SUARA BAPTIS PAPUA

Dukung Aksi Perdamaian Atas Kekerasan di Papua Barat.
Jika Anda Peduli atas kemanusiaan Kaum tertindas di Papua barat Mohon Suport di sini:

Please donate to the Free West Papua Campaign U.K.
Kontribusi anda akan kami melihat ada perubahan terhadap cita-cita rakyat papua barat demi kebebasan dan kemerdekaannya.
Peace ( by Voice of Baptist Papua)

Apa Solusi Atas Konflik Papua?

Scoop Voice Baptist

About Me

My Photo
Papua, Papua barat/Indonesia, Indonesia
Persekutuan Gereja-Gereja Baptis Papua tidak akan pernah memilih diam ketika umat ditintas dan akan terus bersuara sampai keadilan benar-benar terjadi di tanah papua

Voice of Baptist Papua

Asian Human Rights Commission

Welcome to Suara Baptis Papua Online

SB - PAPUA-News

© Copyright 2011 suara baptis papua. Powered by Blogger.

Latest Post

Showing posts with label Separatis. Show all posts
Showing posts with label Separatis. Show all posts

Kantor KontraS di Demo Puluhan Massa “Bayaran”

Written By Voice Of Baptist Papua on June 11, 2013 | 7:33 PM

Photo Protes KontraS / SP
Jakarta — Puluhan massa aksi “bayaran” pemerintah yang menamakan diri dari Front Pembela Merah Putih (FPMP), siang tadi, Selasa (11/6/2013) melakukan aksi demonstrasi di depan Kantor KontraS, Menteng, Jakarta Pusat, menolak keberpihakan KontraS terhadap gerakan separatisme di tanah Papua.
 
Pantauan suarapapua.com, massa aksi yang dipimpin langsung oleh Kordinator Aksi FPMP, Dahlan Wattiheleuw, awalnya melakukan long march dari Tugu Proklmasi melintasi jalan Borobudur yang tak jauh dari Kantor KontraS, sambil terus berorasi mengeluarkan kata-kata kecaman dan hinaan terhadap KontraS.

“Kami menolak cara-cara itu, kami datang untuk menyampaikan sikap penolakan terhadap langkah-langkah KontraS yang dukung aksi separatisme di Papua,” ujar Kordinator aksi, yang juga pria berdarah Maluku tersebut.

Usai puas berorasi di depan Kantor KontraS, massa juga memaksa aparat kepolisian agar membuka pintu gerbang kantor KontraS agar dapat menyampaikan sikap mereka di dalam Kantor KontraS yang terdapat beberapa staf dan pekerja KontraS, termasuk beberapa mahasiswa Papua.

“Kantor ini juga digunakan KontraS untuk melindungi anak-anak Papua dan orang-orang asing, kami mengecam cara-cara itu,” ujar salah satu orator yang kebetulan melihat sejumlah mahasiswa Papua, termasuk beberapa warga negara asing yang sedang magang kerja di Kantor KontraS.

Untuk menghindari aksi brutal dan anarkis massa yang didominasi oleh waga berdarah Maluku, Kordinator KontraS, Haris Azhar langsung menginjinkan beberapa perwakilan massa aksi untuk masuk dan berbicara di dalam Kantor KontraS secara santun dan bermartabat.

Dalam pernyataan sikapnya yang dibacakan oleh salah satu warga asli Papua, yang mengaku bernama Martin, FPMP dengan tegas menolak advokasi KontraS yang dinilai sering mengecam pemerintah, dan terkesan mendukung gerakan separatism di tanah Papua dengan berbagai statemen di media massa.

Haris Azhar, Kordinator KontraS yang menerima empat orang perwakilan pendemo menjelaskan, keliru dan salah jika FPMP menilai KontraS mendukung gerakan separatism di Papua, sebab saat TPN/OPM menembak tentara di Kabupaten Puncak Jaya dan Puncak Papua, KontraS juga mengecam tindakan tersebut.

