Opini: Oleh Dumma Socratez Sofyan Yoman
Rev. Socratez Sofyan Yoman (Photo Dok) |
“Adalah logis Indonesia menjadi Negara gagal karena sejak
penyerahan kedaulatan nasional dari Belanda ke Indonesia tidak pernah
ada usaha kolektif berupa pembangunan nasional yang sistematik, koheren,
konsisten, terarah, dan kontinu. Yang selama ini dilakukan oleh
penguasa Negara silih berganti adalah pembangunan bidang ekonomi
berdasarkan resep penalaran ekonomika, Bank Dunia, IFM, dan lembaga
finansial internasional lainnya. Kedua usaha ini memang saling terkait,
tetapi jelas berbeda secara fundamental dalam tujuan dan ukuran
suksesnya”. (Daoed Joeseof, Alumnus Universite Pluridisciplinaires
Pantheon-Sorbonne, Opini Kompas, Kamis, 12 Juli 2012, hal.6).
Wajah dan representasi Kegagalan Negara Indonesia dapat diukur salah
satunya dari realitas kehidupan Penduduk Asli Papua. Kemiskinan
penduduk Asli Papua sangat nyata dan telanjang di depan mata kita.
Kekayaan Sumber Daya Alam (SDA) Tanah Papua sangat melimpah. Emas,
perak, ikan, hutan,rotan, minyak ada di Tanah Papua. Papua memberikan
sumbangan terbesar kepada Indonesia setiap tahun. Contoh: PT Freeport
perusahaan milik Amerika ini memberikan sumbangan pajak kepada
Indonesia (Jakarta) Rp 18 Triliun setiap tahun. Ini belum termasuk,
sumbangan pajak dari British Petrolium (BP) milik Inggris di Bintuni,
Manokwari dan pajak minyak yang diproduksi di Sorong. Sementara
rakyat Papua pemilik dan ahli waris Tanah yang kaya raya ini dibantai
seperti hewan dengan diberikan stigma separatis, makar dan anggota OPM.
Dan juga dibuat tak berdaya dan dimiskinkan permanen secara struktural,
sistematis oleh penguasa Pemerintah Indonesia.
Misi utama Indonesia menganeksasi, menduduki dan menjajah Papua ialah kepentingan ekonomi dan politik. Untuk mempertahankan dan mengkekalkan kepentingan ekonomi dan politik itu, pemerintah Indonesia selalu menggunakan semua instrumen hukum, Undang-Undang, kekuatan politik dan keamanan untuk menangkap, mengejar, menembak mati, membunuh, menculik, menyiksa dan memenjarakan Penduduk Asli Papua dengan label separatisme. Memang, ironis, nasib dan masa depan Penduduk Asli Papua dalam Indonesia. Pemerintah Indonesia dengan tangan besi, kejam dan brutal yang benar-benar menghancurkan harkat, martabat, hak-hak dasar dan masa depan Penduduk Asli Papua di atas Tanah leluhur mereka.
Barometer Indonesia Negara gagal juga dilihat dari beberapa indikator pada skala Nasional. Pertama, Pilar Negara seperti nilai-nilai Pancasila sebagai ideologi Negara dan bangsa dan UUD 1945 sebagai landasan konstitusi Negara RI tidak diterapkan dengan baik dalam bernegara, berbangsa dan bermasyarakat, bahkan sama sekali tidak berfungsi atau bisa dikatakan lumpuh. Kedua, kekerasan dan kejahatan Negara terhadap warga Negara meningkat tajam. Rakyat sipil diperhadapkan dengan kekuatan Negara. Ketiga, korupsi merajalela di birokrasi Pemerintah, aparat penegak hukum dan munculnya pahlawan-pahlawan koruptor yang benar-benar merusak dan meruntuhkan sendi-sendi Negara RI. Keempat, kekerasan dan kejahatan atas nama agama dan arogansi mayoritas terhadap penduduk minoritas dan pelakunya tidak pernah ditangkap dan diproses hukum. Hukum diskriminatif bertumbuh subur di Indonesia. Kelima, lemahnya penegakkan hukum di Indonesia. Hukum berpihak kepada penguasa dan orang-orang yang memiliki kedudukan dan yang banyak uang. Keenam, meningkatnya secara tajam kemiskinan dan jurang besar antara kaya dan miskin yang terlihat di depan mata kita di mana-mana di seluruh Indonesia. Ketujuh, banyak Partai Politik dan kepentingannya yang tidak memperjuangkan kepentingan rakyat, Negara dan bangsa tapi lebih mementingkan dan mengutamakan kepentingan dan kemajuan partai politik. Banyak partai politik menciptakan jurang besar disintegrasi sosial dan disharmoni kebangsaan yang benar-benar melumpuhkan solidaritas sebagai warga Negara. Ingat! Separatisme sesungguhnya sudah subur di Jawa dekat ibu kota Negara RI bukan di Tanah Papua. Contoh: Negara Islam Indonesia (NII), pelarangan dan penutupan Gereja-gereja di Jawa dan pelarangan Gereja GKI Yasmin Bogor oleh seorang Walikota Bogor. Apakah ini bukan gerakan separatis? Semboyan Bhineka Tunggal Ika tercabik-cabik di depan mata penguasa yang sedang menindas Penduduk Asli Papua.
