SUARA BAPTIS PAPUA

Dukung Aksi Perdamaian Atas Kekerasan di Papua Barat.
Jika Anda Peduli atas kemanusiaan Kaum tertindas di Papua barat Mohon Suport di sini:

Please donate to the Free West Papua Campaign U.K.
Kontribusi anda akan kami melihat ada perubahan terhadap cita-cita rakyat papua barat demi kebebasan dan kemerdekaannya.
Peace ( by Voice of Baptist Papua)

Home » , , , , , , , , , , , , , , , , » Sejarah Akan Memerdekakan Rakyat Papua ( 95% orang Papua mau merdeka)

Sejarah Akan Memerdekakan Rakyat Papua ( 95% orang Papua mau merdeka)

Written By Voice Of Baptist Papua on February 19, 2012 | 8:39 PM

Socratez Sofyan Yoman (foto pgbp)
Duta Besar Pemerintah Amerika Serikat untuk Indonesia, pada bulan Juni 1969 kepada anggota Tim PBB, Dr. Fernando Ortiz Sanz, secara rahasia mengakui: “ 95% orang-orang Papua mendukung gerakan kemerdekaan Papua.” (Sumber Dok: Jack W.Lydman’s Report, Juli 18, 1969, in AA). Sedangkan, Dr. Fernando Ortiz Sanz, perwakilan PBB untuk mengawasi pelaksanaan PEPERA 1969 melaporkan: “Penjelasan orang-orang Indonesia atas pemberontakan Rakyat Papua sangat tidak dipercaya. Sesuai dengan laporan resmi, alasan pokok pemberontakan rakyat Papua yang dilaporkan administrasi lokal sangat memalukan. Karena tanpa ragu-ragu, penduduk Irian Barat dengan pasti memegang teguh berkeinginan merdeka” (Laporan Resmi Hasil PEPERA 1969 Dalam Sidang Umum PBB, alinea 164, 260).  Lebih tegas, Fernando Ortiz Sanz, menyatakan: “Mayoritas orang Papua menunjukkan berkeinginan untuk berpisah dengan Indonesia dan mendukung pikiran Negara Papua Merdeka.” ( Dokumen resmi PBB, Annex I, A/7723, alinea, 243, hal. 47).

Sementara kesaksian pelaku  dan saksi  sejarah    yang dikirim oleh Pemerintah Indonesia untuk memenangkan PEPERA 1969, Piter Sirandan (alm), pada awal Desember 2009 setelah membaca buku saya: “Permusnahan Etnis Melanesia” (2007) dan “Suara Bagi Kaum Tak Bersuara” (2009)  menyatakan penyesalannya kepada saya: “ Pak Yoman, saya tiba di Jayapura, 1 Desember 1964. 


 Kami orang Indonesia benar-benar menipu orang-orang Papua yang mau berkata benar pada waktu itu.  Kami benar-benar menipu orang Papua. Kami benar-benar menindas orang Papua. Kami benar-benar merugikan masa depan orang Papua. Kami benar-benar tidak menghargai hati nurani orang Papua untuk benar-benar mau merdeka. Kami mengetahui bahwa pada waktu pelaksanaan PEPERA 1969 itu, orang-orang Papua benar-benar mau merdeka. Saya mengetahui bahwa 100% orang Papua mau merdeka. Impian dan harapan mereka, benar-benar kami hancurkan. Pada waktu itu, saya mendapat hadiah uang sebesar Rp 7.000.000; dari Pemerintah Indonesia karena saya dianggap berhasil menipu orang Papua dan memenangkan PEPERA 1969. Karena itu, sekarang saya sangat mendukung perjuangan orang Papua untuk merdeka” ( baca:  Dumma Socratez Sofyan Yoman: Integrasi Belum Selesai: 2010: hal.91-92, dan Socratez Sofyan Yoman: Gereja dan Politik di Papua Barat: 2011, hal. 21) 

Bertolak dari kutipan laporan resmi PBB ini dan pengakuan pelaku sejarah di atas, pertanyaan yang perlu saya  ajukan di sini adalah: Pertama, apakah  sejak 1963-2012 dalam kurun waktu 49   tahun pendudukan pemerintahan Indonesia di Papua telah menurunkan jumlah keinginan rakyat Papua mau merdeka dari 95% atau jumlah mayoritas itu ke level 10 % atau sebaliknya justru  dari 95% telah meningkat  tajam melebihi 95% untuk keinginan merdeka dan berdiri sendiri? Kedua, Apakah benar hanya segelintir orang asli Papua  yang mendukung Papua merdeka dan mayoritasnya mendukung  dan memperkuat pendudukan dan penjajahan pemerintah Indonesia di Tanah Papua?

