PAPUA-Kasus penculikan dan pembunuhan Alm. Dortheys Hiyo Eluay,
Ondofolo Suku Sereh, Sentani, Port Numbay, Ketua LMA Irian Jaya/ Papua,
dan Ketua Presidium Dewan Papua (PDP) telah berlalu tepat sepuluh tahun
silam. Kini kita telah berada di detik, menit, jam, hari Sang Ondofolo
dibunuh dengan cara dicekik. Cara mencekiknya sangat mengerikan, sangat
tidak manusiawi.
Kalau kita baca buku terlengkap yang pernah ditulis tentang riwayat
hidup, dan terutama riwayat sebelum dan sesudah pembunuhannya sampai
hari ini, yaitu karya Sem Karoba, Hans Gebze, dkk, terbiatan Mei 2002
(selang waktu beberapa bulan setelah alm. dibunuh), maka ingatan kita
tentang peristiwa-peristiwa yang tidak lama itu segar kembali, lalu
dengan mudah kita kaitkan dengan perkembangan terakhir di Tanah Papua,
Ketua Dewan Adat Papua yang kini berada di tahanan NKRI.
Sem Karoba, dkk. mencatat banyak sekali peristiwa, detik demi detik,
menit demi menit, jam demi jam, hari demi hari, minggu demi minggu,
bulan demi bulan. Yang belum ditulis ialah tahun demi tahun, yaitu dari
tahun 2001 sampai tahun 2011 hari ini. Termasuk pengadilan ringan dan
penobatan sebagai pahlawan negara kepada para pembunuh Theys tidak
dimuat dalam buku ini karena buku ini terbit lebih dari tiga tahun
sebelum pelaku kejahatan atas kemanusiaan ini ditahan dan diproses
secara hukum militer NKRI sendiri.
Dari kasus penculikan sekaligus pembunuhan sang Pemimpin Besar Bangsa
Papua itu sebenarnya perlu kita ingat dan camkan beberapa hal. Yang
pertama, bahwa kasus ini tidak boleh dianggap telah berlalu oleh bangsa
Papua. Ini pelanggaran HAM berat karena seorang pemimpin yang diangkat
dalam sebuah proses demokrasi oleh sebuah bangsa dan tanah dibunuh
begitu saja tanpa pertanggung-jawab politik dan hukum yang jelas. Dalam
buku ini telah dengan jelas disampaikan mengapa kasus in imerupakan
pelanggaran HAM berat. Hal kedua, karena para pembunuh tidak pernah
mengakui dan meminta maaf kepada pihak korban sampai dengan hari ini
tanggal 11 November 2011. Dapat dikatakan dalam bahasa adat Papua, "Ini
pembunuhan rahasia", atau dalam bahasa Lani disebut "Kote warak." Orang
yang dibunuh secara "kote" tidak pernah hilang dari ingatan orang Papua.
Kalau ada pembunuhan, ada pengakuan, ada pertanggung-jawaban dalam
bentuk hukuman atau denda, maka ingatan itu biasanya terkikis dimakan
waktu.
Tetapi kalau sebuah kematian, apalagi kematian seorang Kepala
Suku, apalagi dibunuh setelah sebuah acara yang diadakan oleh NKRI,
apalagi cara pembunuhannya sangat canggih dan sadis, apalagi dalam
posisi beliau sebagai Kepala Suku sekaligus sebagai Ketua PDP, yaitu
sebuah lembaga politik di dalam negeri yang menyambung suara dan
aspirasi bangsa dan tanah Papua, apalagi pembunuhnya menyangkal
mati-matian dan malahan mengancam siapa saja yang menuduh mereka sebagai
pembunuhnya, apalagi pembunuhnya malahan dihadiahi gelar pahlawan
negara Indonesia, soal pembunuhan Theys Eluay tidak bisa kita jadikan
sebagai bagian dari sejarah.
Kasus penculikan dan pembunuhan Alm. Dortheys Hiyo Eluay bukan masalah
kemarin, tetapi ini masalah hari ini, dan lebih-lebih masalah hari esok
dan lusa. Itu yang harus diingat orang Papua. Pada setiap tanggal 11
November disetiap tahun, setiap orang yang merasa dirinya berasal dari
dan dilahirkan di atas, hidup di dan akan dikuburkan ke Bumi
Cenderawasih, sepatutnyalah berbuat sesuatu, yaitu sesuatu yang berarti
dan bermakna bagi tanah leluhur dan bangsanya. Tidak menjadi soal Anda
pendukung Otsus atau penentang, tidak masalah Anda pejabat di dalam
pemerintahan NKRI atau penentang NKRI, Anda tetap ber-identitas orang
Papua, yang dilahirkan, dibersarkan, hidup dan mati di tanah leluhur
Bumi Cenderawasih. Oleh karena itu, kasus penculikan dan pembunuhan
Ondofolo Dortheys Hiyo Eluay patutlah menjadi sebuah peristiwa November
Kelabu, hari Kematian HAM, Demokrasi dan Supremasi Hukum di Tanah Papua.