Kembali pada paradox Separatisme, Realitas kemiskinan struktural dan permanen di Papua. Kesan saya, ada konspirasi ekonomi dan politik antara dua Negara dan bangsa. Pemerintah Amerika Serikat, menempatkan Pemerintah Indonesia di Tanah Papua sebagai “satpam” penjaga “kebunnya” Amerika Serikat, PT Freeport, yang sedang merampok, melakukan pencurian, dan penjarahan besar-besaran hak milik Penduduk Asli Papua. Pemerintah Indonesia sebagai “satpam” penjaga ini juga mendapat beberapa keuntungan: Dia (Indonesia) mendapat royalti 18 Triliyuan setiap tahun. Sementara menjadi penjaga, dia membantai dan memusnahkan Penduduk Asli pemilik Tanah. Indonesia juga mendatangkan penduduk Indonesia dipindahkan ke Papua yang dikemas dengan Program Transmigrasi dan di tempatkan di lembah-lembah subur di seluruh Tanah Papua. Perampokan Tanah milik Penduduk Asli Papua dan menyingkirkan (memarjinalkan) mereka bahkan penduduknya dibunuh secara kejam atas nama pembangunan nasional. Pemerintah Amerika Serikat mempunyai kepentingan ekonomi di Indonesia dan Papua, sedangkan Pemerintah Indonesia sebagai “satpam” penjaga mempunyai kepentingan ekonomi dan politik untuk menguasasi Tanah Papua dengan memusnahkan (genocide) Penduduk Asli Papua dengan stigma Separatisme, OPM dan berbagai bentuk pendekatan.
Sudah waktunya Pemerintah Indonesia menjadi malu dan harus berterima kasih banyak kepada Penduduk Asli Papua yang menyumbangkan Rp 18 Triliyun dari hasil tambang emas Papua kepada Indonesia setiap tahun. Sebaliknya, apa yang didapat oleh Penduduk Asli Papua dari Negara Indonesia? Tapi, sayang, Presiden SBY tanpa rasa malu dan dengan gemilang mengkampanyekan bahwa Separatisme harus dihentikan. Tujuan Presiden RI, SBY, mengkampanyekan isu separatisme di Papua adalah: Pertama, untuk menyembunyikan kejahatan dan kekerasan terhadap kemanusiaan, kejahatan ekonomi, kegagalan melindungi dan membangun penduduk Asli Papua. Kedua, untuk menyembunyikan kemiskinan Penduduk Asli Papua yang menyedihkan di atas kekayaan sumber daya alam yang melimpah. Ketiga, untuk membelokkan akar masalah Papua yang dipersoalkan Penduduk Asli Papua tentang status politik, sejarah diintegrasikannya Papua ke dalam wilayah Indonesia melalui PEPERA 1969 yang cacat hukum, dan pelanggaran HAM yang kejam. Seperti disampaikan Paskalis Kossay: “sumber permasalahan dari konflik di Papua bukan hanya sekedar masalah ketidaksejahteraan masyarakat ataupun kegagalan pembagunan. Kenyataan yang ada di Papua sebenarnya persoalan sejarah politik yang berkelanjutan. Orang Papua merasa proses integrasi Papua ke NKRI itu tidak adil dan tidak demokratis” (Papua Pos, Sabtu, 14 Juli 2012). Keempat, membelokkan atau mengalihkan perhatian dari rakyat Indonesia dan komunitas Internasional tentang kegagalan Otonomi Khusus. Kelima, pemerintah Indonesia berusaha membelokkan dukungan kuat untuk dialog damai antar rakyat Papua dan Pemerintah Indonesia ke isu separatisme. Keenam, persoalan pelik dan kompleks yang berdimensi vertikal antara Pemerintah Indonesia dan rakyat Papua yang sudah berlangsung empat dekake sejak 1Mei 1963- sekarang ini mau dialihkan atau direduksi ke masalah orizontal dengan mengkriminalisasi gerakan dan perlawanan moral seperti Komite Nasional Papua Barat (KNPB).