Kita menjawab pertanyaan ini dengan fakta, bukti atau realitas bukan ilusi dan imajiner.
Contoh-contoh realitas. Pertama,   Pada Konferensi Perdamaian Papua pada 5-7 Juli 2011 di Auditorium Uncen Jayapura yang diselenggarakan oleh Jaringan Damai Papua (JDP).  Para pembicara adalah Menkopolhukam, Gubernur, Kapolda, Pangdam XVII Cenderawasih, Uskup Dr. Leo Laba Ladjar, OFM.,  Dr. Tonny Wanggai, Dr. Pdt. Benny Giay dan Saya (Socratez Sofyan Yoman).  Pada saat giliran dari perwakilan KODAM XVII untuk menyampaikan materi, pembicara diberikan kesempatan dan mengambil tempat di podium oleh moderator. Sebelum pembicara menyampaikan materi, ada komanda seperti ini: “Saudara-saudara, kalau saya sebut kata “Papua”, saudara-saudara peserta menyahut dengan kata “Damai”.  Pembicara dari Kodam ini sebut  Papua dan peserta menjawab dengan Merdeka.  Pembicara sebut Papua: Peserta menjawab: Merdeka. Dan terakhir ketiga kalinya: Pembicara sebut Papua dan peserta menyambut dengan kata Merdeka.

Kedua, Pada tanggal  17-19  Oktober 2011, Rakyat Papua berkumpul di lapangan sepak bola Zakeus Padang Bulan Abepura dan menyatakan merdeka dan berdiri sendiri sebagai bangsa berdaulat di atas tanah leluhurnya.
Ketiga, Pada tanggal 10 Januari 2012, saya dengan Pendeta Marthen Luther Wanma mengadakan pertemuan  dengan rakyat Manokwari di Gereja GKI Effata Manokwari untuk memberikan penjelasan hasil pertemuan kami dengan bapak Presiden Republik Indonesia, Dr. H. Susilo Bambang Yudoyono, di Cikeas, 16 Desember 2011.   Sebelum kami memberikan penjelasan, saya mengajukan satu pertanyaan sebagai seorang gembala umat kepada umat atau domba-domba yang hadir. Pertanyaan saya  sebagai berikut: “ Saudara-saudara, siapa-siapa yang mau merdeka di atas tanah leluhur orang Melanesia ini?”  Seluruh rakyat yang hadir serentak berdiri dan angkat tangan dan mengatakan merdeka….merdeka…..merdeka….”. Yang tidak berdiri hanya 3 orang PNS, salah satunya adalah Bapak Sekda Kabupaten Manokwari.

Keempat, Pada tanggal 20 Januari 2012 pertemuan dengan rakyat di Sorong dengan tujuan yang sama. Pada pertemuan itu yang mewakili Danrem Sorong dan Kapolreta Sorong hadir untuk mengikuiti penjelasan itu. Saya mengajukan pertanyaan yang sama. Saudara-saudara, siapa-siapa yang mau merdeka di atas tanah leluhur orang Melanesia ini?  “ Seluruh hadirin yang memenuhi ruangan itu berdiri dan angkat tangan dan mengatakan: merdeka… .merdeka…… merdeka…….. merdeka…..”. Yang tidak berdiri hanya bapak yang mewakili Danrem dan Kapolresta Sorong.

Apakah ini dikatakan segelintir orang?  Ini masalah  hak politik dan demi masa depan bangsa Papua. Kekuatan rakyat ini, tidak bisa kita bendung. Berapapun jumlahnya. Kita harus memberikan ruang untuk rakyat Papua. Karena sudah lama mereka menderita. Saudara-saudara, ini fakta. Ini bukti.Ini realitas. Ini di depan mata kita. Ini dibicarakan  dalam era Otonomi Khusus yang GAGAL itu. Ini dibicarakan di tempat resmi. Ini disampaikan dengan jujur dan sopan kepada pejabat resmi. Tidak bicara ditempat sembunyi-sembunyi. Tidak dibicarakan di hutan-hutan.  Ini bukti kejujuran. Ini bukti keterbukaan sebagai bangsa yang bermartabat.  Pejabat Indonesia, Pemerintah dan aparat keamanan bukalah hati nuranimu sebagai manusia.

Para pembaca yang terhormat dan yang mulia, ijinkan saya mengutip kembali opini saya  di Bintang Papua, Selasa, 14 Februari 2012, hal.5 dan Pasific Post, hal.12 )  dengan topik: PEPERA 1969, OTONOMI KHUSUS 2001, UP4B 2011. “ Para pembaca opini ini, Anda percaya atau tidak. Anda akui atau tidak. Anda suka atau tidak suka. Anda senang atau tidak senang. Saya TAHU, saya SADAR, saya MENGERTI, saya PERCAYA dengan IMAN, bahwa CEPAT atau LAMBAT nubuatan ini akan terwujud, hanyalah persoalan waktu.   “Di atas batu ini saya meletakkan peradaban orang Papua, sekalipun orang memiliki kepandaian tinggi, akal budi,dan marifat, tetapi tidak dapat memimpin bangsa ini. Bangsa ini akan bangkit dan memimpin dirinya sendiri” (Pdt. Izaac Samuel Kijne, Wasior, Manokwari, 25 Oktober 1925).