Lihat saja apa yang telah terjadi sepeninggalan Theys. Hukum NKRI
sendiri dilanggar habis-habisan oleh NKRI dan orang Indonesia sendiri.
Lihat saja apa yang sedang terjadi di Era Otsus ini. Era Otsus ini kita
sebuah era Post-Theys, era-Beanal, era-status-quo, era kematian sebuah
bangsa, era kematian kedua setelah beberapa bulan kebangkitan nasional
bangsa Papua waktu itu. Hitung saja berapa Pasal dan Ayat dari UU Otsus
No. 21/2011 itu yang telah dilanggar, dan berapa yang tidak dilaksanakan
sepenuhnya serta berapa yang sama sekali tidak dilaksanakan, jangankan
dibicarakan. Makanya Efendy Choiri, salah satu tokoh Indonesia dari PBNU
menyatakan dalam wawancara di TVOne menyatakan saat ditanya, "Berapa
persen Otsus berhasil dan berapa persen Otsus gagal?" Beliau katakan
secara cepat dan tegas, "Bukan gagal, memang Otsus tidak pernah
dilaksanakan. Jadi tidak bisa dikatakan gagal, kalau tidak pernah
dilaksanakan."
Kita pindah ke November Kelabu sebagai Hari Kematian HAM di Tanah
Papua. Ingat saja minggu ini, minggu lalu, satu minggu lalu, dua minggu
lalu, tiga minggu lalu, empat minggu lalu, sampai 10 minggu lalu sampai
100 minggu lalu. Hitung semua dan ingat kembali. Kata Indonesia kepada
masyarakat internasional seperti ini,
Kasus-kasus pelanggaran HAM itu pernah terjadi. Kami menyesal itu
pernah terjadi. Tetapi kasus-kasus itu terjadi di era yang lain, regime
yang lain, era orde baru, regime Soeharto. Sekarang Indonesia ada di era
reformasi, era demokratisasi, regime SBY-Kalla dan SBY-Budiono. Era ini
era paling demokratis. Kami sangat mendengarkan suara rakyat Papua.
Kami menangani soal Papua dengan hati, bukan dengan pikiran atau otak.
Kami cintah Papua, yaitu tanah Papua, bukan orang Papua. Biarkan kami
membangun orang-orang telanjang ini. Kalau mereka merdeka sendiri mereka
akan melarat seperti teman-teman Melanesia di Tomor Leste yang barusan
merdeka tetapi masih morat-marit dalam membangun ekonomi mereka. Apalgi
orang Melanesia lain di Timur Pulau New Guinea, negara itu termasuk ke
dalam negara sedang gagal, kemiskinan merajalela, kekerasan dan
premanisme sangat tinggi. Jadi, kalau Papua Merdeka sendiri, pertumpahan
darah jauh lebih parah dan sulit dijelaskan. Biarkan kami, orang
beradab, orang pintar, orang modern yang membantu membangun bangsa
minoritas, terbelakang, kanibal, zaman batu ini.
Biarpun ada saja orang Papua menuntut merdeka, tetapi kami sedang
membangun demokrasi, jadi kami tidak akan bunuh mereka. Kami melakukan
komunikasi konstruktiv dengan mereka....
Kemudian yang ketia, November Kelabu ini mengingatkan kita tentang hari
kematian Demkorasi di Tanah Papua. Lihat saja apa yang terjadi saat KRP
II, 2000 dibandingkan dengan yang terjadi dalam KRP III, 2011. Hitung
jumlah orang, hitung dari mana saja yang datang, hitung di mana tempat
penyelenggaraannya, hitung para tamu dan undangan yang hadir, hitung
siapa saja dari pihak NKRI yang hadir dan yang mendanai kegiatan itu.
Yang jelas, demokrasi sejak sepeninggalan Theys Eluay telah mati
bersamanya.
Demokrasi sepeninggalan Theys Eluay ialah demokrasi yang mandul, karena
demokrasi itu telah dikebiri, maka biarpun dia melakukan aktivitas
kawin-mengawinkan, tidak bakalan melahirkan sesuatu, karena pada
prinsipnya demokrasi di Tanah leluhur Theys Eluay, tanah yang deminya
dia dibunuh itu, telah dikebiri.
