PIMPINAN GEREJA-GEREJA DI TANAH PAPUA
Yawan Wayeni, dibunuh pada tanggal 13 Agustus 2009 Oleh Imam Setiawan (mantan Kapolres Yapen), kini Wakil Direktur Lalu Lintas Polda Papua
“Ya Allah, berikanlah hukumMu kepada raja dan keadilanMu kepada putera raja. Kiranya ia mengadili umatMu dengan keadilan dan orang-orangMu yang tertindas dengan hukum. Kiranya gunung-gunung membawa damai sejahtera bagi bangsa dan bukit-bukit membawa kebenaran. Kiranya ia memberi keadilan kepada orang-orang yang tertindas dari bangsa itu, menolong orang-orang miskin tetapi meremukkan pemeras-pemeras (Mazmur 72: 1-4)”
Pertama-tama, kami menyampaikan banyak terima kasih kepada Bapak Presiden Republik Indonesia,
Susilo Bambang Yudhoyono yang telah membuka diri dan memberi waktu kepada kami di tengah-tengah padatnya kesibukan negara dalam menghadapi berbagai permasalahan Nasional lainnya. Kedatangan kami pada hari ini difasilitasi oleh Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia karena beberapa peristiwa historis yang penting di masa lalu.
Alasan Kehadiran Pimpinan Gereja: Akar Persoalan Konflik dan Kekerasan di Tanah Papua
Berangkat dari ajaran Kitab Suci (Mazmur 72:1-4) yang dikutib di atas dan peran PGI tadi, kami ingin menyampaikan kepada Bapak bahwa kami sebagai Pimpinan Gereja Papua hadir di sini karena: kekerasan yang terus terjadi terkait bangkitnya Nasionalisme Papua (pemerintah menyebutnya sebagai “separatisme”). Kami, Pimpinan Gereja Papua memandang lahirnya ‘Bayi Nasionalisme’ (separatisme) Papua ini sebagai hasil ‘Perkawinan Paksa’ Jakarta – Papua yang proses sejarahnya tercatat sebagai berikut:
Wajah Kekerasan Pemerintah Orde Baru 1969 -1998
Setelah (kekerasan) Act of Free Choice tahun 1969 yang direkayasa, pemerintah melaksanakan pembangunan di Papua yang dalam kenyataan, diterima oleh umat kami sebagai kekerasan multi wajah seperti berikut:
Saat Otonomi khusus mulai dilaksanakan, kami sebagai Pimpinan Gereja berharap: pemerintah akan jedah; kekerasan akan berhenti. Papua akan pulih secara bertahap. Tetapi justru dalam suasana Otonomi Khusus kekerasan neagara meningkat. Gambaran berikut mencerminkan kekerasan yang dialami umat sejak Otsus diberlakukan.
Dampak Kekerasan Atas Nama Pembangunan: Lahirnya Nasionalisme (Separatisme)
Pengalaman umat kami menjalani pembangunan yang berwajah kekerasan ini; yang dilakukan secara sistematis dan terencana dengan bantuan masyarakat internasional secara terus-menerus melahirkan “nasionalisme Papua” (menurut Pemerintah Indonesia: separatisme). Kami pimpinan Gereja menilai apa yang sedang dialami umat ini; tidak bedanya dengan yang dialami orang pribumi di Jawa dan Sumatera dalam tahun 1900an; yang melahirkan nasionalisme orang-orang pribumi Jawa yang mendorong semangat kebangsaan Indonesia. Nasionalisme Jawa (dalam pandangan Belanda yang kebijakannya mempora-porandakan kehidupan orang pribumi Jawa, Sumatera dst adalah “separatisme”).
Sekali lagi, kekerasan-kekerasan ini yang telah lama terjadi (tanpa penyelesaian), melahirkan dan menyuburkan: Nasionalisme Papua, yang menurut kami, perasaan bahwa kami (Orang Asli Papua) tidak diakui, dan tidak diterima sebagai manusia yang setara dalam hukum. Kami “orang asli Papua” bukan bagian dari masyarakat Indonesia, seperti halnya nasionalisme Soekarno, Moh Hata dll, yang lahir dan bertumbuh dalam konteks penindasan dan kekerasan penjajah Belanda.