Freddy Numbery, dalam opini Kompas, Jumat, 6 Juli 2012, hal. 6 dengan topik: “Satu Dasawarsa Otsus Papua” menyatakan: “ Sumber-sumber agraria milik masyarakat adat dieksploitasi dalam skala besar tanpa menyejahterakan pemiliknya. Sebaliknya marjinalisasi berlangsung di mana-mana. Pelurusan sejarah yang juga diamanatkan Undang-Undang Otsus tidak pernah disentuh. Persoalan kekerasan oleh Negara tidak diselesaikan, malah bereskalasi. Penambahan pasukan dari luar terus berlangsung tanpa pengawasan. Kebijakan demi kebijakan untuk Papua sudah diterapkan Jakarta, tetapi tak bertaji menyelesaikan masalah”.
Sementara Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Haris Azhar pada Kompas, Jumat, 8 Juni 2012, menyatakan: “Polisi dan pemerintah tidak hanya gagal menjamin rasa aman masyarakat, tetapi juga tidak pernah memberikan kepastian hukum, seperti menangkap pelaku penembakan gelap dalam tiga tahun terakhir. Khawatir terjadi pengambinghitaman kelompok seperatis melalui tuduhan-tuduhan semata dan diikuti dengan penangkapan semparangan. Pertanyaan mendasar adalah siapa yang mampu melakukan kekerasan, teror, dan pembunuhan misterius secara konstan? Peristiwa demi peristiwa ini merendahkan kehadiran aparat keamanan di Papua”.
Sedangkan Direktur Eksekutif Imparsial, Poengky Indarti pada Suara Pembaruan, Jumat, 8 Juni 2012, hal. 14, mengatakan: “Para pelaku penembakan misterius adalah orang atau kelompok terlatih. Motif politik semakin kuat, mengingat stigma yang selalu dilabelkan pada Papua adalah daerah separatis. Akan tetapi mengingat kelompok-kelompok tersebut berada di tengah hutan, tidak terkonsolidasi, adalah sangat janggal jika kelompok tersebut yang selalu dituding Pemerintah sebagai pelaku penembakan misterius yang terkjadi di Papua selama ini”. Cornelis Lay, dosen Ilmu Pemerintahan dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, menilai, ada inkonsistensi pemerintah dalam mendekati persoalan di Papua. Pemerintah mengaku melakukan pendedekatan kesejahteraan untuk meredam bara konflik. Namun, misalnya, saat terjadi persoalan di Papua, yang datang adalah Menko Polhukam bersama Panglima TNI dan Kepala Polri. Ini kan wajah pendekatan keamanan, bukan kesejahteraan”. (Kompas, Rabu, 4 Juli 2012, hal. 15).
Pemerintah Indonesia dengan sukses mengkekalkan, mengabadikan, melembagakan dan melegalkan secara permanen stigma separatis, makar dan anggota OPM terhadap Penduduk Asli Papua. Semua stigma itu menjadi instrumen permanen dan surat ijin untuk menjastifikasi tindakan-tindakan kekerasan dan kejahatan kemanusiaan terhadap Penduduk Asli Papua. Ruang ketakutan diciptakan sengaja, dipelihara oleh aparat keamanan dengan stigma Separatis dan OPM supaya: (a) Penduduk Asli Papua dibungkam dan tidak berani melakukan perlawanan untuk mempertahankan martabat (dignity), demi masa depan yang penuh harapan, lebih baik, damai di atas Tanah leluhurnya; (b) Aparat keamanan mendapat dana pengamanan.