“Kami mengutuk kekerasan dan pelanggaran HAM, baik yang dilakukan oleh TPN/OPM dan aparat TNI/Polri, jadi keliru kalau KontraS dianggap membela dan mendukung gerakan separatism. Kami ajak teman-teman yang berdemo untuk datang ke KontraS, ikut diskusi, dan belajar disini jika ingin memahami langsung apa yang dikerjakan KontraS,” ujar Hariz dengan santun.

Haris juga mengatakan, selama ini KontraS hanya mendukung penegakan hukum dan hak asasi manusia di Papua dengan mengecam tindakan-tindakan kekerasan yang dilakukan aparat militer terhadap warga sipil.

Mantan Kordinator KontraS, Usman Hamid menambahkan keliru jika KontraS dinilai membela dan mendukung gerakan separatisme di tanah Papua, sebab KontraS bukan hanya membicarakan permasalahan di tanah Papua, namun bicara juga untuk penegakan hukum dan HAM di seluruh Indonesia.

Terkait kehadiran satu orang mahasiswa Papua dalam aksi demonstrasi yang menamakan diri perwakilan mahasiswa Papua, langsung mendapat penolakan dari Ketua Mahasiswa Papua asal Kabupaten Tolikara di Jakarta, Sony Wanimbo.

Menurut Wanimbo, mahasiswa tidak pernah memberikan rekomendasi, menunjuk, atau meminta seorang mahasiswa yang  mengaku bernama Martin untuk mengecam kinerja KontraS yang dinilai selama ini sangat membantu penegakan hukum dan HAM di tanah Papua.

“Kami tidak kenal anak mahasiswa tadi. Sangat keliru dan salah jika menamakan mahasiswa Papua dan mengecam KontraS, kami sangat mendukung kerja-kerja KontraS selama ini. Jadi, jangan sebut mahasiswa Papua mendukung aksi demo tersebut,” ujar Wanimbo.

Wanimbo justru menilai, beberapa mahasiswa asal Papua, termasuk Martin yang diundang dalam aksi tersebut merupakan massa aksi bayaran dari pemerintah untuk menghancurkan reputasi KontraS yang selama ini dikenal sangat baik, dan membantu seluruh rakyat Indonesia, termasuk Papua.

Presiden Harus Evaluasi Pejabat Keamanan Papua

Written By Voice Of Baptist Papua on February 24, 2013 | 9:04 AM

JAKARTA -- Gugurnya delapan anggota TNI di Papua akibat penembakan oleh kelompok bersenjata pada Kamis (21/2) menyisakan kecemasan. Menurut Indonesian Police Watch (IPW), gugurnya prajurit TNI akan membuat masyarakat Papua ketakutan. Pasalnya, peristiwa ini akan meninggalkan sugesti kepada warga setempat.

“Pasukan bersenjata dapat dengan mudah dilumpuhkan apalagi masyarakat. Warga Papua tentu was-was akan hal ini,” kata Presdir IPW  Neta S Pane melalui pesan singkatnya kepada ROL, Ahad (24/2).

Neta pun menyarankan agar permasalahan di Papua tidak semakin larut, Presiden wajib melakukan antisipasi nyata. Menurutnya, dengan mengedepankan pimpinan aparat yang memiliki kapabilitas tinggi maka, bara Papua berangsur bisa dinetralkan.

“Saat ini pemimpin yang mampu memaksimalkan profesionalitas melindungi masyarakat dibutuhkan di Papua. Presiden harus segera lakukan evaluasi di jajaran aparat keamanan di sana,” ucapnya.

Dua peristiwa penembakan terjadi di Papua di hari yang sama dengan jam dan lokasi yang berbeda pada Kamis (21/2) kemarin. Sedikitinya delapan anggota TNI dan empat warga setempat tewas dalam penembakan yang dilakukan sekelompok orang tak dikenal di Papua.