Keprihatinan Gereja
Keprihatinan kami sebagai Pimpinan Gereja dalam konteks demikian berangkat dari ajaran Kitab Suci kami (Mazmur 72:1-4) ialah nasionalisme (atau separatisme) ini kemudian dijadikan sebagai dasar untuk membenarkan pengiriman dan penggunaan pendekatan Keamanan; yang pada gilirannya sedang melahirkan pemusnahan etnis.
Sejumlah Pertanyaan Pimpinan Gereja Kepada Pemerintah
Berhadapan dengan kenyataan: mata rantai kekerasan tanpa akhir seperti itu yang melahirkan (menyuburkan Nasionalisme Papua), kami Pimpinan Gereja ingin menyampaikan beberapa pertanyaan kepada Bapak Presiden RI:
Kapan pemerintah ini berefleksi dan menghentikan politik “lempar batu sembunyi tangan” menghadapi nasionalisme Papua yang lahir karena tidak tahan menghadapi sistem penindasan Negara? Kapan Pemerintah Indonesia ini menjadi dewasa dan duduk dan melibatkan ahli dan pakar-pakar nasional dan internasional bisa mengambil tanggung jawab “mengurus bayi nasionalisme Papua tadi.
Apakah UP4B yang dibuat secara sepihak: tanpa melibatkan semua unsur masyarakat Papua itu bisa menyelesaikan masalah Papua?
REKOMENDASI
Dalam rangka menyikapi “bayi nasionalisme” yang lahir dalam konteks pemerintahan yang berwajah kekerasan di atas, kami Pimpinan Gereja di Tanah Papua telah mengeluarkan Komunike Bersama Pimpinan Gereja (10 Januari 2011), Deklarasi Teologi (pada tanggal 26 Januari 2011) yang menyatakan bahwa Pemerintah Indonesia telah gagal membangun orang asli Papua (kecuali melahirkan dan menyuburkan aspirasi Papua merdeka); dan tidak punya niat untuk memutuskan mata rantai kekerasan ini.
Sehingga untuk keluar dari lingkaran kekerasan ini, kami Pimpinan Gereja mendukung pernyataan Bapak Presiden RI (pada 6 November 2004) saat menerima Delegasi Gubernur Provinsi Papua bahwa masalah Papua akan diselesaikan secara adil, konprehensif dan bermartabat. Janji yang sama Bapak Presiden sampaikan dalam Pidato kenegaraan pada tanggal 16 Agustus 2008, 16 Agustus 2010 dan yang terakhir pada tanggal 16 Agustus 2011 bahwa, “menata Papua dengan hati, adalah kunci dari semua langkah untuk menyukseskan pembangunan Papua”. Dalam semangat ini dan ajaran Kitab Suci yang telah dikutip di atas, maka kami merekomendasikan hal-hal sebagai berikut.
(a) Kami meminta Pemerintah membuka diri menggelar DIALOG yang inklusif, tanpa syarat, yang adil, bermartabat dan komprehensif dengan rakyat Papua, dengan dimediasi oleh pihak ketiga yang netral.
(b) Dalam rangka menuju dialog dimaksud, kami mendesak Bapak Presiden untuk segera:
(d) Dengan adanya nasionalisme Papua yang sudah terbangun lama dan dipicu oleh berbagai kekerasan dan ketidakdilan sistematis, maka kami Gereja-Gereja Papua menyampaikan kepada Bapak Presiden bahwa keinginan rakyat Papua untuk merdeka dan berdaulat telah mengkristal. Gereja-Gereja Universal dalam solidaritasnya dengan Gereja-Gereja dan suara Umat Tuhan di Tanah Papua telah merekomendasikan hak untuk menentukan nasib sendiri (the right for self determination) rakyat Papua.
Demikian pernyataan kami, Pemimpin Gereja-Gereja di Tanah Papua sebagai pesan profetis di hari Natal kepada rakyat dan Pemerintah Republik Indonesia. Tuhan memberkati.