Kemiskinan Penduduk Asli Papua bukan merupakan warisan nenek moyang dan leluhur rakyat dan bangsa Papua. Karena sejarah membuktikan bahwa sebelum Indonesia datang menduduki dan menjajah Penduduk Asli Papua, Orang Asli Papua adalah orang-orang kaya, tidak bergantung pada orang lain, mempunyai sejarah sendiri, hidup dengan tertip dengan tatanan budaya yang teratur, tidak pernah diperintah oleh orang lain. Penduduk Asli Papua adalah orang-orang yang merdeka dan berdaulat atas hidup, dan hak kepemilikan tanah dan hutan yang jelas secara turun-temurun. Orang Asli Papua sudah ada di Tanah ini (Papua) sebelum namanya Indonesia lahir. Kemiskinan Penduduk Asli Papua adalah merupakan hasil (produk) dari sistem pemerintahan dan penjajahan ekonomi yang dilakukan oleh Indonesia dengan sengaja, sistematis dan jangka panjang atas nama pembagunan nasional yang semu.
Solusi dan keputusan politik yang legal Pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus yang disahkan melalui lembaga resmi DPR RI dan didukung komunitas Internasional dan juga diterima sebagian rakyat Papua dan sebagian besar dipaksa menerima Otsus. Sayang, Otonomi Khusus itu dinyatakan oleh banyak pihak, termasuk Negara Asing Pemberi donor dana bahwa telah gagal . Pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B) yang lebih rendah dari UU No. 21 Tahun 2001. UP4B adalah instrumen Pemerintahan SBY untuk memperpanjang dan meng-kekal-kan pendudukan, penjajahan, kejahatan, kekerasan Negara, penderitaan, kemiskinan, ketidakadilan dan marjinalisasi Penduduk Asli Papua.
Jadi, kesimpulannya, yang jelas dan pasti tanpa ragu-ragu: Pemerintah Indonesia berusaha dan bekerja keras untuk mencuci tangan, melempar tanggungjawab dan menyembunyikan diri atas kegagalan, kejahatan terhadap penduduk Asli Papua (pelanggaran HAM) yang kejam dan brutal, mengalihkan kemiskinan struktural dan permanen yang diciptakan Negara terhadap Penduduk Asli Papua selama ini dengan mengkampanyekan Separatisme harus dihentikan. Kampanye ini untuk memperlihatkan kepada rakyat Indonesia dan komunitas internasional bahwa kekerasan di Papua dilakukan oleh Penduduk Asli Papua dengan membunuh Mako Musa Tabuni pada siang bolong dengan cara kriminal, kejam dan watak premanisme. Pemerintah Indonesia berlindung dibalik stigma separatisme. Indonesia telah gagal menjaga martabat manusia Papua, sebaliknya Pemerintah selalu merendahkan martabat rakyat Papua dengan stigma Separatis dan OPM. Pemerintah Indonesia sudah lama memperlihatkan wajah kekerasan dan anti kedamaian. Pemerintah gagal mengintegrasikan rakyat Papua ke dalam Indonesia tapi hanya berhasil mengintegrasikan Papua secara politis dan ekonomi. Penduduk Asli Papua berada diluar dari integrasi ideologi dan nasionalisme Indonesia. Walaupun pendidikan dan kurikulum yang diterapkan di Papua dari tingkat Taman Kanak-Kanak-Perguruan Tinggi adalah sistem pendidikan Nasional Indonesia.
Kompas, pada Rabu, 20 Juni 2012 melaporkan: “Posisi Indonesia Memburuk. Urutan 63 Indeks Negara Gagal. Dalam Indeks Negara Gagal (Failed States Index/FSI) 2012 yang dipubikasikan di Washington DC, Amerika Serikat, Senin (18/6), Indonesia menduduki peringkat ke-63 dari 178 Negara. Dalam posisi tersebut, Indonesia masuk kategori Negara-negara yang dalam bahaya (in danger) menuju Negara gagal”. Berkaitan dengan laporan dari lembaga riset nirlaba The Fund for Peace (FFP) yang bekerja sama dengan Foreign Policy (Kebijakan Luar Negeri) yang menyatakan Indonesia menuju Negara gagal atau masuk dalam kategori Negara gagal, saya sudah berkali-kali menyampaikan kegagalan Negara dalam opini saya sebelum laporan resmi ini diumumkan. Seperti telah dimuat dalam Tabloit Jubi dan Bintang Papua, Kamis, 06 Oktober 2011: “TNI Gagal Melindungi dan Menjaga Integritas Manusia di Tanah Papua” dan pada Pasific Post, Selasa, 20 Maret 2012 dan Bintang Papua, Kamis, 22 Maret 2012” Pemerintah Indonesia Gagal Membangun dan Melindungi Penduduk Asli Papua”.
