PENYIKSAAN MENINGKAT DRASTIS!
Laporan Praktek Penyiksaan di Indonesia (Published: http://www.kontras.org/)
Hari Dukungan Internasional untuk Korban Penyiksaan 2012
Memperingati Hari Dukungan Internasional untuk Korban
Penyiksaan (26 Juni), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak
Kekerasan (KontraS) mengeluarkan laporan tahunan berjudul, Penyiksaan Meningkat Drastis!.
Laporan ini disarikan dari berbagai insiden penyiksaan yang mendapat
perhatian publik luas (baik nasional maupun internasional) sepanjang
Juli 2011-Juni 2012, khususnya elaborasi berbagai laporan pengaduan
kasus penyiksaan yang langsung ditangani oleh KontraS. Laporan ini
merupakan evaluasi KontraS terhadap situasi praktik penyiksaan tetap
menggunakan kerangka penilaian yang digunakan oleh Komite Anti
Penyiksaan (Committee Against Torture) dan mekanisme di bawah Dewan HAM PBB (baik itu lewat Pelapor Khusus Anti-Penyiksaan maupun lewat sidang Universal Periodic Review yang pada 23 Mei 2012 merupakan Siklus II).
Kontras mencatat kebijakan Negara yang memfasilitasi terjadinya praktek penyiksaan. Sementara Negara harusnya juga segera mengakomodir kebijakan yang semestinya bisa mencegah atau mengurangi terjadinya penyiksaan. Persoalan tersebut antara lain :
Kontras mencatat kebijakan Negara yang memfasilitasi terjadinya praktek penyiksaan. Sementara Negara harusnya juga segera mengakomodir kebijakan yang semestinya bisa mencegah atau mengurangi terjadinya penyiksaan. Persoalan tersebut antara lain :
- Absennya kriminalisasi kejahatan penyiksaan dan hukuman yang setimpal bagi pelakunya karena belum adanya revisi KUHP dan KUHAP meskipun telah masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas) 2010-2014
- Terus dipertahankannya kebijakan hukuman mati. Abolisi hukuman mati di Indonesia harus dilakukan dengan sasaran antara melakukan moratorium terhadap eksekusi mati yang secara de fakto telah diberlakukan dalam 4 tahun terakhir. Meski demikian, dalam setahun terakhir terdapat 6 terpidana mati baru yang diputuskan oleh pengadilan
- Kebijakan hukum cambuk di Aceh. Hukum cambuk merupakan bentuk penghukuman yang kejam (corporal punishment) yang tidak sesuai dengan Konvensi Anti Penyiksaan dan Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik. Pada periode Juni 2011-Juni 2012 terdapat 47 orang yang dihukum cambuk di Aceh.
- Masih mengandalkan mekanisme akuntabilitas internal untuk mengadili tindakan penyiksaan. Praktik penyiksaan juga masih menjadi persoalan impunitas karena mekanisme penghukumannya masih sangat bergantung pada mekanisme internal, baik di tubuh TNI maupun Polri sehingga meniadakan efek jera. Penting memastikan adanya berbagai institusi negara yang memiliki kewenangan untuk melakukan investigasi independen (independent external oversight body) terhadap dugaan terjadinya penyiksaan mulai mengidentifikasi nama-nama pelaku yang dianggap bertanggung jawab.
- Pengesahan UU Intelijen Negara yang potensial membuka ruang praktik penyiksaan, yaitu UU No.17/2011 tentang Intelijen Negara. UU ini secara langsung memberikan kewenangan khusus berupa penggalian informasi kepada aparat intelijen. Penggalian informasi akan diterapkan kepada sasaran-sasaran yang terkait dengan kegiatan yang mengancam kepentingan dan keamanan nasional, serta khususnya kegiatan terorisme-separatisme yang selama ini dikenal berkembang luas di sejumlah wilayah di Indonesia.
Berdasarkan monitoring KontraS untuk periode Juli 2011-Juni 2012,
terjadi lonjakan luar biasa dugaan terjadinya praktik penyiksaan. Pada
periode Juli 2010-Juni 2011, KontraS mencatat ada 28 dugaan peristiwa
penyiksaan dengan jumlah korban sebanyak 49 orang, sementara untuk
peridoe Juli 2011-Juni 2012 terdapat 86 dugaan peristiwa penyiksaan
dengan jumlah 243 korban .
Sementara itu untuk kategori dugaan pelakunya
pada periode ini tercatat aparat Polri sejumlah 14 peristiwa, TNI
sejumlah 60 peristiwa, dan.