Jakarta, 16 Desember 2011
Hormat kami,
Ketua Sinode GKI di Tanah Papua
Pdt. Jemima M. Krey, S.Th
Ketua Sinode Kingmi di Tanah Papua
Pdt. Dr. Benny Giay
Ketua Umum Badan Pelayan Pusat Persekutuan Gereja-Gereja Baptis Papua
Pdt. Socratez Sofyan Yoman, MA
Majelis Umum (Sinode Nasional) Gereja Kristen Alkitab Indonesia
Ketua Umum
Pdt. Dr. Martin Luther Wanma
Menangani Bayi Nasionalisme (Separatisme) Papua Sebagai Hasil “Perkawinan Paksa” Jakarta – Papua
Jakarta Sebagai Penabur dan Pengguna Benih Separatisme Papua
(Pesan Profetis Gereja-Gereja se-Tanah Papua)
Yawan Wayeni, dibunuh pada tanggal 13 Agustus 2009 Oleh Imam Setiawan (mantan Kapolres Yapen), kini Wakil Direktur Lalu Lintas Polda Papua
“Ya Allah, berikanlah hukumMu kepada raja dan keadilanMu kepada putera raja. Kiranya ia mengadili umatMu dengan keadilan dan orang-orangMu yang tertindas dengan hukum. Kiranya gunung-gunung membawa damai sejahtera bagi bangsa dan bukit-bukit membawa kebenaran. Kiranya ia memberi keadilan kepada orang-orang yang tertindas dari bangsa itu, menolong orang-orang miskin tetapi meremukkan pemeras-pemeras (Mazmur 72: 1-4)”
Pertama-tama, kami menyampaikan banyak terima kasih kepada Bapak Presiden Republik Indonesia,
Susilo Bambang Yudhoyono yang telah membuka diri dan memberi waktu kepada kami di tengah-tengah padatnya kesibukan negara dalam menghadapi berbagai permasalahan Nasional lainnya. Kedatangan kami pada hari ini difasilitasi oleh Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia karena beberapa peristiwa historis yang penting di masa lalu.
- Pertama, pernyataan Ketua I Sinode GKI di Tanah Papua, Domine F.J.S Rumainum, dalam Sidang Raya ke-3 Dewan Gereja se-Dunia pada Juli 1961 di New Delhi, India bahwa “Gereja Kristen Injili di Papua ada bersama dengan Dewan Gereja Indonesia”. Pernyataan ini terjadi lima bulan sebelum Trikora, 19 Desember 1961.
- Kedua, laporan dari Tim Oikumenis Dewan Gereja se-Dunia dan Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia kepada Presiden B.J. Habibie pada tanggal 25 September 1998 bahwa rakyat Papua ingin berdaulat sebagai negara.
- Ketiga, Sidang Raya PGI ke-15 di Mamasa, Sulawesi Tengah 2009 mengeluarkan 11 rekomendasi tentang Papua, antara lain: perlunya penegakkan hukum dan HAM di Papua, penghapusan stigma separatisme, dorongan untuk diadakannya dialog nasional Papua-Jakarta sebagai mekanisme demokratis penyelesaian masalah Papua.
Alasan Kehadiran Pimpinan Gereja: Akar Persoalan Konflik dan Kekerasan di Tanah Papua
Berangkat dari ajaran Kitab Suci (Mazmur 72:1-4) yang dikutib di atas dan peran PGI tadi, kami ingin menyampaikan kepada Bapak bahwa kami sebagai Pimpinan Gereja Papua hadir di sini karena: kekerasan yang terus terjadi terkait bangkitnya Nasionalisme Papua (pemerintah menyebutnya sebagai “separatisme”). Kami, Pimpinan Gereja Papua memandang lahirnya ‘Bayi Nasionalisme’ (separatisme) Papua ini sebagai hasil ‘Perkawinan Paksa’ Jakarta – Papua yang proses sejarahnya tercatat sebagai berikut:
- 19 Desember 1961, Soekarno yang secara sepihak menguburkan embrio satu negara Papua Barat yang ditetapkan pada 1 Desember 1961 dengan mengumandangkan Trikora; sekaligus menyingkirkan Komite Nasional Papua yang telah mempersiapkan terbentuknya Negara Papua dengan menetapkan simbol-simbol negara yaitu, (a) Bendera Kebangsaan Papua, Bintang Fajar, (b) Lagu Kebangsaan Papua, Hai Tanahku Papua, dan (c) Lambang Negara adalah Burung Mambruk;
- 15 Agustus 1962, Indonesia dan Belanda (tanpa keterlibatan wakil rakyat Papua) menandatangani Perjanjian New York;
- 1 Oktober 1962, Pemerintah Belanda menyerahkan administrasi pemerintahan kepada UNTEA;
- 1 Mei 1963, UNTEA menyerahkan administrasi pemerintahan ke RI tanpa keterlibatan rakyat Papua;
- Juli-Agustus 1969, Pemerintah merekayasa PEPERA (Act of Free Choice menjadi Act of No Choice) untuk mengintegrasikan Papua ke Indonesia.