"Tinggal soal waktu saja kita senang atau tidak, mau atau tidak akan kehilangan Papua karena kita gagal merebut hati orang Papua dan itu kesalahan bangsa sendiri dari awal". (Dr.Adnan Buyung Nasution, S.H. : sumber: Detiknews, Rabu, 16 Desember 2011). “Di atas batu ini saya meletakkan peradaban orang Papua, sekalipun orang memiliki kepandaian tinggi, akal budi dan marifat (termasuk: Otonomi Khusus dan UP4B), tetapi tidak dapat memimpin bangsa ini, bangsa ini akan bangkit dan memimpin dirinya sendiri”. ( Wasior, Manokwari, 25 Oktober 1925, Pdt. I.S. Kijne). Shalom.
Misi utama Indonesia menganeksasi, menduduki dan menjajah Papua ialah kepentingan ekonomi dan politik. Untuk mempertahankan dan mengkekalkan kepentingan ekonomi dan politik itu, pemerintah Indonesia selalu menggunakan semua instrumen hukum, Undang-Undang, kekuatan politik dan keamanan untuk menangkap, mengejar, menembak mati, membunuh, menculik, menyiksa dan memenjarakan Penduduk Asli Papua dengan label separatisme. Memang, ironis, nasib dan masa depan Penduduk Asli Papua dalam Indonesia. Pemerintah Indonesia dengan tangan besi, kejam dan brutal yang benar-benar menghancurkan harkat, martabat, hak-hak dasar dan masa depan Penduduk Asli Papua di atas Tanah leluhur mereka.
Barometer Indonesia Negara gagal juga dilihat dari beberapa indikator pada skala Nasional. Pertama, Pilar Negara seperti nilai-nilai Pancasila sebagai ideologi Negara dan bangsa dan UUD 1945 sebagai landasan konstitusi Negara RI tidak diterapkan dengan baik dalam bernegara, berbangsa dan bermasyarakat, bahkan sama sekali tidak berfungsi atau bisa dikatakan lumpuh. Kedua, kekerasan dan kejahatan Negara terhadap warga Negara meningkat tajam. Rakyat sipil diperhadapkan dengan kekuatan Negara. Ketiga, korupsi merajalela di birokrasi Pemerintah, aparat penegak hukum dan munculnya pahlawan-pahlawan koruptor yang benar-benar merusak dan meruntuhkan sendi-sendi Negara RI. Keempat, kekerasan dan kejahatan atas nama agama dan arogansi mayoritas terhadap penduduk minoritas dan pelakunya tidak pernah ditangkap dan diproses hukum. Hukum diskriminatif bertumbuh subur di Indonesia. Kelima, lemahnya penegakkan hukum di Indonesia. Hukum berpihak kepada penguasa dan orang-orang yang memiliki kedudukan dan yang banyak uang. Keenam, meningkatnya secara tajam kemiskinan dan jurang besar antara kaya dan miskin yang terlihat di depan mata kita di mana-mana di seluruh Indonesia. Ketujuh, banyak Partai Politik dan kepentingannya yang tidak memperjuangkan kepentingan rakyat, Negara dan bangsa tapi lebih mementingkan dan mengutamakan kepentingan dan kemajuan partai politik. Banyak partai politik menciptakan jurang besar disintegrasi sosial dan disharmoni kebangsaan yang benar-benar melumpuhkan solidaritas sebagai warga Negara. Ingat! Separatisme sesungguhnya sudah subur di Jawa dekat ibu kota Negara RI bukan di Tanah Papua. Contoh: Negara Islam Indonesia (NII), pelarangan dan penutupan Gereja-gereja di Jawa dan pelarangan Gereja GKI Yasmin Bogor oleh seorang Walikota Bogor. Apakah ini bukan gerakan separatis? Semboyan Bhineka Tunggal Ika tercabik-cabik di depan mata penguasa yang sedang menindas Penduduk Asli Papua.