Penembakan pertama terjadi pada pukul 09.30 WIT di distrik Tingginambut, Kabupaten Puncak Jaya tak jauh dari pos TNI, satu anggota militer gugur di sini. Kedua, terjadi pukul 10.30 WIT di ruas jalan Sinak menuju Nabire saat sepuluh anggot TNI menuju Nabire. Dari kesepuluh prajurit itu, tujuh diantaranya gugur.

Kepala Pusat Penerangan TNI, Laksamana Muda TNI Iskandar Sitompul mengatakan, pasca kejadian, dua tempat itu kita sudah dalam kondisi kondusif. “Suasana di sekitar lokasi sudah stabil. Kini pasukan gabungan TNI-Polri sedang bersama-sama mengejar  para pelaku penembakan ini,” kata Iskandar kepada ROL, Ahad (24/2).

KontraS : Sepanjang Oktober Sebanyak 31 Orang Tewas di Papua

Written By Voice Of Baptist Papua on October 25, 2012 | 6:52 PM

Para demonstrasi masih diberikan stigma separatis.

Korban Kekerasan di Papua (photo KNPB)
JAKARTA, Jaringnews.com - Tindak kekerasan (kasus penembakan hingga teror) masih terus berlangsung di tanah Papua. Dari catatan Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) mencatat sejak Januari hingga Oktober 2012 terhitung 81 tindakan kekerasan yang mengakibatkan setidaknya 31 orang meninggal dan 107 orang mengalami luka-luka. Terakhir, tindakan kekerasan yang dilakukan aparat keamanan saat pembubaran demonstrasi tanggal 23 Oktober 2012 di Monokoari, dengan penembakan kepada empat orang peserta massa aksi.

KontraS bersama beberapa Lembaga Element masyarakat dari Papua diantaranya NAPAS, BUK, YAPHAM dalam sebuah Forum Untuk Papua menilai kondisi ini adalah sebuah tindakan pembungkaman demokrasi di tanah papua dengan memberikan stigmatisasi sparatis yang selanjutnya menjadi pintu masuk penangkapan, penyiksaan dan penembakan kepada warga sipil di Papua.

Menurut mereka ancaman tersebut tampak dengan pengawalan aparat TNI dan Polri terhadap seluruh aktivitas warga sipil dengan jumlah yang tidak rasional yang ditempatkan ditanah Papua. Dengan jumlah penduduk papua yang hanya sekitar 2 juta orang harus dikawal oleh ribuan personil organik dan non organik yang di mobilisasi ke tanah papua, yang jumlahnya tidak terdeteksi.

"Tidak ada kebebasan aktivitas apapun yang dialami warga papua, banyaknya pos-pos dan jumlah aparat TNI, Densus 88 dan Polri yang saat ini dengan jumlah tidak tertentu membuat hilangnya demokrasi di Papua,"ujar Alves Fonataba, Juru Bicara National for Papua Solidarity (NAPAS) dalam konpresnsi pers terkait Respon Tindak Kekerasan yang terjadi di Papua yang digelar di Kantor Kontras, Jalan Borobudur, Jakarta Pusat, Rabu (24/10).

Menurutnya, dari catatan kami pasukan organik keamanan saat ini ada sekitar  14.000 personil. Namun jumlah itu lebih banyak lagi ditambah dengan pasukan non organik dan pasukan lainnya yang di konsentrasikan di Papua dengan.

"Jumlah personil yang ditempatkan di Papua tidak rasional, bahkan DPR RI sebagai mitra pemerintah dalam pengawasan keamanan dan pertahanan sendiri tidak mengetahui berapa Jumlah personil yang terdapat di papua,"ujarnya.

Koordinator KontraS dalam kesempatan yang sama saat ditemui Jaringnews mengatakan bahwa rasionalisasi jumlah pengerahan personil merupakan hambatan dalam pengupayaan perdamaian lewat dialog seperti yang diharapkan warga papua.

"perwujutan perdamaian dipapua harusnya dilajukan dengan forum dialog bukan dengan pengerahan TNI di kota-kota dan desa-desa di papua,"ujarnya.