- Kami mencatat hasil-hasil dari Kongres Rakyat Papua ke-3 pada 19 Oktober 2011 yang telah mereafirmasi gerakan pembebasan rakyat Papua melalui peristiwa 1 Desember 1961 dan kelanjutannya pada Kongres Rakyat Papua I, Musyawarah Besar Rakyat Papua dan Kongres Rakyat Papua II tentang lahirnya PDP dan Panel-Panel sebagai bentuk-bentuk ekspresi dari sebuah gerakan pembebasan rakyat Papua dari semua bentuk-bentuk kekerasan yang mengarah pada suatu bentuk penjajahan sistematis.
Wajah Kekerasan Pemerintah Orde Baru 1969 -1998
Setelah (kekerasan) Act of Free Choice tahun 1969 yang direkayasa, pemerintah melaksanakan pembangunan di Papua yang dalam kenyataan, diterima oleh umat kami sebagai kekerasan multi wajah seperti berikut:
- Pembangunan bias pendatang (yang kami menilai sebagai kekerasan ideologis) yang berakibat marginalisasi terhadap penduduk asli Papua, karena dalam kerangka demikian eksistensi, identitas dan masa depan rakyat Papua tidak diperhitungkan; semua yang dikerjakan di Papua atas nama pembangunan adalah untuk kepentingan NKRI, seperti di bawah ini:
- Operasi-operasi militer sejak awal tahun 1960an sampai hari ini; operasi inteligen, status DOM untuk mengamankan pembangunan bias pendatang tadi
- Kekerasan ekonomi, sosial dan budaya, eksploitasi sumber daya alam
- Kekerasan pencitraan berupa stigma “ Papua bodoh, separatis, malas, koteka, Gereja Papua mendukung Papua merdeka, Papua komsumtif”, dan lain-lain
- Kekerasan kultural, yang terlihat dengan pelarangan buku Papua tentang sejarah dan kebudayaan Papua.
Saat Otonomi khusus mulai dilaksanakan, kami sebagai Pimpinan Gereja berharap: pemerintah akan jedah; kekerasan akan berhenti. Papua akan pulih secara bertahap. Tetapi justru dalam suasana Otonomi Khusus kekerasan neagara meningkat. Gambaran berikut mencerminkan kekerasan yang dialami umat sejak Otsus diberlakukan.