Sipir penjara sebanyak 12 peristiwa. Untuk
periode ini terdapat wilayah tempat diduga praktik penyiksaan terjadi
relatif besar, yaitu wilayah Papua yang memang selama setahun terakhir
juga situasi keamanan dan intensitas kekerasannya sedang bermasalah.
Grafik dan Tabel Kasus Penyiksaan (KontraS) |
Dari tabel di atas, beberapa hipotesa yang bisa diambil adalah : Pertama,
terjadi jumlah korban dan dugaan praktik penyiksaan yang begitu
menonjol di Papua bila dibandingkan dengan daerah lainnya, terdapat 11
peristiwa penyiksaan di Papua dengan 98 orang korban. Jumlah dugaan
praktik penyiksaan di Papua ini kuat berkorelasi dengan memanasnya
situasi politik dan meningkatnya intensitas kekerasan secara umum di
sana selama setahun terakhir. Mereka yang menjadi korban umumnya adalah
penduduk asli Papua dan menganggap mereka menjadi korban salah tangkap
dan penahanan semena-mena yang dilakukan oleh aparat keamanan. Hal ini
memperkuat stigmatisasi dan diskriminasi hingga mengkriminalisasi
terhadap orang Papua.
Kedua, praktik penyiksaan umumnya terjadi dalam situasi di
mana posisi korban begitu tidak berdaya terhadap pelakunya; situasi yang
umum terjadi di ruang tahanan yang tertutup. Situasi ini semakin buruk
ketika si korbannya merupakan warga biasa -yang menjadi tersangka suatu
kejahatan- mewakili struktur masyarakat kelas bawah. Hal ini juga
terjadi di Indonesia di mana kebanyakan mereka yang diduga menjadi
korban penyiksaan adalah para tersangka kriminal atau narapidana yang
berasal dari kelompok awam (menjadi musuh opini publik seperti teroris,
pengedar narkoba, separatis, dan lainnya) dan seringkali tidak
didampingi oleh pembela hukum. Hingga kini monitoring KontraS belum
menemukan adanya dugaan praktik penyiksaan untuk tersangka pelaku
korupsi yang umumnya merupakan pejabat negara atau pengusaha kaya.
Situasi ini menegaskan pentingnya kebutuhan segera untuk menghentikan
tindakan penyiksaan serta membuat aturan-aturan yang dapat mencegah
terjadinya penyiksaan. Terhadap hal tersebut di atas, KontraS
merekomendasikan kepada :
- Pemerintah dan DPR RI harus mempercepat pembahasan RUU Perubahan KUHP dan KUHAP atau menyusun suatu RUU Anti Penyiksaan tersendiri. Hal ini dimaksudkan untuk menjawab kebutuhan regulasi mendesak bagi upaya mengkriminalisasi tindak penyiksaan ;
- Institusi negara yang relevan seperti TNI, Polri, dan Kementrian Hukum dan HAM (yang membawahi sistem penjara dan tahanan di Indonesia) memastikan penghukuman yang maksimal kepada pelaku hingga memberikan efek jera serta harus menerapkan suatu mekanisme vetting secara internal bagi aparat, petugas, atau pejabatnya yang melakukan, memerintahankan, atau membiarkan terjadinya praktik penyiksaan;
- Institusi negara yang memiliki mandat melakukan fungsi pemantauan atau pengawasan yang independen (independent external oversight bodies), seperti Komnas HAM, Ombudsman, atau Kompolnas juga bisa menerapkan mekanisme vetting untuk mempersempit ruang gerak pelaku penyiksaan;
- Pemerintah harus bisa menghentikan praktik penyiksaan yang didasari pada pola stigmatisasi dan diskrimnasi yang terjadi di Papua mengingat meningkat tajamnya praktik penyiksaan di wilayah tersebut akan memperburuk situasi Papua yang sedang bermasalah;
- Pemerintah dan DPR RI untuk segera melakukan ratifikasi Konvensi Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa dan Protokol Opsional Konvensi Anti Penyiksaan;
- Pemerintah dan DPR untuk mengkaji ulang berbagai kebijakan negara yang memfasilitasi praktik penyiksaan dan perlakuan kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat.
Jakarta, 22 Juni 2012
Badan Pekerja,
Badan Pekerja,
Indria Fernida | Papang Hidayat |
Wakil I Koordinator | Kepala Biro Penelitian |
(0816.146.6341) | (0812.959.8086) |
Laporan Penyiksaan KontraS tahun 2012 [unduh]
0 Komentar Anda:
Post a Comment
Your Comment Here