Karena demokrasi itu telah mandul lantaran dikebiri, maka apapun proses
demokratisasi yang sekarang ini terjadi, misalnya KRP III, 2011,
pelaksanaan Otsus, dialogue, komunikasi konstruktiv, atau apapun juga,
proses demokrasi sulit terjadi. Yang terjadi ialah lawan dari demokrasi,
yang bertentangan dengan demokrasi: pelanggaran HAM, kehidupan tidak
aman, teror dan intimidasi, penculikan, pengejaran, pengungsian karena
pengejaran TNI/ Polri, pengintaian, sampai penembakan, peracunan,
pembunuhan secara halus (bio-terrorism) dan pembunuhan dengan perusakan
lingkungan tempat tinggal orang Papua (eco-terrorism).
Kalau demokrasi tidak telah dikebiri, jika perlindungan dan pemajuan
HAM juga dibunuh, kalau supremasi hukum telah ditambal-sulam dan
ditukar-tambah di sana-sini dan bolak-balik, maka jelas dan pastilah
bahwa dengan demikian "Perjuangan Damai di Tanah Papua telah dimatikan!"
Itulah kesimpulan yang telah terpapar dalam judul buku ini.
Riwayat pembunuhan tidak berakhir di sepuluh tahun lalu. Contoh terbaru
kita lihat saat KRP III, 2011 diselenggarakan, pada saat Jaringan Damai
Papua setengah mati dan bolak-balik mensosialisikan dan mempersiapkan
dasar-dasar untuk mendorong Papua Zona damai, saat itulah, NKRI lewat
presidennya sekali lagi menyangkal eksistensi, hargadiri, martabat dan
kemanusiaan manusia Papua dengan segala perangka hukum yang telah
disahkan Presiden Indonesia sepuluh tahun silam. Pada prinsipnya
Presiden NKRI menyatakan, "Anda siapa? I Love Papua, not Papuans! I own Papua, not Papuans!"
Yang ditulis dan disahkan Presiden NKRI tahun 2011 sudah banyak yang
dilanggar, malahan yang tidak dilanggar hanya satu atau dua. Itulah
sebabnya Efendy Choiri menyatakan, "Pertanyaannya bukan pada otsus gagal
atau tidak, tetapi Otsus tidak pernah dijalankan." Hukum buatan NKRI
dilanggar oleh NKRI sendiri. Apalagi hukum adat dan hukum-hukum yang
pernah ada di tanah Papua? Pasti dan harus dilanggarnya atas nama NKRI
Harga Mati, bukan?
Kalau kondisi penegakkan supremasi hukum masih seperti ini, kalau masih
saja ada orang Papua ditahan tanpa peradilan dan tanpa proses hukum
sesuai aturan yang dibuat NKRI sendiri, kalau masih ada orang
dikejar-kejar, kalau masih ada penembakan di sana-sini tanpa pernah
mengungkap para dalang dan pelaku perbuatan amoral dan kejam ini, maka
siapakah orang Indonesia, orang Papua atau manusia di dunia yang bisa
dibujuk untuk percaya bahwa NKRI hari ini sedang serius menangani Papua?
***
***
Sementara ketiganya telah mati bersama Theys, yaitu sepeninggalan
mereka berempat, maka orang Papua sekarang semestinya berpikir ke depan,
berpikir tentang kelanjutan perjuangannya, tentang Joshua bangsa Papua,
tentang langkah berikut, mulai dari apa yang telah ditinggalkan Theys.
Yang ditinggalkan Theys, seperti diulas Sem Karoba, dkk. (2002), Bagian
PAPUA MENGENANG, mulai Bab 9. ada 5 hal yang ditinggalkan Theys:
- Theys Ondolofo, Tokoh Integrasi dan Tokoh Papua Merdeka
- Theys Tokoh Adat Revolusioner
- Theys Tidak Ketinggalan Jaman Dalam Politiknya, Berperan Dalam Pentas Perjuangan Dunia Semesta
- Theys Adalah Musa Bangsa Papua
Apa artinya Theys Eluay yang awalnya membela NKRI lalu di akhir
hidupnya bukan hanya membela tetapi malahan memimpin perjuangan Papua
Merdeka? Almarhum sendiri pernah menjawabnya, "Karena ini waktunya!