Indonesian lawmakers assert legal grounds for TNI offensive in Papua

Written By Voice Of Baptist Papua on October 7, 2012 | 9:18 PM

"The Jakarta Post reports that the House Commission overseeing defence has also pushed the government and President Susilo Bambang Yudhoyono to endorse any efforts by the Indonesian Military, or TNI, to deal with Papuan separatists."
("The Jakarta Post reports Committe Pertahanan juga telah mendorong pemerintah dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk mendukung setiap upaya oleh Tentara Nasional Indonesia, atau TNI, untuk Membasmi separatis Papua)"

Indonesia’s House of Representatives has urged the government to take concrete actions to stem the burgeoning support for the separatist movement in Papua.

The Jakarta Post reports that the House Commission overseeing defence has also pushed the government and President Susilo Bambang Yudhoyono to endorse any efforts by the Indonesian Military, or TNI, to deal with Papuan separatists.

The deputy chairman of the first Commission says the TNI has a legal mandate to conduct military operations against separatists.

Tubagus Hasanuddin says the House wouldn’t hesitate to give support for any TNI offensive against the separatist movement in Papua in order to keep the region integrated with Indonesia.

Meanwhile, the government denies that tension is escalating in Papua.

The Home Minister Gamawan Fauzi claims the government can maintain peace in Papua while conducting a constructive dialogue with the Papuan community.

Australia's West Papua bind

Written By Voice Of Baptist Papua on August 29, 2012 | 8:08 PM

Change won't come easily for West Papua, writes Professor Damien Kingsbury. But as long as Australia demurs on the issue, it will continue to be linked to human rights abuses there.

Densus 88 di latih Australia
It seems that no matter how cordial Australia's relationship with Indonesia is, or how much it is desired to be so, perennial issues continue that call aspects of that relationship into question.

Critically, the gap between how Australia officially engages with Indonesia and how that engagement is more widely viewed within Australia continues to test the relationship.

This has again been illustrated with the continuing human rights problems experienced in West Papua, which have been the subject of a report on the ABC's 7.30.

That story highlighted the role of the Indonesian police anti-terrorist squad Special Detachment 88 ('Detasemen Khusus 88', usually abbreviated as Den 88), which receives support from the Australian Federal Police.


Australian Foreign Minister Bob Carr said that official representation to the Indonesian government had been made about specific issues concerning Den 88's activities in West Papua. But, as with foreign ministers before him, he has been caught between having to balance Australia's often tricky relationship with its largest near neighbour with widely accepted fundamental values that inform Australian public life.

Den 88 was established in 2003 following the Bali bombing in which 88 Australians were killed. As well as receiving Australian support, Den 88 is supported by the US State Department's Diplomatic Security Service and is mostly trained by former US special forces members, under the CIA, at Megamendung, 50 kilometres south of Jakarta.

Part of the rationale for establishing Den 88 was that, at a time of growing Islamist terrorism in Indonesia, Indonesia's key counter-terrorism unit, the army's Kopassus (Special Forces) Group 5 (renamed Duty Unit 81 Counter Terrorism), had itself been deeply implicated in widespread human rights abuses and the employment of terrorist tactics.

Following Indonesia's democratisation and a reduction of army control, it was regarded as more appropriate to 'civilianise' domestic counterterrorism by handing it to the police.

However, Indonesia's police force, only removed from military control in 2000, has continued to have a paramilitary function. In regions such as West Papua, it also continues to operate within the military chain of command. There is much evidence to implicate Den 88 in a string of serious human rights violations, including murder, torture and kidnapping.

Importantly, too, while Indonesia has undergone a process of democratisation and its conflicts elsewhere have been effectively resolved, West Papua remains quarantined from most of those changes. In this respect, the history of impunity by the army and police continues largely unaffected in West Papua.
The underlying problem has been that president Susilo Bambang Yudhoyono used up much political capital on the Aceh peace settlement and has since been stymied over West Papua. Military reform, and effectively reform of the police, has also stopped. Both continue to reflect many of the repressive characteristics of Indonesia's pre-democratic period.