- Pemekaran Provinsi Irian Jaya Barat/ Papua Barat;
- MRP yang dilumpuhkan;
- Kekerasan Militer yang terus berlanjut seperti yang terlihat dengan: (a) pembangunan /penambahan Batalyon (di Merauke, Nabire dan Wamena); (b) pelanggaran HAM berat sebagaimana yang terlihat dalam kasus: Wasior (Juni –Juli 2001), Penculikan dan Pembunuhan Theys Eluay (10 November 2001), Peristiwa Wamena (6 Oktober 2000, 2 April 2003); operasi militer di Mantembu-Serui, yang mengakibatkan terbunuhnya warga sipil Yawan Wayeni pada tanggal 13 Agustus 2009), kekerasan Kapeso (Juni 2010) Abepura Berdarah (Desember 2001, 16 Maret 2006) penembakan/ pembunuhan Pasca Kongres Papua III (19 Oktober 2011);
- Otsus yang tidak didukung oleh Perdasi dan Perdasus;
- Pembunuhan Terhadap para Hamba Tuhan (seperti: Pdt. Elisa Tabuni, Agustus 2011; Pdt. Kinderman Gire, Maret 2011) stigma separatis terhadap Gereja (GKI, Kingmi dan Baptis Papua);
- Pembiaran terhadap penyimpangan dana Otsus;
- Pelayanan kesehatan yang buruk, gizi buruk dan penderita HIV/ AIDS yang terus meningkat;
- Kekerasan terhadap Perempuan Papua yang tinggi, angka kematian ibu dan anak Papua amat tinggi, dan angka pengidap HIV/AIDS pada perempuan dan anak Papua semakin meningkat;
- Pendidikan yang tidak berkualitas menyebabkan rendahnya SDM Papua;
- Arus migran yang terus meningkat dan populasi Orang Asli Papua yang tidak bertambah;
- Diskriminasi dan marginalisasi terhadap Papua di segala bidang kehidupan;
- Penanganan terhadap Kongres Rakyat Papua yang dengan pendekatan militeristis;
Dampak Kekerasan Atas Nama Pembangunan: Lahirnya Nasionalisme (Separatisme)
Pengalaman umat kami menjalani pembangunan yang berwajah kekerasan ini; yang dilakukan secara sistematis dan terencana dengan bantuan masyarakat internasional secara terus-menerus melahirkan “nasionalisme Papua” (menurut Pemerintah Indonesia: separatisme). Kami pimpinan Gereja menilai apa yang sedang dialami umat ini; tidak bedanya dengan yang dialami orang pribumi di Jawa dan Sumatera dalam tahun 1900an; yang melahirkan nasionalisme orang-orang pribumi Jawa yang mendorong semangat kebangsaan Indonesia. Nasionalisme Jawa (dalam pandangan Belanda yang kebijakannya mempora-porandakan kehidupan orang pribumi Jawa, Sumatera dst adalah “separatisme”).
Sekali lagi, kekerasan-kekerasan ini yang telah lama terjadi (tanpa penyelesaian), melahirkan dan menyuburkan: Nasionalisme Papua, yang menurut kami, perasaan bahwa kami (Orang Asli Papua) tidak diakui, dan tidak diterima sebagai manusia yang setara dalam hukum. Kami “orang asli Papua” bukan bagian dari masyarakat Indonesia, seperti halnya nasionalisme Soekarno, Moh Hata dll, yang lahir dan bertumbuh dalam konteks penindasan dan kekerasan penjajah Belanda.
Keprihatinan Gereja
Keprihatinan kami sebagai Pimpinan Gereja dalam konteks demikian berangkat dari ajaran Kitab Suci kami (Mazmur 72:1-4) ialah nasionalisme (atau separatisme) ini kemudian dijadikan sebagai dasar untuk membenarkan pengiriman dan penggunaan pendekatan Keamanan; yang pada gilirannya sedang melahirkan pemusnahan etnis.
Sejumlah Pertanyaan Pimpinan Gereja Kepada Pemerintah
Berhadapan dengan kenyataan: mata rantai kekerasan tanpa akhir seperti itu yang melahirkan (menyuburkan Nasionalisme Papua), kami Pimpinan Gereja ingin menyampaikan beberapa pertanyaan kepada Bapak Presiden RI:
Kapan pemerintah ini berefleksi dan menghentikan politik “lempar batu sembunyi tangan” menghadapi nasionalisme Papua yang lahir karena tidak tahan menghadapi sistem penindasan Negara? Kapan Pemerintah Indonesia ini menjadi dewasa dan duduk dan melibatkan ahli dan pakar-pakar nasional dan internasional bisa mengambil tanggung jawab “mengurus bayi nasionalisme Papua tadi.
Apakah UP4B yang dibuat secara sepihak: tanpa melibatkan semua unsur masyarakat Papua itu bisa menyelesaikan masalah Papua?
- Apakah UP4B yang dibuat secara sepihak:tanpa menyinggung akar persoalan Papua: Pepera / Act of Free Choice yang itu bisa menyelesaikan masalah Papua?
- Apakah UP4B yang dibuat secara sepihak:tanpa menyinggung pelanggaran HAM/keadilan itu bisa menyelesaikan masalah Papua?
