Sepanjang tahun
2011, perubahan yang diharapkan korban tentang adanya penyelesaian
berbagai kasus pelanggaran HAM berat masih jalan di tempat. ‘’Pemerintah
masih menolak pertanggungjawaban pelanggaran HAM dimasa lalu, dengan
terus menerus mengingkari Konstitusi (UUD 1945), mengabaikan konsensus
nasional sebagai mandat reformasi, dan menutup mata atas kewajiban
internasionalnya,’’ katanya.
Ketidakmuan
negara untuk menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu terus berulang dari
tahun ke tahun. Jaksa Agung baru, Basrief Arief tak kunjung melakukan
penyidikan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang telah
diserahkan oleh Komnas HAM dengan berbagai alasan yang dipolitisasi.
Akibatnya, berbagai kasus pelanggaran HAM yang berat, diantaranya kasus
Trisakti, Semanggi I dan II (1998 dan 1999), Mei 1998, Penculikan dan
Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998, Talangsari 1989 dan
Wasior-Wamena, Papua (2001 dan 2003) masih mandek di Kejaksaan Agung.
Sikap Kejaksaan
Agung ini, justru diperkuat dengan sikap Presiden yang mengabaikan
rekomendasi DPR tahun 2009 atas penyelesaian kasus Penghilangan Orang
Secara Paksa periode 1997-1998, diantaranya membentuk pengadilan HAM
adhoc, mencari para korban yang masih hilang dan melakukan rehabilitasi
kepada para korban dan keluarganya.
Rekomendasi
Komnas HAM untuk pemberian Surat Keterangan Status Korban Penghilangan
Paksa bagi 13 korban yang masih dihilangkan hanya satu-satunya upaya
yang dilakukan. Hal ini harus menjadi acuan bagi pemerintah untuk segera
melakukan pencarian korban yang masih hilang untuk menjamin kepastian
hukum dan pemulihan bagi korban dan keluarga korban.
Di sisi lain,
Komnas HAM juga masih berhutang kepada Korban dan keluarga Korban
peristiwa 1965/1966 karena tak kunjung menyelesaikan penyelidikan yang
telah berjalan selama 3 tahun terakhir ini. Terbukanya kebenaran dan
rehabilitasi nama baik menjadi harapan bagi Korban yang didiskriminasi
secara politik oleh Negara selama lebih dari 40 tahun.
Sementara,
penyelesaian pelanggaran berat HAM di Papua dan dan Papua juga tidak
menjadi prioritas pemerintahan, meskipun telah ada UU Otonomi Khusus
Papua dan UU Pemerintahan Aceh yang memandatkan adanya Pengadilan HAM
dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di dua wilayah khusus ini.
Akibatnya, kekerasan dan pelanggaran HAM masih terus berlangsung di
Papua, sementara pemenuhan terhadap hak korban Aceh terus diabaikan.
Di tengah
kemandekan proses hukum penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat,
Presiden justru mendorong suatu insiatif penyelesaian diluar jalur yang
disepakati sebagai konsensus nasional. Presiden membentuk Tim Kecil
Penangangan kasus Pelanggaran HAM berat dibawah kordinasi
Menko-Polhukam, Djoko Suyanto yang terdiri dari Komnas HAM, Wakil
Kemenko Polhukam, Kementrian Pertahanan, Kementerian Dalam Negeri, Badan
Pertanahan Nasional, Kejaksaan Agung, Mabes TNI, Mabes Polri,
Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Perhutanan, Kementrian BUMN,
KemESDM, KemPU.
Mandat kerja
tim ini adalah "mencari format terbaik penyelesaian kasus pelanggaran
HAM berat masa lalu"dan konflik SDA agar tidak berlarut-larut. Presiden
juga mengangkat Wakil Menteri Hukum dan HAM, Denny Indrayana yang
menyatakan komitmennya untuk penyelesaian masalah HAM masa lalu sebagai
bagaian dari percepatan program pemerintah dalam tiga tahun ke depan.
‘’Mulanya, kami
menganggap respon dan komitmen Presiden ini dapat menjadi upaya untuk
memperkuat institusi terkait untuk menjalankan penyelesaian komprehensif
terhadap penuntasan kasus pelanggaran HAM berat dengan mengacu pada
prinsip hak-hak korban atas keadilan, kebenaran, pemulihan, dan jaminan
ketidakberulangan, dan mengacu pada supremasi hukum,’’ katanya.
Meski demikian,
hingga akhir tahun tim hanya merespon dan menampung masukan dan harapan
dari komunitas korban dan melakukan kegiatan kunjungan ke korban
Talangsari, pertemuan dengan Korban Tanjung Priok dan korban Semanggi I
serta melakukan kunjungan ke Kupang untuk melihat kondisi pengungsi eks
Timor-Timur. Belum juga ada kejelasan tentang "format terbaik
penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu", sebagaimana mandat
yang diberikan.
Pada tahun
2012, akan terus terjadi tarik menarik politik nasional yang berpengaruh
pada pertarungan politik HAM, khususnya bagi penanganan peristiwa
pelanggaran HAM masa lalu. Proses transisi menghasilkan bangunan
struktur kekuatan politik yang tidak sepenuhnya terpisah dari regim
sebelumnya, dan menyertakan realitas bahwa banyak kekuatan-kekuatan dan
elemen dari regim sebelumnya masih turut serta dan mencoba untuk
mengambalikan kekuasaan.
Situasi ini
akan semakin mengkhawatirkan jika Presiden tidak mengambil tindakan
tegas dan nyata untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat di masa
lalu sebagai upaya untuk melangkah maju di masa depan.
Untuk para
korban pelanggaran HAM mendesak Presiden SBY, menjalankan kewajiban
konstitusionalnya untuk menegakkan negara hukum, dengan memerintahkan
seluruh institusi dan lembaga negara untuk memastikan adanya proses
hukum yang adil terkait dengan pelanggaran HAM masa lalu; memenuhi
hak-hak warga negara, khususnya para korban, dengan melakukan pemulihan
kesetaraan hak-hak sebagai warga negara, dan hak-hak lainnya sebagaimana
dinyatakan dalam UUD 1945.
Melaksanakan UU
No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM, untuk membentuk pengadilan
HAM atas berbagai peristiwa yang telah selesai diselidiki oleh Komnas
HAM. Melaksanakan Ketetapan MPR No. V tahun 2000, yang memandatkan
adanya proses pengungkapan kebenaran tentang pelanggaran HAM masa lalu,
pencapaian keadilan dan pemulihan bagi para korban.
Memerintahkan
tim Menkopolhukam untuk mendorong, memfasilitasi dan membuat kebijakan
format penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu, melalui pengakuan dan
permintaan maaf resmi (official) kepada korban dan keluarga korban atas
terjadi Pelanggaran HAM di Masa Lalu, Peningkatan akuntabilitas
penegakan Hukum demi terselenggaranya kepastian hukum dan perlakuan yang
sama di hadapan hukum.
Perwujudan
keadilan restoratif melalui upaya-upaya pemulihan harkat dan martabat
kehidupan para korban.Jaminan adanya pencegahan keberulangan di masa
depan melalui penghapusan kebijakan yang diskriminatif, serta
langkah-langkah lain yang diperlukan. | AT | PP |
0 Komentar Anda:
Post a Comment
Your Comment Here