West Papua remains the most important source of significant 'offline' income for both the army and the police, through legal business as well as 'grey' and illegal activities. As a result, they are both deeply reluctant to see the West Papua conflict resolved; repression and reaction in West Papua continue to serve the financial interests of the army and the police.

President Yudhoyono's limited attempt at a political settlement in West Papua have been without any of the politically expensive concessions that were granted to help resolve the Aceh issue. West Papuan activists have, unsurprisingly, rejected such efforts as insincere.

That the West Papuan activists' language is often couched in terms of 'liberation', and that the Morning Star flag continues as their primary symbol, is seen as a provocation by Indonesian nationalists. This is all the justification the army, and the police, require to act in ways that would no longer be tolerated anywhere else in Indonesia.

Within Jakarta, the resource-rich West Papua is seen as a problem that does not require real efforts to fix while it continues to be hugely financially profitable to the Indonesia state. Similarly, knowing that even a reformist leader such as President Yudhoyono has little scope for movement in West Papua, Indonesia's international friends, such as Australia and the US, continue to demure on the issue.

The problem is, however, that this diplomatically realpolitik position continues to be confronted by widely held competing views outside Indonesia. Until enough of Indonesia's friends act strongly enough in concert to assist President Yudhoyono and other reformists to re-start the country's reform process, organisations such as the US and Australian-supported Den 88 will continue to be implicated in serious human rights abuses which most Australians deeply oppose.

Professor Damien Kingsbury is Director of the Centre for Citizenship, Development and Human Rights at Deakin University, and has written widely on Indonesian politics and security. View his full profile here.

Gereja dan Separatisme di Tanah Papua Barat

Written By Voice Of Baptist Papua on March 1, 2012 | 12:02 AM


 Oleh : Socratez Sofyan Yoman*

Pdt.Socratez Sofyan Yoman depan umat Baptis (Foto:dok pgbp)

“Kepada-Ku telah diberikan segala kuasa di surge dan di bumi. Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepada. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman” (Matius 28:18-20).
Setelah saya membaca harian Bintang Papua, Rabu, 22 Februari 2012 di halaman depan ada tertulis komentar Pangdam XVII/Cenderwasih Mayjen TNI Muhamad Erwin Syahfitri,   yang bertopik: “Hadapi Separatis di Papua Bukan Hanya Tugas TNI”, dan pernyataan selanjutnya dapat dikutip: “Untuk menangani masalah separatis di Papua, bukanlah semata menjadi tugas dan tanggungjawab dari Kodam XVII/Cenderawasih semata, namun  merupakan tanggungjawab kita bersama seluruh komponen yang ada di Papua serta masyarakat Papua pada umumnya.” 

Aceh and Papua Like Fire In Husk

Written By Voice Of Baptist Papua on January 3, 2012 | 9:18 PM

Papuan (foto SBP)
BANDA ACEH, Vice Chairman of Commission III of the House who are also legislators from electoral district of Aceh I, Nasir Djamil, pointed out a number of mysterious shootings in Aceh in recent years made the situation in Aceh as a fire in the husk. "The heat does not get caught, but knew it emerged the incident. The situation in Aceh so far is normal, but still have to watch out for, "said Nasir described the atmosphere in his native region, in the Hall of Education offices in Aceh, on Tuesday (3 / 1).
This published:http://www.jpnn.com/read/aceh-papua/
PKS politician asked police to immediately arrest perpetrators of a number of shooting incidents in Aceh rife lately. "Hopefully, soon caught the culprit, so that people know what really happened," said Nasir

Papua: Coconut Trees That Bear Jerry Cans - Video Documentary On Malind Tribe And Alcohol Made From Coconuts

The Malind tribe in Merauke is proud of its ecological traditions - each clan in the tribe is responsible for protecting a natural element. The Moiwend clan is responsible for the coconut trees and fruit. However, in recent times Malind youth have started using coconuts to make alcohol. The home-made drinks – which are much cheaper to buy than beer and spirits - have added to the town's problems. Now, some Malind elders are calling for the reinstatement of customary laws that would punish those who make use of coconuts in this way in order to save their tradition and their community.
This published: http://indigenouspeoplesissues.com/
Many of us know that West Papua is fighting for independence – but what else goes on there? How often do we hear directly from the Papuans themselves about life in Indonesia’s most secretive province?

Church leader in Papua, the Government of the Most Responsible for Papua conflict

Written By Voice Of Baptist Papua on December 30, 2011 | 11:27 PM

Baptist church leader Socratez S. Yoman (foto-sbp)

Jakarta, The leaders of the churches in Papua declared independence and sovereignty of the region already crystallized related to the systematic violence that still occurs in the territory of Papua and the left by Jakarta.

It was mentioned by four church leaders in Papua when he met President Susilo Bambang Yudhoyono on Friday last week.

They are the Chairman of GKI Synod Jemima M. Krey, Chairman of the Synod Kingmi Benny Giay, Chairman of the Board waiter Center Baptist Fellowship of Churches in Papua Socratez Sofyan Yoman and Chairman of the General Assembly (the National Synod) Bible Christian Church of Indonesia Martin Luther Wanma.

The four were delivered letter entitled Baby Handling Nationalism (Separatism) Papua As a result "Forced marriage" Jakarta - Papua: New York As the Sower and the Seed Users Papuan separatism.

Kepada SBY Pimpinan Gereja Rekomendasikan Hak Menentukan Nasib Sendiri

Written By Voice Of Baptist Papua on December 22, 2011 | 4:16 PM

Pdt. Socrates Sofyan Yoman, MA (Foto: Ist)
PAPUAN, Jayapura --- Dengan adanya nasionalisme Papua yang sudah terbangun lama dan dipicu oleh berbagai kekerasan dan ketidakadilan sistematis, maka kami (pimpinan Geereja) telah menyampaikan kepada Presiden SBY bahwa keinginan untuk merdeka dan berdaulat telah mengkristal.

Gereja-Gereja Universal dalam solidaritasnya dengan Gereja-Gereja dan suara umat Tuhan di Tanah Papua telah merekomendasikan hak untuk menentukan nasib sendiri (The Right for Self Determination) rakyat Papua kepada Presiden SBY.

Hal ini disampaikan oleh Ketua Umum Badan Pelayan Pusat Persekutuan Gereja-Gereja Baptis Papua, Pdt. Socrates Sofyan Yoman, MA, saat menggelar konfrensi pers siang tadi, Kamis (22/12) di Kantor Sinode KIGMI, Jayapura, Papua.

Menurut Yoman, wajah Indonesia di tanah Papua adalah pembantaian, pembunuhan, pemerkosaan, operasi militer, diskriminasi, dan berbagai stigma negative lainnya.

Military helicopters attacking West Papuan villages

Written By Voice Of Baptist Papua on December 19, 2011 | 5:37 PM

This week’s stories of an Indonesian military offensive against villages in Paniai West Papua came from sources inside the country, where international media has no access. The Red Cross was kicked out of West Papua some time ago and few aid groups are permitted to operate there. It is therefore difficult to assess the news except to say that Australian media are reporting credible human rights sources who describe helicopter attacks on villages by military and police. 
They cite sources saying that 26 villages have been razed, 20 people killed and 10,000 people have fled to relative safety in an area called Enaratoli. The justification for these attacks relates to the Indonesian military plan to stamp out the OPM, the armed wing of the independence struggle within West Papua by attacking areas where they are known to operate.

Don’t Demean Us, Papuan Church Leaders Tell SBY

 
Rev. Socratez S Yoman
In stark contrast to government figures who say Papuan unrest stems from a lack of prosperity among native inhabitants, senior Papuan church figures say the real problem is a history of injustice and the island’s problematic integration into Indonesia.