- Apakah UP4B yang dibuat secara sepihak: tanpa menyinggung kebijakan pembangunan “bias pendatang” itu bisa menyelesaikan masalah Papua?
- Apakah UP4B yang dibuat secara sepihak:tanpa menyinggung tuntutan rakyat Papua dewasa ini untuk berdialog yang juga didukung banyak kalangan di luar negeri itu bisa menyelesaikan masalah Papua?
REKOMENDASI
Dalam rangka menyikapi “bayi nasionalisme” yang lahir dalam konteks pemerintahan yang berwajah kekerasan di atas, kami Pimpinan Gereja di Tanah Papua telah mengeluarkan Komunike Bersama Pimpinan Gereja (10 Januari 2011), Deklarasi Teologi (pada tanggal 26 Januari 2011) yang menyatakan bahwa Pemerintah Indonesia telah gagal membangun orang asli Papua (kecuali melahirkan dan menyuburkan aspirasi Papua merdeka); dan tidak punya niat untuk memutuskan mata rantai kekerasan ini.
Sehingga untuk keluar dari lingkaran kekerasan ini, kami Pimpinan Gereja mendukung pernyataan Bapak Presiden RI (pada 6 November 2004) saat menerima Delegasi Gubernur Provinsi Papua bahwa masalah Papua akan diselesaikan secara adil, konprehensif dan bermartabat. Janji yang sama Bapak Presiden sampaikan dalam Pidato kenegaraan pada tanggal 16 Agustus 2008, 16 Agustus 2010 dan yang terakhir pada tanggal 16 Agustus 2011 bahwa, “menata Papua dengan hati, adalah kunci dari semua langkah untuk menyukseskan pembangunan Papua”. Dalam semangat ini dan ajaran Kitab Suci yang telah dikutip di atas, maka kami merekomendasikan hal-hal sebagai berikut.
(a) Kami meminta Pemerintah membuka diri menggelar DIALOG yang inklusif, tanpa syarat, yang adil, bermartabat dan komprehensif dengan rakyat Papua, dengan dimediasi oleh pihak ketiga yang netral.
(b) Dalam rangka menuju dialog dimaksud, kami mendesak Bapak Presiden untuk segera:
- b.1. menghentikan Operasi Tuntas Matoa 2011 yang sedang berlangsung di Paniai sejak tanggal 12 Desember yang telah menewaskan 14 orang, melukai puluhan lainnya dan membakar kampung-kampung;
- b.2. Menarik pasukan non-organik dari Papua;
- b.3. Membebaskan para tahanan politik; dan
- b.4. Mencabut Peraturan Pemerintah No. 77/2007 tentang larangan penggunaan simbol-simbol bernuansa separatis di Aceh, Maluku dan Papua.
(d) Dengan adanya nasionalisme Papua yang sudah terbangun lama dan dipicu oleh berbagai kekerasan dan ketidakdilan sistematis, maka kami Gereja-Gereja Papua menyampaikan kepada Bapak Presiden bahwa keinginan rakyat Papua untuk merdeka dan berdaulat telah mengkristal. Gereja-Gereja Universal dalam solidaritasnya dengan Gereja-Gereja dan suara Umat Tuhan di Tanah Papua telah merekomendasikan hak untuk menentukan nasib sendiri (the right for self determination) rakyat Papua.
Demikian pernyataan kami, Pemimpin Gereja-Gereja di Tanah Papua sebagai pesan profetis di hari Natal kepada rakyat dan Pemerintah Republik Indonesia. Tuhan memberkati.
Jakarta, 16 Desember 2011
Hormat kami,
Ketua Sinode GKI di Tanah Papua
Pdt. Jemima M. Krey, S.Th
Ketua Sinode Kingmi di Tanah Papua
Pdt. Dr. Benny Giay
Ketua Umum Badan Pelayan Pusat Persekutuan Gereja-Gereja Baptis Papua
Pdt. Socratez Sofyan Yoman, MA
Majelis Umum (Sinode Nasional) Gereja Kristen Alkitab Indonesia
Ketua Umum
Pdt. Dr. Martin Luther Wanma
0 Komentar Anda:
Post a Comment
Your Comment Here