Sekarang saatnya untuk Papua Merdeka!" Di lain waktu juga beliau
katakan, "Waktu itu Sukarno yang mencapok negara dan Tanah Papua ke
dalam NKRI!" Jadi, dengan kata lain, beliau yakin bahwa waktunya telah
tiba bagi bangsa Papua untuk memperjuangkan pengembalian kedaulantannya
yang telah diinjak dan diperkosa oleh NKRI. Dalam banyak wawancara
almarhum ditawari paket Otsus, tetapi selalu beliau menolak dengan
alasan Papua sudah merdeka, sekarang hanya minta pengembalian kedaulatan
yang telah dicaplok oleh NKRI.
"PDP tetap akan melakukan upaya lobi sampai tercapai dialog, baik
nasional maupun internasional. Ini kami lakukan agar Indonesia
secepatnya mengembalikan hak bangsa Papua seperti sebelum 1 Desember
1961, yaitu hak untuk merdeka, yang dicopot oleh Sukarno dengan Operasi
Trikora. Waktu itu, Bung Karno menyatakan operasi tersebut untuk
membubarkan negara boneka Papua. Padahal yang sebenarnya ada adalah
Negara Papua, bukan negara boneka Papua. Orang Papua sudah berdiri
sendiri. Papua sudah merdeka."
Theys Hiyo Eluay: "Hak (Papua) Merdeka Dicopot Sukarno" , TEMPO, No. 38/XXX/19 - 25 November 2001 [http://papuapost.com/?p=5113]
Theys memang tokoh adat revolusioner. Dalam buku Sem Karoba, dkk.
digambarkan sejumlah orang revolusioner di berbagai belahan Bumi dan
menempatkan almarhum Theys Eluay berdekatan dengan Abdurrahman Wahid dan
Nelson Mandela. Gus Dur dari sisi kontrovesi yang selalu ditimbulkannya
dari apa yang diucapkan dan yang dilakukannya, serta Mandela dari aspek
Kepala Suku dan pengorbanan yang mereka berikan dalam posisi sebagai
Kepala Suku. Lebih khusus lagi, kedua Kepala Suku ialah orang-orang
modern yang moderat, pemikirannya sangat maju, beradab dan merangkul
semua pihak. Jadi, perluangan Papua Merdeka yang dilakukannya bukan
karena Theys membenci orang Indonesia. Sama sekali tidak. Theys punya
banyak sekali penggemar dan sahabatnya di Indonesia. Yang ditentangnya
ialah negara Indonesia, bukan orang Indonesia. Maka itulah perjuangan
yang dikedepankannya ialah perjuangan damai, sopan-santun dan
demokratis.
Karena ketokohannya yang revolusioner itu, beliau hampir saja
ditempatkan sebagai tokoh adat yang revolusioner, yaitu pemain politik
global yang berasal dari tokoh adat. Agenda terpenting dan yang tidak
mudah dilupakan yang pernah ia sampaikan kepada Wartawan Majalah Tempo
beberapa minggu sebelum almarhum dibunuh saat beliau ditanyakan "Apa
program pertama yang hendak dilakukan di pentas politik global seusai
Papua Merdeka?" maka almarhum katakan,
"Saya akan berkampanye ke seluruh dunia, mengusulkan agenda ke
Perserikatan Bangsa-Bangsa, membangun aliansi ke seluruh dunia untuk
menutup semua pabrik-pabrik senjata dan diganti dengan pabrik makanan."
Sebuah pandangan yang sangat menarik. Tidak mungkin SBY membayangkan
itu, malahan SBY mau membangun pabriks senjata di Indonesia. Tidak ada
seorangpun Presiden negara-bangsa merdeka dan berdaulat hari ini yang
punya agenda seperti itu, kecuali Theys Hiyo Eluay. Agenda itu
tertinggal untuk orang Papua, generasi penerus, entah siapa menjadi
penggantinya nanti, untuk meneruskan program yang telah disampaikannya
dimaksud. Penerus perjuangannya berarti juga penerus agendanya, baik
agendanya untuk tanah air dan bangsanya, dan juga untuk sekalian manusia
dan planet Bumi.
Itulah pemikiran Alm. Theys Eluay yang berkaliber internasional,
seorang tokoh adat yang revolusioner, seorang yang tahu diri dan tahu
waktu kapan harus berbicara dan berjuang untuk Papua Merdeka, seorang
yang tahu akan mati sebelum perjuangan yang dipimpinnya itu tuntas.
Itulah sebabnya Alm. Theys Hiyo Eluay pernah katakan seperti diutarakan
Thaha Moh. Al-Hamid dalam Sambutan Pengantar dari Buku dimaksud,
"Untuk selamanya Theys telah pergi dalam jeritan seribu jiwa, tetapi
semangat dan kesadaran perjuangan kini bersemayam di kalbu setiap anak
Papua, sebagaimana ia bersaksi tatkala kami berlima menyantap hidangan
tahun baru 2001 di bilik penjara Abepura: “perjuangan harus jalan terus,
darah dan nyawa saya akan mengantar orang Papua ke gerbang
kemerdekaan”.