Karena itu, solusi terbaik yang berprospek damai dan manusiawi yang saya usulkan sebagai bahan pertimbangan pemerintah Indonesia ialah: Pertama, Pemerintah Indonesia dengan jiwa besar harus mengakui kekagagalan dan kesalahan terhadap penduduk asli Papua sejak 1 Mei 1963 sampai hari ini  dan harus mengakhiri pendudukan dan penjajahan di atas Tanah Papua. Kedua, Pemerintah Indonesia dan Rakyat Papua harus membuat perjanjian-perjanjian kerja sama dalam bidang : ekonomi, keamanan, politik dan bagaimana nasib orang-orang Melayu, Indonesia yang sudah lama berada di Papua dan termasuk penduduk Transmigrasi.  Ketiga, saya ingatkan kepada pemerintah dan aparat keamanan, walaupun di Tanah Papua akan dibangun sejumlah infrastruktur milite di darat, dilaut dan di udara dan datangkan para pendatang tanpa terkendali di Tanah Papua untuk menekan orang asli Papua, tetapi saya katakan kepada Anda semua: “ Dunia tidak berada dalam pengawasan dan kontrol Indonesia. Indonesia sekarang sedang dipantau dan dikontrol dengan ketat setiap detik.” Ini awasan sejak dini dari seorang gembala umat, supaya Indonesia harus baik-baik dan perbaiki relasi yang manusiawi dengan penduduk asli Papua, pemilik tanah dan negeri ini. Supaya Indonesia diberkati dan dikasih oleh Tuhan.

Pemerintah Indonesia dan aparat keamanan yang bertugas di Tanahnya orang Melanesia Papua ini diharapkan supaya mempelajari dan merenungkan nubuatan ini.  ”Di Tanah ini, kita bekerja di antara satu bangsa (Papua) yang kita tidak tahu apa maksud TUHAN buat bangsa ini. Di Tanah ini, kita boleh pegang kemudi tetapi kita tidak menentukan arah angin, arus, dan gelombang di laut serta tujuan yang hendak kita capai di Tanah ini. Siapa yang bekerja dengan jujur, setia, dan dengar-dengaran pada Firman Allah di Tanah ini, maka ia akan berjalan dari satu pendapatan heran yang satu ke pendapatan heran yang lain” ( Pdt. Isaac Samuel Kijne, Holandia Binnen, Numbay/Abepura, 26 Oktober 1956).

Sebenarnya,  Otonomi Khusus 2001 adalah kesempatan emas dan peluang  terakhir bagi Indonesia  untuk  membangun kembali kepercayaan (trust) dan memulihkan hubungan harmonis dengan   rakyat Papua, tapi sayang, OTSUS GAGAL. Pemerintah Indonesia selalu memakai kaca mata lama yaitu  kecurigaan  yang berlebihan  kepada orang-orang asli Papua dengan memelihara stigma separastime selama ini, dan hasilnya bayi Papua merdeka terus bertumbuh dan berkembang di hati rakyat Papua.  
Selama kurun waktu sejak  1 Mei 1963-2012 ini, hampir 49 tahun,  Pemerintah Indonesia telah gagal meminimalisasi (menurunkan) atau setidaknya menghilangkan tuntutan rakyat Papua untuk merdeka yang mencapai 95%  tahun 1969.  Kurun waktu 49 tahun adalah waktu yang cukup panjang tapi Pemerintah Indonesia gagal dan hanya berhasil menunjukan wajah dan watak kekerasan dan kejahatan kemanusiaan yang suram terhadap penduduk asli Papua.  
 Pemerintah Indonesia telah gagal menjaga martabat dan kedaulatan manusia Papua sehingga tidak berhasil  menurunkan tuntutan rakyat Papua dari mayoritas ke level minoritas atau segelintir orang.  Pemerintah Indonesia  hanya sukses mengintegrasikan ekonomi dengan kekuatan politik dan keamanan ke dalam Indonesia tapi manusia Papua disingkirkan  dari tanah leluhur mereka dan dibantai seperti hewan dengan stigma anggota OPM dan pelaku makar.   Akhirnya,  ”…. Bangsa ini akan bangkit dan memimpin dirinya sendiri.” Dan tergenapilah seperti  Sudjarwo mengakui: “ banyak orang Papua kemungkinan tidak setuju tinggal dengan Indonesia.” (Sumber: Laporan Resmi Sidang Umum PBB MM ex.1, alinea 126).  Shalom. Selamat membaca. Tuhan memberkati.
===============================
Penulis: Ketua Umum Badan Pelayan Pusat Persekutuan Gereja-gereja Baptis Papua
Share this article :

1 comment:

  1. Biarkan Tanah ini menentukan nasibnya sendiri, hanya kemerdekaan lah yang dapat memberikan kelegaan dari tagisan darah,nyawa yang selama ini menuntut di hadapat Allah pencipta langit dan Bumi. Kami bangsa Papua/Malanesia harus hidup dalam suatu kebebasan untuk memuliakan YAHWEH kami.Ras Malanesia yang di Gunung,Pantai bersatu menjadi orang Papua, hilangkan perbedaan pendapat, fokuskan tujuan pada kemerdekaan.

    By. Y.I

    ReplyDelete

Your Comment Here

Twitt VBPapua

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. SBP-News @VBaptistPapua - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger