Foto Ilustrasi ( Akibat Konflik) |
Masyarakat Papua Kecewa Dengan Pemerintah
Ketua umum Persekutuan Gereja Indonesia
(PGI), Yewangu menjelaskan, masyarakat Papua selama ini mengalami
kekecewaan dengan pemerintah Indonesia, karena tidak menganggap Papua
sebagai bagian dari negara Indonesia secara utuh. Masyarakat Papua
adalah ras melanesia, jadi tidak bisa dipaksakan untuk menjadi ras
melayu. “ Orang Papua merasa terkucil, karena merasa dianggap bukan
bagian dari Rakyat Indonesia. Untuk itu, kita harus melihat dan
merasakan apa yang mereka rasa, meski mereka memiliki ras yang berbeda.
Itu harus bisa kita terima, tanpa merasa rendah”, terang Yewangu.
Yewangu menambahkan, hal itu terlihat
dari kesejahteraan yang tertinggal dibandingkan dengan daerah lain.
Kekayaan Papua yang melimpah tidak menjadikan masyarakat Papua,
sejahtera. Sementara, apa yang pemerintah pusat upayakan untuk
memperbaiki itu semua, belum berhasil, dan lemah ditataran implementasi,
termasuk tentang Otsus Papua.
“ Orang Papua beranggapan, mereka
mendiami pulau yang kaya, tapi kenapa kita miskin. Hal itu menimbulkan
persepsi, bahwa pemerintah hanya menginginkan kekayaan alam Papua, tapi
tidak peduli dengan orang Papua.”
Hal senada disampaikan oleh Koordinator
Forum Untuk Papua Damai, Otto Syamsuddin Ishak. Menurutnya, kekayaan
alam Papua yang begitu besar, dapat berpotensi menimbulkan jarak antara
pendatang dan warga asli Papua. “ Pemerintah dalam hal ini harus
benar-benar serius untuk menangani Papua, dan melakukannya dengan
sepenuh hati, jika memang menginginkan kedamaian dan kesejahteraan
terwujud di Papua,” kata Otto.
Yewangu berpendapat, perbedaan kelas
ekonomi antara pendatang dan masyarakat Papua, memang menjadi masalah.
Meski, tak bisa dipungkiri, para pendatang tersebut bekerja lebih tekun
dari orang Papua. Namun, hal itu bukan menjadi alasan, pemerintah tetap
harus berupaya maksimal untuk memperbaiki ekonomi, dan memberdayakan
penduduk di Papua. Terutama dengan menerapkan Undang-undang Otsus dengan
sungguh-sungguh.
“ Undang-undang Otonomi Khusus harusnya
bisa menjadi jalan keluar dan penengah bagi masalah Papua. Terutama
antara mereka yang ingin merdeka, dan yang tetap menjadi bagian dari
Indonesia. Itu pun jika diterapkan dengan benar. Namun, implementasinya
di lapangan, hal itu tidak berjalan dan terkesan dibredeli oleh
pemerintah pusat,” ungkap Yewangu.
Peran Tokoh Agama di Papua
Peran tokoh agama di Papua sangat besar
untuk mewujudkan kedamaian di Papua, meski hal itu bukan hal yang mudah
untuk dilakukan.Tokoh Gereja di Papua terus menggalang kesatuan antar
gereja, untuk melakukan dialog dengan warga. Namun, hal itu tak bisa
dengan mudah diterima oleh masyarakat Papua. Perlu perjuangan keras
untuk meyakinkan penduduk Papua yang saat ini dalam kondisi tidak
percaya dengan Pemerintah dan pendatang. “ Istilah dialog dimaknai
berbeda oleh orang Papua, begitu pula di Jakarta. Mereka kerap
menanyakan dialog itu apa, dan untuk siapa, dengan siapa dialog itu,”
tegas Yewangu.
Tak berhenti hanya disitu, pihak Gereja
tetap akan menjaga dialog dan terus melakukan kunjungan pastural untuk
para jamaah Gereja yang ada di Papua demi menjaga dialog dan hubungan
yang baik.
Saat ini, Agama Kristen menjadi agama
yang dominan dianut oleh warga Papua. Hubungan antar agama di Papua
terjalin dengan baik sejak lama hingga saat ini. Hal itu terlihat dari
doa bersama yang sering dilakukan bersama, antara Islam dan Kristen. “
Keharmonisan itu saat ini mulai terkikis dengan masuknya unsur radikal
di Papua. Tapi, perubahan itu tidak seperti daerah lain. Hubungan baik
masih tetap terjaga hingga kini,” kata Yewangu.
Agama di Papua diatur atau berada di
bawah payung adat. Peran adat sendiri di Papua sangat dominan dalam
banyak hal. Perkembangan agama yang dewasa ini cenderung radikal,
berdampak pada keharmonisan agama di Papua. Hingga menimbulkan batasan
antar agama. “ Ini terjadi semenjak konflik Poso. Dimana ada pihak luar
yang masuk dengan menggunakan agama sebagai pembelahan sosial. Hal ini
lah yang berpotensi memunculkan konflik horisontal. Meski, konflik
tersebut sulit terjadi karena terjadi domestikasi, sebagai bentuk
perlawanan dari luar, yang membuat itu tidak mungkin terjadi,” terang
Otto.
Solusi Untuk Papua
Peran besar dari tokoh agama terhadap
perbaikan kondisi di Papua, harus ditindaklanjuti dengan tindakan yang
riil dari pemerintah. Untuk itu harus ada definisi dan instruksi yang
jelas untuk perbaikan di Papua. Bukan sekedar dialog berkepanjangan,
tanpa solusi. “ Yang terjadi di Papua saat ini adalah hal yang bias,
serta tidak adanya solusi yang jelas dari Pemerintah, sebagai tindak
lanjut dari dialog yang sudah terjadi saat ini,” tegas Otto.
Pimpinan agama dalam hal ini terus
mencoba untuk membangun kembali jalan dialog. Tentunya dialog yang
harus didasari oleh kepercayaan, baik itu oleh pemerintah pusat maupun
masyarakat Papua. “ Tugas pimpinan agama adalah membangkitkan
kepercayaan, baik kepercayaan dari pemerintah pusat dan orang Papua.
Karena kita punya itikad baik. Meski hal itu tidak mudah. Harus ada
orang yang bisa dipercaya oleh kedua belah pihak untuk berdialog, dan
menemukan solusi bersama atas Papua,” pungkas Yewangu.
0 Komentar Anda:
Post a Comment
Your Comment Here