. Tetapi langkah demikian berpotensi memberi ijin bagi David Bridie untuk mencari teman lain di kalangan para bintang music atau film. Toh belakangan ini (barangkali bagian dari dinamika kehidupan masyarakat global) banyak pemain film kelas dunia, yang menyatakan solidaritasnya terhadap kaum tertindas di dunia. Simak saja Michelle Yeoh, mantan Miss Malaysia, yang menyatakan simpati dan solidaritasnya terhadap Aung Suu Kyi dan bangsanya yang dilumpuhkan regim militer Burma. Michelle Yeoh yang pernah membintangi Film: Tomorrow Never Dies dan Memoar of a Geisha dideportasi regim militer Birma bulan Juli lalu dari Birma (Asssociated Press, June, 30, 2011). Setahun sebelumnya, ia datang ke Birma melawat Aung San Suu Kyi tahun 2010 lalu untuk mewawancarai Aung San Suu Kyi; dalam rangka membuat film untuk mengangkat perjuangan perempuan itu .
//Hal yang sama kita bisa lihat dalam sepak terjang bintang film: Richard Gere. Dalam bulan Juni 2011 menyatakan keprihatinan dan dukunganya terhadap perjuangan bangsa Tibet melawan Cina. Apabila diteliti, dukungan Gere terhadap Tibet mulai ia berikan sejak 1993, saat berkunjung ke sana. Sepulangnya dari sana ia mengadakan pameran foto di Amerika. Ketika ditanya wartawan Korean Herald pada saat menggelar pameran foto tsb, Gere menyatakan, saya kira tidak mungkin melihat foto-foto ini dan tidak menyadari penderitaan maha berat yang dialami orang Tibet...Kematian dan penyiksaan di dalam penjara-penjara Cina di Tibet sedang terjadi dewasa ini. Richard Gere dalam interaksi panjang dengan Dalai Lama, pemimpin Spiritual Tibet kemudian menjadi penganut agama Budha.
//3. Mari Kita Menjaga: “CahayaNya Tuhan dalam diri kita” dan “lagu Indah dalam Jiwa Kita”
Semua gagasan, siasat dan kebijakan Jakarta yang menyuburkan kekerasan dan ketidak-adilan di Tanah Papua kita melihatnya sebagai siasat pemerintah untuk memadamkan “cahayaNya Tuhan dalam diri kita/Papua”. Karena kita percaya kepada Tuhan, sang Pencipta yang Agung yang telah meletakkan “cahayaNya dalam diri kita (2 Korintus 4:6) “ dan lagu indah di mulut dan di batin kita” (Maz 40:4) semua tanpa kecuali. Laki-laki, perempuan, hitam putih, kaum berdasi dan rakyat jalanan. //Apakah kita mengakui atau tidak,kita bangsa Papua sedang dan terus menghadapi ujian berat. kekuatan negara dan kekuatan lain yang sedang datang memadam cahaya Tuhan itu atau menghentikam lagu indah tadi. “Cahaya-Nya Tuhan dalam diri kita” yang berbentuk: kemampuan untuk bisa memilih yang baik dan jahat, kreativitas, kemampuan untuk menciptakan dan menikmati karya seni, dorongan untuk selalu mencari alternative (jalan baru) memecahkan persoalan kehidupan, harapan dan impian-impian indah tentang masa depan yang ditanamkan Tuhan dalam diri setiap insan manusia dan semangat yang berapi-api untuk memperjuangkan impian indah tadi, kemampuan untuk mencintai dan menerima cinta, dll. //Pemerintah ini yang terus merancang Pembangunan yang tidak berpihak kepada Papua, kita pahami sebagai sebuah langkah sistimatis memadamkan “ lagu indah yang TUhan taruh di batin kita, manusia” sebagai karya tanganNya. Dalam hal demikian, kita Papua, sedang menjalani jejak bangsa Jawa dan Sumatera tahun 1900an dibawah penjajah Belanda atau Afrika Amerika dibawah politik rasisme Amerika tahun 1900an. Kepada warga Papua saya ucapkan Selamat berjuang menjaga “cahayaNya Tuhan dirimu agar tetap bersinar dan lagu indah itu terus bersuara”.
[1] Sinar Harapan, Duta Tranmigrasi: Ingin Sukses? Ikut Porgram Transmigrasi Saja; dan 14 Gubernur Teken Kerja Sama Bidang Transmigrasi. 2 Agustus 2011.
0 Komentar Anda:
Post a Comment
Your Comment Here