Kembali pada paradox Separatisme, Realitas kemiskinan struktural dan permanen di Papua. Kesan saya, ada konspirasi ekonomi dan politik antara dua Negara dan bangsa. Pemerintah Amerika Serikat, menempatkan Pemerintah Indonesia di Tanah Papua sebagai “satpam” penjaga “kebunnya” Amerika Serikat, PT Freeport, yang sedang merampok, melakukan pencurian, dan penjarahan besar-besaran hak milik Penduduk Asli Papua. Pemerintah Indonesia sebagai “satpam” penjaga ini juga mendapat beberapa keuntungan: Dia (Indonesia) mendapat royalti 18 Triliyuan setiap tahun. Sementara menjadi penjaga, dia membantai dan memusnahkan Penduduk Asli pemilik Tanah. Indonesia juga mendatangkan penduduk Indonesia dipindahkan ke Papua yang dikemas dengan Program Transmigrasi dan di tempatkan di lembah-lembah subur di seluruh Tanah Papua. Perampokan Tanah milik Penduduk Asli Papua dan menyingkirkan (memarjinalkan) mereka bahkan penduduknya dibunuh secara kejam atas nama pembangunan nasional. Pemerintah Amerika Serikat mempunyai kepentingan ekonomi di Indonesia dan Papua, sedangkan Pemerintah Indonesia sebagai “satpam” penjaga mempunyai kepentingan ekonomi dan politik untuk menguasasi Tanah Papua dengan memusnahkan (genocide) Penduduk Asli Papua dengan stigma Separatisme, OPM dan berbagai bentuk pendekatan.
Sudah waktunya Pemerintah Indonesia menjadi malu dan harus berterima kasih banyak kepada Penduduk Asli Papua yang menyumbangkan Rp 18 Triliyun dari hasil tambang emas Papua kepada Indonesia setiap tahun. Sebaliknya, apa yang didapat oleh Penduduk Asli Papua dari Negara Indonesia? Tapi, sayang, Presiden SBY tanpa rasa malu dan dengan gemilang mengkampanyekan bahwa Separatisme harus dihentikan. Tujuan Presiden RI, SBY, mengkampanyekan isu separatisme di Papua adalah: Pertama, untuk menyembunyikan kejahatan dan kekerasan terhadap kemanusiaan, kejahatan ekonomi, kegagalan melindungi dan membangun penduduk Asli Papua. Kedua, untuk menyembunyikan kemiskinan Penduduk Asli Papua yang menyedihkan di atas kekayaan sumber daya alam yang melimpah. Ketiga, untuk membelokkan akar masalah Papua yang dipersoalkan Penduduk Asli Papua tentang status politik, sejarah diintegrasikannya Papua ke dalam wilayah Indonesia melalui PEPERA 1969 yang cacat hukum, dan pelanggaran HAM yang kejam. Seperti disampaikan Paskalis Kossay: “sumber permasalahan dari konflik di Papua bukan hanya sekedar masalah ketidaksejahteraan masyarakat ataupun kegagalan pembagunan. Kenyataan yang ada di Papua sebenarnya persoalan sejarah politik yang berkelanjutan. Orang Papua merasa proses integrasi Papua ke NKRI itu tidak adil dan tidak demokratis” (Papua Pos, Sabtu, 14 Juli 2012). Keempat, membelokkan atau mengalihkan perhatian dari rakyat Indonesia dan komunitas Internasional tentang kegagalan Otonomi Khusus. Kelima, pemerintah Indonesia berusaha membelokkan dukungan kuat untuk dialog damai antar rakyat Papua dan Pemerintah Indonesia ke isu separatisme. Keenam, persoalan pelik dan kompleks yang berdimensi vertikal antara Pemerintah Indonesia dan rakyat Papua yang sudah berlangsung empat dekake sejak 1Mei 1963- sekarang ini mau dialihkan atau direduksi ke masalah orizontal dengan mengkriminalisasi gerakan dan perlawanan moral seperti Komite Nasional Papua Barat (KNPB).
Freddy Numbery, dalam opini Kompas, Jumat, 6 Juli 2012, hal. 6 dengan topik: “Satu Dasawarsa Otsus Papua” menyatakan: “ Sumber-sumber agraria milik masyarakat adat dieksploitasi dalam skala besar tanpa menyejahterakan pemiliknya. Sebaliknya marjinalisasi berlangsung di mana-mana. Pelurusan sejarah yang juga diamanatkan Undang-Undang Otsus tidak pernah disentuh. Persoalan kekerasan oleh Negara tidak diselesaikan, malah bereskalasi. Penambahan pasukan dari luar terus berlangsung tanpa pengawasan. Kebijakan demi kebijakan untuk Papua sudah diterapkan Jakarta, tetapi tak bertaji menyelesaikan masalah”.