“The problems in Papua are not to do with wealth, but respect for human dignity, justice and an unclear history of integration that is still disputed,” Rev. Socratez Sofyan Yoman, the head of Papua’s Baptist church, said in a press conference on Saturday in Jakarta.
The press conference followed a private meeting a day earlier between four church figures, three of them Papuan, and President Susilo Bambang Yudhoyono at the national leader’s private residence in Cikeas, Bogor.

Indonesia military, inhumane to the people of Papua

Written By Voice Of Baptist Papua on December 16, 2011 | 6:22 AM

Indonesia army
Bells and military movement in Papua, Indonesia, seem to impose its will through the barrel of a gun and violence. Armed with the instinct of death rates, apparently giving the impression inhumane."The intention was just one, treats people with dignity for the sake of ideology is not built by man," said Saul Wanimbo,

Chairman of the Office for Justice and Peace (SKP) Diocese of Timika, Papua, on Thursday (15/12). Situation, has created discomfort for the life of the Papuans, even peace between fellow citizens in Papua.
 According to Saul, the discomfort was deliberately created.

"The Papuans for action, there must be no military action," added Erry Nabire Degei in Papua. He put, obvious examples are still apparent in December 2011.

‘Many Deaths’ During Ongoing Military Siege in Papua: Allegations

An international nongovernmental organization campaigning to highlight human rights abuses in Indonesia, has called for international intervention “after receiving highly distressing accounts of indiscriminate and brutal military raids” in West Papua.

Maire Leadbeater of the Indonesia Human Rights Committee said reports from West Papua indicated that thousands of villagers in Paniai are undergoing a “military siege involving horrendous destruction and violence.”
Source:http://www.thejakartaglobe.com/news/
“Homes have been torched and villages razed, while helicopters are said to be strafing the villages. There are reports of  deaths, forcible evacuations and the displacement of thousands of people,” Leadbeater said.

Jangan Cap Orang Papua Separatis dan Makar

Written By Voice Of Baptist Papua on November 10, 2011 | 2:41 AM

Buchtar tabuni ditangkap tunduhan makar
JAYAPURA-- Koordinator Umum Komite Nasional Papua Barat (KNPB), Victor Kogoya, meminta pemerintah pusat dan daerah untuk menghapus stigma makar, separatis ,atau persepsi negatif lainnya terhadap orang asli Papua yang ingin menyampaikan pendapatnya.
"Tolong stigma makar, separatis atau persepsi negatif lainnya terhadap orang asli Papua mulai saat ini dihilangkan," kata dia, Kamis.
Ia menilai berbagai ucapan atau sebutan seperti makar dan separatis telah menyudutkan orang asli Papua. "Kalau stigma ini terus diucapkan, semakin membuktikan bahwa pemerintah membuat jarak atau jurang pemisah bagi orang asli Papua dalam menuntut rasa keadilan," katanya.
Menurut dia, stigma tersebut tidak pantas dikatakan oleh sesama warga negara. Penyebutan stigma negatif bagi orang Papua dalam memperjuangkan hak ekonomi dan

KNPB: Referendum, Solusi Masalah Papua

JAYAPURA, KOMPAS.com Komite Nasional Papua Barat (KNPB) menyatakan, referendum adalah solusi bagi masalah Papua. Koordinator Umum KNPB Victor Kogoya, Rabu (9/11/2011) di Abepura, Papua, mengatakan, referendum merupakan hak politik rakyat Papua.
Published by kompas.com/news
Dalam jumpa pers yang digelar untuk mengawali rencana unjuk rasa pada 14 November nanti, Victor Kogoya mengatakan, rangkaian kekerasan terus dialami rakyat Papua sejak wilayah itu diambil alih oleh Indonesia. Hingga saat ini, rakyat Papua terus dideskreditkan dengan stigma separatis.
Dalam kajian KNPB, Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969 adalah akar persoalan dari semua rentetan peristiwa berdarah di Papua. Untuk itulah, menurut Victor Kogoya, perlu referendum ulang di Papua.
Jika saat Pepera digelar sekitar 1.000 orang mewakili sekitar 800.000 warga Papua,

Separatist movements in Indonesia and China

Written By Voice Of Baptist Papua on August 23, 2011 | 12:51 AM

Despite having different political systems and history, Indonesia and China are both experiencing the same problem: sporadic violence in outlying provinces.

