Pimpinan gereja-gereja di tanah Papua bertemu dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di Cikeas, Jawa Barat pada Jumat kemarin.
Mereka adalah Ketua Sinode GKI di tanah Papua Pendeta Jemima J. Krey, Ketua Sinode Kingmi di tanah Papua Pendeta Benny Giay, Ketua Umum Badan Pelayanan Pusat Persekutuan Gereja-Gereja Baptis Papua Pendeta Socratez Sofyan Yoman, dan Majelis Umum Sinode Nasional Gereja Kristen Alkitab Indonesia Pendeta Martin Luther Wanma.
Pertemuan yang berlangsung dari pukul 21.00 hingga 23.30 dihadiri anggota kabinet, di antaranya menteri Polhukam, menteri keuangan, menteri pekerjaan umum, Kapolri dan Panglima TNI.
Ditemui wartawan Beritasatu.com di Wisma Bumi Asih, Jakarta pada 8 Desember, Pendeta Benny Giay menceritakan pertemuan dengan SBY yang berjalan santai namun serius.
Pendeta Benny berangkat dari Papua bersama ketiga pendeta lain pada 6 Desember.
Mereka dijadwalkan bertemu Presiden pada 9 Desember namun ditunda hingga 16 Desember.
Ketika berangkat ke Jakarta, Pendeta Benny berencana akan menyampaikan ke Presiden mengenai inkonsistensi kebijakan di Papua.
"Kami mencari maksud pernyataan Pak SBY pada 16 Agustus, menyelesaikan Papua dengan pendekatan hati. Tapi pada 12 November banyak pasukan Brimob yang dikirim ke Puncak Jaya. Politik bicara lain, main lain," kata Benny.
Berikut kutipan wawancara dengan Benny:
Anda sampaikan mengenai inkonsistensi kebijakan penyelesaian Papua ke Presiden?
Saya sampaikan. Kalau Presiden punya mimpi dan janji bagus sekali. kami disejukkan. Saya juga percaya pada mimpi Papua, masa depan lebih baik dari sekarang. Tapi saya juga lihat kenyataan masa lalu banyak kekerasan sampai hari ini. Sebenarnya pak Presiden seharusnya amankan anak buah. Politik bicara lain, main lain.
Tanggapan Presiden?
Dia bilang pendekatan militer sudah lewat. Harus dimulai dengan pendekatan dialog. Akan ada pertemuan selanjutnya. Mungkin nanti dia jelaskan lebih detil apa yang diperbuat. Mungkin kami juga siapkan paper.
Anggota kabinet yang hadir menyampaikan sesuatu?
Tidak. Kecuali saya sampaikan bahwa saya sebenarnya saya tidak mau datang. Saya berduka karena ada 800 jemaat Pinai yang mengungsi. Dalam suasana ini ada ibu hamil panjat tebing, jatuh dan mati. Lalu dia (SBY) tanya Kapolri (Jendral Timur Pradopo). "Bagaimana itu di Pinai?" "Siap pak. Kami sudah temukan dua senjata dan beberapa peluru. Daerah sudah dikuasai. Siap".Hanya itu saja yang disampaikan. Pak SBY tidak tanggapi, barangkali dalam rangka menghemat waktu. mungkin karena sudah kemalaman. Hahahaha.
Pesan Presiden dalam pertemuan itu?
Dia jelaskan pentingnya peran gereja dan agama. Dia bilang kita harus bangun trust. Memang sulit. Macam UP4B, dua hari sebelum kami bertemu pak SBY, di Manokwari ada demonstrasi besar-besaran menolak UP4B. Dia (SBY) bilang UP4B untuk sementara dihentikan dulu sampai ada pembicaraan lebih lanjut. Mungkin dalam pertemuan berikutnya kami memberi masukan untuk memperbaiki dokumen UP4B. Kami bilang bagaimana ini Pak Presiden, alam demokrasi tapi Pak Presiden bikin sendiri. Tidak ada masukan dari orang Papua. Orang Papua juga tidak setuju dengan otonomi daerah karena hanya untuk meredam Papua merdeka. Dia (SBY) bilang kita harus pikir Indonesia baru. Papua berkeadilan. Harus NKRI.Tapi orang Papua sulit terima, karena pikir mereka kalau kami di dalam NKRI kami habis.
Kenapa?
Karena selama ikut NKRI, kekerasan terus. Semua toko-toko tidak ada orang Papua. Saya jaga toko tidak bisa. Saya pikir ada stigma yang bermain disitu.
Memangnya siapa yang berkuasa di Papua?
Ada kekuatan negara yang menyebar isu Papua Merdeka. Ada banyak gosip. Ada SMS gelap menyebar rasa takut. Mungkin dibiayai intelijen. Jakarta memutuskan kebijakan di Papua berdasarkan laporan intelijen jadi tidak rasional. Kami korban.
Lalu bagaimana aktivitas di Papua?
Saya lupa sampaikan ke Pak Presiden supaya militer kasih naik gaji. Mereka merasa tidak dapat uang cukup jadinya harus pakai kekerasan. Jadi negara bertanggungjawab. Tentara banyak di Papua tapi kerja apa. Jadinya menciptakan banyak musuh. Tentara non organik di dalam hutan mau bikin apa. Tidak ada radio Tidak ada televisi. Harus bikin musuh supaya cepat-cepat pulang.
Sebenarnya tidak ada separatisme?
Kami sebenarnya mau sampaikan ke pak SBY. Separatisme ini engkau yang bikin. Separatisme ini seperti bayi yang lahir dari kawin paksa. Yang kami maksud adalah tahun 1960-an ada referendum dan Indonesia yang tentukan siapa yang bisa memilih. Hak orang Papua disangkal mulai disitu. Papua sudah dipaksa masuk Indonesia. Setelah masuk (ke Indonesia) kekerasan terus menerus. Jakarta yang menabur benih separatisme. Dia juga yang gunakan juga untuk melegitimasi pendekatan keamanan. Operasi terus. Ini persoalan kami. Kalau operasi terus, kami tidak ada dong. Kami habis di undang-undang makar.
Bagaimana membedakan orang yang terlibat gerakan separatis dan tidak?
Semua warga Papua dianggap OPM (Organisasi Papua Merdeka)
Dalam pertemuan itu ada solusi yang dicapai?
Kita diundang bertemu lagi pada minggu ketiga bulan Januari. Malam ini kami pulang. Kami ketemu masyarakat, semua unsur masyarakat Papua. Ini semacam cek kosong buat kami. Silahkan kamu (masyarakat Papua) pikir.
Ada pembicaraan mengenai Freeport?
Itu tidak kami sebut.
Anda yakin pemerintah akan selesaikan masalah Papua?
Tidak yakin. Kalau jujur, generasi sekarang kita hidup di kekerasan semacam Ahmadiyah dan orang berpikir kekerasan itu benar. Generasi sekarang tidak bisa. yang memungkinkan generasi yang masih kecil. Optisme saya pada anak kecil yang masih di taman kanak-kanak. Kalau dapat pendidikan tolerenasi dan keberagaman.
Anda tidak takut diancam atau dibunuh?
Tidak. Saya kubur banyak orang mati.
0 Komentar Anda:
Post a Comment
Your Comment Here