Sementara Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Haris Azhar pada Kompas, Jumat, 8 Juni 2012, menyatakan: “Polisi dan pemerintah tidak hanya gagal menjamin rasa aman masyarakat, tetapi juga tidak pernah memberikan kepastian hukum, seperti menangkap pelaku penembakan gelap dalam tiga tahun terakhir. Khawatir terjadi pengambinghitaman kelompok seperatis melalui tuduhan-tuduhan semata dan diikuti dengan penangkapan semparangan. Pertanyaan mendasar adalah siapa yang mampu melakukan kekerasan, teror, dan pembunuhan misterius secara konstan? Peristiwa demi peristiwa ini merendahkan kehadiran aparat keamanan di Papua”.
Sedangkan Direktur Eksekutif Imparsial, Poengky Indarti pada Suara Pembaruan, Jumat, 8 Juni 2012, hal. 14, mengatakan: “Para pelaku penembakan misterius adalah orang atau kelompok terlatih. Motif politik semakin kuat, mengingat stigma yang selalu dilabelkan pada Papua adalah daerah separatis. Akan tetapi mengingat kelompok-kelompok tersebut berada di tengah hutan, tidak terkonsolidasi, adalah sangat janggal jika kelompok tersebut yang selalu dituding Pemerintah sebagai pelaku penembakan misterius yang terkjadi di Papua selama ini”. Cornelis Lay, dosen Ilmu Pemerintahan dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, menilai, ada inkonsistensi pemerintah dalam mendekati persoalan di Papua. Pemerintah mengaku melakukan pendedekatan kesejahteraan untuk meredam bara konflik. Namun, misalnya, saat terjadi persoalan di Papua, yang datang adalah Menko Polhukam bersama Panglima TNI dan Kepala Polri. Ini kan wajah pendekatan keamanan, bukan kesejahteraan”. (Kompas, Rabu, 4 Juli 2012, hal. 15).
Pemerintah Indonesia dengan sukses mengkekalkan, mengabadikan, melembagakan dan melegalkan secara permanen stigma separatis, makar dan anggota OPM terhadap Penduduk Asli Papua. Semua stigma itu menjadi instrumen permanen dan surat ijin untuk menjastifikasi tindakan-tindakan kekerasan dan kejahatan kemanusiaan terhadap Penduduk Asli Papua. Ruang ketakutan diciptakan sengaja, dipelihara oleh aparat keamanan dengan stigma Separatis dan OPM supaya: (a) Penduduk Asli Papua dibungkam dan tidak berani melakukan perlawanan untuk mempertahankan martabat (dignity), demi masa depan yang penuh harapan, lebih baik, damai di atas Tanah leluhurnya; (b) Aparat keamanan mendapat dana pengamanan.
Kemiskinan Penduduk Asli Papua bukan merupakan warisan nenek moyang dan leluhur rakyat dan bangsa Papua. Karena sejarah membuktikan bahwa sebelum Indonesia datang menduduki dan menjajah Penduduk Asli Papua, Orang Asli Papua adalah orang-orang kaya, tidak bergantung pada orang lain, mempunyai sejarah sendiri, hidup dengan tertip dengan tatanan budaya yang teratur, tidak pernah diperintah oleh orang lain. Penduduk Asli Papua adalah orang-orang yang merdeka dan berdaulat atas hidup, dan hak kepemilikan tanah dan hutan yang jelas secara turun-temurun. Orang Asli Papua sudah ada di Tanah ini (Papua) sebelum namanya Indonesia lahir. Kemiskinan Penduduk Asli Papua adalah merupakan hasil (produk) dari sistem pemerintahan dan penjajahan ekonomi yang dilakukan oleh Indonesia dengan sengaja, sistematis dan jangka panjang atas nama pembagunan nasional yang semu.
Solusi dan keputusan politik yang legal Pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus yang disahkan melalui lembaga resmi DPR RI dan didukung komunitas Internasional dan juga diterima sebagian rakyat Papua dan sebagian besar dipaksa menerima Otsus. Sayang, Otonomi Khusus itu dinyatakan oleh banyak pihak, termasuk Negara Asing Pemberi donor dana bahwa telah gagal . Pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B) yang lebih rendah dari UU No. 21 Tahun 2001. UP4B adalah instrumen Pemerintahan SBY untuk memperpanjang dan meng-kekal-kan pendudukan, penjajahan, kejahatan, kekerasan Negara, penderitaan, kemiskinan, ketidakadilan dan marjinalisasi Penduduk Asli Papua.