In the past few years, there have been significant attacks on Han — the largest ethnic group in China — residents in Tibet and Xinjiang regions, with hundreds of casualties. In Indonesia, skirmishes between Indonesian soldiers and the Free Papua Organization (OPM) and individual attacks on Indonesian settlers and Western miners are still taking place years after Indonesia made peace with Aceh.

In terms of the intensity of conflicts, scale and scope of the rebellions, fortunately Indonesia and China do not have the problems faced by United Kingdom in Northern Ireland and the Philippines in Mindanao. Separatism in Papua, Tibet, and Xinjiang, however, would keep those regions insecure for this decade.

Maraknya Kekerasan di Papua ‘Dituding’ Sebagai Suatu Rekayasa

Written By Voice Of Baptist Papua on August 19, 2011 | 6:50 PM

JAYAPURA - Terjadinya berbagai  peristiwa kekerasan dan kejahatan kemanusiaan di Tanah Papua. ikut mengundang keprihatinan yang mendalam dari  Badan Pelayan Pusat Persekutuan Gereja-gereja Baptis Papua (BPP-PGBP). “Kami pun turut empati atas terbunuhnya beberapa warga sipil dan anggota aparat keamanan. Pembunuhan manusia dengan alasan apapun tidak dapat dibenarkan dan juga tidak dapat ditoleransi. Karena, manusia adalah gambar dan cipataan Allah,”jelas  Socratez Sofyan Yoman dalam press releasenya yang diterima Bintang Papua semalam.  Dalam release itu diuraikan, dalam bulan Agustus ini, kami menyaksikan beberapa Peristiwa kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh Orang Tak Dikenal (OTK) yang terjadi pada Senin, 1 Agustus 2011 di Nafri, Distrik Abepura, telah terjadi penyergapan, penembakan dan pembacokan yang menyebabkan  empat orang yang tidak bersalah menjadi korban tewas yang diantaranya: tiga warga sipil bernama Wisman (30), Titin (32), Sardi (30) dan seorang prajurit TNI Yonif 756/WMS Pratu Dominikus Daton Keraf. Dan delapan warga sipil lainnya mengalami luka-luka (Siti Aminah, Sarmuji, Beno Bonay, Budiono, Jamaludin, Ahmad Salun, Mustam, Suyono dan Yulianto).   Di tempat peristiwa ini ditemukan senjata api jenis laras panjang, senjata tajam seperti tombak kayu, anak panah, parang, tulang Kasuari, dan Bendera Bintang Kejora, Linggis, dan tujuh selongsongan senjata api ( Harian Cenderawasih Pos, 2 Agustus 2011).

Menhan Indikasikan Dana Otsus Papua Diselewengkan untuk Makar

Written By Voice Of Baptist Papua on August 13, 2011 | 10:56 AM


Menhan Indikasikan Dana Otsus Papua Diselewengkan untuk Makar
Purnomo Yusgiantoro (Parwito/ detikcom)
Magelang - Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro membenarkan jika ada indikasi yang sangat besar jika dana otononomi khusus (Otsus) diselewengkan oleh Pemerintah Daerah (pemda) Papua. Saat ini indikasi itu masih dalam proses penyelidikan dan dilakukan oleh lembaga yang berwenang dalam proses itu.

"Soal penyelewengan dana otsus untuk makar? Itu memang ada indikasi ke sana dan itu laporan resmi dari BPK yang menyatakan. Dana otsus mengendap tidak terpakai dan itu laporan dari BPK, melacak bukan tugas dari Menhan. Laporan BPK resmi itu sedang ditindaklanjuti oleh pihak yang berwenang dan bukan oleh kita," jelas Purnomo.

Twitt VBPapua

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. SBP-News @VBaptistPapua - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger