Kerusuhan Perum III (foto jubi) |
JAKARTA–Human Rights Watch mendesak pemerintah Indonesia membuka
akses penuh untuk media internasional termasuk ahli hak asasi manusia
Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk memantau pelanggaran HAM dan
meminimalisir informasi yang keliru soal Papua.
Wakil Ketua Komite Nasional Papua Barat Mako Musa Tabuni diduga
ditembak di otak belakang oleh aparat keamanan sehingga meninggal dunia
hari ini. Aksi itu memicu massa membakar sejumlah tempat di Jayapura,
Papua.
Aktivis HAM Papua Markus Haluk mengatakan saat itu Mako tengah
memakan pinang bersama dengan empat rekan lainnya dan mengetahui
kedatangan aparat pada sekitar pukul 09.30 WIT. Mako kemudian
menghindari mereka, namun akhirnya ditembak aparat.
“Tidak ada surat pemanggilan sama sekali terhadap Mako. Aparat kalau
ingin tembak, tembak saja sekarang seperti preman. Ini bukan penegakan
hukum,” ujar Markus ketika dikonfirmasi Bisnis, Kamis 14 Juni 2012.
Dia juga mengatakan setelah kejadian itu sejumlah anggota KNPB dan
mahasiswa melakukan pembakaran terhadap sejumlah tempat karena marah dan
memprotes insiden tersebut. Penembakan terhadap Mako dilakukan di
daerah putaran taksi Universitas Cendrawasih-Perumnas III, Waena
Jayapura.
Saat ini, sambungnya, aparat juga tengah melakukan penyisiran di
lokasi terkait dengan kejadian tersebut. Menurut Mako, para anggota KNPB
dan mahasiswa pun sudah kembali ke tempat mereka masing-masing.
Direktur Deputi Asia HRW Elaine Pearson mengatakan pemerintah
Indonesia seharusnya mengizinkan media asing dan kelompok masyarakat
sipil untuk memasuki Papua untuk melaporkan terjadinya praktik kekerasan
dan pelanggaran HAM. Selain itu, organisasi tersebut juga mendesak agar
Indonesia menerima permintaan Dewan HAM PBB untuk mengundang para
pakar HAM organisasi dunia tersebut.
“Dengan menempatkan Papua di balik tabir, pemerintah Indonesia tengah
menumbuhkan impunitas untuk pasukan militer dan kebencian dari
orang-orang Papua,” kata Pearson dalam rilis media pada Kamis, 14 Juni
2012. “Pemerintah sebaiknya membiarkan media dan kelompok sipil
menerangi provinsi tersebut.”
Dia menuturkan pemerintah Indonesia telah gagal menghukum para pihak
yang bertanggung jawab atas kekerasan yang baru-baru ini terjadi di
Papua.
Peristiwa pada 6 Juni lalu, bermula dari dua anggota TNI Infanteri
(Yonif) 756/WMS saat melewati Jalan Raya Hone Lama, Distrik Wamena,
Jayawijaya dan menabrak anak kecil. Berdasarkan laporan persekutan
gereja, keduanya kemudian berusaha menghindari kemarahan orangtua dari
sang anak namun akhirnya terlibat perkelahian.
Seorang anggota TNI yang bernama Pratu Ahmad Sahlan mati di tempat
karena mengalami luka tusuk di dada tembus jantung. Sementara anggota
TNI bernama Serda Parloi Pardede dalam keadaan kritis karena pukulan
benda keras di seluruh bagian tubuh dan sedang dirawat di Rumah Sakit
Umum Daerah Wamena.
Aksi pembalasan dari pasukan TNI Batalyon 756 kemudian dilakukan
sangat brutal dan tak terkendali dengan menyerang, menyiksa, membunuh
dan melukai warga sipil dan membakar rumah.
HRW juga meminta agar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak
mencari-cari alasan lagi atas kegagalan pemerintahannya melakukan
investigasi. Pearson mengatakan dengan mengizinkan akses penuh ke
Papua, akan meminimalisir romor dan misinformasi yang memicu
pelanggaran.
HRW juga mengingatkan tentang permintaan sejumlah negara dalam
perhelatan the Universal Periodic Review PBB pada Mei, terkait dengan
pembukaan akses penuh Papua dan mengundang Reporter Khusus. Sejumlah
negara itu adalah Inggris, Perancis, Austria, Chile, dan Korea Selatan.
“Beberapa negara menyatakan kekhawatirannya di Dewan HAM PBB soal
kegagalan Indonesia untuk mengundang ahli dari PBB,” ujar Pearson.
”Jika Indonesia ingin dianggap serius, maka tidak seharusnya
mengabaikan permintaan tersebut
0 Komentar Anda:
Post a Comment
Your Comment Here