Para demonstrasi masih diberikan stigma separatis.
Korban Kekerasan di Papua (photo KNPB) |
JAKARTA, Jaringnews.com - Tindak kekerasan (kasus
penembakan hingga teror) masih terus berlangsung di tanah Papua. Dari
catatan Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS)
mencatat sejak Januari hingga Oktober 2012 terhitung 81 tindakan
kekerasan yang mengakibatkan setidaknya 31 orang meninggal dan 107 orang
mengalami luka-luka. Terakhir, tindakan kekerasan yang dilakukan aparat
keamanan saat pembubaran demonstrasi tanggal 23 Oktober 2012 di
Monokoari, dengan penembakan kepada empat orang peserta massa aksi.
KontraS bersama beberapa Lembaga Element masyarakat dari Papua diantaranya NAPAS, BUK, YAPHAM dalam sebuah Forum Untuk Papua menilai kondisi ini adalah sebuah tindakan pembungkaman demokrasi di tanah papua dengan memberikan stigmatisasi sparatis yang selanjutnya menjadi pintu masuk penangkapan, penyiksaan dan penembakan kepada warga sipil di Papua.
Menurut mereka ancaman tersebut tampak dengan pengawalan aparat TNI dan Polri terhadap seluruh aktivitas warga sipil dengan jumlah yang tidak rasional yang ditempatkan ditanah Papua. Dengan jumlah penduduk papua yang hanya sekitar 2 juta orang harus dikawal oleh ribuan personil organik dan non organik yang di mobilisasi ke tanah papua, yang jumlahnya tidak terdeteksi.
"Tidak ada kebebasan aktivitas apapun yang dialami warga papua, banyaknya pos-pos dan jumlah aparat TNI, Densus 88 dan Polri yang saat ini dengan jumlah tidak tertentu membuat hilangnya demokrasi di Papua,"ujar Alves Fonataba, Juru Bicara National for Papua Solidarity (NAPAS) dalam konpresnsi pers terkait Respon Tindak Kekerasan yang terjadi di Papua yang digelar di Kantor Kontras, Jalan Borobudur, Jakarta Pusat, Rabu (24/10).
Menurutnya, dari catatan kami pasukan organik keamanan saat ini ada sekitar 14.000 personil. Namun jumlah itu lebih banyak lagi ditambah dengan pasukan non organik dan pasukan lainnya yang di konsentrasikan di Papua dengan.
"Jumlah personil yang ditempatkan di Papua tidak rasional, bahkan DPR RI sebagai mitra pemerintah dalam pengawasan keamanan dan pertahanan sendiri tidak mengetahui berapa Jumlah personil yang terdapat di papua,"ujarnya.
Koordinator KontraS dalam kesempatan yang sama saat ditemui Jaringnews mengatakan bahwa rasionalisasi jumlah pengerahan personil merupakan hambatan dalam pengupayaan perdamaian lewat dialog seperti yang diharapkan warga papua.
"perwujutan perdamaian dipapua harusnya dilajukan dengan forum dialog bukan dengan pengerahan TNI di kota-kota dan desa-desa di papua,"ujarnya.
KontraS bersama beberapa Lembaga Element masyarakat dari Papua diantaranya NAPAS, BUK, YAPHAM dalam sebuah Forum Untuk Papua menilai kondisi ini adalah sebuah tindakan pembungkaman demokrasi di tanah papua dengan memberikan stigmatisasi sparatis yang selanjutnya menjadi pintu masuk penangkapan, penyiksaan dan penembakan kepada warga sipil di Papua.
Menurut mereka ancaman tersebut tampak dengan pengawalan aparat TNI dan Polri terhadap seluruh aktivitas warga sipil dengan jumlah yang tidak rasional yang ditempatkan ditanah Papua. Dengan jumlah penduduk papua yang hanya sekitar 2 juta orang harus dikawal oleh ribuan personil organik dan non organik yang di mobilisasi ke tanah papua, yang jumlahnya tidak terdeteksi.
"Tidak ada kebebasan aktivitas apapun yang dialami warga papua, banyaknya pos-pos dan jumlah aparat TNI, Densus 88 dan Polri yang saat ini dengan jumlah tidak tertentu membuat hilangnya demokrasi di Papua,"ujar Alves Fonataba, Juru Bicara National for Papua Solidarity (NAPAS) dalam konpresnsi pers terkait Respon Tindak Kekerasan yang terjadi di Papua yang digelar di Kantor Kontras, Jalan Borobudur, Jakarta Pusat, Rabu (24/10).
Menurutnya, dari catatan kami pasukan organik keamanan saat ini ada sekitar 14.000 personil. Namun jumlah itu lebih banyak lagi ditambah dengan pasukan non organik dan pasukan lainnya yang di konsentrasikan di Papua dengan.
"Jumlah personil yang ditempatkan di Papua tidak rasional, bahkan DPR RI sebagai mitra pemerintah dalam pengawasan keamanan dan pertahanan sendiri tidak mengetahui berapa Jumlah personil yang terdapat di papua,"ujarnya.
Koordinator KontraS dalam kesempatan yang sama saat ditemui Jaringnews mengatakan bahwa rasionalisasi jumlah pengerahan personil merupakan hambatan dalam pengupayaan perdamaian lewat dialog seperti yang diharapkan warga papua.
"perwujutan perdamaian dipapua harusnya dilajukan dengan forum dialog bukan dengan pengerahan TNI di kota-kota dan desa-desa di papua,"ujarnya.
0 Komentar Anda:
Post a Comment
Your Comment Here