Jadi, kesimpulannya, yang jelas dan pasti tanpa ragu-ragu: Pemerintah Indonesia berusaha dan bekerja keras untuk mencuci tangan, melempar tanggungjawab dan menyembunyikan diri atas kegagalan, kejahatan terhadap penduduk Asli Papua (pelanggaran HAM) yang kejam dan brutal, mengalihkan kemiskinan struktural dan permanen yang diciptakan Negara terhadap Penduduk Asli Papua selama ini dengan mengkampanyekan Separatisme harus dihentikan. Kampanye ini untuk memperlihatkan kepada rakyat Indonesia dan komunitas internasional bahwa kekerasan di Papua dilakukan oleh Penduduk Asli Papua dengan membunuh Mako Musa Tabuni pada siang bolong dengan cara kriminal, kejam dan watak premanisme. Pemerintah Indonesia berlindung dibalik stigma separatisme. Indonesia telah gagal menjaga martabat manusia Papua, sebaliknya Pemerintah selalu merendahkan martabat rakyat Papua dengan stigma Separatis dan OPM. Pemerintah Indonesia sudah lama memperlihatkan wajah kekerasan dan anti kedamaian. Pemerintah gagal mengintegrasikan rakyat Papua ke dalam Indonesia tapi hanya berhasil mengintegrasikan Papua secara politis dan ekonomi. Penduduk Asli Papua berada diluar dari integrasi ideologi dan nasionalisme Indonesia. Walaupun pendidikan dan kurikulum yang diterapkan di Papua dari tingkat Taman Kanak-Kanak-Perguruan Tinggi adalah sistem pendidikan Nasional Indonesia.
Kompas, pada Rabu, 20 Juni 2012 melaporkan: “Posisi Indonesia Memburuk. Urutan 63 Indeks Negara Gagal. Dalam Indeks Negara Gagal (Failed States Index/FSI) 2012 yang dipubikasikan di Washington DC, Amerika Serikat, Senin (18/6), Indonesia menduduki peringkat ke-63 dari 178 Negara. Dalam posisi tersebut, Indonesia masuk kategori Negara-negara yang dalam bahaya (in danger) menuju Negara gagal”. Berkaitan dengan laporan dari lembaga riset nirlaba The Fund for Peace (FFP) yang bekerja sama dengan Foreign Policy (Kebijakan Luar Negeri) yang menyatakan Indonesia menuju Negara gagal atau masuk dalam kategori Negara gagal, saya sudah berkali-kali menyampaikan kegagalan Negara dalam opini saya sebelum laporan resmi ini diumumkan. Seperti telah dimuat dalam Tabloit Jubi dan Bintang Papua, Kamis, 06 Oktober 2011: “TNI Gagal Melindungi dan Menjaga Integritas Manusia di Tanah Papua” dan pada Pasific Post, Selasa, 20 Maret 2012 dan Bintang Papua, Kamis, 22 Maret 2012” Pemerintah Indonesia Gagal Membangun dan Melindungi Penduduk Asli Papua”.
"Tinggal soal waktu saja kita senang atau tidak, mau atau tidak akan kehilangan Papua karena kita gagal merebut hati orang Papua dan itu kesalahan bangsa sendiri dari awal". (Dr.Adnan Buyung Nasution, S.H. : sumber: Detiknews, Rabu, 16 Desember 2011). “Di atas batu ini saya meletakkan peradaban orang Papua, sekalipun orang memiliki kepandaian tinggi, akal budi dan marifat (termasuk: Otonomi Khusus dan UP4B), tetapi tidak dapat memimpin bangsa ini, bangsa ini akan bangkit dan memimpin dirinya sendiri”. ( Wasior, Manokwari, 25 Oktober 1925, Pdt. I.S. Kijne). Shalom.
Artikel ini Sudah di terbitkan: suara papua
Penulis: Ketua Umum Badan Pelayan Pusat Persekutuan Gereja-gereja Baptis Papua.
0 Komentar Anda:
Post a Comment
Your Comment Here