Jadi, beliau tahu persis, bahwa ia akan mati, dan kedua bahwa dengan
kematiannya itu akan mengantar bangsanya ke gerbang kemerdekaan.
Demikianlah Musa sampai ke Gunung Sinai, dan memandang jauh ke Tanah
Kanaan, tanah Perjanjian Allah, tanah yang dijanjikan Tuhan dengan
sumpah, tanah yang untuknya Musa telah menghadap Firaun berkali-kali di
Mesir, yang menyebakan banyak tulah bagi kaum penjajah, yang memaksa
bangsa pilihannya keluar dari penjajahan dan perbudakan, yang dalam
perjalanannya dipenuhi jerih-payah. Di gunung itu, Musa hanya diizinkan
untuk memandang ke Tanah Kanaan, dan pada saat memandangnya, ia melihat
gambaran janji-janji Tuhan itu telah tergenapi. Tetapi sayang, ada
alasan dan ada sebabnya, Musa sendiri tidak diperbolehkan menyeberang
Sungai Yordan. Dia harus tinggal di sebelah Sungai Yordan. Tujuan Musa
membawa keluar bangsanya dari perbudakan dan penjajahan telah tercapai,
tetapi Musa sendiri tidak ikut secara fisik masuk ke Tanah Kanaan.
Itulah yang dikatakan Theys Eluay kepada Thaha Al-Hamid, bukan?
***
Yang pertama telah digenapi, yaitu Musa memang harus mati, tidak ikut
masuk ke Tanah Kanaan. Itulah sebabnya kita peringati hari ini sebagai
tahun ke sepuluh dari peristiwa itu. Sekarang kita menantikan hal kedua
yang ditinggalkannya untuk digenapi, yaitu sudah 10 tahun bangsa ini
menunggu Joshua untuk berdiri di tengah-tengah bangsanya di Tanah
leluhurnya, meneruskan tongkat estafet yang ditinggalkan Theys Eluay,
menyeberangi Sungai Yordan, membasmikan secara tuntas semua musuh yang
menghuni wilayah itu, dan mendiami Tanah Perjanjian itu. Sudah 10 tahun
bangsa Papua tinggal tanpa pemimpin. Sudah 10 tahun sudah bangsa ini
menantikan para pembunuh hak kebangsaan dan hak hidup orang Papua angkat
kaki dari tanah leluhur orang Melanesia di bagian barat Pulau New
Guniea. Sudah 10 tahun para pembunuh Musa Papua itu tidak pernah
diungkap secara tuntas dan bertanggungjawab.
- Apakah 10 tahun ini artinya hanya sebuah bilangan genap yang bisa saja berlalu tanpa arti apa-apa?
- Apakah Kongres Rakyat Papua III, 2011 membuka jalan ke arah itu?
- Apakah Jaringan Damai Papua dengan agenda dialoguenya merupakan jalan ke arah itu?
- Apakah KNPB dan jaringannya mengarah ke sana?
- Apakah ILWP/IPWP dan segala gerakannya menunjukkan titik terang ke arah sana?
- Apakah itu...? ? ?
****Oleh Sem Karoba, salah satu dari penulis buku: PAPUA MENGGUGAT:
Penculikan dan Pembunuhan Ondofolo Dortheys Hiyo Eluay - Hari Kematian
HAM, Demokrasi dan Supremasi Hukum di Tanah Papua", terbitan w@tchPAPUA -
GalangPress.
Saya mahasiswa tingkat akhir di PTN berlokasi di Sumedang, tidak memiliki pengetahuan yang luas tentang Papua dan politik. Saya mengenal nama alm.Theys dari saudara pengurus @love_papua. Adakah redaksi suarabaptis artikel yang mengungkap
ReplyDelete-Alasan Ketakutan Pemerintah Mengusir Freeport?
-PDP sepeninggal alm. Theys?
-Alasan para pemimpin tidak bersatu?
-Benarkah dugaan yg pernah saya dengar: adanya kepentingan negara luar untuk memerdekakan papua?
Jujur, saya love papua, tapi bukan krn raja ampat-nya yg indah, tambangnya, atau hal lain. Tetapi krn saya ingin turut melestarikan hutannya,mendorong pendidikan papua, dan ingin tahu apa yg sebenarnya terjadi.
Terima kasih.
Bila ingin menjawab lewat e-mail: gopas.devando@gmail.com